Gambaran Masyarakat Kanekes

2. Gambaran Masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes atau Baduy adalah bagian dari suku Sunda. Bentuk isiknya sama dengan orang Sunda pada umumnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Sebagian pakar ber pendapat

bahwa masyarakat Kanekes adalah sisa masyarakat Sunda kuno yang mengasingkan diri dari pengaruh Kesultanan Islam Banten. Mereka tidak mau menerima agama dan tatanan baru yang dibawa oleh Sultan Banten lalu mengasingkan di pedalaman pegunungan Kendeng. Di sini mereka menutup diri dari pengaruh luar dengan mempertahankan adat istiadat yang diwariskan leluhurnya secara ketat sampai sekarang. Jumlah mereka adalah 11.627 orang yang tersebar dalam 72 RT dan 25 RW. Berdasarkan kelompok umur, masyarakat Kanekes terdiri atas masyarakat usia produktif yang jumlahnya sekitar 50%, kelompok masyarakat anak-anak sekitar 30%, dan 20% adalah kelompok orang tua.

Masyarakat Kanekes disebut juga masyarakat Baduy. Sebutan "Baduy" awalnya diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan suku asli Arab Badwi, yang hidup berpindah-pindah (nomaden) dan mencari penghidupan dengan cara beternak. Selain itu, juga ada peneliti yang menghubungkan dengan sungai Cibaduy dan gunung Baduy yang ada di bagian utara wilayah tersebut. Karena mereka tinggal di sekitar sungai Cibaduy dan gunung Baduy maka disebut masyarakat Baduy. Akan tetapi, mereka sendiri lebih menyukai disebut sebagai “Urang Kanekes "

44 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 44 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Cibengkung dan 2) Sirahdayeuh atau Cihandam 12 . Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah bertani dan

berkebun di ladang kering. Jenis tanamannya adalah padi, pisang, mangga, pohon sengon, dan lain-lain. Di samping itu, sebagian juga ada yang membuat kain tenun, mengambil madu di hutan, dan membuat kerajinan khas dari bahan alam yang ada di sekitar. Hasil tanaman lebih digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Sebagian kecil saja yang diper jualbelikan di pasar.

Status tanah yang ditempati penduduk untuk mendirikan rumah dan tegalan untuk menanam padi dan tanaman lainnya adalah tanah milik bersama, komunal. Tanah ini dibagikan kepada kepala keluarga berupa petak-petak untuk tempat tinggal dan untuk lahan pertanian secara turun temurun. Model pembagiannya ditentukan dalam musyawarah Pu’un dan para Jaro. Pu’un adalah kepala suku sedangkan Jaro adalah semacam kepala desa. Tanah yang masih berupa hutan dipertahankan sebagai hutan lindung. Tanah ini tidak boleh dibagikan kepada anggota masyarakat. Masyarakat merawat, memelihara, dan mempertahankan hutan lindung sebagaimana nenek moyangnya melakukan. Masyarakat

10 Garna, Y., Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, dalam Koentjaraningrat & Simorangkir, (Editor) Seri Etnograi Indonesia No.4, Jakarta, Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama, 1993

11 Permana, C.E., Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagat Baduy, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2001 12 Ibid

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

diperkenankan memanfaatkan hasil hutannya tapi tidak boleh merusaknya. Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir sejalan dengan terus bertambahnya populasi masyaraskat Kanekes, telah dibuka lahan baru untuk diberikan kepada generasi baru yang belum mendapatkan bagian tanah dari orang

Gambar 1 Rumah Warga Kanekes

tuanya.

Masyarakat Kanekes tinggal di rumah sederhana. Rumah terbuat dari bahan-bahan yang terdapat di alam sekitarnya. Rangkanya terbuat dari kayu jati atau kayu pohon kelapa atau kayu albasiah. Atapnya terbuat dari ijuk atau daun pohon kelapa. Pengait antarrangka terbuat dari pasak yang

Gambar 2 Orang Baduy-Dalam Berjalan dibuat dari kayu. Dindingnya ter-

di Jalan Desa

buat dari anyaman bambu. Rumah berbentuk panggung di atas tanah dengan ketinggian kira-kira satu meter dari tanah. Lantainya terbuat dari batang-batang bambu ukuran kecil yang dihimpitkan lalu dilapisi gelaran lampit, anyaman bambu yang dijadikan semacam karpet. Tiang-tiang utamanya diletakkan di atas batu kali. Rumah hanya memiliki satu pintu depan, tidak ada pintu belakang. Jarak antar satu rumah dengan rumah di sebelah kanan-kirinya sekitar 3 meter. Rumah dibangun berjejer berdempetan dan saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan sempit kira-kira 2 meter. Ruangan terdiri atas tangga, golodog, sosoro, dan imah; dan tidak boleh dibangun di depan rumah Pu’un dan balai adat. Perabot rumah tangga terdiri atas dangdang, kuali, kukusan, hihid, lumpang, kuluwung, boboko, mangkuk, somong (gelas bambu), dan botol besar tempat air minum. Mereka masak dengan tungku.

Di dukuh/kampung Cibeo terdapat 98 rumah. Menurut Jaro Samin, semua rumah dibangun dengan cara gotong royong. Setiap mendirikan rumah dilakukan upacara adat. Upacara dipimpin Pu’un. Pemilik rumah dan warga membuat sesaji dan melakukan selamatan demi mendapatkan

46 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 46 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Masyarakat Baduy-Dalam tidak memiliki dokumen kepen dudukan. Anggota masyarakat yang sudah dewasa tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Anak-anak mereka tidak mempunyai akte kelahiran. Jika suatu saat ada keperluan mendesak, misalnya harus berhubungan dengan instansi negara seperti dirujuk ke rumah sakit karena sakit, mereka baru mengurus dokumen administrasi kependudukan tersebut melalui jaro pamarentah di Baduy-Luar. Suami-istri tidak memiliki Surat Nikah yang dikeluarkan Kementerian Agama karena lembaga pernikahannya berdasarkan hukum adat, tidak berdasarkan hukum positif. Mereka memiliki model nikah adat yang tidak sama dengan model nikah negara. Model nikah adat tidak memerlukan legalitas dan hadirnya pejabat negara. Mereka mempunyai petugas, tata cara, dan ritual sendiri. Bagi warga yang memerlukan bukti tertulis akan pernikahannya, Kantor Pemerintah Desa Baduy-Luar membuat Surat Keterangan Nikah. Surat ini biasanya diperlukan warga ketika yang bersangkutan mengurus

akte kelahiran di Kantor Catatan Sipil dan pembuatan sertiikat untuk tanah yang dibeli di luar Desa Kanekes. Warga yang tidak mempunyai

kepentingan sepeti ini tidak memerlukan Surat Keterangan Nikah dari Kantor Desa Baduy-Luar.

Masyarakat Baduy-Dalam tidak terlibat dalam kegiatan politik kenegaraan: memilih kepala desa, Pemilu memilih anggota DPR/DPD/ DPRD, dan pemilihan presiden, gubernur, dan bupati. Menurut Jaro Samin partisipasi masyarakat dalam Pemilu diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Dalam doa tersebut mereka memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat pemimpin yang baik dan amanah. Untuk doa bersama tersebut, mereka mengutus Jaro Indah ke Pemerintah Provinsi melalui Bupati Lebak. Mereka minta Gubernur dan Bupati mendukung doa bersama dan mohon izin untuk tidak terlibat dalam pemilihan kepala desa/kepala daerah/presiden dan pemilihan umum. Alasannya adalah adat tidak mengajarkan. Di samping itu, kegiatan politik demikian dikhawatirkan merusak harmoni masyarakat. Masyarakat Kanekes sangat mementingkan harmoni.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Masyarakat Baduy tidak mengenal jual beli atau sewa menyewa tanah. Kepemilikan lahan hutan untuk dibuka menjadi lahan ladang dapat tumpang tindih antar keluarga. Luasnya lahan yang dimiliki tidak ada ketentuan khusus, tergantung kemampuan tiap-tiap keluarga yang membuka lahan. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bukan pemilik lahan, tetapi hanya sebagai pemilik lahan garapan. Yang menentukan sifat kepemilikan dari lahan tersebut adalah tanamannya. Pemilikan tanaman dapat diwariskan

pada keturunannya dengan tanpa membedakan perempuan atau laki-laki 13 . Masyarakat Baduy melakukan pola hidup sederhana ber dasarkan

adat. Mereka tidak mau menggunakan perkakas yang dipakai orang lain hasil produk pabrik. Mereka masak dengan kendil dari tanah, piringnya dari batok, dan tempat minumnya dari bambu. Alat penerangannya dari lampu teplok dengan minyak kelapa buatan sendiri. Mereka menolak diberi aliran listrik sehingga di Desa Baduy-Dalam tidak ada televisi dan lampu listrik. Mereka juga menolak menggunakan alat-alat komunikasi dan transportasi modern seperi telepon seluluer, kendaraan bermotor, dan mobil. Mereka pergi kemana-mana dengan berjalan kaki dengan kaki telanjang. Mereka memenuhi keperluan hidupnya secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Makanan dipenuhi dari padi yang ditanam sendiri; pakaiannya dari buatan sendiri; dan rumah dari bahan-bahan alam yang di sekitarnya dan didirikan bersama dengan gotong royong. Masya rakat Kanekes-Dalam tidak diperkenankan menggunakan angkutan umum, sepeda motor, mobil, telepon seluler, televisi, dan bersepatu/sandal. Mereka menggunakan kain berwarna hitam/putih hasil tenunan dan jahitan sendiri.

Masyarakat Kanekes khususnya di Baduy-Dalam, tidak mengenal lembaga sosial bentukan negara seperti RT, RW, PKK, Dasa Wisma, dan lain-lain. Tata kelola pemerintahannya dijalankan berdasarkan norma hukum adat. Setiap Desa dipimpin oleh jaro dan para jaro tunduk kepada Pu’un. Dalam masyarakat Kanekes, terdapat pelapisan masyarakat: tangtu, panamping dan dangka. Tangtu tinggal di Baduy-Dalam, panamping tinggal di Baduy-Luar, sedangkan dangka tinggal di luar desa Kanekes. Pelapisan tersebut didasarkan pada tingkat kesucian dan ketaatan kepada adat. Tangtu dianggap lebih tinggi dibanding penamping, dan

13 Ibid

48 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 48 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

mereka telah kehilangan status sebagai warga masyarakat Baduy 14 . Penduduk Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka

mengaku beragama Selam, bukan Islam. Menurut mereka agama Selam adalah agama yang dibawa langsung oleh Nabi Adam, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Jadi, menurut mereka agama masyarakat Kanekes lebih tua daripada agama orang Islam di luar Baduy. Dalam agama Sunda Wiwitan atau Selam, mereka meyakini adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta yang menurunkan ajaran Nabi Adam, leluhur masyarakat Kanekes. Ajaran ini menekankan kepada pemeluknya agar menjalani kehidupan selalu mengandung nilai ibadah: berperilaku baik dan hidup sederhana seperti tidak menggunakan fasilitas atau peralatan elektronik, telekomunikasi, transportasi, dan lain-lain.

Masyarakat Kanekes memilih menjadi masyarakat tradisional yang menutup diri dari perubahan masyarakat modern. Pilihan kehidupan tersebut dianggap sesuai dengan keyakinan yang mereka anut, yaitu Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu. Meskipun

14 Ibida, hal. 19-21

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

memilih menjadi masyarakat tradi sional mereka tetap menghormati dan berhubungan dengan masyarakat modern yang ada di sekitar mereka. Untuk men jembatani antara kehidupan tradisional dan lingkungan di sekitar mereka yang modern, mereka membuat struktur kelembagaan yang menggabungkan antara struktur adat dengan struktur peme rintahan nasional. Menurut Jaro Samin, masyarakat Kanekes tidak mau menerima modernisasi karena menyalahi adat leluhur (pamali). Oleh karenanya, mereka tidak mau menerima fasilitas dan peralatan modern seperti listrik, kendaraan bermotor, televisi, telepon, dan peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, mangkok, dan lain-lain. Masyarakat Kanekes memilih keseder hanaan hidup: menggunakan penerangan lilin atau lampu teplok dengan minyak kepala; kemana-mana mereka berjalan kaki tanpa alas kaki; tidak menonton televisi; tidak bersekolah; dan tidak meng gunakan telepon. Mereka mengkonsumsi makanan dan menggunakan peralatan apa adanya. Semua kebutuhan makan, pakaian, dan rumah diperolah dari alam sekitarnya, tidak ada yang diperoleh dari produk pabrikan dari luar Desa.

Masyarakat Kanekes sangat mematuhi aturan adat. Anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran mendapatkan hukuman adat. Hukuman adat sesuai dengan kesalahan mulai dari sumpah tidak mengulang sampai pengusiran dari komunitas. Bentuk hukuman ditekankan pada segi kebatinan. Dengan cara ini, biasanya setelah pelanggar mengetahui kesalahannya akan segera memperbaiki diri dengan ikhlas.

Dilihat dari penampilan fisiknya, masyarakat Kanekes-Dalam dan Kanekes-Luar mempunyai pola hidup dan penampilan berbeda. Kelompok tangtu atau inti sangat ketat memegang teguh adat-istiadat nenek moyang. Mereka adalah masyarakat yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Kanekes-Dalam adalah berpakaian warna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan warga negara asing (non WNA). Kelompok masyarakat kedua disebut panamping yaitu masyarakat Kanekes-Luar. Mereka tinggal di wilayah Kanekes berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes-Dalam: Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain-lain. Masyarakat

50 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Kanekes-Luar berciri khas: mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes-Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes-Dalam karena beberapa sebab: melanggar adat, memang mereka ingin keluar dari Kanekes-Dalam, dan menikah dengan anggota Kanekes Luar. Wanita berkebaya dan selendang sedangkan laki-laki bersarung yang dilipat. Perempuan tidak boleh meng gunakan emas murni, hanya boleh memakai manik-manik terbuat dari biji-bijian. Dalam berkesenian mereka hanya boleh menggunakan angklung, kecapi, karinding, kumbang, tarawelet, dan talintu.

Masyarakat Kanekes Luar sudah sedikit meninggalkan norma adat, di antaranya adalah:

– Sebagian besar dari anggota masyarakat telah mengenal tekno - logi, seperti peralatan elektronik. Walaupun dilarang untuk meng- gunakannya, mereka secara sembunyi-sembunyi meng gunakan peralatan tersebut agar tidak ketahuan penga was dari Kanekes Dalam.

– Proses pembangunan rumah mereka telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dan lain-lain yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.

– Mengenakan pakaian adat warna hitam atau biru tua (untuk laki- laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci, bahkan sudah ada yang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.

– Telah mengenal teknologi atau peralatan elektronik. –

Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Kanekes adalah bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Namun saat ini, banyak anggota masyarakat yang mahir berbahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan penduduk luar, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Menurut Jaro Samin, penduduk Kanekes-Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja, demikian juga dengan aturan atau keputusan hasil musyawarah yang diputuskan untuk mengatur kehidupan mereka hanya diingat.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Menurut Jaro Samin, masyarakat Kanekes mempunyai beberapa kegiatan yang didasarkan pada kepercayaannya:

1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci di mana pada bulan kawalu masyarakat Kanekes melaksanakan ibadah puasa selama 1 hari masing-masing di bulan Kasa, Karo, dan Katiga.

2. Upacara Ngalaksa, yaitu upacara yang dilakukan sebagai rasa syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melewati puasa. Ngalaksa ini dikenal juga dengan lebaran oleh Masyarakat Kanekes.

3. Seba, yaitu berkunjung atau melakukan silaturakhmi dengan para pemimpin di Pemerintahan Daerah. Kegiatan ini meru pakan bentuk penghargaan dan kepatuhan masyarakat Kanekes terhadap penguasa.

4. Upacara Menanam padi, yang dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran.

5. Upacara Kelahiran, yang merupakan upacara-upacara dengan urutan- urutan sebagai berikut:

1) Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.

2) Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi.

3) Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.

4) Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.

5) Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pem berian nama oleh dukun (kokolot) yang didapat dari ber mimpi dengan mengorbankan ayam.

6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan di lakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.

Orang Baduy mempunyai sistem penanggalan sendiri. Satu tahun dihitung 360 hari, tidak 365 hari karena ada lima hari yang digunakan sebagai waktu luang/ngawagekeun. Penanggalan berdasarkan peredaran bulan dan bintang (Guru Desa). Kapan awal tahun dimulai dan kegiatan

52 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 52 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

2) Bulan Karo; 3) Bulan Katilu; 4) Bulan Sapar; 5) Bulan Kalima; 6) Bulan Kanem; 7) Bulan Kapitu; 8) Bulan Kadalapan; 9) Bulan Kasalapan; 10) Bulan kasapuluh; 11) Bulan Hapid Lemah; 11) Bulan Hapid Kayu.

Masyarakat Baduy melakukan upacara perkawinan, kelahiran, sunatan, dan kematian secara khas. Perkawinan dimulai dari lamaran pihak laki-laki. Jika sudah terjadi kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak dilanjutkan dengan tunangan, nyeurehan. Selanjutnya adalah acara seserahan yaitu pihak laki-laki menyerahkan perlengkapan rumah tangga kepada pihak perempuan. Dalam acara seserahan ini puun mengesahkan perkawinan ini dengan membacakan sahadat adat untuk kedua belah pihak. Sahadat yang dibaca antara lain sahadat wiwitan, sahadat tunggal, sahadat samping, sahadat batin, dan sahadat kanjeng Nabi Muhammad Saw sebagai penutup. Di bawah sahadat ini kedua mempelai wajib menjalankan kehidupan suami isteri secara monogam. Prosesi kelahiran anak terdiri atas empat tahap: 1) pertolongan; 2) pengurusan dan laporan (netepkeun ngaran); 3) membersihkan ibu (mulangkeur angir); dan 4) cukuran (ngalaan sawan). Sunatan anak laki-laki harus dilakukan pada bulan Kalima atau Kapitu. Anak yang disunat berumur 5-10 tahun. Sunat dilakukan oleh petugas khusus, Bengkong. Sunatan dilaksanakan di tempat khusus yang disebut Saung Pasajen. Upacara kematin hampir sama

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

dengan tata cara kematian dalam agama Islam. Hal yang membedakan adalah posisis mayat dalam kubur: kepala di barat, kaki di timur, dan menghadap ke Selatan.

Masyarakat Baduy mempunyai sistem pembagian waris yang khas pula. Harta benda diwariskan kepada anak laki-laki dan perempuan secara sama. Pembagian warisan dilakukan ketika orang tua masih hidup dan diatur oleh sabah-sabah disaksikan para kokolotan lembur, sanak famili, dan tokoh adat. Prinsip yang digunakan dalam pembagian warisan adalah adil dan merata. Harta yang diwariskan adalah rumah, leuit (lumbung padi), barang atau alat rumah tangga, pakaian, uang, emas (untuk Baduy Luar), tanah garapan, tanah milik, gadaian, dan pohon.

Dalam hal menyelesaikan konlik yang terjadi, mereka memiliki pranata peradilan yang khas. Masyarakat Baduy terikat dengan sumpah.

Berdasarkan sumpah inilah pranata hukum ditegakkan (rule of law). Orang Baduy wajib patuh kepada adat dan barang siapa melanggar sumpah adat maka ia akan terkena kutukan Sang Pencipta dan guriang leluhur, kuwalat. Meskipun demikan, jika terjadi perselisihan dan persengketaan maka akan diselesaikan dengan cara sebagai berikut. Pertama, diselesaikan secara kekeluargaan. Kedua, dimusyawarahkan bersama mencari jalan damai dengan melibatkan kedua belah pihak dan sabah-sabah/kerabat kedua belah pihak. Ketiga, dimusyawarahkan di bawah kokolotan lembur dihadiri olah sabah-sabah dan tokoh-tokoh masyarakat. Keempat, diselesaikan oleh Jaro (Kepala Desa) dan disaksikan oleh Jaro yang lebih tinggi. Kelima, dilakukan sumpah adat disaksikan oleh para tokoh adat.

Konsepsi, pola pikir, dan perilaku masyarakat Baduy demikian berkaitan dengan pemahaman kosmologi yang diajarkan nenek moyangnya. Semuanya berbasiskan alam. Melalui pengalaman, peng hayatan, dan perenungan mendalam masyarakat Baduy menemukan cara hidup yang selaras dengan alam yang didiami. Mereka memahami bahwa dirinya adalah bagian alam itu sendiri sehingga wajib hidup sesuai dengan kodrat alam. Masyarakat wajib menjaga dan memelihara alam agar tetap memberikan kehidupan yang damai, tenteram, dan sejahtera lahir batin. Perilaku ini kemudian menjadi adat istiadat yang mengarahkan dan mengatur peri kehidupannya. Berdasarkan adat istiadat yang dipegang teguh mereka menjalani kehidupan sesuai dengan konsepsi kosmologis yang mereka

54 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 54 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

4) menghormati guriang dan melaksanakan muja; 5) melakukan seba setahun sekali; 6) menyelenggarakan dan menghormati upacara adat ngalaksa; 7) mempertahankan dan menjaga adat bulan kawalu.

Potret masyarakat Baduy adalah masyarakat dengan dua wajah. Dilihat dari pandangan diri mereka sendiri, mereka sengaja memilih hidup damai, tenteram, tenang, dan sejahtera dengan ukuran demikian. Mereka hidup di bawah hukum adat yang mereka junjung tinggi dan mengembangkan kearifan lokal mengharmoniskan perilakunya dengan alam semesta. Mereka tidak mengekploitasi dan memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan di luar kelayakan secara tamak dan serakah. Akan tetapi, dilihat dari masyarakat luar dalam perspektif modernisme dan urbanisme Baduy adalah gambaran masyarakat statis, terbelakang, bersahaja, dan miskin. Komunitas dengan tingkat pendidikan rendah, infrastrukur yang tidak layak, sistem ekonomi subsisten, dan budaya tribalisme yang masih kental dilihat dari ukuran modernisme dan urbanisme adalah suatu komunitas terbelakang dengan tingkat peradaban sedikit di atas primitif. Norma adat yang antara lain melarang, 1) anak-anaknya ber sekolah formal; 2) mengaspal jalan masuk ke desanya; 3) membangun jembatan permanen; 4) mengubah tegalan menjadi sawah terasiring; 5) mengubah sistem tanam dari model huma ke model irigasi; 6) mengubah model pencaharian dari model tunggal pertanian ke model majemuk, dan

7) mengadopsi budaya modern dan urban merupakan justiikasi absurd bagi masyarakat modern dan urban. Bagi masyarakat Baduy, modernisme

dan urbanisme yang harus dipenuhi dengan eksploitasi alam tanpa batas untuk tujuan konsumerisme yang terus meningkat tanpa batas pula karena dipicu gaya hedonisme adalah tindakan menentang kodrat alam yang bisa mendatangkan kutukan, kuwalat.