PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU D

Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Prof. DR. Hanif Nurcholis, M.Si

PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NKRI

Naskah : Prof. DR. Hanif Nurcholis, M. Si. Layout dan Ilustrasi

: Kuswoto Artistik

: Adim Goekid Desin Sampul

: Dika MDP Cetakan Pertama, Maret 2015

Cetakan Kedua, April 2016 Cetakan Ketiga, Februari 2017

Diterbitkan oleh: Bee Media Pustaka Jl. Setu Tipar No 5, Cibubur, Jakarta 13710 Telefaks: (021) 2938 3264 e-mail: bee_media@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prof. DR. Hanif Nurcholis, M. Si. Pemerintah Desa, Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem

Pemerintahan NKRI. Cet-3 Jakarta; Bee Media Pustaka, 2017 xvi + 179 hlm; Uk. 15,5 cm x 23,5 cm ISBN 978-602-6227-13-3

Pemasaran Oleh:

Bee Media Indonesia Jl. Setu Tipar No 5, Cibubur, Jakarta 13710 Telefaks: (021) 2938 3264 e-mail: bee_media@yahoo.com

KATA PENGANTAR oleh PROF. DR. BAGIR MANAN

Pada Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan, antara lain:

“Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari sesuatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (Rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa yang baik dan adil untuk sesuatu negara, belum tentu baik dan adil untuk negara lain, oleh karena keadaan tidak sama.

Tiap-tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwayat dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu, politik pembangunan Negara Indonesia haruslah disesuaikan dengan sociale structuur masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman…”

Dari kaca mata filsafat hukum, uraian Soepomo terkesan sangat dipengaruhi ajaran kesejarahan von Savigny, sesuatu yang dapat diterima sebagai bagian dari upaya membangun negara dengan “sistem sendiri”. Uraian tersebut – antara lain – menjadi dasar mempertahankan dan memelihara susunan pemerintahan desa dan susunan asli lainnya, sebagai susunan pemerintahan asli bangsa Indonesia.

Kehadiran pemerintahan desa dan susunan lain yang serupa, lebih ditegaskan Muhammad Yamin dalam uraian di hadapan BPUPKI tanggal 11 Juli 1945:

“Dengan ringkas, penyusunan negara yang tertuju ke sebelah dalam, dapatlah saya gambarkan seperti berikut: pemerintah dalam republik ini pertama-tama akan

Kata Pengantar

iii iii

Berdasarkan dua kutipan di atas (dan didapati lagi pada pidato-pidato selama persidangan BPUPKI dan PPKI), dapat disimpulkan kehadiran pemerintahan desa diterima sebagai bagian integral susunan organisasi negara Indonesia merdeka. Karena itu, sejak Rancangan Pertama UUD sampai disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak terdapat perubahan rumusan tentang kehendak tetap menghadirkan pemerintahan desa:

“Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Penjelasan UUD 1945, antara lain, menyebutkan:

“II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat ±250 ‘Zelfbesturende landschappen’ dan ‘Volksgemenschappen’ seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau,

dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu merupakan susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah itu akan mengingat hak- hak asal-usul daerah tersebut”.

Di masa kemerdekaan, Zelfbesturende landschappen disebut “Daerah Swapraja”, yaitu berasal dari kerajaan-kerajaan asli yang tunduk dan mengikat perjanjian dalam bentuk “lange verklaring” (plakat panjang) atau “korte verklaring” (plakat pendek) dengan Pemerintah Hindia Belanda. Satuan pemerintahan Swapraja kemudian ditiadakan, kecuali Yogyakarta yang dinamakan “Daerah Istimewa Yogyakarta”. Meskipun Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Zelfbesturende landschappen, tetapi pemberian status “istimewa” didasarkan pada kedudukan, peran, dan jasa-jasa Pemerintah Yogyakarta yang luar biasa

iv

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Upaya menerapkan pemerintahan desa dalam susunan organisasi Negara Indonesia lebih dipertegas dalam Perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 18B.

“(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan ayat (1) menyangkut pengakuan atas pemerintahan daerah khusus seperti Aceh, Papua, Yogyakarta, dan Jakarta sebagai ibukota negara. Ketentuan ayat (2) adalah ketentuan khusus tentang desa dan yang serupa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat menurut hukum adat (adat rechtsgemeenschappen).

Mengapa Indonesia merdeka berkehendak meneruskan pemerintahan desa? Selain pertimbangan kesejarahan (pemerintahan asli) dan sebagai bagian dari “sistem sendiri” susunan organisasi negara, ada beberapa pertimbangan lain meneruskan pemerintahan desa. Pertama; meskipun asli, susunan pemerintahan desa dapat digolongkan sebagai corak demokrasi modern yang tidak kalah dengan demokrasi yang dijalankan pada Polis Yunani. Paling tidak ada dua ciri demokrasi modern pada pemerintahan desa, yaitu:

(1) Pimpinan desa dipilih langsung oleh rakyat anggota masyarakat hukum yang bersangkutan. Perlu ditegaskan, rakyat desa termasuk mereka yang tidak bertempat tinggal di lingkungan desa yang bersangkutan, misalnya berladang atau berkebun diluar masyarakat hukum desa yang bersangkutan. Sepanjang mereka ini tetap memelihara ikatan dengan desa yang bersangkutan, mereka tetap mempunyai hak pilih. Hak pilih ini berlaku sama antara laki-laki dan perempuan yang sudah “kuat gawe” atau sudah menikah atau pernah menikah. Hak pilih ini lebih luas dari hak pilih di Polis Yunani yang hanya ada pada warga laki-laki karena perempuan, orang asing dan budak tidak mempunyai hak pilih.

Kata Pengantar

(2) Pemerintahan desa dijalankan atas dasar permusywaratan antar “tetua-tetua desa” yang dianggap mewakili rakyat desa.

Berdasarkan dua ciri tersebut, van Vollenhoven menyebut pemerintahan desa sebagai republik (lihat, Staatsrecht Over Zee). Hal ini sejalan dengan pandangan Kranenburg yang menyebutkan salah satu ciri republik adalah jika pimpinan pemerintahan dipilih, bukan turun temurun (lihat, Algemene Staatsleer).

Selain dua alasan di atas, memelihara dan mempertahankan pemerintahan desa dapat ditinjau juga dari perspektif otonomi daerah. Baik di masa-masa kerajaan-kerajaan tradisional maupun di masa kolonial, pemerintahan desa diakui dan dibiarkan (erkenning, overgelaten) untuk mengatur dan mengurus urusan sendiri (autonomie). Bahkan dikenal semacam pemerintahan desa khusus (istimewa) seperti “desa perdikan” di Kerajaan Jawa. Selain fungsi demokrasi, corak utama otonomi adalah sebagai bagian dari melaksanakan fungsi pelayanan publik (public services) sebagai wujud negara kesejahteraan (welfare state, verzorgingsstaat).

Namun, ada satu hal penting dan perlu diperhatikan dalam mempertahankan pemerintahan desa. Di atas telah dikutip pidato Soepomo di hadapan Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 yang, antara lain, menyebutkan: “Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia haruslah disesuaikan dengan sociale structuur masyarakat Indonesia yang nyata serta harus disesuaikan dengan perkembangan zaman”.

Sepanjang berkaitan dengan pemerintahan desa, pernyataan Soepomo mengandung makna, pemerintahan desa akan bertahan dan bermakna dalam susunan organisasi Negara Indonesia apabila isi dan tata cara pemerintahan desa disesuaikan dengan kenyataan dan mengikuti perubahan zaman. Tanpa penyesuaian dengan kenyataan (politik, sosial, ekonomi, dan budaya) yang berubah, pemerintahan desa justeru dapat menjadi penghalang kemajuan masyarakat desa atau masyarakat pada umumnya. Inilah pula makna Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan: “… sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia…”

Sejak merdeka, secara normatif terdapat berbagai peraturan perundang- undangan cq undang-undang tentang desa atau yang berkaitan dengan desa. Tetapi hingga saat ini “sulit untuk mengatakan – seperti angan-angan

vi

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Muhammad Yamin – menjadikan desa sebagai “kaki bagian bawah susunan organisasi negara Indonesia merdeka”. Kaki bagian bawah dalam angan- angan Yamin adalah desa, selain sebagai penopang Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah tempat melihat perwujudan cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial atau seperti ungkapan Bung Karno: “masyarakat gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.

Kenyataannya adalah sebaliknya. Di desalah kita menemukan keterbelakangan dan kemiskinan yang paling nyata. Proses pemiskinan ini dapat berlangsung terus (bahkan mungkin lebih intensif) karena ekspansi dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang merambah sampai ke desa- desa, seperti penguasaan tanah oleh para kapitalis dan dibantu oleh aparat pemerintah untuk menguasai tanah-tanah untuk perkebunan, dan lain-lain. Rakyat yang semula mempunyai hak atas tanah berubah status menjadi pekerja-pekerja perkebunan dengan upah rendah karena tidak ada pilihan. Pilihan lain adalah berpindah ke kota menjadi buruh kasar di kota atau bekerja serabutan, atau menjadi peminta-minta. Hal semacam ini telah disinyalir dan dikhawatirkan Bung Karno, seperti yang ditulis dalam “Sarinah”.

Salah satu rubrik dalam “Sarinah” secara retorik Bung Karno menanyakan perbedaan antara Marhaen dan Proletar. Marhaen – kata Bung Karno – memiliki tanah walaupun tidak luas. Karena memiliki tanah, Marhaen merdeka, tulis Bung Karno. Sebaliknya, Proletar tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang dijual kepada kaum kapitalis. Suatu ungkapan yang diambil dari Marx. Kaum Proletar tidak merdeka karena sepenuhnya tergantung pada kapitalis yang mempekerjakan atau tidak memperkerjakan mereka.

Di masa kolonial, desa dibiarkan (overgelaten) mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan tetap hidup dalam suasana tradisional yang telah ada turun temurun. Politik kolonial ini mempunyai dua arti. Pertama, seperti diperjuangkan van Vollenhoven, dalam rangka menghormati sistem masyarakat dan sistem hukum rakyat Indonesia. Kedua, ada kekhawatiran, upaya “mengusik” tatanan tradisional yang dihormati dapat menimbulkan keresahan dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Bukankah Perang Diponegoro yang menguras habis tenaga dan keuangan kolonial, dipicu oleh kesewenang- wenangan pemerintah kolonial atas peri kehidupan dan wilayah tradisional yang dihormati rakyat setempat.

Kata Pengantar

vii

Tanpa “mengganggu” hal-hal di atas, pemerintahan desa menjadi alat kolonial untuk kepentingan lain. Pemerintah desa dibebani tugas menjaga keamanan, ketertiban umum, termasuk menjadi alat pemungut pajak untuk kepentingan kolonial. Apakah akibat politik semacam itu terhadap desa? Rakyat desa dibiarkan hidup dalam suasana tradisional, tidak diberi peluang apalagi diikutsertakan dalam berbagai proses kemajuan (politik, ekonomi, dan sosial). Oleh karena itu, tidak mengherankan di desa-desalah tempat nyata kemiskinan dan keterbelakangan. Tentu saja tidak adil dan tidak sesuai dengan kenyataan mengatakan: “tidak ada kemajuan di desa”.

Terutama sejak merdeka, telah terjadi mobilitas sosial, baik secara vertikal maupun horizontal, masyarakat (rakyat) desa. Pada saat ini didapat banyak sekali putra-putri desa menjadi atau berperan penting dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di sebelah itu, kepada kita disodorkan kenyataan-kenyataan lain, seperti anak-anak yang berjalan berkilo-kilo meter melalui jalan-jalan tikus, bahkan harus menyeberangi sungai menuju sekolah, ruang sekolah seadanya (berlantai tanah beratap rumbia), guru tunggal yang hanya mendapat imbalan (honorarium) 200-300 ribu per bulan, ribuan desa tanpa listrik, langka air bersih, dan lain-lain. Semuanya adalah cermin keterbelakangan desa.

Pada saat ini ada berbagai program untuk pembangunan desa, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur. Akan tetapi semestinya, pembangunan semacam itu, perlu lebih mengedepankan membangun manusia agar seperti disebut Bung Hatta menjadi orang atau kelompok yang “self help”, menjadi manusia mandiri.

Dari beberapa catatan di atas, bagaimana semestinya pemerintahan desa diatur dan dijalankan? Selama ini terkesan, paling tidak, ada tiga aspek yang ditekan-tekankan dalam mengatur pemerintahan desa. Pertama, aspek birokrasi, yaitu menempatkan pemerintahan desa sebagai kesatuan birokrasi penyelenggaraan pemerintahan negara. Pendekatan ini ditujukan untuk beberapa hal seperti:

(1) Hubungan antara pemerintah desa dengan satuan pemerintahan yang lebih atas, seperti hubungan pertanggungjawaban, hubungan pengawasan, hubungan keuangan, dan lain-lain, bukannya mengkedepankan agar pemerintahan desa memiliki kemampuan mandiri. Menekankan aspek menyeragamkan (uniformitas) pemerintahan desa dengan harapan akan

viii

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

(2) Menekankan pada upaya agar pemerintahan desa tetap “asli” sebagai cermin “keistimewaan” masyarakat Indonesia.

Kedua, aspek politik. Ada beberapa aspek politik pengaturan pemerintahan desa.

(1) Menekankan pemerintahan desa harus dibatasi agar tidak “mengusik” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat berlebihan kalau pemerintahan desa dapat mengusik Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Menekankan tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban publik terhadap pemerintahan. Bukan sebaliknya, fungsi pemerintahan terhadap publik menuju terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat desa.

(3) Menekankan pada partisipasi publik dalam peristiwa politik, seperti pemilihan umum. Bahkan, ada semacam mobilisasi untuk mendorong keikutsertaan publik.

Apa akibat pendekatan-pendekatan di atas? Selain pengaturan yang kompleks dengan ketentuan yang banyak, sehingga sulit dimengerti, apalagi dihayati oleh penyelenggara pemerintahan desa dan rakyat desa. Pengaturan semacam itu kurang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat desa yang sederhana dan berpikir konkrit (sebagai bagian dari cara berpikir rakyat Indonesia: magis-religius, komunal, konkrit, kontan).

Di hadapan Anda-anda, terhampar buku yang berjudul “Pemerintah Desa: Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem Pemerintahan NKRI”, yang ditulis oleh Prof. Dr. Hanif Nucholis, M.Si, seorang dosen yang mendalami seluk beluk pemerintahan desa. Buku ini tidak sekedar deskripsi normatif perjalanan pemerintahan desa, melainkan didapati berbagai gagasan suatu pemerintahan desa yang tidak sekedar sebagai “monument kesejarahan”, tetapi pemerintahan desa sebagai bagian dari tatanan pemerintahan modern Indonesia, demokratis, terkelola dengan baik (well managed) sebagai “avant garde” mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sentosa.

Mengingat bagian terbesar bangsa Indonesia hidup di desa, izinkan saya sebagai tanda ikut gembira atas kehadiran buku ini mengingatkan ungkapan: “solus populis suprema lex”, kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.

Kata Pengantar

ix

Dalam kaitan kesejahteraan rakyat, Adam Smith sebagai pencipta sistem kapitalisme mengingatkan: “No society can surely lourishing and happy, of which by far the greater of the number are poor and miserable”, tidak ada masyarakat yang bahagia dan sejahtera sepanjang bagian terbanyak (terbesar) rakyat masih miskin dan menderita. Frederick Engels mengingatkan: kemiskinan itu mempunyai akibat ganda “… that human being must irst of all eat, drink, shelter and close themselves before their can turn their attention to politics, science, art and religion”, manusia itu pertama-tama butuh makan, minum, tempat tinggal dan pakaian sebelum memberikan perhatian pada soal- soal politik, ilmu, seni, dan agama.

Bandung, Desember 2016

Prof. Dr. Bagir Manan

Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD

Mantan Ketua Mahkamah Agung

Mantan Ketua Dewan Pers

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

KATA PENGANTAR PENULIS

Buku ini bahan dasarnya adalah hasil penelitian Hibah Bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang status desa dinas dan kesatuan masyarakat hukum adat dalam sistem pemerintahan NKRI. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disusun makalah- makalah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah maupun yang dipresentasikan dalam seminar dan simposium ilmiah. Temuan penelitian yang disampaikan dalam buku ini adalah bahwa UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun sesudah amandemen tidak mengatur desa dinas. UUD 1945 pasca amanademen hanya memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (volksgemeecschappen) atau indigenous peoples (ILO Convention No. 169) sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip NKRI.

Temuan ini memperjelas perdebatan para pakar ilmu pemerintahan, ilmu administrasi negara, hukum tata negara, antropolog, dan sosiolog tentang status volksgemeecschappen yang disebut dalam Penjelasan Pasal 18 angka

II UUD 1945 sejak pengundangan UU No. 5/1979 sampai sekarang. Dalam perdebatan tersebut terdapat dua pihak yang saling bertentangan. Kedua pihak sepakat bahwa UU No. 5/1979 keliru tapi alasannya berbeda. Pihak pertama berpendapat bahwa UU No. 5/1979 keliru karena menyeragamkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memilik hak asal-usul dan adat istiadat. Pihak pertama mendesak agar desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya dikembalikan lagi sebagaimana keadaan semula sebagai kesatuan masyarakat (hukum) adat pribumi dengan hak asal-usul dan adat istiadatnya “sesuai” dengan Penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945 (sebelum amandemen). Pada pihak kedua, kekeliruannya bukan penyeragamanan desa, nagari, marga, gampong tapi UU No. 5/1979 membentuk unit pada pemerintahan baru yang tidak diintegrasikan dalam sistem pemerintahan daerah formal. Hal ini berarti melenceng dari

Kata Pengantar

xi xi

Sejak implementasi UU No. 5/1979 opini yang dibangun pihak pertama sangat mendominasi wacana. Akan tetapi, ketika penulis menyusun Tesis di Universitas Indonesia tentang UU No. 5/1979 dan Otonomi Desa, guru/ pembimbing penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein mengingatkan bahwa founding fathers kita tidak berniat mengkonservasi apalagi mensakralkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai volksgemeenschappen apa adanya tapi mengintegrasikannya ke dalam sistem pemerintahan formal sebagai pemerintahan kaki (Mochammad Yamin) atau sebagai daerah otonom kecil istimewa karena memiliki susunan asli (Soepomo). Sayangnya, beliau tidak mengelaborasi lebih rinci atas pernyataannya tersebut sehingga penulis menjadi kebingunan untuk waktu yang lama.

Di tengah skeptimisme tersebut pada tahun anggaran 2012-2013 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima proposal penelitian Hibah Bersaing penulis. Masalah yang diteliti adalah ketidakjelasan status desa dinas dalam sistem pemerintahan NKRI. Status desa dinas yang dibentuk oleh regim Soeharto melalui UU No. 5/1979 tidak jelas karena bukan satuan pemerintahan formal dan juga bukan komunitas yang mengurus dirinya sendiri berdasarkan hukum adat (volksgemeecschappen zaman Belanda atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat menurut UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2). Dengan pendekatan grounded dan kajian dokumen pernyataan guru penulis tersebut akhirnya terjawab. Buku ini memuat jawaban tersebut yang secara ringkas tercermin dalam judul buku.

Temuan baru ini diharapkan dapat membuka wawasan para pembela tradisionalisme dan konservatisme desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya bahwa desa dinas yang lahir melalui UU No. 5/1979 dan diteruskan oleh UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004 juncto UU No. 6/2014 khususnya Pasal 1-95 tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum

xii

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Bahwa di beberapa wilayah masih terdapat volksgemeenchappen atau indigenous peoples, fakta ini adalah obyek material yang luput dari pengaturan UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Misal, di pulau Jawa sepanjang pengetahuan penulis masih tersisa satu volksgemeenchappen atau indigenous peoples yaitu masyarakat Kanekes yang menghuni Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Kanekes masih eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples karena tidak mau tunduk kepada hukum positif. Ia tetap mengatur sistem kemasyarakatannya berdasarkan hukum adatnya sendiri, bukan berdasarkan hukum positip: UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Di pulau Jawa kesatuan masyarakat hukum adat di luar masyarakat Kanekes tidak ditemukan lagi keberadaaanya. Di luar Jawa sesuai dengan laporan AMAN masih terdapat banyak kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) Negara wajib mengakui dan menghormatinya. Oleh karena itu, UU No. 6/2014 seharusnya hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat ini, tidak mengatur desa dinas.

Di samping membuka wawasan baru bagi pembela tradisionalisme dan konservatisme desa, temuan ini juga diharapkan menggerakkan pemerintah dan DPR untuk menyusun UU baru tentang Desa khususnya dan pemerintahan daerah umumnya sesuai dengan visi founding fathers dan UUD 1945. Muhammad Hatta, Mochammad Yamin, dan Soepomo tidak pernah berpretensi mengawetkan dan mensakralkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya, sebagai volksgemeenscappen apa adanya tapi mengintegrasikannya ke dalam sistem pemerintahan daerah. Model pengintegrasian yang ditawarkan Yamin adalah memperbarui dan merasionalkan sesuai dengan semangat zaman lalu dimasukkan ke dalam

Kata Pengantar

xiii xiii

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudyaaan yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada guru penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein yang berhasil membuat penasaran penulis bertahun-tahun tentang kedudukan bekas volksgemeenschappen dalam struktur pemerintahan modern Indonesia merdeka. Kepada teman yang penuh pengorbanan Ace Sriati Rachman dan Ibnu Sina penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Penulis,

xiv

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

SEKAPUR SIRIH

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan / atau hak tradisi onal yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Buku yang disajikan ini merupakan salah satu cara pendekatan untuk membuka wawasan, mengenal sejarah tentang desa dengan segala polemik dan potensi yang ada. Semoga yang disajikan dalam buku ini dapat memberikan pengayaan cakrawala baru dan menggugah kesadaran semua pihak bahwa desa membutuhkan sentuhan kebijakan serta perhatian untuk memunculkan potensi besar desa di Indonesia.

Penerbit

xv

PENDAHULUAN

Warga negara Indonesia yang tinggal di desa sebagian besar rendah pendidikan, rendah pendapatan, rendah keterampilan, rentan kesehatan bahkan sebagian di antaranya hidup di bawah kemiskinan. Rumah reot terbuat dari gedek dengan atap daun rumbia, perkampungan yang tidak tertata, lingkungan kumuh, jalan yang becek dan/rusak parah, gedung sekolah yang nyaris roboh, gizi buruk keluarga, tingkat kematian tinggi bagi ibu yang melahirkan, anak-anak berpenyakit, sawah dan ladang tanpa irigasi, irigasi yang rusak dan tidak berfungsi, tambak dan pantai yang rusak, air bersih/ minum yang sulit, kantor desa yang kosong pada jam pelayanan, dan kepala desa yang bergaya hidup borjuis di tengah-tengah kemiskinan rakyatnya adalah pemandangan umum di perdesaan. Desa yang agak makmur adalah desa-desa yang dekat dengan kota besar karena penduduknya mencari nafkah di kota. Makin jauh dari kota besar makin miskin penduduknya. Lembaga pemerintah desanya juga terbatas hanya memberikan surat pengantar surat-surat publik yang diperlukan penduduk ke kantor kabupaten. Adminstrasi pertanahannya tidak tertib karena buku tanah Letter C peninggalan Belanda tidak dipakai tapi tidak ada buku pengganti selengkap dan serinci Letter C. Pengurus desanya tidak mempunyai komptensi memberikan pelayanan publik karena mereka bukan government oficial dan/atau public servant profesional.

Salah satu faktor utama atas keadaan tersebut adalah belum direfor- masinya lembaga desa. Lembaga desa sejak zaman penjajah Belanda dan Jepang sampai dengan sekarang belum berubah. Lembaga desa tak beranjak dari lembaga masyarakat yang dikooptasi Negara dengan fungsi mediator, mobilisator, dan pengawas, watchdog penduduk, tidak dijadikan lembaga publik dengan tugas utama public service. Struktur organisasinya sederhana yaitu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa dibantu oleh 6-9 staf. Semuanya bukan aparatur sipil negara tapi pengurus lembaga semi formal: antara komunitas dan lembaga negara. Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014 (Pasal 1-95)

Pendahuluan Pendahuluan

Dalam sejarah panjangnya, pada zaman kerajaan, desa menjadi obyek eksploitasi Raja. Dalam struktur feodal, Raja adalah penguasa mutlak atas orang desa dan tanah tempat penghidupannya. Oleh karena itu, orang desa harus memberi upeti kepada Raja melalui bekel/lurahnya. Bekel/lurah lalu menyerahkkan kepada patuh (kaki tangan punggawa). Patuh kemudian menyerahkan kepada punggawa (pejabat tinggi kerajaan). Setelah menerima upeti Raja tidak mempunyai kewajiban mengembalikan upeti yang diterima kepada rakyat desa dalam bentuk pemberian pelayanan publik untuk memakmurkan rakyat desa. Penduduk desa disuruh mengatur dan mengurus urusannnya sendiri sesuai dengan adat istiadat masing-masing. “Silakan memakmurkan diri sendiri. Aku tidak ikut ikut campur tangan”, titah sang Raja. Bagi Raja, apakah penduduk desa makmur atau sengsara bukan suatu masalah, yang penting penduduk desa memberi upeti karena menggarap

tanah “milik” Raja 1 . Ketika kompeni/VOC menguasai desa karena diserahkan Raja yang hutang

budi, nasib penduduk desa tidak berubah karena kompeni/VOC melanjutkan model fedoal tersebut. Penduduk desa tetap memberi upeti kepada kekuasan lebih tinggi. Bedanya kalau sebelumnya penerima akhir adalah Raja kali ini berubah menjadi Kompeni/VOC. Kompeni/VOC juga tidak mengembalikan upeti yang diterima kepada penduduk desa dalam bentuk pelayanan publik untuk menciptakan kemakmuran masyarakat desa. Bahkan kompeni/VOC memberi beban tambahan kepada penduduk desa berupa kerja rodi, heerendiesnten

untuk mengerjakan perkebunan dan proyek-proyeknya 2 . Ketika Rafles berkuasa (1811-1816) bekel/lurah dijadikan perantara/

mediator oleh pemerintah pusat dengan penduduk desa. Jika pada zaman VOC dan Daendels bekel/lurah tetap di bawah penguasa pribumi (bupati dan

wedana), di bawah Pemerintahan Rafles diangkat sebagai pejabat penarik pajak bumi, land rente. Untuk menyukseskan kebijakan land rente , Rafles

mereplikasi model land rente di Benggala India. Rafles memerlukan lurah baru karena lurah lama hanya mengerti sistem upeti, yang berbeda dengan sistem land rente. Di samping itu, lurah lama sangat loyal kepada patuh,

1 A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Yogyakarta, Yayasan untuk Indonesia, 2000 2 Ibid

2 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 2 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

masing kandidat yang berkompetisi tersebut 3 . Dengan cara ini, pemerintah dapat menemukan orang desa yang paling berpengaruh di desa tersebut. Orang yang pengikutnya paling banyak diangkat menjadi lurah. Tugas utamanya adalah mengumpulkan pajak bumi sebesar-besarnya sesuai target pemerintah. Pemilihan lurah dilakukan tiap tahun pajak untuk menjamin bahwa orang yang dijadikan mediator adalah orang yang tetap paling kuat dan besar pengaruhnya di desa tersebut.

Pada 1816 Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda berkuasa kembali. Rekrutmen lurah model Rafles diteruskan, hanya tidak dilakukan tiap tahun pajak tapi sekali saja yaitu untuk pertama kalinya sampai yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, atau dipecat. Kebijakan land rente juga tidak diteruskan tapi diganti dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (1830). Dalam sistem tanam paksa, pemerintah membuat aturan, 1) penduduk desa harus menyediakan 20% tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor dan 2) menyediakan tenaganya untuk kerja rodi selama 70 hari (20%) dalam setahun kepada pemerintah. Dalam rangka menyukseskan kebijakan ini, pemerintah menjadikan lurah tidak hanya sebagai mediator/perantara antara pemerintah dengan penduduk desa dalam penarikan pajak bumi tapi juga sebagai pengawas, watchdog penduduk agar penduduk patuh kepada

pemerintah 4 .

3 R.M.T. Tjokro Adi Koesoemo, Regent Temanggung, dalam Tijchrift Voor Het Binnenlandsh Bestuur, Twee-En-Dertigste Deel , Batavia: G. Kolff & Co., 1907, hlm. 99-101

4 AM Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Yogyakarta, Yayasan untuk Indonesia, 2000

Pendahuluan

Dengan diangkatnya lurah sebagai pengawas, watchdog, lurah menjadi penguasa yang sangat otoriter. Berdasarkan kewenangan ini lurah memaksa penduduk menyerahkan seperlima tanahnya dan tenaganya selama 70 hari (20%) kepada pemerintah. Lurah menjadi pengawas dan/atau penjaga atas implementasi kerja rodi penduduk desa yang terdiri atas heerendiesnten (kerja rodi umum), pancendiensten (keja rodi khusus melayani rumah tangga penguasa desa), keija atau cultuurdiensten (kerja rodi di perkebunan), dan dessadiensten (kerja rodi desa yang meliputi pekerjaan umum desa, pekerjaan melayani rumah tangga penguasa desa, dan ronda desa). Sejak saat ini lurah bersama dengan perangkatnya yaitu carik, kamituwa, bayan, modin, ulu-ulu, kepetengan/jogogoyo, menjadi watchdog yang sangat represif kepada warga

desa 5 . Pada 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Penjajah baru ini merombak

struktur organisasi pemerintah desa. Lembaga desa tradisional berdasar adat dihapus lalu dibentuk lembaga ku yang dipimpin oleh kuchoo. Kuchoo mempunyai delapan pembantu: juru tulis, lima mandor, amir, dan polisi desa. Di bawah ku dibentuk aza (sekarang RW) yang dipimpin oleh azachoo dan di

bawah aza dibentuk tonarigumi (sekarang RT) yang diketuai oleh gumichoo 6 . Masa jabatan kepala desa dibatasi hanya empat tahun yang sebelumnya seumur hidup. Akan tetapi, lembaga ini tidak dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal. Ia tetap ditempatkan di luar sistem pemerintahan formal sebagaimana statusnya dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda.

Sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, ku juga tidak difungsikan sebagai instrument negara memberikan pelayanan publik. Lembaga ku dijadikan alat negara untuk moblilisasi dan kontrol penduduk 7 . Tugas pengurus ku adalah mencari penduduk desa yang kuat untuk diserahkan kepada pemerintah menjadi tenaga romusha, mencari padi penduduk untuk disetorkan kepada pemerintah, dan menjadi mediator pemerintah membagi catu beras kepada penduduk. Aiko Kurasawa melaporkan betapa represif dan kejamnya perilaku kepala desa dan perangkatnya dalam menjalankan tugasnya tersebut sehingga menyebabkan pelawanan penduduk desa. Dalam peristiwa pemberontakan petani Indramayu, kuchoo menjadi sasaran kemarahan penduduk, dua di

antaranya terbunuh 8 .

5 Ibid 6 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945,

Jakarta, Grasindo, 1993 7 Ibid. 8 Ibid, hlm. 444

4 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa hubungan desa dengan pemerintah atasan sejak zaman kerajaan, VOC, penjajajah Inggris, pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan pemerintah pendudukan Jepang adalah sebagai alat penguasa untuk kepentingannya, bukan untuk kepentingan rakyat desa melalui pemberian pelayanan publik. Pada zaman kerajaan dan VOC penguasa desa memerankan diri sebagai kawula /pelayan Raja, pada zaman Rafles sebagai mediator (perantara) penarik pajak bumi, land rente, dan pada zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang sebagai pengawas, watchdog dan mediator Negara. Pemerintah desa tidak didesain sebagai cabang pemerintah level terbawah dengan fungsi pelayanan publik, pubic service untuk kepentingan rakyat desa. Sebagaimana diatur dalam IGO 1906 dan IGOB 1938 fungsi pelayanan publik diserahkan kepada masing-masing desa berdasarkan ikatan/ hukum adatnya. Praktiknya, penduduk desa tidak mendapatkan pelayanan publik baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari Negara.

Melihat fakta tersebut, Moch. Yamin dan Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 mengusulkan semua kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa, nagari, gampong, kuria, dan sebagainya diperbaharui dan dirasionalkan sesuai dengan perubahan zaman lalu dijadikan daerah otonom kecil berbasis adat sebagai pemerintahan kaki dan berifat istimewa. Menurut Soepomo pengertian istimewa di sini bukan karena desa, nagari, marga, kuria dan sebagainya mempunyai keunikan atau keluarbiasaan tapi semata-mata karena mempunyai susunan asli berdasarkan asal-usul dan adatnya. Gagasan Yamin dan Soepomo dikristalkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Perubahan) kemudian dituangkan dalam UU No. 22/1948. Ketika UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950 pengaturan desa sebagai daerah otonom kecil berbasis adat hilang tapi diatur kembali melalui UU No. 19/1965 setelah dasar Negara kembali ke UUD 1945.

Akan tetapi, regim Orde Baru melalui UU No. 5/1979 meng anulir nya. Regim Soeharto membubarkan desa tradisional (volksgemeenschappen) dan Desa- praja (UU 19/1965) lalu mem bentuk lembaga baru dengan nomenklatur peme- rintah desa. Pemerintah desa yang dibentuk melalui UU No. 5/1979 tersebut bukan revitalisasi volksgemeenschappen zaman Belanda tapi lem baga baru hasil replikasi ku zaman Jepang. Ku adalah lembaga semi formal yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang yang diberi tugas melaksanakan program pemerintah atasan. Ku tidak dimasukkan dalam sistem birokrasi pemerintah.

Pendahuluan

Pengurusnya tidak digaji Negara tapi digaji dengan tanah komunal bekas tanah lungguh/apanage.

Lembaga baru bentukan Orde Baru tersebut juga didesain mirip dengan ku baik struktur organisasi, fungsi, maupun tugasnya. Struktur organisasinya mirip: lurah, carik, lima mandor, dan dua staf pelaskana teknis. Fungsinya mirip: sebagai alat untuk melaksanakan tugas Negara. Tugas pokoknya juga mirip yaitu memobilisasi dan mengawasi penduduk: meng-Golkar-kan rakyat desa; menyukseskan program pemerintah pusat seperti Bimas/Inmas, keluarga berencana; pemberantasan buta huruf; indoktrinasi P4; mendata penduduk dari keterlibatan G 30 S/PKI dan keanggotaan partai politik; dan mobilisasi penduduk berdasarkan perintah dari pemerintah atasan seperti penanaman massal padi jenis PB dan IR, penyemprotan hama wereng, kampanye Golkar, sambutan pejabat, kerja bakti, dan lain-lain. Pemerintah desa tidak didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada rakyat desa. Hal ini berbeda dengan Desa di bawah UU No. 22/1948 dan Desapraja di bawah UU No. 19/1965. Menurut kedua UU ini, lembaga desa didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduk desa.

Lembaga desa bentukan regim Soeharto yang mirip dengan Ku tersebut dipertahankan sampai sekarang melalui UU 22/1999 jo UU 32/2004 jo UU 6/2014. Sebagaimana ku, status, fungsi, dan tugas Pemerintah Desa di bawah UU 6/2014 hampir sama: 1) tidak dimasukkan dalam struktur pemerintahan formal; 2) sebagai lembaga semi formal; 3) fungsi dan tugasnya adalah mobilisasi dan kontrol. Mobilisasi penduduk menjadi andalannya dalam menjalankan urusan dan tugas pemerintahan karena Pemerintah Desa tidak mempunyai government oficial dan/atau public servant profesional yang mencukupi. Cara kerjanya, Pemerintah membentuk lembaga semi formal yang diisi oleh penduduk sipil desa lalu memobilisasi. Lembaga semi formal yang dibentuk antara lain RT (copy Tonarigumi zaman Jepang), RW (copy Aza zaman Jepang) yang dimobilisasi untuk membantu melaksanakan urusan pemerintahan; Posyandu yang dimobilisasi untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak; LKMD yang dimobilisasi untuk membuat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa; PKK (copy Bujingkai zaman Jepang) yang dimobilisasi untuk meningkatkan peran perempuan desa; P3A yang dimobilisasi untuk mengurus pengairan petani; dan HANRA dan KAMRA (copy

6 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 6 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 diterus kan sampai sekarang dengan UU penggantinya: UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014. Semua UU tersebut mempunyai konstruksi yang sama: fungsi dan tugasnya sebagaii mediator, mobili sator, dan watchdog penduduk. Tugas pokok pemerintah desa sejak Orde Baru sampai sekarang adalah:

1. Mediator:

a. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan doku men publik seperti KTP, SIM, SKCK, Surat Keterangan Miskin, dan lain- lain dengan kantor-kantor yang relevan di kabu paten;

b. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan serti ikat tanah, girik, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain dengan kantor-kantor

yang relevan di kabupaten;

c. Menjadi perantara antara penduduk yang jual-beli tanah dengan Camat/PPAT atau notaris;

d. Menjadi perantara antara masyarakat desa dengan peme rintah atasan yang memberi proyek.

2. Mobilisator:

a. Pengerahan penduduk untuk kerja rodi/bakti atas proyek infra struktur dari Desa dan/atau pemerintah atasan;

b. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan proyek dari peme rintah atasan;

c. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program KB;

d. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program pemberan tasan buta huruf;

e. Pengerahan perempuan untuk mengikuti Posyandu;

f. Pengerahan perempuan untuk mengikuti progam PKK;

g. Pengerahan penduduk untuk memberantas hama dan/atau penyakit di sawah;

h. Pengerahan penduduk untuk menyambut pejabat yang berkunjung ke desa; dan lain-lain.

Pendahuluan

3. Pengawas/watchdog:

a. Mendata penduduk terlibat atau tidak terhadap G 30 S/PKI;

b. Mendata penduduk atas keanggotaan parpol dan Golkar;

c. Memberi perintah kepada penduduk untuk membayar pajak bumi dan bangunan;

d. Mengawasi penduduk yang terlibat atau dicurigai mengikuti orga- nisasi dan/atau partai terlarang atau teroris;

e. Mengawasi gerak gerik orang asing yang datang di desa;

f. Mengawasi orang baru; Karena hanya menjalankan fungsi mediator, mobilisator, dan watchdog

maka pemerintah desa tidak mengeksekusi urusan pelayanan publik pada tingkat desa. Semua urusan pelayanan publik dieksekusi di kabupaten melalui hirarki yang sangat panjang: RT, RW, kantor desa, kantor kecamatan, dan SKPD kabupaten/kota. Begitu juga dalam melaksanakan proyek pemerintah atasan. Eksekusinya di kantor pemilik proyek (kabupaten, provisi, pusat) lalu diteruskan ke bawah secara hirarki. Pemerintah desa hanya sebagai pelaksana dan pengawas saja. Pemerintah desa tidak memberikan pelayanan dasar: pendidikan anak usia dini dan dasar, kesehatan ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi rakyat, irigasi desa, pertanian dan perikanan, air bersih/minum desa, infra struktur desa, dan lain-lain. Semua pelayanan tersebut normatifnya menjadi tanggung jawab kabupaten. Akan tetapi, dinas-dinas kabupaten tidak menjangkau desa karena keterbatasan anggaran dan jauhnya tempat. Oleh karena itu, di desa terjadi kevakuman pelayanan publik (dasar). Hal inilah penyebab utama kemiskinan di desa karena kevakuman pelayanan dasar di desa sudah berlangsung sejak zaman penjajahan sampai sekarang.

Politik desa demikian tampaknya dipengaruhi oleh para pengagum “kehebatan” desa masa lalu. Para romantis masa lalu selalu menyuguhkan gambaran bahwa desa zaman penjajahan yang diatur hukum adat adalah desa yang gemah ripah, loh jinawi, murah sandang murah pangan, karta tenterem karta raharja (makmur, subur, murah pakaian dan murah bahan makanan, tenteram, aman, dan aman). Oleh karena itu, desa harus dikonservasi dengan hak asal-usul dan adat istiadat termasuk desa yang sudah ber kembang jauh menjadi desa semi urban dan urban. Mereka terus beropini bahwa menjadikan desa sebagai daerah otonom istimewa (asimetris) sebagaimana gagasan Soepomo adalah keliru. Oleh karena itu, desa harus dikembalikan

8 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 8 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Akan tetapi, karena para pengagum dan romantis masa lalu ter sebut menguasai opini publik berkat dukungan dana internasional dan jaringan NGO, politik desa demikian dilanjutkan dengan peng undangan UU No. 6/2014. UU ini diklaim sebagai UU organik yang diturunkan dari Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi,

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pembuat UU tampaknya terkecoh oleh opini publik yang dibentuk mereka. Perlu diketahui bahwa Pasal ini bukan norma untuk melegitimasi desa dinas bentukan Orde Baru tapi norma tentang kewajiban Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup sebagaimana dimaksud Van Vollehhoven, Ter Haar, dan ILO Covention on Indigenous and Tribal Peoples 1989 (No. 169). Pasal 1 ILO Convention Nomor 169 menjelaskan,

Pendahuluan Pendahuluan

b. peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions

Selanjutnya ILO (2003) menjelaskan unsur-unsur tribal peoples adalah sebagai berikut. a. traditional life styles; b. culture and way of life different of other segments of the natio nal

population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.; c. Own social organization and traditional custom and laws.

Sedangkan unsur-unsur indigenous peoples adalah sebagai berikut.

a. traditional life styles; b. culture and way of life different of other segments of the nati onal

population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.; c. Own social organization and political institutions.

ILO (2003) kemudian menjelaskan, Indigenous and tribal customs and traditions are central many of their life.

The form an integral part of indigenous and tribal peoples’ culture and identity, and differ from those of the national society. They may ancestor worship, religious and spiritual ceremonies, oral tradition, and rituals, wich have been passed down from generation to generation. Many ceremonies involve offering to nature spirits, and take place in order to maintain a balance with nature.

Many indigenous and tribal peoples have their own customs and practices wich form their customary law. This has evolved trough the years, helping to maintain a harmonious society.

Often, in order to apply these customs and practices, indigenous and tribal peoples have their own institutional structures such as judicial and administrative bodies or councils. These bodies have rules and regulations to make sure customary laws are followed. Failure to do so is often punished

and each lapse often has its own speciic punishment. The Convention recognized the right of indigenous and tribal peoples to their

own customs and customary laws should be taken into account.

10 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Kongres pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN I) di Jakarta, pada 15-22 Maret 1999 mendeinsikan masyarakat adat sebagai berikut 9 .

Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayahnya geograis tertentu, serta memiliki sistem nilai,

ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri Deinisi tersebut kemudian diperbaiki menjadi 10 , Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara

turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaultan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diaitur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masayarakatnya.

Jadi, norma Pasal 18 B ayat (2) sebenarnya hanya ditujukan kepada obyek material yang disebut volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples atau kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, UU ini justeru lebih banyak mengatur desa dinas bentukan regim Orde Baru (Pasal 1-95). Desa dinas bentukan regim Soeharto bukan volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples tapi lembaga baru yang merupakan replika/tiruan ku zaman penjajahan Jepang. Desa dinas bukan lembaga masyarakat berdasarkan pengaturan norma hukum adat tapi lembaga semi formal yang dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan pengaturan hukum positif (UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014).

Kesalahan fatal UU ini adalah memuat aturan desa dinas yang dibentuk Negara berdasarkan hukum positif bisa dikembalikan menjadi desa adat yang artinya diatur dengan hukum adat. Begitu juga kelurahan. Berdasarkan logika akademik lembaga bentukan Negara berdasarkan hukum positif tidak bisa dirubah menjadi indigenous peoples berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis. Demikian pula kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples yang sudah diatur dengan hukum positif sudah tidak bisa lagi disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Puluhan ribu desa dinas yang sudah 34 tahun diatur berdasarkan hukum positif tidak bisa dimundurkan kembali menjadi volksgemeenschappen sebagaimana desa zaman IGO 1906 dan IGOB 1938. Begitu juga Kelurahan yang sudah urban,

9 Dalam Greg Acciaioli, Dari Pengakuan Menuju Pelaksanaan Kedaulatan Adat: Konseptualisasi-Ulang Ruang Lingkup dan Signiikansi Masyarakat Adat dalam Indonesia Kontemporer, Jamie S. Davidson, dkk). Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonsdia, 2010, hlm. 328

10 Ibid

Pendahuluan Pendahuluan

Pemerintah dan DPR mestinya memfasilitasi perubahan masyarakat desa yang makin rasional dan modern bukan menghentikan dan memutar balik ke zaman penjajahan dan tradisionalisme. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 pen duduk desa tinggal 50%. Diperkirakan pada 2045 sudah tidak ada penduduk tinggal di perdesaan, semuanya tinggal di perkotaan. Mereka hidup dengan budaya dan cara berpikir urban dan metropolis. Contoh nyata trend tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum adat Baduy di Lebak Banten. Saat ini sudah terbentuk komunitas Baduy-Luar yang pelan tapi pasti meninggalkan nilai dan norma hukum adat masyarakat Baduy-Dalam. Mereka sudah sedikit urban dan terus mengarah ke masyarakat semi urban. Tokoh-tokoh Baduy- Dalam menyadari perubahan tersebut karena tahu bahwa perubahan tidak bisa dihentikan.

Sejak implementasi UU No. 5/1979 lembaga desa sudah diatur dengan hukum positip, bukan hukum adat. Selama 34 tahun diselenggarakan dengan hukum positif sebagian besar masyarakat desa sudah benar-benar meninggalkan norma hukum adat dan sudah berpikir dan berperilaku rasional sebagaimana orang kota umumnya: berekonomi pasar (bukan subsisten lagi), menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal, berpakaian sebagiamana pakaian orang kota, berobat secara medis (bukan lagi secara magis), naik sepeda motor dan/atau mobil, menggunakan teknologi modern untuk mengolah sawah/kebun, memanfaatkan lembaga bank untuk kegiatan ekonominya, dan terus bergerak mencari peluang ekonomi dan penghidupan yang lebih baik dan menjanjikan di berbagai tempat.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan masyarakat desa bukan peme liharaan dan pengawetan tradisionalisme dan konservatisme ber dasarkan hukum adat tapi pelayanan publik yang rasional sebagaimana pelayanan publik yang dibutuhkan orang modern perkotaan tapi berbasis desa: 1) penyediaan air bersih/minum;

2) pendidikan anak usia dini dan dasar; 3) irigasi pertanian desa modern; 4) pelayanan kesehatan ibu dan anak; 5) budi daya dan pemasaran hasil bumi/ air; 6) pelatihan pemuda desa agar menjadi tenaga terampil; 7) infrastruktur perdesaan: 8) transportasi perdesaan; 9) pengembangan ekonomi rakyat;

10) penataan tata ruang dan perumahan; dan 11) administrasi pertanahan yang tertib dan modern yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang

12 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 12 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI