TANTANGAN IMPEMENTASI UU NO. 6/2014

B. TANTANGAN IMPEMENTASI UU NO. 6/2014

1. Juridis

Tantangan pertama, UU No. 6/2014 khususnya Pasal 1-95 bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena UUD 1945 tidak mengatur desa dinas. UUD 1945 hanya memuat norma pengaturan tentang kesatuan

116 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 116 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

UU No. 6/2014 membuat justiikasi konstitusional melalui Penjelasan Umum. Dalam Penjelasan Umum yang memuat Dasar Pemikiran

disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, dirujuk Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan). Disebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembuat Undang-Undang mengalami sesat pikir (fallacy) ketika membuat kesimpulan: “Oleh sebab itu, keberadaannya wajib

tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” atas keberadaan volksgemeenschappen. Kesimpulan ini sesat karena terlepas dari konteks historis dan juridis Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut. Pertama, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 bukan norma konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah diktumnya: Pasal 18. Kedua, Penjelasan Pasal

18 adalah upaya menguraikan lebih operasional atas diktum Pasal 18 yang bersumber dari materi pembahasan Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI Mei-Agustus 1945 tentang pemerintahan daerah, bukan tentang “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Ketiga,

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Penjelasan tersebut berisi arahan (bukan pengaturan) bahwa dalam rangka membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil (diktum Pasal 18) haruslah memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”.

Sesuai dengan ilmu berpikir benar atau logika/mantiq, kesimpulan yang berbunyi, “’Zelfbesturende landschappen’ dan ‘Volksgemeenschappen’ keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah sesat, fallacy, karena kesimpulan yang ditarik tidak berhubungan dengan premis mayor dan premis minornya:

Premis mayor : Pembagian daerah (otonom) di Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Premis minor : Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende landschappen” dan “volksge meen schappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli.

Kesimpulan : Oleh sebab itu, keberadaan “zelfbesturende land- schappen” dan “volksgemeenschappen” wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan tersebut sesat pikir (fallacy) karena tidak ber hubungan dengan premis-premisnya: premis mayor berisi pengaturan daerah otonom besar dan daerah otonom kecil sedangkan premis minornya berisi informasi adanya “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” dan arahan agar dalam membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil dengan undang-undang haruslah memperhatikan “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen”. Akan tetapi kesimpulannya berisi pengawetan “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeen- schappen”.

Kesimpulan yang benar atas proposisi tersebut adalah sebagai berikut. Premis mayor : Pembagian daerah (otonom) di Indonesia terdiri

atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk

118 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 118 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Premis minor : Di Indonesia terdapat lebih kurang 250 “zelfbesturende landschappen” dan “volks gemeen schappen” yang dianggap sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli.

Kesimpulan : Oleh sebab itu, “zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeenschappen” dijadikan daerah otonom istimewa besar dan daerah otonom istimewa kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan demikian, pemahaman yang benar atas Penjelasan Pasal 18 tersebut adalah sebagai berikut. Dalam rangka membentuk daerah otonom besar dan daerah otonom kecil pembuat UU haruslah memperhatikan “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen” karena dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kesultanan Deli, dan sebagainya dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa/asimetris. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah otonom istimewa/asimetris tersebut dan segala peraturan negara mengenai pembentukannya menjadi daerah otonom besar dan daerah otonom kecil haruslah mengingati hak asal usulnya. Zelfbesturende landschappen yang masih eksis seperti Kesultanan Yogyakarta dijadikan daerah otonom asimetris besar karena memiliki susunan asli. Begitu juga volksgemeenschappen yang masih eksis seperti desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya dijadikan daerah otonom kecil sebagai daerah istimewa/asimetris kecil karena memiliki susunan asli. Semua peraturan perundang-undangan untuk mengatur Zelfbesturende landschappen” atau daerah swapraja dan “Volksgemeenschappen” atau kesatuan masyarakat hukum adat pribumi tersebut menjadi daerah otonom asimetris harus mengingati hak asal usulnya.

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Hal ini sesuai dengan penjelasan Mohammad Yamin 2 yang disampaikan dalam sidang BPUPKI 29 Mei 1945,

negeri, desa, dan segala persekutan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bawah.

Penjelasan Yamin tersebut dipertegas oleh Soepomo 3 yang disampaikan pada 15 Juli 1945 dalam forum yang sama,

Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat). Oleh karena itu, di bawah Negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat”, akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuknya pemerintahan daerah ditetapkan dengan Undang-undang. Menurut pasal 16 (kemudian berubah menjadi pasal 18 dalam UUD 1945, pen.) pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawartan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istmewa. Jadi, rancangan Undang-Undang Dasar memberi kemungkinan untuk mengadakan pem- bagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi daerah-daerah yang besar itu atas daerah-daerah kecil. Dengan memandang dan mengingati “dasar permusyawaratan”, artinya bagaimanapun bentuknya pemerintahan daerah, pemerintahan itu harus berdasar atas permusyawaratan, jadi misalnya dengan mengadakan dewan perwakilan daerah. Hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (Kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa Belanda dinamakan “zelfbesturende lanschappen”. Kedua daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah Dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh.

Jadi, substansi Penjelasan Pasal 18 tersebut adalah men jadi kan zelfbesturende landschappen atau daerah swapraja sebagai daerah otonom besar yang bersifat asimetris dan men jadikan volksgemeenschappen atau kesatuan masyarakat hukum adat pribumi sebagai daerah otonom kecil yang bersifat asimetris pula, bukan tetap mempertahankan dan mengawetkan masing-masing sebagai zelfbesturende landschappen dan volksgemeencahppen sebagaimana sediakala.

2 Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei - 22 Agustus 1945, Jakarta, Setneg, 1995, hlm. 22. 3 Ibid, hlm. 271-272

120 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

2. Konsep Teoritis dan Implementatif

Pembuat UU No. 6/2014 mengklaim bahwa UU ini merupakan UU organik yang diturunkan dari Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi,

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal ini bukan norma pengaturan tentang desa dinas tapi norma pengaturan tentang kewajiban Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat atau desa adat yang masih hidup sebagaimana dimaksud Van Vollehhoven, Ter Haar, ILO Covention on Indigenous and Tribal Peoples 1989 (No. 169), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Ter Haar (dalam Sudiyat, 2010: 140) menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat menyatakan diri dalam ketua-ketua rakyat dan kerabatnya yang dalam proses abadi membuat keputusan-keputusan dalam rapat-rapat sebagai kristilasisasi dari kenyataan sosial. Keputusan- keputusan tersebut didukung oleh anggota persekutuan dan dipahatkan dalam sistem sosialnya. Ia digunakan untuk mempertahankan hukum yang berlaku dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa. Van Vollenhoven (dalam Sudiyat, 2010: 139) menjelaskan masyarakat hukum adat adalah,

suatu kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan (authority) di dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pembinaan hukum. Dalam pada itu, yang dikemukakan sebagai masyarakat hukum di dalam uraiannya mengenai Hukum Adat Jawa-Pusat ialah “masyarakat yang dibentuk sendiri” (perseroan Bumiputera, per- himpunan Bumiputra, pasamuan Kristen Bumiputra).

Penjelasan Mahkamah Konstitusi (2007) yang merupakan ringkasan dari penjelasan Ter Haar (2011) yang dimaksud kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) adalah,

kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda- benda materiil dan immaterial, yang memiliki ciri-ciri:

a. Adanya kelompok-kelompok teratur; b. Menetap di suatu wilayah tertentu; c. Mempunyai pemerintahan sendiri; d. Memiliki benda-benda materiil dan immateriil.

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Secara lebih rinci Irfan Nur Rahman, dkk. (2011) menjelaskan, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara

de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:

i. adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); ii.

adanya pranata pemerintahan adat; iii. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan iv. adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan

masyarakat v.

hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur vi. adanya wilayah tertentu.

Dalam ILO Convention Nomor 169, Pasal 1 menjelaskan, a) tribal peoples in independent countries whose social, cultural

and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customarys or traditions or by special laws or regulations;

b) peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.

Selanjutnya ILO (2003) menjelaskan unsur-unsur tribal peoples adalah sebagai berikut.

a) traditional life styles; b) culture and way of life different of other segments of the national

population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.;

c) Own social organization and and traditional custom and laws. Sedangkan unsur-unsur indigenous peoples adalah sebagai berikut.

a) traditional life styles; b)

culture and way of life different of other segments of the national popu- lation, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.;

c) Own social organization and political institutions.

122 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

ILO (2003) kemudian menjelaskan, Indigenous and tribal customs and traditions are central many of their

life. The form an integral part of indigenous and tribal peoples’ culture and identity, and differ from those of the national society. They may ancestor worship, religious and spiritual ceremonies, oral tradition, and rituals, wich have been passed down from generation to generation. Many ceremonies involve offering to nature spirits, and take place in order to maintain a balance with nature.

Many indigenous and tribal peoples have their own customs and practices wich form their customary law. This has evolved trough the years, helping to maintain a harmonious society.

Often, in order to apply these customs and practices, indigenous and tribal peoples have their own institutional structures such as judicial and administrative bodies or councils. These bodies have rules and regulations to make sure customary laws are followed. Failure to do so is often punished and each lapse often has its own speciic punishment.

The Convention recognized the right of indigenous and tribal peoples to their own customs and customary laws should be taken into account.

Kongres pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN I) di Jakarta, pada 15-22 Maret 1999 mendeinsikan masyarakat adat sebagai berikut 4 .

Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geograis tertentu, serta memiliki sistem nilai,

ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri Deinisi tersebut kemudian diperbaiki menjadi 5 ,

Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaultan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diaitur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masayarakatnya.

Jadi, norma Pasal 18 B ayat (2) seharusnya hanya ditujukan kepada obyek material yang disebut volksgemeenschappen atau indigenous and tribal peoples atau kesatuan masyarakat hukum adat/Desa Adat. Akan tetapi, UU ini justeru lebih banyak mengatur desa dinas bentukan regim Orde Baru (Pasal 1-95). Desa dinas yang asal usulnya dibentuk oleh

4 Dalam Greg Acciaioli, Dari Pengakuan Menuju Pelaksanaan Kedaulatan Adat: Konseptualisasi-Ulang Ruang Lingkup dan Signiikansi Masyarakat Adat dalam Indonesia Kontemporer, Jamie S. Davidson, dkk., Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonsdia, 2010, hlm. 328

5 Ibid

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Temuan penelitian Asrinaldi dan Yoserizal 6 pelak sanaan kewenangan desa berdasarkan asal-usul tidak pernah jelas bentuknya dan seperti apa implementasinya. Otonomi asli desa dan nagari belum diimplementasikan karena pemerintah kesulitan mengidentifikasi kewenangan apa sesungguhnya yang terkait dengan dengan hak asal usul tersebut. Pada dasarnya penyelenggaraan urusan pemerintahan nagari tidak lain adalah menyelenggarakan urusan yang dilimpahkan pemerintah kabupaten. Desa-desa di Yogyakarta juga tidak dapat mengenal apa yang menjadi hak asal-usulnya. Otonomi asli yang dinyatakan dalam peraturan perundang- undangan ternyata sulit ditemukan. Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Kidul No. 17/2006 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa tidak mengatur tentang kewenangan yang besumber dari hak asal-usul. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Agam No. 12/2007 ditegaskan adanya kewenangan nagari berdasarkan hak asal-usul ini. Akan tetapi, karena pemerintah nagari dibebani dengan pelaksanaan urusan pemerintahan oleh pemerintah kabupaten kecuali urusan adat dan budaya, maka urusan berdasarkan hak asal-usul ini tidak jelas bentuknya. Temuan penelitian Asrinaldi dan Yoserizal sama dengan temuan penelitian Achmad Nurmandi (2010). Dalam penelitiannya di Riau ditemukan bahwa otonomi asli di Riau tidak ada. Pemerintah desa hanya melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan dari pemerintah atasan.

Dalam seminar Simposium Nasional Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN) IV September 2014 dengan tema Otonomi Desa dalam Konteks Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 di Universitas Udayana Bali, Ike Wanusmawatie (2014) menyimpulkan bahwa UU No. 6/2014 tidak kostitusional dilihat dari perspektif teori local government. Hanif

6 Asrinaldi dan Yoserizal, Quasi Otonomi pada Pemerintahan Terendah Nagari Simarasok, Sumatera Barat dan Desa Ponjong, di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 15, No. 2, Juli 2013, hal. 178-193

124 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Nurcholis (2014c) menyimpulkan bahwa UU No. 6/2014 Pasal 1-95 tidak konstitusional. Hardi Warsono (2014) menemukan bahwa pelaksanaan program alokasi dana desa (ADD) di Kabupaten Konawe Utara, lembaga desa belum mengalami peningkatan kemampuan secara optimal karena tidak dilibatkan dalam proses perencanaan penggunaan ADD. Bahkan terdapat desa melaksanakan program ADD tanpa melalui proses perencanaan sebagaimana pedoman yang ada, tidak pernah dilibatkan dalam pelaksanaan ADD, dan tidak pernah dilibatkan dalam evaluasi pelaskanaan ADD, semua rencana kegiatan dan pemberkasan diserahkan kepada BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa). Ayi Karyana menemukan bahwa lembaga BPD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa tidak fungsional. Kegiatan BPD hanya formalitas. Indra Kertati, dkk. menemukan bahwa perencanaan pembangunan dan implementasinya membingungkan dan sulit dijalankan baik oleh pemerintah kabupaten maupun tim penyusun di tingkat desa.

3. Kapasitas Lembaga

Desain dan struktur organisasi pemerintah desa mirip dengan ku zaman Jepang dan pemerintah desa di bawah UU No. 5/1979, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004. Pemerintah desa dipimpin oleh kepala desa dan dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa terdiri atas unsur sekretariat, unsur kewilayahan, dan unsur pelaksana teknis. Sekretariat dipimpin oleh sekretaris desa yang membawahi tiga kepala urusan. Unsur kewilayanan adalah pejabat di bawah kepala desa yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban dusun (wilayah sub desa). Unsur pelaksana teknis adalah pejabat di bawah kepala desa yang bertangggug atas urusan teknis. Lembaga baru dalam UU No. 6/2014 adalah Musyawarah Desa yang pada semua UU sebelumnya tidak ada. Musyawarah Desa adalah forum permusyawaratan semua elemen masyarakat desa dalam menyusun kebijakan strategis. Lihat Gambar 1!

Dalam wawancara dengan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) 7 dijelaskan bahwa dengan desain dan struktur organisasi demikian, pemerintah desa kewalahan melaksanakan urusan pemerintahan yang dibebankan kepadanya. Semua urusan pemerintahan dari 34 kementerian jatuh ke desa. Padahal desa tidak

7 Wawancara pada 29 Oktober 2014

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Gambar 1 Struktur Organisasi Pemerintah Menurut UU No. 6/2014 MUSYAWARAH DESA KEPALA DESA BPD SEKDES

Pelaskana

Kadus I

Teknis Kaur

Kadus II

Pelaskana Teknis

Kaur RW

Kadus III

Kaur

RT

Sumber: UU No. 6/2014 dan PP No. 43/2014

mempunyai alat-alat kelengkapan organisasi yang mencukupi untuk bisa menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sangat banyak tersebut. Dijelaskan bahwa Desa tidak mempunyai badan pengelola keuangan desa seperti di kabupaten sehingga uang dikelola kepala desa langsung, tidak dikelola sebuah lembaga. Dalam praktik, pengelolan uang sangat tergantung pada attitude kepala desa. Jika kepala desanya mempunya attitude baik maka uang akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, jika attitude-nya kurang baik, maka uang lebih banyak dipakai untuk kepentingan pribadi. “Adapun pertanggungjawabanya, teman-teman saya sudah sangat canggih cara ngakalinya, Pak”, katanya.

Indra Kertati, dkk. (2014) dalam presentasinsya di Simposium Nasional

IV Bali, menjelaskan bahwa desa di Kabupaten Kutai Kartangera sudah menerima dana lebih dari 1 milyar sejak 3 tahun lalu. Akan tetapi, dana

tersebut tidak berdampak signiikan kepada peningkatan kesejahteraan penduduk desa. Hal ini terjadi karena pemerintah desa tidak mempunyai

kapasitas mengelola dana tersebut untuk mencapai kemakmuran rakyat. Sebenarnya fakta bahwa pemerintah desa tidak mempunyai kapasitas

mengelola dana besar yang ditransfer dari Pusat sudah sejak diluncurkan dana bantuan desa (Bandes) mulai Pelita I (April 1969 - Maret 1974) sampai sekarang. Pada Pelita I Pemerintah mengucurkan dana Bandes

126 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 126 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

dana desa (ADD). Akan tetapi, sampai sekarang tidak berdampak signiikan terhadap peningkatan kemakmuran rakyat desa.

4. Model Mobilisasi Rakyat dan Kelemahannya

Desain dan struktur organisasi pemerintah desa yang sederhana sebagaimana tampak pada gambar 1 tidak me mungkinkan pemerintah desa dapat memberikan pelayanan publik dan pembangunan kepada rakyat desa secara efektif karena pemerintah desa tidak mempunyai alat-alat kelengkapan organisasi untuk melaksanakan fungsi dan tugas tersebut. Pemerintah desa tidak mempunyai lembaga pendukung bidang legal drafting, perencanaan dan evaluasi, pembangunan pengembangan sumber daya manusia di bawah sekretariat. Pemerintah desa tidak mempunyai lembaga pelaksana dan pendukung pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan irigasi, pertanian, ekonomi rakyat, dan keuangan. Karena Pemerintah Desa tidak mempunyai lembaga perencanaan pembangunan sebagaimana Kabupaten mempunyai Bappeda maka untuk mengatasi masalah ini Pemerintah membentuk LKMD (Lembaga Ketahana Masyarakat Desa) sebuah lembaga sipil bentukan Negara yang diurus oleh warga sipil desa lalu dimobilisasi untuk membantu pemerintah desa membuat perencanaan pembangunan. Karena Pemerintah Desa tidak mempunyai dinas kesehatan sebagaimana Kabupaten mempunyainya maka untuk mengatasi masalah ini Pemerintah membentuk lembaga Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) yang dikelola oleh warga sipil desa lalu memobilisasi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak. Karena Pemerintah Desa tidak mempunyai dinas pertanian sebagaimana Kabupaten mempunyainya maka untuk mengurus urusan pengairan Pemerintah membentuk lembaga P3A (Paguyuban Petani Pengguna Air) lalu membolisasi untuk memberikan pelayanan air kepada petani penggarap sawah. Karena Pemerintah Desa tidak mempunyai dinas

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Pelayanan publik dan pembangunan desa dengan cara memobilisir penduduk mempunyai banyak kelemahan. Pertama, banyak penduduk desa tidak mau “diperintah” oleh kepala desa, istri kepala desa, dan perangkat desa untuk melaksanakan pekerjaan sampingan demikian karena mereka mempunyai pekerjaan pokok sendiri, honornya tidak sebanding dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya, dan merasa dimanfaatkan oleh kepala desa, istri kepala desa, dan perangkat desa. Kedua, pemerintah desa tidak bisa mengelola lembaga semi formal tersebut secara efektif karena lembaga dan pengurusnya bukan bagian integral dari administrasi pemerintah desa. Ketiga, berjalan atau tidaknya mobilisasi tersebut sangat tergantung kepada wibawa dan kekuatan kepala desa. Kepala desa yang berwibawa dan kuat bisa memobilisir penduduk sedangkan kepala desa yang tidak berwibawa dan lemah tidak mampu membolisir penduduk. Akibatnya pelayanan publik dan program pembangunan berjalan ala kadarnya karena hanya mengandalkan kepada perangkat desa sendiri yang sangat terbatas jumlah dan kemampuannya.

5. Ketergantungan kepada Pendamping

UU No. 6/2014 Pasal 112 mengatur adanya tenaga pen damping dalam membuat perencanaan, implementasi, dan evaluasi pembangunan desa. Tenaga pendamping bisa berasal dari staf SKPD Kabupaten/Kota

128 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 128 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Dalam rapat penyusunan RPP Desa di Ditjen PMD saya menanyakan tentang tenaga pendamping tersebut: apakah permanen atau sementara. Dijawab bahwa tenaga pendamping bersifat sementara. Akan tetapi, melihat desain dan struktur pemerintah desa dan model mobilisasi penduduk dalam pemberian pelayanan publik dan pelaksanaan pembangunan tampaknya pemerintah desa sulit melepaskan diri dari tenaga pendamping. Keberadan tenaga pendamping akan menjadi kebutuhan terus menerus dalam manajemen pemerintahan desa. Dalam wawancara dengan kepala dusun Desa Tonjong Kabupaten Bogor tentang tenaga pendamping tersebut dijawab bahwa pemerintah desa memang memerlukan tenaga pendamping karena banyak perencanan pembangunan, laporan-laporan, dan administrasi kegiatan yang rumit yang sulit dikerjakan oleh perangkat desa.

Pembangunan masyarakat dengan model pendampingan adalah model proyek pembangunan masyarakat yang dibiayai world bank dan NGO berdasarkan paradigma liberal. Diasumsikan bahwa komunitas telah mempunyai kapital sosial sendiri. Dengan pendampingan oleh tenaga profesioal yang ia tunjuk dengan pembayaran mencapai 20% dari nilai proyek, maka kapital sosial dapat dikembangkan menjadi kekuatan masyarakat mengatasi masalah secara mandiri. Model ini meminimalkan peran pemerintah sebagai agen negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan paradigma liberal ini world bank dan NGO sekutunya bersikeras bahwa pemberdayaan masyarakat desa akan berhasil jika mengikuti modelnya.

Karena UU No. 6/2014 ini mengikuti model bank dunia dan NGO maka saat ini beberapa NGO yang dulu berjibaku menggolkan UU ini sudah menyiapkan puluhan ribu pendamping “profesional” yang siap “membantu” pemerintah desa mengelola uang untuk pembangunan desa. Pertanyaanya tenaga “profesional” tersebut memang didorong oleh niat baik untuk memberdayakan pemerintah desa atau hanya memanfaatkan gelontoran dana yang banyak tersebut untuk mendapatkan proyek pendampingan. Jika melihat proyek-proyek pembangunan masyarakat yang didanai oleh

Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa

Melihat fakta yang ada, dalam banyak proyek yang didanai bank dunia yang bermitra dengan NGO/LSM dengan model pendampingan nilai manfaat dari proyek tersebut hanya berdampak jangka pendek dan jangka menengah. Untuk jangka panjang tidak berdampak. Artinya proyek itu berhasil ketika selesai dikerjakan dan masih mempunyai dampak antara 2-3 tahun kemudian. Akan tetapi, menginjak tahun ke-4 dan seterusnya keadaan masyarakat desa penerima manfaat proyek kembali sebagaimana semula. Jadi, model pendampingan dan konsultan ahli yang memakan biaya sangat besar (20%) umumnya tidak sustainable.