Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan

(1)

EKONOMI SUMATERA SELATAN

INDRAYANSYAH NUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

ABSTRACT

INDRAYANSYAH NUR. Analysis of Economic Structure and Factors that Influence Economic Growth in West Sumatera. Under the supervision of SRI MULATSIH and ALLA ASMARA

This study aims at analyzing the structure of the economic growth in the province of South Sumatera and the factors that influence the economic growth in the region. The method to analyze the economic structure is a regional economy approach using Location Quetiont (LQ) method and Shift Share (SS) Analysis. The National Share (NS) component indicates that the higher values are the sectors on mining and minerals, agriculture and manufacturing industry. Thus, those three sectors are strongly influenced by the change in national policy. The Industry Mix (IM) component indicates that the higher values are on the sectors on transportation and communication, construction and trade, and hotel and restaurant. That indicates that those three sectors have higher growth than other sectors. The Regional Share (RS) component indicates that agriculture is the dominant sector and therefore the most competitive sector compared to industries in the national level. It is also revealed that the progressive sectors during 2001-2005 are trading, hotel, restaurant, and construction and during 2001-2005-2010 are service firms, finance, rental, trading, hotel, and restaurant. Using LQ analysis, the base sectors in South Sumatera during 2001-2010 are mining and minerals, agriculture, and construction. On the whole, the variables of PMA, PMDN, goverment expenditure and labor force simultaneously influence the PDRB as high as 85%. In partial view, PMDN, goverment expenditure and labor force have significant and positive influence toward PDRB, as indicated by a small probability value. Meanwhile, PMA has insignificant and negative influence toward PDRB.


(4)

(5)

RINGKASAN

INDRAYANSYAH NUR. Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh: SRI MULATSIH and ALLA ASMARA

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Namun demikian Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Sumatera Selatan relatif rendah bila dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera. Sepanjang tahun 2006 – 2010 rata-rata PDRB per kapita Sumatera Selatan sebesar 3,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Jambi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,14 persen, Sumatera Utara sebesar 5,08 persen atau Lampung dengan rata-rata pertumbuhan 4.2 persen. Dengan demikian perlu kiranya bagi Provinsi Sumatera Selatan untuk berupaya meningkatkan terus laju pertumbuhan PDRB.

Dalam menganalisis pembangunan di daerah ada satu hal yang menarik yaitu mengapa terdapat perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan adanya perbedaan dalam karakteristik antar daerah. Karakteristik daerah itu sendiri sebetulnya dapat dilihat dari kontribusi tiap-tiap sektor perekonomiaan terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi tiap-tiap sektor pada suatu daerah dapat pula dibandingkan dengan daerah lain yang lebih tinggi, untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor yang mengekspor atau bukan.

Pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan kenaikan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan membuat kebijakan skala prioritas dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu penting kiranya upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih optimal, dengan mengkaji faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengkajian terhadap pengaruh investasi asing (PMA), investasi dalam negeri (PMDN), dan angkatan kerja serta pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan.

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder time series

dalam kurun waktu 1993 – 2010 dan diolah dengan menggunakan program

eviews. Selanjutnya model yang sudah dibuat diestimasi untuk melihat seberapa besar variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Data yang gunakan antara lain: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Sumatera Selatan; data penanaman modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA); data realisasi belanja pembangunan, belanja modal dan pemeliharaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Sumatera Selatan dan data kependudukan Propinsi Sumatera Selatan. Adapun sumber data diperoleh dari berbagai instansi meliputi: BKPM Pusat; Bappeda Propinsi Sumatera Selatan; Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Selatan; dan Badan Pusat Statistik Pusat. Dalam rangka menganalisis struktur perekonomian daerah, peneliti menggunakan analisis Shift Share (SS) dan Analisis Location Quotient (LQ). Adapun tahun pengamatan untuk analisis Shift

Share (SS) adalah 2001 – 2005 dan 2005 – 2010 dan Analisis Location Quotient


(6)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2001 – 2005 dan 2005 – 2010 tidak mengalami perubahan dalam sumbangan komponen terhadap nilai Shift Share (SS): komponen National Share (NS) nilai terbesar adalah pada sektor pertambangan dan galian diikuti sektor pertanian dan industri pengolahan. Dengan demikian ketiga sektor tadi sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan nasional.

Pada komponen Industry Mix (IM), nilai terbesar adalah pada sektor

pengangkutan dan komunikasi, sektor bangunan dan perdagangan, hotel dan restoran. Dengan demikian sektor-sektor tersebut merupakan sektor dengan pertumbuhan cepat dibanding sektor lain. Pada komponen Regional Share (RS), pertanian merupakan sektor dominan. Sektor pertanian merupakan sektor yang

Pada tahun 2001 – 2005 sektor yang progresif adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor bangunan, sedangkan untuk tahun 2005 – 2010 sektor jasa-jasa, sektor keuangan, persewaan dan jasa-jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dengan demikian terjadi pergeseran sektor progresif dari sektor pertanian menuju sektor jasa-jasa. Sektor basis di Sumatera

Selatan dengan menggunakan analisis LQ untuk pengamatan 2001 – 2010 adalah

sektor pertambangan dan galian, sektor pertanian dan sektor bangunan. Walaupun sektor basis adalah sektor pertanian serta tambang dan galian, namun sektor lain tidak dilupakan mengingat sektor pertanian termasuk sektor yang sangat dipengaruhi iklim dan cuaca yang merupakan faktor yang sulit dikontrol. Sedangkan sektor pertambangan dan galian termasuk sumber daya alam yang dapat habis dan tidak dapat diperbaharui.

Secara keseluruhan variabel PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh terhadap PDRB sebesar 85 persen. Sedangkan secara parsial, bahwa PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap PDRB. Hal ini terlihat dari nilai probabiliti yang kecil. Sedangkan variabel PMA berpengaruh tidak signifikan dengan pengaruh negatif terhadap PDRB.

Berdasarkan uraian tersebut maka disarankan: (1) Walaupun terjadi pergeseran sektor yang progresif dari sektor pertanian menjadi sektor jasa-jasa, namun tetap tidak meninggalkan sektor pertanian. Sebab walau bagaimanapun sektor pertanian serta sektor pertambangan dan galian tetap berkontribusi tinggi terhadap PDRB Sumatera Selatan. (2) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan hendaknya lebih meningkatkan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan PDRB dengan prioritas kebijakan yang mendukung produktivitas angkatan kerja, disusul dengan menambah masuknya investasi dalam bentuk PMDN dan selanjutnya memperbesar pengeluaran pemerintah pada sektor-sektor progresif yaitu sektor jasa-jasa, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

(9)

ANALISIS STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERTUMBUHAN

EKONOMI SUMATERA SELATAN

INDRAYANSYAH NUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(10)

(11)

Judul Tesis : Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan

Nama : Indrayansyah Nur

NRP : H151080191

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Tgl Ujian : 25 Juli 2012 Tgl Pengesahan :

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr Ketua

Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana


(12)

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Struktur Perekonomian dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Sri Mulatsih. M.Sc. Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada

Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini;

2. Dr Ir. Nunung Nuryartono M.Si selaku ketua program studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB atas bimbingan dan pengarahan selama menempuh kuliah;

3. Para dosen di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala didikan dan

pengajarannya;

4. Para staf di Program Studi Ilmu Ekonomi, atas segala bantuannya;

5. Semua rekan di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pasca Sarjana IPB untuk semangat dan kebersamaannya selama menjalani kuliah;

Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan.

Bogor, Juli 2012


(14)

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 1971 dari ayah Mochammad Noer Saleh dan Ibu Siti Maryam. Penulis merupakan anak ke delapan dari delapan bersaudara. Saat ini penulis sudah berkeluarga dan dikaruniai tiga orang putra.

Pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1978 hingga 1984 di SD Negeri Pondok Bambu 08, kemudian tahun 1984 hingga 1987 di SMP Negeri 14 Jatinegara, dilanjutkan pada tahun 1987 hingga 1990 di SMA Negeri 59 Klender, Jakarta. Pada tahun 1991 hingga 1996 penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Sriwijaya Palembang, dan pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan pada Mayor Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalani pendidikan di Universitas Sriwijaya, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan membidangi Unit kegiatan Mahasiswa bidang olahraga Catur. Pada tahun 1994 Penulis mengikuti Pekan Olahraga Mahasiswa Tingkat Nasional di Medan dan juga mengikuti berbagai kejuaraan catur tingkat Kotamadya Palembang.

Tahun 1997 penulis bekerja pada Badan Diklat Keuangan, Kementrian Keuangan di Pusdiklat Keuangan Umum sampai tahun 2004 sebagai pelaksana. Selanjutnya bertugas di Balai Diklat Balikpapan tahun 2004 hingga 2006 sebagai Koordinator Pelaksana Bidang Keuangan. Selanjutnya kembali ke Jakarta dan bekerja di Badan Diklat Keuangan Jakarta dan ditempatkan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara sejak tahun 2006 sampai sekarang dengan jabatan Widyaiswara Muda.

Penulis juga aktif dalam penerbitan Majalah Infoartha dan Media STAN, majalah ilmiah yang diterbitkan oleh STAN Press. Selain aktif menulis di majalah Infoartha dan Media STAN, karya ilmiah lainnya juga sudah ditebitkan pada majalah Gagas Pajak Pusdiklat Perpajakan dan Forum Keuangan Pusdiklat Keuangan Umum, Kementrian Keuangan Republik Indonesia.


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR... xx

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Konsep Ekonomi Basis ... 9

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 10

2.3. Model Pertumbuhan Solow ... 13

2.4. Teori Investasi ... 18

2.5. Teori Pengeluaran Pemerintah ... 19

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan Kerja ... 20

2.7. Metode Location Quetient (LQ) ... 22

2.8. Analisis Shift Share ... 23

2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25

2.10. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 28

2.11. Hipotesis... 30

III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 31

3.2. Metode Analisis ... 31

3.2.1. Analisis Shift Share ... 31

3.2.2. Analisis Location Quetient (LQ) ... 32

3.2.3. Model dan Analisis Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ... 33

3.2.4. Uji Asumsi Klasik ... 33

3.2.5. Uji Statistik………...34 Halaman


(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 37

4.2. Analisis Shift Share ... 40

4.2.1. Sektor Pertanian ... 44

4.2.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian ... 47

4.2.3. Sektor Industri Pengolahan ... 49

4.2.4. Sektor Listrik, Gas dan Air bersih ... 52

4.2.5. Sektor Bangunan ... 54

4.2.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ... 55

4.2.7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi ... 59

4.2.8. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan ... 59

4.2.9. Sektor Jasa-Jasa ... 61

4.3. Pergeseran Bersih ... …….. 63

4.3.1. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan 2001-2005 ... ……..63

4.3.2. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan 2005-2010 ... …….. 65

4.4. Analisis Location Quetient (LQ) ... …….. 67

4.5. Analisis Faktor yang Memengaruhi PDRB Sumatera Selatan ... …….. 69

4.5.1. Uji Asumsi Klasik ... …….. 69

4.5.1.1. Uji Normalitas ... ……..69

4.5.1.2. Uji Multikolinieritas ... ……. 69

4.5.1.3. Uji Autokorelasi ... ……. .70

4.5.1.4. Uji Heteroskedastisitas ... …….. 70

4.5.2. Hasil Dugaan Model ... …….. 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... …….. 75

5.1. Kesimpulan ... …….. 75

5.2. Saran ... …….. 75

DAFTAR PUSTAKA ... …….. 77


(19)

DAFTAR TABEL

1. Kontribusi Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Sumatera Selatan ... 3

2. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita atas Dasar Harga Konstan di

Provinsi Sumatera Selatan disbanding Provinsi lainnya di Sumatera

Selatan 2006 - 2010 ... 4

3. Peranan Masing-Masing Sektor dalam Pembentukan PDRB Tahun

2008-2010 di Sumatera Selatan ... 38

4. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan Menurut Lapangan

Usaha Tahun 2008-2010 (dalam persen) ... 39

5. Perubahan PDRB Sumatera Selatan dan PDB Nasional tahun

2001-2005 dan 2005-2010 ... 42

6. Hasil Perhitungan Shift Share (SS) Struktur Perekonomian

Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 dalam rupiah ... 43

7. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Pertanian

Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 47

8. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor

Pertambangan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 49 9. Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Industri

Pengolahan Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 52

10.Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Listrik, Gas

dan Air Bersih Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 54

11.Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor

Perdagangan, Hotel dan Restoran Tahun 2008 – 2010 (dalam

persen) ... 57

12.Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Angkutan

dan Komunikasi Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 58 Halaman No.


(20)

13.Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan Tahun 2008 – 2010 (dalam

persen) ... 60

14.Kontribusi dan Pertumbuhan Sub Sektor dalam Sektor Jasa-Jasa Tahun 2008 – 2010 (dalam persen) ... 62

15.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan tahun 2001-2005 ... 64

16.Pergeseran Bersih Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan tahun 2005-2010 ... 66

17.Hasil Perhitungan Location Quetient (LQ) Struktur Perekonomian Sumatera Selatan 2001-2010 ... 68

18.Uji Multikolinier ... 69

19.Uji Autokorelasi ... 70

20.Uji Heteroskedastisitas ... 70

21.Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan ... 71


(21)

DAFTAR GAMBAR

1. Nilai Tambah Provinsi Sumatera Selatan 2007-2010 ... 3

2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan 2006-2010 ... 4

3. Output dan Depresiasi Pada Kondisi Mapan ... 15

4. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow... 18

5. Pengaruh Kenaikan Belanja Pemerintah ... 20

6. Kurva Kemungkinan Produksi ... 21

7. Model Analisis Shift Share ... 25

8. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 28

9. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2001-2005 ... 64

10. Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian atas dasar PDRB Sumatera Selatan Tahun 2005-2010 ... 66

11. Uji Normalitas ... 69


(22)

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan… 81

2. Koefisien Variabel Penduga PDRB Sumatera Selatan ... 82 3. Perhitungan Shift Share Tahun 2001-2005 dan 2005-2010 ... 85

Halaman No.


(24)

(25)

I . PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi diawali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an yang dikenal dengan model pertumbuhan bertahap linier

(linier-stages of growth models) yang dipelopori oleh Rostow dan Harrod-Domar.

Adapun model pertumbuhan bertahap linier ini ditopang dengan memobilisasi dana untuk memacu investasi dalam jumlah yang memadai. Menurut Rostow, salah satu dari sekian banyak strategi pokok pembangunan untuk tinggal landas adalah pengerahan atau mobilisasi dana tabungan, baik dalam mata uang domestik maupun valuta asing guna menciptakan bekal investasi yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Todaro 2000).

Model pertumbuhan Harod-Domar, memberikan penekanan akan

pentingnya dana tabungan yang digunakan untuk mengganti atau menambah barang-barang modal, yang selanjutnya dikatakan sebagai investasi. Investasi modal baru diperlukan untuk memacu terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Dalam perkembangan ekonomi bangsa-bangsa pada pertengahan abad ke 20, ternyata tidak ada lagi sistem-sistem ekstrim yang murni. Negara-negara yang semula menganut sistem kapitalis murni mulai memandang perlunya peranan pemerintah dalam perekonomian, sedangkan negara-negara yang semula menganut sistem sosialis murni mulai memandang dan menghargai kepentingan-kepentingan dan inisiatif individu (Suparmoko 2003).

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat (Mankiw 2002).


(26)

Keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat sebetulnya merupakan hasil dari keberhasilan pembangunan di daerah. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka pemerintah daerah mendapat peran yang sangat besar dalam melakukan pembangunan. Oleh sebab itu pemerintah daerah harus mampu mendorong dunia usaha untuk melakukan aktivitas investasi yang nantinya akan mendorong perekonomian daerah itu sendiri.

Agar pembangunan di daerah menjadi berhasil maka diperlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan. Dirasakan perlunya penerapan ilmu ekonomi regional dalam menentukan daerah unggulan maupun sektor unggulan yang menjadi pedoman prioritas dalam pembangunan daerah. Prioritas menjadi penting sebagai arah kebijakan agar pemerintah daerah menjadi fokus dalam melakukan pembangunan.

Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia sangat berkepentingan dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan semangat desentralisasi. Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 10 (sepuluh) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, beserta perangkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Kabupaten dan Kota membawahi Pemerintah Kecamatan dan Desa/Kelurahan.

Struktur ekonomi menggambarkan kontribusi atau peranan masing-masing

sektordalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dalam

konteks lebih jauh akan memperlihatkan bagaimana suatu perekonomian mengalokasikan sumber-sumber ekonomi di berbagai sektor. Hal tersebut juga dapat menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan produksi dari masing-masing sektor perekonomian (PDRB Provinsi Sumatera Selatan 2009).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator utama untuk mengukur pertumbuhan perekonomian di suatu wilayah. Selama empat tahun terakhir, PDRB Sumatera Selatan dengan migas atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan (Gambar 1). Pada tahun 2007 nilai tambah yang terbentuk sebesar 109,9 trilyun rupiah. Pada tahun 2008, angka ini sebesar 133,66 trilyun rupiah dan tahun 2009 sebesar 137,33 trilyun rupiah. Pada tahun 2010 nilainya menjadi sebesar 157,77 trilyun rupiah. Berdasarkan pendekatan produksi,


(27)

seluruh sektor lapangan usaha yang ada di suatu wilayah biasanya dikelompokkan dalam 9 sektor. Kesembilan sektor tersebut dapat diklasifikasikan kembali dalam tiga sektor utama, yaitu sektor Primer, Sekunder dan Tersier. (PDRB Provinsi Sumatera Selatan, 2009). Pada periode 2006 – 2010 sektor utama penyumbang terbesar terhadap PDRB adalah sektor Primer disusul sektor Sekunder dan sektor Tersier.

Sumber: BPS Sumatera Selatan

Gambar 1 Nilai Tambah Provinsi Sumatera Selatan 2007 – 2010

Ada empat sektor dominan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB Sumatera Selatan pada tahun 2010 (Tabel 1). Keempat sektor tersebut yaitu sektor industri pengolahan, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Masing-masing menyumbang secara berurutan sebesar 23,67 persen, 21,62 persen, 16,85 persen dan 12,70 persen.

Tabel 1. Kontribusi Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Sumatera Selatan

Sumber: PDRB Sumatera Selatan Menurut Lapangan Usaha

PDRB Kontribusi (%)

2007 2008 2009 2010 1. Pertanian

2. Pertambangan & penggalian

Sektor Primer 18,27 29,94 43,21 17,18 25,44 42,62 17,35 21,04 38,39 16,85 21,62 38,47

3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & Air Bersih 5. Bangunan Sektor Sekunder 23,03 0,54 6,13 29,70 23,26 0,48 6,01 29,75 23,64 0,51 6,52 30,67 23,67 0,49 6,49 30,65

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Pers 9. Jasa-Jasa Sektor Tersier 11,16 4,15 3,41 7,77 27,09 11,92 4,11 3,36 8.23 27,62 12,78 4,50 3,64 10,03 30,95 12,70 4,45 3,52 10,20 30,87


(28)

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan, pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, berfluktuasi tetapi cenderung meningkat (Gambar 2). Pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan sebesar 7,31 persen pada tahun 2006, meningkat menjadi 8,04 persen tahun 2007. Selanjutnya turun ke 6,31 persen tahun 2008 dan turun kembali tahun 2009 ke 5,06 persen. Kemudian meningkat kembali menjadi 6,94 persen pada tahun 2010.

Sumber: BPS Sumatera Selatan

Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan 2006 - 2010

Demikian juga laju pertumbuhan PDRB per kapita Sumatera Selatan berfluktuasi sepanjang 5 tahun terakhir. Laju pertumbuhan PDRB perkapita Sumatera Selatan selama kurun waktu 2006 – 2010 adalah masing-masing 3,31 persen, 3,94 persen kemudian turun dalam dua tahun terakhir menjadi 3,20 dan 2,27 persen, untuk kemudian meningkat kembali menjadi 3,72 persen. Laju pertumbuhan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 Sumatera Selatan dan dua kota besar lainnya di Sumatera disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Sumatera Selatan Tahun 2006 – 2010 (persen)

P r o v i n s i 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata

Sumatera Selatan Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Bengkulu Lampung 3,31 5,06 4,76 3,27 4,23 3,71 3,94 5,77 4,97 4,19 4,74 4,67 3,20 5,27 5,51 4,53 4,08 4,09 2,27 3,97 2,95 3,78 4,73 3,92 3,72 5,34 4,70 4,91 3,61 4,61 3,28 5,08 4,58 4,14 4,28 4,2


(29)

Berdasarkan pendahuluan di atas maka dianggap perlu untuk menganalisis mengenai struktur pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan tentang potensi sektor

unggulan, yang nantinya menjadi prioritas dalam pembangunan di Sumatera

Selatan. Selain itu sangat diperlukan juga peranan investasi baik investasi domestik maupun investasi asing dan juga pertumbuhan tenaga kerja serta pengeluaran pemerintah dalam rangka memajukan pembangunan ekonomi yang dalam hal ini dilihat dari pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan.

1.2. Rumusan Masalah

Provinsi Sumatera Selatan termasuk provinsi di wilayah Sumatera dengan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Namun demikian bila dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera terlihat pertumbuhan ekonomi dengan indikator pendapatan domestik regional bruto perkapita relatif rendah. Sepanjang tahun 2006 – 2010 rata-rata PDRB per kapita Sumatera Selatan sebesar 3,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Jambi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,14 persen, Sumatera Utara sebesar 5,08 persen atau Lampung dengan rata-rata pertumbuhan 4.2 persen. Dengan demikian perlu kiranya bagi Provinsi Sumatera Selatan untuk berupaya meningkatkan terus laju pertumbuhan PDRB.

Pembangunan hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan. Pendapatan masyarakat yang meningkat pada akhirnya akan meningkatkan produksi barang dan jasa. Meningkatnya pendapatan masyarakat berarti meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah memiliki saling ketergantungan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah lainnya. Begitu pula dengan Perekonomian Sumatera Selatan yang juga dipengaruhi oleh perekonomian nasional. Bentuk pengaruh perekonomian nasional ini berupa kebijakan nasional yang mempengaruhi pada sektor-sektor perekonomian Sumatera Selatan. Tentu saja ada pengaruh lain yang berasal dari kemampuan potensial sektor-sektor perekonomian Sumatera Selatan itu sendiri. Faktor pertumbuhan sektor yang cepat dan faktor daya saing yang tinggi juga menjadikan suatu sektor perekonomian menjadi andalan dalam perekonomian Sumatera Selatan.


(30)

Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain, hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan karakteristik antar daerah. Karakteristik daerah sebetulnya dapat dilihat dari kontribusi tiap-tiap sektor perekonomiaan terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi tiap-tiap sektor pada suatu daerah dapat pula dibandingkan dengan daerah lain yang lebih tinggi, untuk menentukan apakah suatu sektor merupakan sektor yang mengekspor atau bukan.

Pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan kenaikan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan membuat kebijakan skala prioritas dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu penting kiranya upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih optimal, dengan mengkaji faktor dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Salah satunya adalah dengan melakukan pengkajian terhadap pengaruh investasi asing (PMA), investasi dalam negeri (PMDN), dan angkatan kerja serta pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dianalisis adalah:

1. Berapakah perubahan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di

Sumatera Selatan berdasarkan National Share (pertumbuhan nasional),

Industry Mix (bauran industri) dan Regional Shift (keunggulan kompetitif) yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi?

2. Sektor apakah yang menjadi sektor unggulan Provinsi Sumatera Selatan?

3. Bagaimana pengaruh PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah dan angkatan

kerja terhadap PDRB Sumatera Selatan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis besarnya perubahan Pendapatan Domestik Regional Bruto

(PDRB) di Sumatera Selatan berdasarkan National Share (pertumbuhan nasional), Industry Mix (bauran industri) dan Regional Shift (keunggulan kompetitif) yang dimiliki menurut sektor-sektor ekonomi.

2. Menentukan sektor unggulan Provinsi Sumatera Selatan.

3. Menganalisis besarnya pengaruh PMA, PMDN, pengeluaran pemerintah


(31)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Secara akademik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai

referensi dan bahan kajian terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Selatan.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah provinsi Sumatera Selatan dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi dua aspek penting. Pertama, menganalisis struktur perekonomian Provinsi Sumatera Selatan dan kedua, menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan. Dalam menganalisis struktur perekonomian, digunakan pendekatan ekonomi regional yaitu Metode Location Quetiont (LQ) dan Analisis Shift Share.

Dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Selatan, digunakan pendekatan model pertumbuhan neo klasik, dimana perbedaan dalam tingkat pertumbuhan hanya dijelaskan dengan penekanan pada fungsi produksi agregat dengan faktor dasar modal dan tenaga kerja. Dalam teori pertumbuhan ekonomi neo klasik, yang dikembangkan oleh Solow, faktor input tenaga kerja dan modal adalah determinan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Jamal 2006).


(32)

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Ekonomi Basis

Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi 2 sektor utama, yaitu sektor basis dan sektor non basis. Sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan (Priyarsono et al 2007).

Adapun sektor non basis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor non basis hanya bersifat lokal (Glasson, dalam Priyarsono et al 2007).

Sektor-sektor ekonomi dikelompokkan ke dalam sembilan sektor yang didasarkan kepada besarnya pendapatan dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Sektor-sektor tersebut adalah:

1. Pertanian

2. Pertambangan dan Penggalian

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas dan Air bersih

5. Bangunan dan Konstruksi

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran

7. Angkutan dan Komunikasi

8. Keuangan dan Jasa Persewaan

9. Jasa-jasa lainnya

Dari 9 sektor ekonomi kemudian dikelompokan kembali menjadi 3, yaitu:

1. Sektor Primer meliputi pertanian; dan pertambangan, dan galian

2. Sektor Sekunder meliputi industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; dan bangunan

3. Sektor Tersier meliputi perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan, dan

komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari peranan sektor-sektor yang ada dalam suatu perekonomian. Masli (2006) menulis bahwa untuk melihat


(34)

sektor-sektor yang memberikan peran utama bagi perkembangan ekonomi daerah, menurut Richardson (2001) dan Glasson (1997) salah satu cara atau pendekatan model ekonomi regional adalah analisis basis ekonomi (economic base), model ini dapat menjelaskan struktur ekonomi daerah, atas dua sektor, yaitu sektor basis dan non basis. Model economic basis menekankan pada ekspansi ekspor sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi daerah.

Selanjutnya mendapat perhatian pula mengenai perubahan struktur ekonomi dimana terdapat perbedaan penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor yang dikelompokkan sebagai sektor primer, sekunder dan tertier. Pendapat ini dibuktikan oleh Clark yang telah mengumpulkan data statistik mengenai persentasi tenaga kerja yang berada di sektor primer, sekunder dan tertier di berbagai negara (Sukirno 1985).

2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno 2004). Selanjutnya permasalahan penting yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi tersebut terus berlangsung dalam jangka panjang. Hal ini dapat terjadi apabila ada penambahan faktor-faktor produksi. Dengan demikian investasi diartikan sebagai penambahan barang-barang modal.

Kuznet dalam Todaro (2000), menulis bahwa pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya.

Mankiw (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output. Proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki masyarakat.

Teori pertumbuhan neo klasik mencoba menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Adapun model ini mengasumsikan tanpa


(35)

adanya peranan teknologi. Dengan demikian model dasar pertumbuhan neo klasik adalah:

Y = F(K,N) ...(2.1) Dimana Y adalah pendapatan, K adalah jumlah stok modal, dan N angkatan kerja.

Dengan membagi kedua sisi dengan N diperoleh:

y = f(k) ...(2.2) dimana:

y merupakan pendapatan perkapita dan k adalah modal perkapita. Hal ini berarti bahwa model tersebut menggambarkan pentingnya tambahan modal dan populasi.

Jumlah penduduk juga akan memengaruhi jumlah pekerja. Hal ini berarti terjadi penambahan faktor produksi yang nantinya akan menambah output. Produktivitas pekerja juga berpengaruh pada jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Dengan demikian perlu adanya pengalaman kerja dan pendidikan.

Todaro (2000) menulis bahwa ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa. Ketiganya adalah:

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia

2. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja

3. Kemajuan teknologi

Todaro (2000) melihat pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan dalam produksi barang dan jasa, yang diikuti dengan perubahan struktural. Dimana perubahan tersebut diawali dari terciptanya tahapan-tahapan pertumbuhan, yaitu transformasi dari sistem pertanian subsisten yang miskin menjadi negara industri yang modern. Mankiw (2002) menulis, pertumbuhan sebagai peningkatan standar hidup yang diakibatkan bertambahnya pendapatan yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi barang dan jasa.

Menurut Kuznets, dalam Todaro (2000), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Selanjutnya


(36)

Kuznets, dalam Todaro (2000) mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut:

1. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang

tinggi.

2. Tingkat kenaikan total produktivitas faktor yang tinggi.

3. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi.

4. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.

5. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju

perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.

6. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai

sekitar sepertiga bagian penduduk dunia.

Model yang dikembangkan oleh Rostow (stages-of growth model of

development), pada tahun 1950-an meliputi tahapan masyarakat tradisional,

tahapan penyusunan kerangka dasar tinggal landas, tahapan pertumbuhan berkesinambungan, tahapan tinggal landas, tahapan menuju kematangan dan tahapan konsumsi yang tinggi.

Model Harrod-Domar menekankan perlunya syarat dalam rangka ”steady

growth” dimana model ini memerlukan asumsi. Salah satunya adalah perekonomian yang dianalisis adalah model tertutup. Namun demikian model ini menganalisis perekonomian dalam jangka panjang. Hal ini terlihat pada pandangan Harrod-Domar yang menyatakan perlunya penambahan pengeluaran agregat jangka panjang dalam rangka menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Baro (1990) dalam Sodik (2007) menguji model pertumbuhan endogen mengenai hubungan antara bagian pengeluaran pemerintah di dalam GDP. Keistimewaan model Barro ini adalah adanya constan return to capital secara luas termasuk private capital dan public services di dalam produksi, tepatnya hubungan yang timbul antara ukuran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi.

Sodik (2007) menulis bahwa : mengikuti model dari Barro (1990) tentang model pertumbuhan, Hsieh dan Lai (1994) memberikan model teori dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan. Hsieh dan Lai melihat kenaikan


(37)

pengeluaran pemerintah akan menurunkan pertumbuhan melalui crowding out privat investment.

2.3. Model Pertumbuhan Solow

Model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007). Pengembangan model ini dibuat bertahap, pada tahap awal mempelajari bagaimana penawaran dan permintaan terhadap barang menentukan akumulasi modal. Dengan demikian model awal ini mengasumsikan input angkatan kerja dan teknologi tetap. Selanjutnya dilakukan perubahan model dimana teknologi mengalami perubahan.

Pada model awal dibicarakan tentang penawaran barang, dengan fungsi produksi yang lazim dikenal, dimana output dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja (Mankiw, 2007):

Y = F(K,L) ...(2.3) Selanjutnya model Solow mengasumsikan fungsi produksi dengan skala pengembalian konstan (constant return to scale). Asumsi ini dibuat untuk memudahkan analisis, dengan demikian fungsi berubah menjadi:

zY = F(zK, zL) ...(2.4) dengan menggunakan z = 1/L maka pada persamaan (4) akan menjadi:

Y/L = F(K/L, 1) ...(2.5) Persamaan (2.5) dapat diartikan bahwa jumlah output per pekerja sama dengan

fungsi dari jumlah modal per pekerja. Asumsi constant return to scale

menunjukkan bahwa besarnya perekonomian tidak mempengaruhi hubungan antara output per pekerja dengan modal per pekerja. Apabila dalam persamaan (2.5) kita sederhanakan y = Y/L dan k = K/L maka fungsi produksi dapat kita tulis:

Y = f(k) ...(2.6) Model Solow dapat pula dilihat dari sisi permintaan terhadap barang. Permintaan terhadap barang dipengaruhi oleh konsumsi dan investasi. Artinya


(38)

output per pekeja (k) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan investasi per pekerja (i).

y = c + i ...(2.7) dalam model ini diasumsikan bahwa setiap orang menabung (s) sebagian dari pendapatannya dan sebagian lagi untuk konsumsi (1-s). Dengan demikian kita dapat membentuk fungsi konsumsi:

c = (1-s)y ...(2.8) apabila kita substitusikan persamaan (2.8) ke persamaan (2.7), maka besarnya investasi per pekerja sebagai fungsi dari persediaan modal per pekerja, dapat kita tulis:

i = sf(k) ...(2.9) dengan demikian ada kaitan antara persediaan modal yang sudah ada (k) dengan tambahan modal baru (i). Untuk keperluan analisis dibutuhkan depresiasi persediaan modal ( ɗ ), dengan demikian terlihat dampak dari adanya investasi baru dan depresiasi persediaan modal yang sudah ada sebelumnya dimana perubahan persediaan modal adalah investasi dikurangi depresiasi modal seperti persamaan (2.10).

∆k = i - ɗk ...(2.10) Apabila jumlah investasi sama dengan depresiasi, maka persediaan modal tidak akan berubah. Kondisi dimana persediaan modal tidak bertambah dan berkurang kita katakan sebagai kondisi mapan (steady-state level of capital). Kondisi tersebut menunjukkan ekuilibrium perekonomian jangka panjang.

Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya (Mankiw, 2007). Dengan demikian semakin tinggi tabungan, maka akan semakin tinggi persediaan modal dan tingkat output.

Dalam analisis selanjutnya diasumsikan bahwa pembuat kebijakan dapat menentukan tingkat tabungan di suatu negara. Penetapan tabungan ini berarti menentukan kondisi mapan perekonomian. Pertanyaannya adalah seberapa besar penetapan tabungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persoalannya adalah masyarakat tidak tertarik untuk mengetahui tingkat output yang dihasilkan tetapi lebih tertarik kepada seberapa besar barang dan jasa yang


(39)

dapat mereka konsumsi. Dengan demikian pembuat kebijakan akan memilih kondisi mapan dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Nilai kondisi mapan k yang

memaksimalkan konsumsi disebut tingkat modal kaidah emas (golden Rule level

of capital) dan dinyatakan dengan k* emas (Mankiw, 2007).

Untuk menentukan kondisi mapan yang memaksimalkan konsumsi, dimulai dengan identitas pendapatan nasional (Mankiw, 2007):

y = c + i ...(2.11) dan mengubahnya menjadi:

c = y – i ...(2.12) konsumsi merupakan pendapatan dikurangi investasi. Dalam kondisi mapan, kita perlu mengganti output dan investasi menjadi output kondisi mapan dan investasi kondisi mapan, yaitu masing-masing adalah f(k*) sebagai output per pekerja pada kondisi mapan dan k* adalah persediaan modal per pekerja pada kondisi mapan. Karena persediaan modal tidak berubah dalam kondisi mapan,

maka investasi sama dengan penyusutan ɗk*. Substitusikan ke dalam persamaan

(12), maka tingkat konsumsi per pekerja pada kondisi mapan adalah:

c* = f(k*) - ɗk*...(2.13) selanjutnya Mankiw (2007), menjelaskan bahwa output pada kondisi mapan dan depresiasi pada kondisi mapan sebagai fungsi dari persediaan modal kondisi mapan. Konsumsi kondisi mapan adalah perbedaan antara output dan depresiasi. Gambar 3 menjelaskan bahwa ada satu tingkat persediaan modal tingkat Kaidah Emas k* emas yang memaksimalkan konsumsi.

Gambar 3. Output dan Depresiasi Pada Kondisi Mapan Investasi, investasi

pulang pokok

Modal per pekerja kondisi mapan k* Output kondisi mapan, f(k*) Depresiasi (dan Investasi)

kondisi mapan, ɗk*

k * emas C* emas


(40)

Mankiw (2007), menjelaskan bahwa Pada tingkat modal kaidah emas, fungsi produksi dan garis ɗk* memiliki kemiringan yang sama, dan konsumsi berada pada tingkat terbesarnya. Kemiringan garis ɗ k* adalah ɗ, karena kemiringannya sama pada tingkat k*emas, maka Kaidah Emas dijelaskan dengan persamaan:

MPK = ɗ...(2.14) Selanjutnya kita memasukkan teknologi sebagai variabel eksogen dan menganalisis bagaimana variabel tersebut berinteraksi dengan variabel lain pada proses pertumbuhan ekonomi. Solow menganggap tumbuhnya perekonomian berawal dari pertambahan faktor-faktor produksi. Selanjutnya menurut Solow, yang lebih memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan teknologi dan penambahan keahlian para pekerja itu sendiri atau efisiensi tenaga kerja. Mankiw (2007) selanjutnya menyatakan bahwa untuk memasukkan kemajuan teknologi, kita harus kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja total L dengan output total Y. Jadi, fungsi produksi itu adalah:

Y = F(K,L) ...(2.15) Model pertumbuhan ini selanjutnya dituliskan dalam persamaan:

Y = F (K, L x E) ...(2.16) Dimana :

Y = pertumbuhan ekonomi K = pertumbuhan modal L = pertumbuhan penduduk E = efisiensi tenaga kerja

Efisiensi tenaga kerja mengindikasikan pengetahuan pekerja tentang teknologi produksi yang pada akhirnya akan meningkatkan output. Sebagai contoh, efisiensi tenaga kerja meningkat ketika produksi lini-perakitan mentransformasi sistem manufaktur pada awal abad kedua puluh, dan meningkat lagi ketika komputerisasi diperkenalkan di akhir abad kedua puluh (Mankiw, 2007).

Jumlah para pekerja efektif adalah L x E. Perkalian ini menghitung jumlah pekerja L dan efisiensi masing-masing tenaga kerja. Fungsi produksi seperti


(41)

persamaan (16) menunjukkan bahwa total output dipengaruhi oleh unit modal K dan jumlah pekerja efektif, L x E. Dengan demikian efisiensi pekerja E akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan angkatan kerja L. Asumsi tentang kemajuan teknologi, bahwa kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja E tumbuh pada tingkat konstan g, demikian juga dengan tenaga kerja yang semakin bertambah pada tingkat n, maka jumlah pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n + g.

Adanya teknologi akan menambah efisiensi tenaga kerja, artinya teknologi berpengaruh terhadap populasi. Dalam arti bahwa jumlah pekerja efektif akan meningkat ketika teknologi digunakan dalam proses produksi. Dengan menggunakan alur pikir seperti model sebelumnya, maka kita akan menganalisis kondisi dimana modal per pekerja efektif yakni ketika teknologi digunakan dalam proses produksi. Kita dapatkan persamaan:

k = K/(L x E) ...(2.17) dan juga kita rumuskan output per pekerja efektif ketika teknologi digunakan dalam proses produksi seperti persamaan berikut:

y = Y/(L x E) ...(2.18) dengan demikian kita dapat tuliskan persamaan dalam bentuk:

∆k = sf(k) – (ɗ + n +g)k ...(2.19) Persamaan ini sebetulnya serupa dengan model awal, yaitu perubahan persediaan

modal ∆k sama dengan investasi sf(k) dikurangi investasi pulang pokok (ɗ + n

+g)k. Ada satu tingkat k yang disimbolkan dengan k*. Mankiw (2007), menjelaskan bahwa tingkat k* menunjukkan konstannya modal perpekerja efektif dan output per pekerja efektif. Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model pertumbuhan Solow dalam cara yang sama dengan pertumbuhan populasi pada tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif, yang meningkatkan jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung mengurangi k. Dalam kondisi mapan, investasi sf(k) secara tepat mengimbangi penurunan k yang terkait dengan depresiasi, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi. Pengaruh kemajuan teknologi dalam model pertumbuhan Solow dapat dilihat pada Gambar 4.


(42)

Sumber. Mankiw, (2007)

Gambar 4. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow

2.4. Teori investasi

Sukirno (2007), mendefinisikan investasi sebagai

pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa datang. Hal ini berarti berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi. Keinginan memproduksi lebih banyak terkait pula dengan estimasi keuntungan di masa datang.

Harrod-Domar menekankan pentingnya investasi dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua ahli ekonomi tersebut, menyebut dua hal akibat adanya penambahan investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan, hal ini disebut dampak permintaan. Kedua, investasi menambah kapasitas produksi dengan adanya tambahan stok modal. Hal ini lazim disebut dampak penawaran.

Terdapat hubungan antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun sebesarnya tidak dapat dipastikan variabel mana yang mempengaruhi. Tetapi para ahli ekonomi sepakat bahwa tingkat investasi cenderung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Donrbush (2008), mendefinisikan investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok modal fisik. Dengan demikian teori investasi dapat dikatakan juga sebagai teori permintaan modal. Adapun dalam teori investasi dikenal istilah stok

kondisi mapan

Investasi pulang pokok, (ɗ+n+g)k

Investasi sf(k)

k* Modal per pekerja efektif k Investasi, investasi


(43)

(stock) dan arus (flows). Secara sederhana diilustrasikan seperti bak madi, dimana banyaknya air sebagai stok modal dan arus kran sebagai arus investasi yang meningkatkan stok modal itu sendiri. Karena itulah untuk menambah sedikit stok modal maka keran investasi harus dibuka lebar dan sebaliknya untuk menambah sedikit saja stok modal, maka keran investasi harus ditutup rapat.

2.5. Teori Pengeluaran Pemerintah

Permintaan agregat (aggregat demand) ialah jumlah total barang yang diminta dalam perekonomian (Dornbush, 2008). Total barang yang diminta meliputi: konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan eksport netto (NX). Dengan demikian permintaan agregat dirumuskan sebagai:

AD = C + I + G + NX ...(2.20) Keseimbangan perekonomian tercapai apabila output yang dihasilkan sama dengan output yang butuhkan. Sehingga keseimbangan perekonomian tercapai apabila:

Y = AD = C + I + G + NX ...(2.21) Ketika terjadi krisis dalam perekonomian, pemerintah dapat melakukan tindakan dengan tujuan untuk tetap menjaga daya beli masyarakat yaitu dengan menjaga pendapatan agar tidak turun. Tindakan pemerintah dilakukan dalam rangka menyeimbangkan pendapatan melalui komponen belanja pemerintah yang merupakan komponen dari permintaan agregat.

Kenaikan belanja pemerintah merupakan perubahan dalam pengeluaran otonom (autonomous spending) oleh karenanya, kenaikan tersebut menggeser kurva permintaan agregat ke atas sebesar kenaikan belanja pemerintah (Dornbush, 2008). Pengaruh meningkatnya belanja pemerintah atau pengeluaran pemerintah dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 menjelaskan bagaimana pengeluaran pemerintah mempengaruhi output. Adanya peningkatan dalam pengeluaran pemerintah maka akan meningkatkan output, dari Yo ke Y’.


(44)

Sumber. Dornbush, (2008)

Gambar 5. Pengaruh Kenaikan Belanja Pemerintah

2.6. Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan kerja

Terdapat perdebatan tentang peranan pertumbuhan penduduk terhadap kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi kenaikan populasi meningkatkan jumlah tenaga kerja, tetapi di sisi yang lain juga menambah besarnya konsumsi. Malthus adalah ahli ekonomi yang memandang pesimis terhadap pertumbuhan populasi. Malthus berpendapat bahwa populasi yang terus meningkat akan terus menerus menyulitkan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhannya (Mankiw 2006). Pertumbuhan penduduk diyakini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah melalui penambahan angkatan kerja. Adapun pertumbuhan penduduk akan berpenagaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain pengaruh positif maupun negatif pertambahan penduduk tergantung pada tingkat penyerapan tenaga kerja dalam sistem perekonomian tersebut (Todaro 2000).

Masalah penduduk ini menjadi menarik, sebab bukan saja dilihat dari jumlahnya tetapi juga dari komposisi penduduk tua-muda, laki-laki atau perempuan. Disamping itu kualitas penduduk juga sangat mempengaruhi produktivitas penduduk itu sendiri. Selanjutnya muncul persoalan mengenai mobilitas tenaga kerja. Baik aliran masuk maupun keluar. Umumnya pada negara negara tertinggal akan banyak aliran masuk tenaga kerja dengan produktivitas

AD

Y

AD’ = A’ + c(1-t)Y

∆G

AD = Y

Y’ Yo

AD = A’ + c(1-t)Y

A’

A

E


(45)

tinggi, sebaliknya tenaga kerja yang ke luar adalah tenaga kerja dengan produktivitas rendah.

Berikutnya adalah terjadi perubahan dengan semakin banyaknya tenaga terlatih dan terdidik. Akibatnya aliran barang dan jasa ke luar akan semakin banyak diiringi berkurangnya aliran keluar tenaga kerja dengan produktivitas rendah. Demikian pula terjadi penambahan partisipasi tenaga kerja perempuan yang terdidik yang biasanya diiringi dengan menurunnya partisipasi tenaga kerja laki-laki. Naiknya partisipasi tenaga kerja perempuan berarti mengurangi angka kelahiran dan menurunkan angka kematian ibu dan anak.

Menurut Todaro (2000), pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Disamping itu tentu saja sangat penting peranan faktor modal dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pentingnya akumulasi modal dan angkatan kerja dapat di tunjukkan melalui kurva kemungkinan produksi. Kurva ini menunjukkan jumlah PDRB (output) maksimal yang berupa kombinasi dari dua komoditi, seandainya seluruh sumber daya digunakan secara penuh. Dari gambar 6 terlihat bahwa peningkatan kuantitas sumber daya (angkatan kerja) akan menggeser kurva keluar menjauhi titik origin secara sejajar. Mula-mula dengan menggunakan semua sumber daya, maka kurva kemungkinan produksi adalah PP yang menunjukkan kombinasi produksi barang X dan barang Y. Selanjutnya peningkatan dalam

kuantitas angkatan kerja akan mendorong kurva tersebut menjadi kurva P’ P’.

Dengan demikian maka kemampuan memproduksi sejumlah barang X dan Y akan bertambah banyak seiring dengan meningkatnya kuantitas angkatan kerja.

Sumber. Todaro, (2000)

Gambar 6. Kurva kemungkinan Produksi Barang X

Barang Y

O P P P’

P P’


(46)

2.7. Metode Location Quetiont (LQ)

Menurut Priyarsono, et al (2007), untuk mengetahui sektor basis atau non-basis dapat digunakan metode pengukuran langsung atau metode pengukuran tidak langsung. Pada metode pengukuran langsung, penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan melalui survei langsung di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, pada metode pengukuran tidak langsung penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan dengan menggunakan data sekunder beberapa indikator ekonomi di suatu daerah, terutama data PDB/PDRB dan tenaga kerja per sektor.

Selanjutnya Priyarsono, et al (2007) menyatakan, pada metode Location

Quetient (LQ), penentuan sektor basis dan non-basis dilakukan dengan cara

menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah level bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah level bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah level atas terhadap pendapatan semua sektor di daerah level atasnya. Daerah bawah dan daerah atas dalam pengertian ini merupakan daerah administratif. Misalnya, analisis sektor basis dan non-basis dilakukan di level kecamatan maka daerah bawahnya adalah kecamatan, sedangkan daerah atasnya adalah kabupaten/kota dimana kecamatan tersebut berada. Jika hasil perhitungan menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukan bahwa pangsa pendapatan pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 maka sektor i diklasifikasikan sebagai sektor non-basis. Keunggulan LQ yaitu selama data pendapatan di suatu daerah tersedia secara lengkap dan akurat merode ini cukup akurat untuk diterapkan. Selain itu, perhitungan yang digunakan juga relatif sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam mengklasifikasikan sektor basis dan non-basis di suatu daerah.

2.8. Analisis Shift Share

Analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh Perloff (1960). Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun tenaga kerja di suatu wilayah tertentu (Priyarsono et al 2007).


(47)

Adapun metode penghitungannya melalui tahap-tahap berikut : (Priyarsono et al 2007).

1. Menentukan indikator kegiatan ekonomi yang akan digunakan dalam

analisis Shift Share

2. Menentukan tahun dasar maupun tahun akhir analisis

3. Menghitung perubahan beserta persentase indikator kegiatan ekonomi

tersebut dari sektor i pada wilayah j

4. Menghitung rasio indikator kegiatan ekonomi tersebut

5. Menghitung komponen Pertumbuhan Nasional (national growth

component) untuk masing-masing sektor ekonomi

6. Menghitung Komponen Pertumbuhan Proporsional (proportional mix

growth component) berdasarkan nilai tersebut, sebutkan sektor-sektor yang

memiliki pertumbuhan yang cepat/lambat

7. Menghitung komponen petumbuhan pangsa wilayah (regional share growth

component) berdasarkan nilai tersebut, sebutkan sektor-sektor ekonomi

yang mempunyai daya saing baik/tidak baik terhadap sektor ekonomi lainnya

8. Kelompokkan 9 sektor ekonomi tersebut, apakah dalam kelompok maju

atau lamban.

Analisis Shift Share mempunyai banyak kegunaan, diantaranya adalah untuk melihat hal-hal berikut : (Priyarsono et al 2007).

1. Perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap

perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas

2. Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya

3. Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya

sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah

4. Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju

pertumbuhan perekonomian nasional dan sektor-sektornya

Secara umum, terdapat 3 (tiga) komponen utama dalam analisis Shift Share


(48)

1. Komponen pertumbuhan nasional (national growth component)

Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan

produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Beberapa contoh diantaranya adalah kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan.

2. Komponen pertumbuhan proporsional (proportional mix growth component)

Komponen pertumbuhan proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

3. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth

component)

Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.

Priyarsono et al (2007), mengemukakan bahwa hubungan antara ketiga komponen tersebut selengkapnya disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP+PPW ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP+PPW < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat.

Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat


(49)

adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya.

Sumber : Budiharsono, (2001)

Gambar 7. Model Analisis Shift Share

2.9. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Investasi berperan dalam meningkatkan perumbuhan ekonomi melalui pembentukan modal. Tentu saja melalui tahapan agar tercipta efisiensi dalam investasi sehingga rasio investasi terhadap pertumbuhan output menjadi semakin besar. Pertumbuhan output akan tercipta akibat penambahan faktor produksi sebagai input. Adapun besarnya pertambahan output tentunya tergantung pada produktivitas para pekerja yang besarnya berbeda-beda antara pekerja satu dengan yang lain.

Penelitian para ahli tentang peranan faktor input berbeda dalam fokus penekannnya. Abramovits dan Solow menunjukkan pertumbuhan ekonomi amerika serikat terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi. Diantaranya 80 hingga 90 persen dari pertumbuhan ekonomi yang berlaku di Amerika Serikat diantara pertengahan abad 19 dan 20 disebabkan oleh perkembangan teknologi (Sukirno 2004).

Salah satu studi terkenal adalah dilakukan oleh Denison yang menganalisis

faktor yang mengakibatkan perkembangan di negara maju diantara tahun 1950 –

1962. Kesimpulan kajian tersebut adalah pertambahan barang-barang modal hanya mewujudkan 25 persen dari pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat, 18 persen dari pertumbuhan ekonomi di Eropa Barat dan 21 persen dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Inggris (Sukirno 2004).

Penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa belanja modal, angkatan kerja berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil estimasi

Komponen Pertumbuhan Nasional

Wilayah ke-j Sektor ke-i

Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)

Maju

PP+PPW ≥ 0

Lambat PP+PPW < 0

Wilayah ke-j Sektor ke-i


(50)

dari variabel-variabel bebas, angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0,73 dan belanja modal pemerintah sebesar 0,11.

Makmun dan Yasin (2003) menunjukkan bahwa investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDB dalam periode 1980-2002, namun apabila dilihat lebih jauh ternyata pengaruh investasi yang bersumber dari PMA tidak signifikan.

Raharjo (2006) meneliti tentang pengaruh pengeluaran pemerintah, investasi swasta dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 1982 -2003 studi kasus Kota Semarang. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel pengeluaran pemerintah dan investasi swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan 90 %.

Rustiono (2009) meneliti tentang pengaruh investasi, tenaga kerja dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja, investasi swasta (PMA dan PMDN) dan belanja pemerintah daerah memberi dampak positif terhadap perkembangan PDRB Provinsi Jawa Tengah. Krisis ekonomi menyebabkan perbedaan yang nyata kondisi antara sebelum dan sesudah krisis dan memberi arah yang negatif.

Sodik (2007) meneliti tentang pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi regional. Penelitian dengan menggunakan model sebagai berikut:

Ln y = ln a + ln Ip + ln Ig + ln Cg + ln (X-M) + ln Lf dimana: Ln y = pertumbuhan PDRB

Ln Ip = private investment

Ln Ig = investasi pemerintah Ln Cg = konsumsi pemerintah

Ln (X – M) = tingkat keterbukaan ekonomi Ln Lf = labour force

Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi swasta tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Investasi pemerintah berpengaruh, angkatan kerja berpengaruh dengan angka negatif. Ekspor netto

signifikan dan ditunjukkan dengan angka negatif. Pengeluaran pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.


(51)

Susanto (2008) meneliti tentang Sektor Potensial dan pengembangan Wilayah di Kabupaten Rembang, dengan menggunakan analisis Shift Share dan

Location Quetient (LQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten

Rembang memiliki sektor basis yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa.

Ropingi (2002) melakukan penelitian tentang Aplikasi Analisis Shift Share

Esteban-Marquillas pada Sektor Pertanian di Kabupaten Boyolali. Adapun hasil

penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai keunggulan kompetetif dan terspesialisasi. Adapun sub sektor yang mendukung adalah sub sektor kehutanan dan perikanan serta peternakan.

Purwanti (2009) meneliti tentang Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Kabupaten Bangli dipengaruhi oleh pertumbuhan kesempatan kerja provinsi Bali dan keunggulan kompetetif. Komponen bauran industri mempengaruhi kesempatan kerja secara negatif. Sektor basis pada tahun awal penelitian adalah sektor pertanian dan industry pengolahan. Selanjutnya selama sepuluh tahun sektor basis bertambah menjadi tiga sektor dengan masuknya sektor pertambangan dan galian.

2.10. Kerangka Pemikiran Teoritis

Analisis ini menggunakan estimasi model ekonomi tentang variabel yang mempengaruhi PDRB Sumatera Selatan dan selanjutnya variabel akan diuji dengan pendekatan ekonometrika. Penelitian ini akan menjawab dugaan pengaruh investasi asing dan dalam negeri, pengeluaran pemerintah dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan. Sedangkan dalam melihat lebih detil tentang perekonomian Sumatera Selatan dengan menggunakan pendekatan ilmu ekonomi regional. Dalam hal ini digunakan analisis struktur perekonomian untuk melihat perekonomian Provinsi Sumatera Selatan tiap-tiap sektor. Adapun analisis tentang struktur perekonomian ini menggunakan analisis Shift Share dan

Location Quetient. Analisis multiple regression dalam hal ini akan menjawab

faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan PDRB Sumatera Selatan. Sedangkan analisis Shift Share dan Location Quetient digunakan dalam rangka mengetahui sektor basis dan sektor-sektor progresif di Provinsi Sumatera Selatan.


(52)

Pada akhirnya nanti penelitian ini diharapkan menghasilkan langkah-langkah strategis yang dapat diambil pengambil kebijakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat di Sumatera Selatan. Adapun kerangka pemikiran adalah sebagai berikut :

Gambar 8. Kerangka Pemikiran Teoritis

Investasi asing (PMA) dan investasi dalam negeri (PMDN) mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya juga dapat diterapkan pada perekonomian daerah. Walaupun demikian investasi swasta juga sangat

Pertumbuhan Ekonomi

Investasi Pengeluaran Angkatan Kerja Pemerintah

PMDN PMA

Prioritas Pembangunan Daerah Dalam Rangka Mensejahterakan Masyarakat

Multiple Regression

Location Quotient (LQ)

Shift Share (SS)

Analisis Struktur Perekonomian

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan PDRB


(53)

dipengaruhi oleh iklim usaha yang sehat dan ini merupakan kewenangan dari pemerintah untuk membuat regulasi yang nantinya diharapkan dapat mendorong iklim usaha. Bertambah banyaknya investasi swasta diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2.11. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan adalah :

1. Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh positif terhadap PDRB

Provinsi Sumatera Selatan;

2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif terhadap

PDRB Provinsi Sumatera Selatan;

3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB Provinsi

Sumatera Selatan;

4. Angkatan kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi


(54)

(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipakai adalah data sekunder time series dalam kurun waktu 1993

– 2010 dan diolah dengan menggunakan program eviews. Selanjutnya model yang

sudah dibuat diestimasi untuk melihat seberapa besar variabel eksogen mempengaruhi variabel endogen. Data yang diperlukan antara lain:

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Sumatera Selatan;

2. Data penanaman modal, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

maupun Penanaman Modal Asing (PMA);

3. Data realisasi belanja pembangunan, belanja modal dan pemeliharaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Propinsi Sumatera Selatan;

4. Data kependudukan Propinsi Sumatera Selatan;

Adapun sumber data diperoleh dari berbagai instansi meliputi :

1. BKPM Pusat;

2. Bappeda Propinsi Sumatera Selatan;

3. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Selatan;

4. Badan Pusat Statistik Pusat;

5. Instansi-instansi terkait lainnya.

3.2 Metode Analisis

3.2.1. Analisis Shift Share (SS)

Secara matematis rumus analisis Shift Share adalah:

io it io it io o t io it io o t io io

it y y y Y Y y Y Y Y Y y y y Y Y

y 1

dimana komponen: 1

o t

io Y Y

y = unsur National Share = [NS]

o t io it

io Y Y Y Y

y = unsur Industry Mix = [IM]

io it io it

io y y Y Y

y = unsur Regional Shift = [RS]

Dalam analisis Shift Share, komponen pertama [NS] disebut komponen

Share”, sedangkan komponen kedua [IM] dan ketiga [RS] disebut komponen


(56)

komponen diatas dan hasilnya harus sama dengan total perubahan dari data industri/sektor yang ada di daerah (ΔY) (Bendavid 1991).

keterangan:

y = Pertumbuhan total pendapatan daerah penelitian periode t (rupiah)

io

y = Jumlah pendapatan sektor i daerah penelitian di tahun awal (rupiah)

it

y = Jumlah pendapatan sektor i daerah penelitian di tahun akhir (rupiah)

io

Y = Jumlah pendapatan sektor i nasional di tahun awal (rupiah)

it

Y = Jumlah pendapatan sektor i nasional di tahun akhir (rupiah)

o

Y = Jumlah total pendapatan nasional di tahun awal (rupiah)

t

Y = Jumlah total pendapatan nasional nasional di tahun akhir (rupiah)

Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila

Industry Mix + Regional Shift ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan

sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, Industry Mix + Regional Shift < 0 menunjukan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat.

Suatu sektor disebut maju jika perkembangan sektor tersebut pada periode berikutnya dinilai relatif lebih baik dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya, dan sebaliknya yang dimaksud dengan sektor yang lambat adalah perkembangan sektor tersebut pada periode selanjutnya dinilai lebih buruk dibandingkan dengan sektor yang sama di wilayah referensinya.

3.2.2. Analisis Location Quetion (LQ)

Metode LQ menganalisis sektor basis dan non basis dengan cara membandingkan pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atas. Secara matematis dapat ditulis:


(57)

Sib / Sb

LQ = --- Sia / Sa

dimana :

Sib = pendapatan sektor i pada daerah bawah (rupiah)

Sb = pendapatan total semua sektor daerah bawah (rupiah)

Sia = pendapatan sektori pada daerah atas (rupiah)

Sa = pendapatan total semua sektor pada daerah atas (rupiah)

Jika LQ > 1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Jika LQ < 1 maka sektor i sebagai sektor non basis

3.2.3. Model dan Analisis Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Data mengenai besaran variabel bebas dan terikat dianalisis dengan metode regresi linier berganda untuk mengetahui besaran pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen. Adapun model yang digunakan sesuai dengan kerangka pemikiran adalah:

PDRB = β0 + β1PMA + β2PMDN + β3GE + β4LF + dimana:

PDRB : Pertumbuhan Ekonomi yang di ukur dengan PDRB Riil (rupiah)

PMA : Penanaman Modal Asing (rupiah)

PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri (rupiah)

GE : Pengeluaran Pemerintah Daerah (rupiah)

LF : Angkatan Kerja daerah (orang)

β 0 : Konstanta

β 1,2,3 : Koefisien Regresi (parameter yang diestimasi) : Error term (variabel pengganggu)

3.2.4. Uji Asumsi Klasik

Dalam penentuan konstanta dan koefisien regresi perlu memenuhi syarat asumsi klasik. Dimana persyaratan tersebut meliputi: uji multikolinier, heteroskedastisitas dan autokorelasi.


(1)

Uji Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test:

F-statistic

0.287182 Probability

0.952697

Obs*R-squared

9.425782 Probability

0.740080

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2

Method: Least Squares

Date: 08/24/12 Time: 06:21

Sample: 1994 2010

Included observations: 17

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C

5.031125

25.65078

0.196139

0.8570

LPMA

-0.193494

0.991950

-0.195064

0.8578

LPMA^2

-0.000784

0.001973

-0.397437

0.7176

LPMA*LPMDN

0.000139

0.002104

0.066223

0.9514

LPMA*LGE

5.17E-05

0.003075

0.016802

0.9876

LPMA*LLF

0.016303

0.069130

0.235832

0.8287

LPMDN

-0.200974

0.933522

-0.215286

0.8433

LPMDN^2

0.000744

0.002231

0.333571

0.7607

LPMDN*LGE

-0.000806

0.004245

-0.189850

0.8615

LPMDN*LLF

0.011792

0.056863

0.207375

0.8490

LGE

0.113251

0.860442

0.131620

0.9036

LGE^2

-0.001081

0.005706

-0.189506

0.8618

LGE*LLF

-0.002093

0.063352

-0.033037

0.9757

LLF^2

-0.030046

0.132119

-0.227419

0.8347

R-squared

0.554458 Mean dependent var

0.002960

Adjusted R-squared

-1.376225 S.D. dependent var

0.002889

S.E. of regression

0.004453 Akaike info criterion

-8.077868

Sum squared resid

5.95E-05 Schwarz criterion

-7.391693

Log likelihood

82.66188 F-statistic

0.287182


(2)

84

Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic

0.264054 Probability

0.773122

Obs*R-squared

0.852750 Probability

0.652871

Test Equation:

Dependent Variable: RESID

Method: Least Squares

Date: 08/24/12 Time: 06:25

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C

-1.779147

7.431922

-0.239393

0.8156

LPMA

-0.002055

0.016908

-0.121558

0.9057

LPMDN

-0.000522

0.014063

-0.037097

0.9711

LGE

-0.005916

0.028667

-0.206384

0.8406

LLF

0.135211

0.527204

0.256469

0.8028

RESID(-1)

0.047424

0.388754

0.121989

0.9053

RESID(-2)

-0.277727

0.415836

-0.667876

0.5193

R-squared

0.050162 Mean dependent var

-8.39E-16

Adjusted R-squared

-0.519741 S.D. dependent var

0.056080

S.E. of regression

0.069135 Akaike info criterion

-2.212622

Sum squared resid

0.047796 Schwarz criterion

-1.869534

Log likelihood

25.80729 F-statistic

0.088018

Durbin-Watson stat

1.890591 Prob(F-statistic)

0.996208

Uji Multikolinearitas

Correlation Matrix

LGE

LLF

LPDRB

LPMA

LPMDN

LGE

1

0.6649386722

81538

0.8338758952

87918

0.5070708852

16365

0.0799840998

85278

LLF

0.6649386722

81538

1

0.6944087700

29923

0.2255514216

63899

-0.1340095134

0352

LPDRB

0.8338758952

87918

0.6944087700

29923

1

0.3532477270

96936

0.3582801861

10773

LPMA

0.5070708852

16365

0.2255514216

63899

0.3532477270

96936

1

0.0977041738

415594

LPMDN

0.0799840998

85278

-0.1340095134

0352

0.3582801861

10773

0.0977041738


(3)

(4)

86


(5)

Industri Pengolahan 7,334,190,000,000 8,807,000,000,000 1.21 1.23 1.20 1,564,596,121,271 152,151,330,049 -243,937,451,320 1,472,810,000,000 Listrik, Gas, dan Air Bersih 189,393,000,000 231,000,000,000 1.21 1.28 1.22 40,403,037,445 12,406,964,366 -11,203,001,810 41,607,000,000

Bangunan 2,718,842,000,000 3,586,000,000,000 1.21 1.29 1.32 580,008,105,537 218,461,009,952 68,688,884,511 867,158,000,000

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 5,053,572,000,000 6,430,000,000,000 1.21 1.25 1.27 1,078,073,945,421 202,851,124,613 95,502,929,966 1,376,428,000,000 Pengangkutan, dan Komunikasi 1,385,283,540,000 2,005,000,000,000 1.21 1.55 1.45 295,521,285,042 472,959,506,013 -148,764,331,056 619,716,460,000 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 1,476,031,700,000 1,860,000,000,000 1.21 1.31 1.26 314,880,507,962 142,811,576,681 -73,723,784,644 383,968,300,000

Jasa-jasa 2,978,164,000,000 3,579,000,000,000 1.21 1.20 1.20 635,329,033,323 -38,575,287,195 4,082,253,872 600,836,000,000

Jumlah 42,048,614,240,000 49,634,000,000,000 8,970,192,856,298 -2,537,763,559,465 1,152,956,463,167 7,585,385,760,000

Lapangan Usaha 2001 2005 M+S %M %S %(M+S)

Pertanian 225,685,700,000,000 253,881,700,000,000 158,847,052,376 -8.84 10.84 2.00

Pertambangan dan Penggalian 168,244,300,000,000 165,222,600,000,000 -2,397,365,872,673 -23.13 4.63 -18.50

Industri Pengolahan 398,323,900,000,000 491,561,400,000,000 -91,786,121,271 2.07 -3.33 -1.25

Listrik, Gas, dan Air Bersih 9,058,300,000,000 11,584,100,000,000 1,203,962,555 6.55 -5.92 0.64

Bangunan 80,080,400,000,000 103,598,400,000,000 287,149,894,463 8.04 2.53 10.56

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 234,273,000,000,000 293,654,000,000,000 298,354,054,579 4.01 1.89 5.90 Pengangkutan dan Komunikasi 70,276,100,000,000 109,261,500,000,000 324,195,174,958 34.14 -10.74 23.40 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 123,085,500,000,000 161,252,200,000,000 69,087,792,038 9.68 -4.99 4.68

Jasa-jasa 133,957,400,000,000 160,799,300,000,000 -34,493,033,323 -1.30 0.14 -1.16

Jumlah 1,442,984,600,000,000 1,750,815,200,000,000

Perhitungan Shift-Share Tahun 2005-2010

Lapangan Usaha 2005 2010 Yt/Yo Yit/Yio yit/yio G M S Y

Pertanian 9,806,000,000,000 12,455,000,000,000 1.32 1.20 1.27 3,135,813,733,397 -1,184,580,344,775 697,766,611,378 2,649,000,000,000 Pertambangan, dan Penggalian 13,330,000,000,000 14,004,000,000,000 1.32 1.13 1.05 4,262,736,800,549 -2,554,164,595,536 -1,034,572,205,013 674,000,000,000 Industri Pengolahan 8,807,000,000,000 10,949,000,000,000 1.32 1.21 1.24 2,816,348,312,260 -957,728,310,364 283,379,998,104 2,142,000,000,000 Listrik, Gas, dan Air Bersih 231,000,000,000 314,000,000,000 1.32 1.56 1.36 73,870,382,665 56,064,001,534 -46,934,384,199 83,000,000,000

Bangunan 3,586,000,000,000 5,151,000,000,000 1.32 1.45 1.44 1,146,749,749,945 462,876,823,438 -44,626,573,383 1,565,000,000,000

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,430,000,000,000 8,916,000,000,000 1.32 1.36 1.39 2,056,218,876,784 285,526,102,001 144,255,021,215 2,486,000,000,000 Pengangkutan, dan Komunikasi 2,005,000,000,000 3,701,000,000,000 1.32 1.99 1.85 641,169,338,717 1,343,223,082,218 -288,392,420,935 1,696,000,000,000 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 1,860,000,000,000 2,739,000,000,000 1.32 1.37 1.47 594,800,483,797 89,760,148,554 194,439,367,649 879,000,000,000

Jasa-jasa 3,579,000,000,000 5,507,000,000,000 1.32 1.35 1.54 1,144,511,253,501 124,185,222,790 659,303,523,709 1,928,000,000,000

Jumlah 49,634,000,000,000 63,736,000,000,000 15,872,218,931,615 -2,334,837,870,141 564,618,938,526 14,102,000,000,000

Lapangan Usaha 2005 2010 M+S %M %S %(M+S)

Pertanian 253,881,700,000,000 304,400,000,000,000 -486,813,733,397 -12.08 7.12 -4.96

Pertambangan dan Penggalian 165,222,600,000,000 186,400,000,000,000 -3,588,736,800,549 -19.16 -7.76 -26.92 Industri Pengolahan 491,561,400,000,000 595,300,000,000,000 -674,348,312,260 -10.87 3.22 -7.66 Listrik, Gas, dan Air Bersih 11,584,100,000,000 18,100,000,000,000 9,129,617,335 24.27 -20.32 3.95

Bangunan 103,598,400,000,000 150,100,000,000,000 418,250,250,055 12.91 -1.24 11.66

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 293,654,000,000,000 400,600,000,000,000 429,781,123,216 4.44 2.24 6.68 Pengangkutan dan Komunikasi 109,261,500,000,000 217,400,000,000,000 1,054,830,661,283 66.99 -14.38 52.61 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 161,252,200,000,000 220,600,000,000,000 284,199,516,203 4.83 10.45 15.28

Jasa-jasa 160,799,300,000,000 217,800,000,000,000 783,488,746,499 3.47 18.42 21.89


(6)