diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil mengingat seperangkat fakta- fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri.
Selain diperlukan strategi inkuiri, dalam upaya meningkatkan keterampilan menulis teks drama juga diperlukan model yang dapat dijadikan
sebagai contoh menulis teks drama yang baik. Dengan meneliti model menulis teks drama yang baik, siswa dapat mengumpulkan data tentang menulis teks
drama yang baik. Dengan demikian, melalui proses inkuiri tentang model- model menulis teks drama yang baik, diharapkan siswa mampu “menemukan
sendiri dan membangun pengetahuan dan keterampilan menulis teks drama yang baik”.
2.2.3.2 Komponen Konstruktivisme
2.2.3.2.1 Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu cara mengajar dan belajar yang dapat memaksimalkan pemahaman siswa. Seperti mempelajari sesuatu yang belum
diketahui sebelumnya, hal tersebut diposisikan dalam pelajaran yang penuh arti Cruickshank 2006 dalam Sukirman 2007. Pendapat lain sebagaimana
dikatakan Woolfolk dalam Sukirman 2007:3 bahwa kontruktivistik digambarkan sebagai pengajaran yang menekankan peran aktif dari siswa
dalam membangun pemahaman dan menghasilkan sejumlah informasi. Ahli kontruktivis percaya bahwa pengetahuan adalah proses dan siswa secara aktif
menemukan, mentransformasikan dan memiliki informasi yang kompleks Slavin 1994.
2.2.3.2.2 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Paul Suparno 1997:73 mengemukakan prinsip-prinsip yang sering diambil dalam dari konstruktivisme antara lain:
1 Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,
2 Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa,
3 Mengajar adalah membantu siswa belajar,
4 Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir,
5 Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
6 Guru adalah fasilitator.
Prinsip tersebut banyak diambil dari untuk membuat perencanaan proses belajar-mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan
program persiapan guru, dan untuk mengevaluasi praktek belajar-mengajar yang sudah berjalan.
2.2.3.2.3 Macam-Macam Konstruktivisme
Von Glasersfeld dalam Paul Suparno 1997:24 membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme: 1 konstruktivisme radikal, 2 realisme hipotesis,
dan 3 konstruktivisme yang biasa.
A. Konstruktivisme radikal
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi
konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan
ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Menurut von
Glasersveld, Piaget termasuk konstruktivis radikal. Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat
mengetahui apa yang dibentukdikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata.
Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan gambaran akan dunia nyata.
Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif.
Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya
konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada
konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna
terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita
membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya.
B. Realisme hipotesis
Menurut realisme hipotesis, pengetahuan ilmiah kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju
suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menurut Manuvar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna.
Menurutnya pula, Lorenz dan Poper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.
C. Konstruktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu.
Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.
2.2.3.2.4 Pembelajaran berdasar konstruktivistik
Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dalam Baharudin 2007:116, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme
ini adalah
ide. Siswa
harus menemukan
dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar
itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‟mengkontruksi‟, bukan „menerima‟ pengetahuan.
Oleh karena itu, Slavin dalam Baharudin 2007:116 manyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan
siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang
membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.
A. Strategi Belajar konstruktivis
Driver dan Oldman dalam Paul Suparno 1997:69 menjalankan beberapa ciri mengajar konstruktivis sebagai berikut.
1. Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi
dalam mempelajari suatu topik. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2. Elicitasi. Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan
berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud
tulisan, gambar, ataupun poster. 3.
Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal. a
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-
ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya
cocok. b
Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman. c
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu
percobaan atau persoalan yang baru 4.
Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi
yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya.
5. Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi
pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan
ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap. Menurut Ardana dalam Sukirman 2007:10 mengemukakan bahwa
strategi belajar yang dianjurkan berdasar aliran konstruktivistik adalah: 1.
Sajikan masalah-masalah aktual kepada pembelajaran konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa;
2. Strukturkan pembelajaran disekitar konsep-konsep primer;
3. Berilah dorongan kepada siswa untuk menyajikan pertanyaan sendiri;
4. Beranikan siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri
mengembangkan inquiry learning; 5.
Memberanikan siswa untuk mengemukakan pendapat dan hargai sudut pandangnya;
6. Tantanglah siswa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan
sekedar penyelesaian tugas; 7.
Anjurkan pemecahan masalah dengan mengetrapkan “Cooperatif Scripte” yaitu kemampuan menghubungkan informasi baru dengan kemampuan
yang sudah terbentuk kemampuan awal; 8.
Doronglah siswa untuk menerima tanggung jawab; 9.
Nilai proses dan hasil belajar pembelajaran dalam konteks pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar.
Slavin dalam Baharudin 2007:127 menyampaikan belajar konstruktivis memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Straategi
belajar tersebut adalah: 1.
Top-down processing. Dalam pembelajaran kontruktivisme, siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian
menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya, siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar
membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
2. Cooperative learning, yaitu strategi yang digunakan untuk proses belajar,
di mana siswa akan lebih mudah menemukan secara comprehensif konsep-
konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi. Dalam strategi cooperative learning,
siswa saling membantu memecahkan problem yang dihadapi. Cooperative learning ini lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan
menjadikan kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksporasi pengetahuan, dan menantang pengetahuan
yang dimiliki oleh individu. Inilah kunci dari konsep-konsep dasar yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky.
3. Generative learning. Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang
aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning
diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu juga, generative learning ini
mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi
terhadap apa yang sedang dipelajari. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kombinasi Top-down
processing. cooperative learning dan generative learning agar siswa dapat belajar bersama orang lain teman dalam memecahkan masalah komplek
kesulitan menulis teks drama, kemudian menghasilkan keterampilan menulis teks drama.
B. Proses belajar menurut Teori kontruktivisme
Budiningsih 2004:58 memberikan acuan tentang proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru,
sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar
jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya.
Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa
“....constructing and restructuring of knowledge and skills schemata within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency....”.
Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam
jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada
pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar
merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan
yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya peling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa
sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan
awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat
sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang
siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi;
1 Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2 Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa. 3
Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa
peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,
peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan
masalah yang
dihadapinya, mandiri,
kritis, kreatif,
dan mampu
mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas
lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan
penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik tradisional yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain
banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas
pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat
dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar
merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan
diberikan kepada para siswanya.
C. Tahapan Belajar Menurut Model Konstruktivistik
Menurut Herron dalam Sukirman 2007:6, salah satu strategi mengajar model konstruktivistik adalah penggunaan siklus belajar yang terdiri
atas tiga fase: 1.
Fase Eksploitasi, dimana para siswa menyelidiki fenomena dengan bimbingan minimal, misalnya siswa bereksperimen dengan gas-gas yang
terdapat dalam tabung penyuntik untuk melihat bagaimana volume dapat diubah, mengamati film yang mengsimulasikan gerak partikel-partikel
dalam gas dan beberapa hal lain. Dalam fase ini mereka menyuarakan gagasan-gagasan mereka yang ada
atau dengan pola-pola penalaran mereka yang bertentangan dan dapat menimbulkan perdebatan dan analisis mengapa mereka mempunyai
gagasan demikian. 2.
Fase pengenalan konsep, dimana siswa diarahkan untuk mengenalkan suatu konsep-konsep atau konsep yang sudah ada hubungannya dengan
fenomena yang diselidiki, dan didiskusikan dalam konteks apa yang telah diamati dengan tekanan gas dan volume gas, atau energi kinetik molekul-
molekul gas dan beberapa konsep lainnya. 3.
Fase aplikasi yaitu sesudah pengenalan konsep, menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang diperkenalkan untuk
menyelidiki sifat-sifat gas lebih lanjut. Demikian juga Hilda Karli dan Margaretha 2002:4 menyampaikan
bahwa implikasi model pembelajaran konstruktivis dalam pembelajaran meliputi 4 tahapan yaitu: 1 aplikasi, 2 eksplorasi, 3 diskusi dan penjelasan
konsep, 4 pengembangan dan aplikasi. Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu pendidik memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena
yang sering ditemui sehari-hari dengan mengkaitkan konsep yang akan dibahas.
Siswa diberi
kesempatan untuk
mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan
konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian,
dan penginterpretasikan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang pendidik.
Secara berkelompok didiskusikan dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam
sekelilingnya.
Tahap ketiga, saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan pendidik,
maka siswa membangunmengkontruksi pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang
konsepsinya. Tahap keempat, pendidik berusaha menciptakan iklim pembelajaran
yang memungkinkan
siswa dapat
mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan isu-isu di lingkungan.
2.2.3.3 Komponen Inkuiri