Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari luar Eksternal Pasar Terjadinya Praktek Pencucian Uang di Pasar Modal

10. Pembayaran transaksi melalui uang tunai, transfer dari rekening atas nama pihak lain, cek atas nama pihak lain, atau bentuk pembayaran lain yang sejenis dalam jumlah yang besar; dan 11. Adanya frekuensi transaksi pada rekening nasabah yang sangat tinggi tetapi frekuensi transaksi efeknya sangat sedikit.

B. Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari luar Eksternal Pasar

Modal Tindak pidana yang berasal dari luar eksternal pasar modal dapat dilihat pada Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, yang menyatakan bahwa 68 : 1 “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. Korupsi; b. Penyuapan; c. Narkotika; d. Psikotropika; e. Penyelundupan tenaga kerja; f. Penyelundupan imigran; g. Di bidang perbankan; h. Di bidang pasar modal; i. Di bidang perasuransian; j. Kepabeanan; k. Cukai; l. Perdagangan orang; m. Perdagangan senjata gelap; n. Terorisme; o. Penculikan; p. Pencurian; q. Penggelapan; r. Penipuan; s. Pemalsuan uang; t. Perjudian; 68 Pasal 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Op.cit. Universitas Sumatera Utara u. Prostitusi; v. Di bidang perpajakan; w. Di bidang kehutanan; x. Di bidang lingkungan hidup; y. Di bidang kelautan dan perikanan; atau z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 2 Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan danatau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf n”. Pembagian tindak pidana pasar modal ke internal dan eksternal adalah untuk memudahkan pemahaman mengenai kejahatan asal dari pencucian uang dilakukan. Untuk lebih lanjut akan dibahas mengenai contoh kasus pencucian uang. Kasus yang diangkat dalam penulisan riset penelitian ini adalah Kasus LC Fiktif Bank BNI’46.

C. Kasus LC Fiktif BNI’46

Kasus pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp.1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of Credit disingkat LC. 69 Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro. Awal terbongkarnya kasus, pada saat BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 69 Letter of Credit disingkat LC adalah suatu pernyataan tertulis dari bank atas permintaan nasabah untuk menyediakan dan menyelesaikan suatu jumlah kewajiban tertentu bagi kepentingan pihak ketiga beneficiary, dengan syarat-syarat yang ditentukan. Pada umumnya LC digunakan untuk membiayai penjualan barang jarak jauh antara eksportir dan importir. Lihat Black’s Law Dictionary, http:www.blackslawdictionary.comHomeDefault.aspx., diakses pada 20 Maret 2011. Universitas Sumatera Utara 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang tinggi, senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. 70 Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan LC yang besar dan negara bakal rugi lebih dari satu triliun rupiah. Penjelasan mengenai LC fiktif BNI 46 adalah sebagai berikut 71 : 1. Waktu kejadian : Juli 2002 sd Agustus 2003; 2. Opening Bank 72 : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd., The Wall Street Banking Corp., dan Middle East Bank Ltd.; 3. Total nilai LC : US. 166,79 juta dan €. 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 triliun; 4. BeneficiaryPenerima LC 73 : 11 Perusahaan di bawah Gramarindo Group dan 2 Perusahaan di bawah Petindo Group; 5. Objek Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu; 6. Tujuan Eskpor : Congo dan Kenya; 7. Skim : Usance LC. 74 70 “Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh KrediturBank kepada DebiturNasabah”, http:korup5170.files.wordpress.com200805money-laundering.pdf., diakses pada 19 Maret 2011. 71 Ibid. 72 Opening Bank atau Issuing Bank atau Bank Penerbit adalah bank yang diminta oleh yang mengajukan permohonanapplicant untuk menerbitkan LC. Dalam Black’s Law Dictionary, Op.cit. 73 Beneficiary atau Penerima adalah pihak yang menerima LC dan biasanya juga adalah eksportir. Dalam Ibid. 74 Usance LC adalah LC yang mensyaratkan pembayaran atas unjuk, dimana kewajiban bank untuk melakukan pembayaran adalah pada saat dokumen-dokumen diajukan kepadanya. Dalam Ibid. Universitas Sumatera Utara Adapun kronologis kejadian LC BNI 46 tersebut, adalah sebagai berikut 75 : 1. Bank BNI Cabang Kemayoran Baru menerima 156 buah LC dengan Issuing Bank : RosBank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd., The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan bank yang tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express bank dan Standard Chartered Bank; 2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka kredit ekspor atas LC-LC tersebut di atas BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp. 1,6 triliun dan Petindo Group menerima Rp. 105 miliar; 3. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya; 4. Setelah diusut pihak Kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah ada terjadi; 5. Gramarindo Group telah mengembalikan Rp. 542 miliar, sisanya Rp. 1,2 triliun merupakan potensi kerugian BNI. Dalam menanggapi kasus ini manajemen Bank BNI mengatakan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian, tetapi yang ada hanya potensi kerugian 75 “Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh KrediturBank kepada DebiturNasabah”, Op.cit. Universitas Sumatera Utara potential losses. Minimnya informasi mengenai sistem pembayaran perdagangan internasional melalui Letter of Credit LC menimbulkan semakin banyaknya kerugian-kerugian yang akan ditimbulkan di kemudian hari. 76

1. Pelanggaran dan Penyimpangan yang Terjadi

Adapun beberapa pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi pada kasus yang sudah dipaparkan di atas, antara lain 77 : 1. Pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang- undangan lainnya; Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank prudential banking practice Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit BMPK yaitu 20 dari modal disetor bank. Modal disetor BNI per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun 20 modal disetor. Nilai LC yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7 triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank. Diduga telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap LC dan dokumen ekspor BL, karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo. 76 Ibid. 77 Ibid. Universitas Sumatera Utara Di samping itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada saat kasus diperiksa di pengadilan masih menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Pelanggaran terhadap aturan internal Bank; Semua bank, tidak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi LC, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi. Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan LC sebagai berikut : a. Pada saat meneruskan LC; Dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya fiktif. Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden, tentunya pada saat LC diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan LC dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata LC itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses selanjutnya. Universitas Sumatera Utara Dalam UCP 500 78 Pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank 79 memutuskan untuk meneruskan LC maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan LC yang diteruskannya dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing Bank. Pasal 7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan LC, Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing Bank dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan LC tersebut, maka ia harus memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan LC tersebut. Ada beberapa kemungkinan atas lolosnya LC dari bank- bank tersebut, yaitu : 1 LC tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan LC dimaksud. 2 LC tersebut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal. 3 LC memang tidak diotentikasi sama sekali oleh Bank BNI 4 Satu hal yang juga sudah menjadi praktek standart yang dilakukan oleh bank- 78 UCP 500 adalah peraturan internasional mengenai perdagangan antar negara dengan menggunakan LC. Kepanjangannya adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credits. Dikeluarkan oleh ICC International Chamber of Commerce di Paris, Perancis. 500 adalah nomor seri keluarannya. Dalam Black’s Law Dictionary, Op.cit. 79 Advising Bank atau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan LC kepada eksportir. Dalam Ibid. Universitas Sumatera Utara bank diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari LC. b. Pada saat proses negosiasi Diskonto Usance LC; Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk menolak negosiasi. Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan kondisi LC telah terpenuhi. Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP Pasal 4 : “dalam pelaksanaan LC, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang- barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan”. Meskipun UCP Pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang barang telah benar-benar dimuat di atas kapal, sehingga bisa diterbitkannya Bill of Lading. 80 Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang benar- benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran 80 Bill of Lading adalah surat yang dikeluarkan maskapai pelayaran yang menerangkan bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut sampai ke pelabuhan tujuan dan diserahkan kepada penerima; surat muatan mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai perjanjian pengangkutan, tanda bukti penerimaan barang, dan tanda bukti pemilikan barang. Dalam Ibid. Universitas Sumatera Utara atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat. Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan LC, maka dalam kasus Bank BNI dimana LC mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa dilaksanakan negosiasi. c. Penanganan Pasca Negosiasi Diskonto Usance LC; Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak Issuing Bank wanprestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance. Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi oleh Issuing Bank. Disamping itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri, negotiating bank dapat menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres. Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas LC yang tidak dikonfirmasi, untuk LC yang dikonfirmasi Negotiating Bank tidak mempunyai hak regres Pasal 9.IV UCP 500. Jadi dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh Negotiating Bank untuk mengeksekusi hak regresnya. Bank juga harus meyakini Universitas Sumatera Utara bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana. Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi LC tersebut di atas sejak dari tahap awal penerusan LC sampai dengan LC itu kemudian direalisir dan terjadi negosiasi. Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada nasabahnya. 3. Pelanggaran terhadap UCP 500; Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wanprestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka Issuing Bank dimaksud telah melanggar Pasal 9.A.III, UCP 500 yang antara lain berbunyi : “Suatu irrevocable LC merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi LC, untuk : a. Apabila LC mensyaratkan pembayaran atas unjuk sight – untuk membayar atas unjuk; b. Apabila LC mensyaratkan pembayaran kemudian defferred payment – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan LC tersebut; c. Apabila LC mensyaratkan akseptasi : 1 Oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo 2 Oleh bank tertarik lainnya untuk menerima dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam LC tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik Universitas Sumatera Utara tersebut pada saat jatuh tempo”. 4. Penyimpangan terhadap kebiasaan dan Best Practice di Dunia Perbankan; Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sebagai berikut : a. Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank Commercial Line; b. Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal untuk yang LC berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya dikonfirmasi; c. Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas Gramarindo Petindo, dengan analisa 5C Character, Capability, Capital, Collateral Condition dan Trade Line; d. Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen . 5. Pelanggaran terhadap Etika; Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto LC kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar. 6. Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; Sehubungan dengan persidangan kasus LC fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Vonis terhadap pelaku internal BNI : No. Nama Jabatan Vonis PN 1. Edi Santoso Kabid Pelayanan LN BNI Cab. Kebayoran Baru Penjara Seumur Hidup 2. Kusadiyuwoon Kepala Cab. BNI Kebayoran Baru 16 Tahun Penjara Vonis terhadap pelaku nasabah BNI : No. Nama Jabatan Vonis PN 1. Olah Abdullah Agam Direktur PT. Gramarindo Legal Indonesia 15 Tahun penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 300 Juta. 2. Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros 15 Tahun Penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 200 juta 3. Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique Esa Indonesia 15 Tahun Penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 400 juta. 4. Titik Pristiwanti Direktur Binekatama Pasific 8 Tahun Penjara; Denda Rp. 300 juta. 5. Richard Kuontul Direktur Netrantara 10 Tahun Penjara; Denda Rp. 150 juta. PASAL YANG DILANGGAR : PRIMAIR : - Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. SUBSIDAIR : - Pasal 3 ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat 1 ke-1 KUHP. LEBIH SUBSIDAIR : - Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Universitas Sumatera Utara Penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku baik internal maupun eksternal pada kasus LC Fiktif Bank BNI’46 ini adalah terlalu ringan karena dana yang diambil lebih besar dari yang dijatuhi hukuman. Hal tersebut jelas tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Seharusnya para pelaku kejahatan tersebut dimiskinkan atau disita seluruh harta bendanya baik atas namanya maupun atas nama anak, saudara dan 3 tiga garis keturunan ke bawah. Jika sudah dimiskinkan maka pelaku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk naik banding ataupun ingin mengajukan upaya hukum lainnya. Sehingga kasus tersebut selesai sampai disitu.

2. Analisis Hukum LC Fiktif Bank BNI’46

Dalam Kasus seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, ada beberapa indikasi yang dilakukan oleh pihak kreditur bersama dengan para penegak hukum, yaitu 81 : 1. Melaporkan tindak pidana kepada Aparat Kepolisian. Contoh kasus tersebut, kreditur melakukan penyuapan kepada pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan agar kasus tersebut dapat dipidanakan, sehingga menyeret beberapa aparat kepolisian masuk penjara karena terlibat penyuapan. Pihak kejaksaan dan pengadilan belum ditemukan adanya kasus penyuapan karena terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk saling menyelamatkan institusi; 2. Walaupun telah dilaporkan kepada pihak kepolisian, bahwa telah terjadi tindak pidana, tetapi beberapa Asset yang telah diserahkan karena Debitur melaksanakan Akte Pengakuan Hutang, dijual sendiri oleh kreditur dengan 81 “Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh KredituBank kepada DebiturNasabah”, Op.cit. Universitas Sumatera Utara alasan melakukan recovery bank atau melakukan negosiasi sendiri apabila yang dijaminkan oleh debitur adalah Tagihan Piutang pada Pihak ke-III; 3. Polisi seharusnya menyita Asset dari Debitur, karena telah dibuktikan melakukan tindak pidana, tidak segera menyita, sebaliknya bersama kreditur ikut melakukan penjualan Asset tersebut tanpa melibatkan Debitur, sehingga Debitur tidak tahu dengan sebenar-benarnya berapa yang telah dijual dan yang telah disetorkan kepada pihak Kreditur, contoh kasus LC BNI tersebut, aparat polisi bersama-sama dengan kreditur menjual Assets milik Debitur, dengan hasil penjualan adalah Rp. 5,3 miliar, disetorkan kepada Kreditur hanya Rp. 1 miliar, sisanya hilang begitu saja; 4. Terjadi tarik menarik dan saling menyalahkan, antara pihak kepolisian yang seharusnya berhak menyita, karena telah dilaporkan adanya tindak pidana, tetapi Kreditur tidak menyerahkan kepada aparat polisi karena mengharapkan melakukan recovery sendiri; 5. Kreditur sangat melindungi institusinya dengan mengorbankan pejabat rendahan. Bahwa pejabat tersebut yang telah bersama-sama dengan debitur melakukan tindak pidana padahal sistem pada BNI 46 tersebut sangatlah tidak mungkin apabila pejabat sampai tingkat pusat tidak mengetahui, karena semua transaksi sangat berpengaruh pada perdagangan Valuta Asing Valas yang bersifat harian dan menggunakan sistem online; 6. Kreditur selalu memberikan biaya operasi kepada setiap tindakan para aparat hukum, membelikan laptop, handphone, meubelair, uang saku, dan uang operasional perjalanan untuk melakukan sita administrasi dan biaya-biaya Universitas Sumatera Utara lainnya agar tindak pidana tersebut tidak melebar dan mengarah kepada tindak pidana yang dilakukan oleh Kreditur, cukup para Debitur dan pegawai rendahan Kreditur yang dikorbankan; 7. Kreditur rela mengeluarkan uang untuk mengatur media massa, cetak dan elektronik dalam bentuk pemasangan iklan, sehingga semua pemberitaan menjadi tidak seimbang, semua pemberitaan menyudutkan debitor hanya untuk membentuk opini masyarakat; 8. Secara aktif melakukan pendekatan kepada institusi penegak hukum, melewati pengacaranya dan memberikan informasi kepada penegak hukum baik tertulis ataupun lisan yang menguntungkan Debitur; 9. Ada kecenderungan penegak hukum polisi, jaksa, hakim yang menangani kasus tersebut tidak begitu pahampandai melihat kasus yang sebenarnya, penegak hukum dan Kreditur telah melakukan kolaborasi untuk memidanakan Debitur dengan alasan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi, karena kalau dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, penegak hukum yakin Debitur akan bebas karena alasan pembuktiannya akan lemah sekali dan mudah dibantahkan oleh Debitur; 10. Ada kecenderungan Kreditur mempengaruhi proses persidangan, bahkan daftar penyitaan asset yang dilakukan oleh hakim, bukan dari alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan yang terlebih dahulu telah disita oleh polisi tetapi daftar asset yang diajukan oleh Kreditur pada saat menjadi saksi dalam persidangan, dimana daftar asset-asset tersebut harus diteliti lebih dahulu Universitas Sumatera Utara kepemilikannya bahkan kepemilikan pihak ketiga yang tidak terkait kasus tersebut ikut disita; 11. Ada perlakuan pidana yang tidak sama terhadap para Debitur, walaupun peran dan pasal yang divoniskan sama, Debitur A divonis ringan, tanpa penyitaan, Debitur B divonis berat, tanpa penyitaan, Debitur C divonis berat dan tetap dilakukan penyitaan, dan penghitungan uang pengganti untuk menutu pkerugian negara, tanpa menggunakan tolok ukur yang benar; 12. Penyitaan asset yang dilakukan, hanya Sita Administrasi karena ada unsur kesengajaan yang dilakukan Penegak Hukum dan Kreditur untuk tidak segera melakukan Sita Eksekusi terhadap asset debitur, sehingga asset potensial yang seharusnya dapat menutup kerugian negara, menjadi terlantar dan terjadi penurunan nilai ekonomis yang cukup signifikan; 13. Kreditur melakukan window dressing selama lebih dari satu tahun terhadap neraca keuangannya, karena ada maksud tersembunyi dari pemidanaan para Debitur yaitu menutupi kejadian Debitur lainnya yang lebih besar, agar Kreditur tidak ketahuan dan Debitur yang dilindungi dapat mempunyai waktu untuk melakukan penyelesaian kreditnya. Dari seluruh poin-poin di atas yang terkait dengan pencucian uang dalam kasus LC Fiktif BNI 46 dibuktikan dengan hasil pencucian uang kasus BNI masuk Universitas Sumatera Utara ke pasar modal. 82 Menurut keterangan Ketua BAPEPAM, Herwidayatmo, sebagai berikut : ”Terdapat aliran dana ke pasar modal yang diduga merupakan hasil tindak pidana pencucian uang money laundering. Jumlahnya sekitar Rp. 11,4 miliar. Berdasarkan laporan dari PPATK aliran dana diduga merupakan bagian dari hasil tindak pidana manipulasi kredit ekspor BNI. Sebagian dimasukkan ke reksadana, sebagian lagi ke pasar saham, dan sisanya dibelikan obligasi korporasi. BAPEPAM-LK sudah mengirim tim ke PPATK untuk mengkaji bahan-bahan dan temuan yang ada untuk ditindaklanjuti. Saat ini sudah ada empat perusahaan yang terindikasi menerima dana tersebut. Perusahaan tersebut harus diperksa apabila diketahui ada transaksi yang mencurigakan, maka berdasarkan peraturan yang ada perusahaan-perusahaan tersebut harus dilaporkan ke PPATK dan BAPEPAM-LK. Berdasarkan Peraturan BAPEPAM No. 5D10, perusahaan diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau Know Your Customer KYC. Kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengetahui bahwa duit yang digunakan untuk membeli surat-surat berharta tersebut adalah uang haram. Sewaktu mengambil uangnya di bank tidak ada masalah karena kasusnya baru terbongkar beberapa waktu kemudian”. Sebelumnya berkas laporan telah terjadi pencucian uang di pasar modal sudah diserahkan kepada BAPEPAM-LK oleh PPATK. Hal ini diungkapkan oleh Ketua PPATK, Yunus Husein, sebagai berikut 83 : ”Yunus Husein mengakui adanya empat perusahaan sekuritas yang menjadi sarana pencucian uang money laundering dana hasil pembobolan BNI. Tetapi kemungkinan besar perusahaan tersebut tidak mengetahuinya. Sebagian dana hasil pembobolan BNI ternyata disalurkan ke pasar modal. Dana sebesar Rp. 11,4 miliar tersebut digunakan untuk membeli satu obligasi, dua saham, dan satu reksadana. Hal ini terungkap berkat laporan dari bank yang digunakan untuk menyalurkan dana tersebut. Jadi, bank tidak salah. 82 Ahmad Ihsan, “Hasil Pencucian Uang Kasus BNI Masuk Pasar Modal”, Kamis, 19 Februari 2004, http:www.tempointeraktif.comhgekbis20040219brk,20040219-28,id.html., diakses pada 19 Maret 2011. 83 Ahmad Ihsan, “PPATK : Empat Perusahaan Sekuritas Terlibat Pencucian Uang”, http:www.tempointeraktif.comhgekbis20040219brk,20040219-39,id.html., diakses pada 21 Maret 2011. Universitas Sumatera Utara Bank justru yang membantu karena melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan tersebut. PPATK kemudian menemukan adanya empat perusahaan sekuritas yang membantu menyalurkan dana tersebut. Selanjutnya, PPATK melayangkan surat pemberitahuan kepada perusahaan-perusahaan bahwa mereka telah menjadi sarana tindak pidana pencucian uang. Perusahaan tersebut hanyalah sebagai sarana, pelaku sebenarnya adalah yang menyuruh untuk membeli dan sekarang memiliki surat-surat berharga tersebut. Yunus mengakui keempat perusahaan tersebut bersalah karena tidak melaporkan dari awal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Barulah setelah dikirimi pemberitahuan oleh PPATK keempatnya melaporkan konfirmasi adanya empat perusahan sekuritas tersebut. Yunus menduga kemungkinan besar mereka memang tidak mengetahui bahwa dana yang disetorkan oleh investornya adalah dana hasil pembobolan BNI. Informasi yang dikumpulkan PPATK menyatakan bahwa aktivitas pembelian surat berharga oleh uang haram tersebut dilakukan pada bulan September, Oktober, dan November 2003. Menurut Yunus Husein, wajar apabila empat perusahaan sekuritas tersebut tidak mencurigai dana dan si investor karena pada saat itu kasus BNI belum terbuka, BI baru menerima laporan dari BNI pada bulan Oktober 2003. Beberapa bank juga tidak mengetahui adanya uang haram hasil pembobolan BNI yang disimpannya. Bagaimana bank bisa curiga karena mereka menggunakan nama badan hukum lain, nama orang lain yang tidak dikenal untuk menyimpan maupun mencairkan uang tersebut. Oleh karena itu wajar saja kalau empat perusahaan sekuritas tersebut tidak menyadari bahwa dana yang diterima adalah uang haram. Bank saja awalnya tidak tahu. Baru setelah dikirimi surat pemberitahuan kemudian menjadi waspada dan berhasil menemukan beberapa rekening yang mencurigakan. Walaupun demikian pemeriksaan tetap dilakukan mengapa keempatnya tidak melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Seluruh berkas laporan sudah diserahkan kepada Bapepam, kini semuanya tergantung dengan mereka. PPATK juga melaporkan temuan ini kepada Kepolisian karena dana tersebut merupakan barang bukti kasus BNI”. Dalam hal pengejaran atau pencarian aliran dana yang masuk ke pasar modal dapat dilakukan dengan mengikuti arus aliran dana atau arus aliran saham, seperti Universitas Sumatera Utara yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Hal inilah yang dilakukan PPATK untuk mengejar para pelaku kejahatan pencucian uang. Pengejaran dimaksud harus didasarkan dengan laporan dari BAPEPAM-LK terlebih dahulu barulah PPATK dapat bekerja. Ini yang disebut passive responsive dari institusi PPATK. Dalam pemberian sanksi kepada perusahaan sekuritas tempat terjadinya pencucian uang kasus BNI ini diserahkan kembali oleh PPATK kepada BAPEPAM-LK karena pemberian sanksi bukanlah kewenangan PPATK. Ranah hukumnya adalah BAPEPAM-LK. Mengenai budaya hukum yang diutarakan dalam teori Sistem Hukum, Lawrence M. Friedman terkait dengan kasus LC Fiktif BNI adalah bahwa belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat dan perbedaan pemahaman masyarakat nasabah bank mengenai praktik pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat. Substansi dari sistem hukum adalah norma-norma yang tedapat dalam undang-undang dan putusan pengadilan. Aparatur atau organ dapat diumpamakan sebagai mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut. Selanjutnya, yang menentukan berjalannya suatu sistem hukum adalah budaya hukum legal culture masyarakat. Budaya hukum masyarakat ditentukan oleh sub-culture. Sub-Culture tersebut dipengaruhi, antara lain oleh : agama; pendidikan, posisi atau kedudukan; kepentingan; dan nilai-nilai yang dianut. Universitas Sumatera Utara Secara umum hambatan yang ada dalam tindak pidana pencucian uang dalam Kasus LC Fiktif BNI tersebut, yaitu 84 : 1. Kelemahan substansi sistem hukum yang antara lain disebabkan oleh : a. Materi dan sanksi hukum tidak lengkap; b. Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera; c. Hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan keadilan; d. Tidak mengikuti perkembangan zaman. 2. Kelemahan aparatur negara; a. Ketidakpastian bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan kewajiban pelaporan; b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan; c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam mengungkapkan kejahatan money laundering; 3. Budaya hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang. Agar tindak pidana money laundering dapat diberantas maka harus dilakukan secara sistematis dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem tersebut. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh Presiden dan pejabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti Menteri, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan dan tentunya anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Para penegak hukum tersebut harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuatan dan kepentingan lainnya. 85 84 “Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh KrediturBank kepada DebiturNasabah”, Op.cit. 85 Ibid. Universitas Sumatera Utara Selain itu diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap transaksi perbankan yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu ”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti Indonesian Corruption Watch ICW di setiap KabupatenKota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintah daerah tersebut. 86

D. Terjadinya Praktek Pencucian Uang di Pasar Modal

Adapun terjadinya praktek pencucian uang di Pasar Modal dilakukan dengan 2 dua cara yaitu : integration dan layering. Integration adalah mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman. Layering adalah memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan audit trail asal usul dana. 87 Pertama, hasil dari tindak pidana selain tindak pidana pasar modal masuk ke dalam sistem pasar modal dicuci melalui transaksi yang dilakukan di pasar modal, misalnya uang hasil korupsi diinvestasikan dengan cara pembelian saham. Kedua, hasil tindak pidana pasar modal dicuci melalui sistem pasar modal juga. Jika yang terjadi adalah keadaan yang kedua, maka kejahatan dan proses pencucian uang dilakukan dalam satu medium yang sama yaitu pasar modal. 86 Ibid. 87 Yunus Husein, “Rezim Anti Money Laundering : Aspek Hukum dan Perkembangan Terkini”, Disampaikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 8 Mei 2009, hal. 8. Universitas Sumatera Utara

BAB III KEWENANGAN BAPEPAM-LK TERHADAP PENANGANAN PRAKTEK

MONEY LAUNDERING DI PASAR MODAL Salah satu kejahatan kerah putih yang sedang naik daun di dunia kejahatan adalah pencucian uang. Maraknya tindak pidana jenis kerah putih seperti pencucian uang ini bisa disebabkan oleh sulitnya pendeteksian dini disamping canggihnya teknologi yang digunakan dalam aplikasi transfer uang melalui sistem perbankan. Sulitnya upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang terbukti suatu negara akan dimasukkan dalam daftar negara dan wilayah yang tidak kooperatif dalam memerangi tindak pidana pencucian uang oleh The Financial Action Task Force FATF, sekalipun pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Money Laundering . Indonesia pernah masuk ke dalam daftar tersebut pada tahun 2003 tetapi saat ini sudah keluar dari daftar tersebut. FATF adalah sebuah lembaga internasional intra pemerintah yang didirikan oleh kelompok G-7 di Prancis, Juli 1989, dengan tujuan untuk mengembangkan dan mempromosikan kebijakan untuk memerangi pencucian uang. 88 Tentu saja penerbitan peraturan tidaklah cukup tanpa diiringi oleh penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan itu sendiri. Namun, paling tidak pemerintah Indonesia telah dapat menunjukkan iktikad baik dan secara sungguh-sungguh berusaha memberantas kejahatan pencucian uang melalui penerapan prinsip 88 Robinson Simbolon, “Mewaspadai Pencucian Uang Melalui Pasar Modal”, DIKTI : Journal Hukum Bisnis Vol. 22, No. 23, 2003, hal. 52. Universitas Sumatera Utara pengenalan nasabah pada sektor lembaga keuangan seperti : bank, pasar modal, asuransi, dan sebagainya. 89 Untuk melihat apa saja upaya BAPEPAM-LK dalam hal mengurangi money laundering akan dibahas pada sub-bab selanjutnya. Selanjutnya, akan dibahas mengenai peran dan kewenangan BAPEPAM-LK.

A. Kewenangan BAPEPAM-LK di Pasar Modal Untuk Melakukan Penegakan Hukum