Guru sebagai Pendidik Profesional
A. Guru sebagai Pendidik Profesional
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantilcan. Mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara pagesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1. Memiliki fungsi dan signifikansi social
2. Memiliki keahlian/keterampilan tertentu.
3. Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.
5. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
7. Memiliki kode etik.
8. Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya.
9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi.
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
Mungkin belum seluruh ciri profesi di atas telah dimiliki secara kokoh (sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik, atau setiap orang bisa mendidik. Memang hal itu sukar dihindari, walaupun telah ada batas yang jelas antara pendidikan formal dengan pendidikan informal, atau antara pendidikan profesional dengan nonprofesional, tetapi orang-orang yang tidak memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas pendidikan formal- profesional dan mengganggap dirinya telah memiliki profesi tersebut. Pada sisi lain, mengingat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari banyaknya tenaga nonprofesional pendidikan yang melaksanakan tugas- tugas pendidikan.
Louis E. Raths (1964), mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru.
The points are proposed, not as a rating scale, but as a broad frame work for teachers to discover more about themselves in relation to the func- tions of teaching:
1. Explaining, informing, showing how,
2. Initiating, directing, administering,
3. Unifying the group,
4. Giving security,
5. Clarifying attitudes, beliefs, problems,
6. Diagnosing learning problems,
7. Making curriculum materials,
8. Evaluating, recording, reporting,
9. Enriching community activities,
10. Organizing and arranging classroom,
11. Participating in school activities,
12. Participating in professional and civic life.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompok- kannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan profesional, yang mencakup:
a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut.
b. Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
2. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar.
3. Kemampuan personal yang mencakup:
a. Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya dimiliki guru.
c. Penampilan upaya unruk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya.
Lebih lanjut Depdikbud (1980) merinci ketiga kelompok kernampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu:
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keil- muannya.
2. Pengelolaan program belajar-mengajar.
3. Pengelolaan kelas.
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran.
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan.
6. Pengelolaan interaksi belajar-mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa.
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10. Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Kedua belas kemampuan yang dikemukakan oleh Rath berkenaan dengan pelaksanaan pengajaran dan pengembangan kemampuan dalam me- ngajar. Ada satu hal yang tidak dinyatakan secara eksplisit Rath yaitu penguasaan rnateri atau bahan pelajaran. Penguasaan kemampuan proses hams terjalin secara utuh dengan penguasaan isi, baik yang berasal dari disiplin ilmu, maupun dari kehidupan masyarakat. Dua kemampuan terakhir dari Rath, tidak berkenaan dengan teknis pengajaran, tetapi dengan kegiatan yang lebih luas, yaitu partisipasi dalam kegiatan di sekolah, dalam masyarakat biasa dan masyarakat profesional. Untuk dapat berpartisipasi dalam situasi- situasi tersebut, selain harus menguasai kemampuan teknis pendidikan, dan penguasaan bidang studi, juga penguasaan kemampuan sosial, seperti kepemimpinan, hubungan sosial, dan komunikasi dengan orang lain.
Sepuluh kemampuan dasar yang dirumuskan Depdikbud sebenarnya baru merupakan rincian kelompok kemampuan pertama (kemampuan profesional), sedangkan kelompok kemampuan yang kedua dan ketiga (kemampuan sosial dan personal), belum dirinci lebih jauh, padahal cukup penting. Di antara kemampuan sosial dan personal yang paling mendasar yang harus dikuasai guru adalah idealisme, idealisme dalam pendidikan. Penguasaan dan penggunaan dua belas kemampuan dari Rath atau sepuluh kemampuan dari Depdikbud, hanya akan optimal apabila didasari oleh adanya idealisme, yaitu cita-cita luhur yang ingin dicapai dengan pendidikan.
Perbuatan mendidik harus dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai pengabdian pada nusa, bangsa, dan kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa, untuk melahirkan generasi pembangunan, atau generasi penerus yang lebih andal, dan sebagainya. Kalau perbuatan mendidik hanya didorong oleh kebutuhan memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya akan bekerja ala kadarnya, bekerja secara mekanistis dan formalitas. Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap profesi, karyawan, bahkan setiap orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik akan menumbuhkan rasa cinta pada guru terhadap profesinya, terhadap pekerjaan pendidikan, terhadap para siswanya, dan sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didik, bagi pendidikan. ldealisme dan rasa cinta mendasari dan menjiwai semua perilaku mendidik, menghidupkan Perbuatan mendidik harus dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai pengabdian pada nusa, bangsa, dan kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa, untuk melahirkan generasi pembangunan, atau generasi penerus yang lebih andal, dan sebagainya. Kalau perbuatan mendidik hanya didorong oleh kebutuhan memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya akan bekerja ala kadarnya, bekerja secara mekanistis dan formalitas. Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap profesi, karyawan, bahkan setiap orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik akan menumbuhkan rasa cinta pada guru terhadap profesinya, terhadap pekerjaan pendidikan, terhadap para siswanya, dan sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didik, bagi pendidikan. ldealisme dan rasa cinta mendasari dan menjiwai semua perilaku mendidik, menghidupkan