Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang Kartal di Indonesia

(1)

MEMPENGARUHI PERMINTAAN UANG

KARTAL DI INDONESIA

T E S I S

Oleh :

AGUS EDY RANGKUTI

037018011/EP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan

Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AGUS EDY RANGKUTI

0370180011/EP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

MEMPENGARUHI PERMINTAAN UANG KARTAL DI INDONESIA

Nama : AGUS EDY RANGKUTI Nomor Pokok : 037018011

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Murni Daulay , MSi Ketua

Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc Wahyu A. Pratomo, SE, MEc.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Murni Daulay, MSi Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc


(4)

Telah Diuji pada

Tanggal: 23 November 2006

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, MSi

Anggota : 2. Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc. 3. Wahyu A. Pratomo, SE, MEc. 4. Drs. Iskandar Syarif, MA.

5. Drs. Kasyful Mahalli, MSi.


(5)

1. NAMA : AGUS EDY RANGKUTI 2. TEMPAT / TGL LAHIR : SIBOLGA, 17 AGUSTUS 1972

3. PEKERJAAN : STAF PENGAJAR POLITEKNIK NEGERI MEDAN

4. AGAMA : ISLAM

5. ORANG TUA :

a. AYAH : H. ASIR RANGKUTI (Alm)

b. IBU : HJ. Dra. LIMBAYUNG NASUTION (Almh)

6. ALAMAT : JL. SAKTI LUBIS / BENGKEL 13 MEDAN

7. PENDIDIKAN :

a. SD : SD NEGERI 060817 MEDAN

b. SMP : SMP NEGERI 2 MEDAN c. SMA : SMA NEGERI 2 MEDAN d. S1 : FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.

e. S2 : SEKOLAH PASCA SARJANA

MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(6)

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tesis ini, yang berjudul “ Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang

Kartal di Indonesia.”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak

mungkin tesis dapat terselesaikan. Untuk itu perkenankan penulis menyampaikan ras terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof.Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan meyelesaikan pendidikan program magister.

2. Ibu Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku direktur sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan kami menjadi mahasiswa program magister pada sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi, selaku ketua program studi Magister Ekonomi

Pembangunan Sekolah Pasca sarjana, Universitas Sumatera Utara, juga sebagai pembimbing yang begitu banyak memberikan dorongan , bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc dan Bapak Wahyu A Pratomo, SE, Mec. selaku pembimbing dan telah memberikan perhatian dan dorongan melalui bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini


(7)

meraih pendidikan dan semua nasehat menjadi pemacu semangat bagi meraih ilmu pengetahuan..

7. Khusus bagi Istri tercinta Nelly Murni, Ssi. APT. dan kedua anak anakku tersayang M. Alfathi Rangkuti dan Michelia Aisyah Rangkuti yang tetap memberikan dorongan dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi ini

Penulis menyadari bahwa dengan terbatasnya pengetahuan penulis tentu dalam penulisan ini ditemui banyak kekurangan . Oleh karena itu penulis harapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan tulisan ini

Medan, Agustus 2007 Penulis

Agus Edy Rangkuti .


(8)

ABSTRACT

The Under Developing countries’ problems are instability and uncertainty. This condition forced the economic agents to keep a great amount of Currency outside Banks for the shake of precautionary. Other factors such as disorganized financial institutions in the Developing Countries and the availabilities of monetary information made the people to keep the Currency outside Banks. The purpose of this research is to study the influence of Gross Domestic Product (GDP), Inflation (INF), Exchange Rate (ER), and Interest Rate (IR) to Currency Outside Bank (UKR).

The method in this research is Ordinary Least Square (OLS). The model is estimated by using multiple linear regressions.

The result showed that simultaneously Independence variables (GDP, INF, ER, and IR) significantly influence the dependent variable (UKR), and partially independent variables (GDP, INF, and ER) significantly and positively influence the dependent variable (UKR), however INF significantly and negatively influence the UKR. Overall estimation showed ER had the most influent on the demand of the currency outside bank (UKR)

Keywords: Currency outside Banks, GDP, Inflation, Exchange Rate, Interest Rate


(9)

ABSTRAK

Kondisi perekonomian negara negara sedang berkembang yang penuh dengan ketidak stabilan dan ketidak pastian mendorong agen ekonomi untuk memegang uang kartal untuk tujuan berjaga jaga dalam jumlah uang lebih besar. Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, inflasi, nilai kurs dan suku bunga terhadap jumlah uang kartal yang beredar.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi linear berganda, karena penelitian ini dirancang untuk meneliti pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Metode yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).

Secara serempak (bersama) variabel variabel independen (Pendapatan perkapita, inflasi, Nilai Tukar, dan suku bunga), mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal). Secara parsial variabel variabel independen yaitu pendapatan, inflasi, dan nilai tukar (kurs) mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal), sedangkan variabel independen suku bunga berpengaruh negatip pada Permintaan Uang Kartal. Secara keseluruhan dari hasil Estimasi menunjukkan bahwa nilai tukar (ER) mempunyai pengaruh paling besar terhadap permintaan uang kartal di Indonesia

Kata kata Kunci: Uang Kartal, Pendapatan, Inflasi, Nilai Tukar, Suku Bunga


(10)

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR SINGKATAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Definisi dan Fungsi Uang... ... 6

2.2 Teori Permintaan Uang... 6

2.3 Penawaran Uang ... 14


(11)

2.5 Pendapatan Perkapita ... 17

2.6 Kebijakan Pengendalian Uang Beredar ... 24

2.7 Kebijakan Inflasi... 26

2.8 Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ... 29

2.9 Kebijakan Suku Bunga di Indonesia ... 31

2.10Penelitian Sebelumnya ... 32

2.11Kerangka Pemikiran ... 36

2.12Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 38

3.2 Sumber Data ... 38

3.3 Model Analisis ... 38

3.4 Uji Diagnosis ... 39

3.5 Batasan Operasional ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Perkembangan dan Faktor faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Uang Kartal di Indonesia ... 43

4.2 Analisis dan Pembahasan ... 56

4.3 Uji hipotesis ... 58

4.4 Analisis Koefisien Determinasi ... 61

4.5 Uji Multikolinearitas ... 62

4.6 Uji Autokorelasi ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 64

5.1. Kesimpilan ... 64

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(12)

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Uang Kartal, M1, dan M2 (dalam Miliar Rupiah) di Indonesia 16

2.2 Pertumbuhan PNB riil perkapita 23

2.5 Data Suku Bunga di Indonesia (dalam persen) 32

4.1 Hasil uji Chow 58

4.2 Nilai t hitung 60

4.3 Uji multikolinearitas 62


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 36

4.1 Permintaan Uang Kartal 43

4.2 Perkembangan PDB Indonesia 46

4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia 51

4.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap US $ Dollar 53


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Lampiran 1. Data Penelitian 69

2. Lampiran 2 Regresi Utama 71

3. Lampiran 3. Chow Test 71

4. Lampiran 4. uji Multikolinearitas 72


(16)

DAFTAR SINGKATAN

UKR = Uang Kartal

PDB = Pendapatan

INF = Inflation

ER = Exchange Rate


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Uang dapat dikatakan sebagai salah satu penemuan terpenting manusia yang menopang kemajuan peradabannya. Kita yang hidup pada masa kini dapat menjalani hidup dengan relatif mudah dengan nyaman karena adanya uang. Transaksi transaksi yang kita lakukan dapat diseleaikan dengan cepat, mudah, murah, dan akurat karena telah terbangunnya sistem keuangan yang kuat dan efisien. Dengan uang manusia dapat mempersiapkan masa tuanya, tanpa khawatir apa yang diperolehnya membusuk atau kehilangan nilai karena rusak.

Harus diakui bahwa amatlah sulit untuk membuat definisi yang lengkap dan memuaskan tentang uang. Sebab definisi dan pengertian praktisnya selalu berubah dinamis sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat atau perekonomian. Dengan kata lain, perkembangan tentang definisi dan pengertian uang merupakan manifestasi dari proses penyesuaian manusia terhadap kemajuan hidup yang dialaminya. Di masyarakat yang perekenomiannya sudah relatif maju seperti Amerika Serikat, definisi dan pengertian uang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan di Indonesia. Namun demikian para ahli ekonomi umumnya sepakat bahwa definisi paling


(18)

universal tentang uang adalah sesuatu (benda) yang diterima secara umum dalam proses pertukaran barang dan jasa.

Dua unsur terpenting dari definisi diatas adalah “sesuatu benda” dan “diterima secara umum”, menunjukkan bahwa uang digunakan untuk memperlancar/mempermudah kegiatan transaksi dalam sebuah perekonomian.

Berdasarkan definisinya dapat dikatakan bahwa uang bisa saja berbentuk segala sesuatu (benda), tetapi tidak semua benda merupakan uang. Syarat utama agar sebuah benda dapat digunakan sebagai uang adalah benda tersebut diterima secara umum. Dengan demikian definisi uang mengandung pengertian ekonomi, hukum, politis.

Permasalahan yang paling sering dihadapi oleh negara negara sedang berkembang adalah adanya anggapan bahwa ‘dunia’ yang sepenuhnya rasional, perilaku individu pada umumnya dianggap didasarkan pada suatu jumlah infinite discounted dari suatu nilai fungsi biaya yang diperkirakannya. Sehingga individu tersebut membutuhkan seluruh informasi yang tersedia guna memperkirakan kondisi masa datang. Hal ini berangkat dari kondisi negara negara sedang berkembang yang penuh dengan ketidak stabilan dan ketidak pastian. Kondisi ini akan mendorong agen ekonomi untuk memegang uang kartal untuk tujuan berjaga jaga dalam jumlah uang lebih besar. Disamping itu, faktor kelembagaan keuangan masih relatif baru dan belum terorganisir dengan baik serta informasi mengenai kegiatan di bidang ekonomi moneter relatif belum tersedia atau tidak mudah diperoleh, ini memberikan indikasi bahwa aktiva keuangan (financial assets) belum merupakan substitusi


(19)

yang baik bagi uang sehingga masyarakat tetap menyimpan uangnya dalam bentuk uang kartal.

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan betapa pentingnya peranan uang kartal dalam sistem moneter suatu negara.

Berdasar latar Belakang pada uraian diatas, adalah menarik untuk mengkaji: “Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Permintaan

Uang Kartal di Indonesia.”

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian ini, yaitu:

Bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, tingkat inflasi, nilai kurs, dan suku bunga terhadap permintaan Uang Kartal di Indonesia.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, inflasi, nilai kurs dan suku bunga terhadap jumlah uang kartal yang beredar.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat peran sektor moneter dalam upaya mengendalikan

harga melalui pengendalian jumlah uang beredar khususnya uang kartal.


(20)

2. Bagi pengambil keputusan Kebijakan moneter (otoritas moneter) diperoleh informasi faktor faktor yang mempengaruhi permintaan uang kartal.

3. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui keadaan

perekonomian selama kurun waktu penelitian dan penerapan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam mengatasi masalah perekonomian nasional.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Fungsi Uang

Uang adalah sesuatu yang diterima / dipercaya masyarakat sebagai alat pembayar atau transaksi.

Uang mempunyai empat fungsi penting, yaitu sebagai berikut: a) Satuan hitung (unit of account)

Yang dimaksud uang sebagai satuan hitung (unit of account) adalah uang dapat memberikan harga suatu komoditas berdasarkan satu ukuran umum, sehingga fungsi ini menggantikan sistem barter yang menghendaki adanya double coincidents of wants (kehendak ganda yang selaras). Harga barang yang diukur dengan nilai uang memberikan kemudahan masyarakat dalam bertransaksi.

b) Alat transaksi / pembayar (medium of exchange)

Uang sebagai alat tukar, harus mendapat penjaminan kepercayaan oleh pemerintah berdasarkan undang undang atau keputusan yang berkekuatan hukum. Dengan fungsinya sebagai alat transaksi, uang amat mempermudah dan mempercepat kegiatan pertukaran dalam perekonomian modern.

c) Penyimpan nilai (store of value)

Fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) dikaitkan dengan kemampuan uang untuk menyimpan hasil transaksi atau pemberian yang


(22)

meningkatkan daya beli, sehingga semua transaksi tidak perlu dihabiskan saat itu juga. Keadaan inflasi yang parah ataupun deflasi dapat merubah keinginan orang untuk memiliki uang sebagai store of value

d) Standard pembayaran di masa mendatang (standard of deffered

payment).

Sebagai ukuran bagi pembayaran masa depan uang terkait dengan transaksi utang piutang atau transaksi kredit, dan juga kegiatan ekonomi yang balas jasanya tidak diberikan saat itu juga. Pembayaran untuk masa mendatang tersebut dimungkinkan karena uang memiliki fungsi standard pembayaran di masa mendatang (standard of deffered payment). Dengan fungsi tersebut beberapa balas jasa atau pembayaran di masa mendatang menjadi lebih mudah dihitung, karena diukur dengan daya beli (purchasing power), dibanding bila diukur dengan komoditas tertentu (Rahardja, 2001).

2.2. Teori permintaan uang

Teori yang menjelaskan mengenai permintaan uang dapat dibedakan menjadi: teori klasik, dan teori keynes.

a) Teori Permintaan Uang Klasik

Mengenai permintaan uang, kaum klasik mempunyai teori yang cukup terkenal, yang dinamakan sebagai “teori kuantitas mengenai uang” atau “ the quantity theory of money”, yaitu mengenai permintaan dan sekaligus penawaran uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus dari teori tersebut adalah pada hubungan antara penawaran uang (atau, jumlah uang yang


(23)

beredar) dengan nilai uang (atau tingkat harga). Selanjutnya, ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi turun naiknya nilai uang yaitu:

1. jumlah uang yang beredar (kuantitas) disebut sebagai penawaran uang 2. kecepatan permintaan uang

3. jumlah komoditi yang diperjual belikan

Analisa klasik dalam teori permintaan uang yang tergolong dalam teori moneter kuantitatif antara lain dikemukakan oleh:

1. Irving Fisher

Pendekatan secara velositas atau disebut “transaction velocity approach” diperkenalkan oleh Irving fisher pada tahun 1911 dalam bukunya “the purchasing power of money”. Pendekatan ini menjelaskan bahwa jumlah uang yang dibelanjakan sama dengan jumlah uang yang diterima. Teori Irving Fisher menitik beratkan fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar. Selanjutnya dalam menentukan nilai uang ada 3 (tiga) variabel yang penting, yaitu:

a. Jumlah uang yang beredar b. Kecepatan uang beredar

c. Jumlah barang yang diperdagangkan

Fisher melihat permintaan uang adalah suatu kepentingan yang sangat likuid untuk memenuhi motif transaksi. Dengan sederhana persamaan transaksi permintaan uang yang dikemukakan Fisher adalah sebagai berikut:


(24)

MV = PT

Dimana nilai dari barang yang dijual dikalikan dengan harga rata rata dari barang tersebut (P) harus sama dengan volume uang yang ada dalam masyarakat (M) dikalikan berapa kali rata rata “perputaran” uang, dalam periode tersebut atau “transaction velocity of circulation” (V). T, atau volume transaksi, dalam suatu periode tertentu ditentukan oleh tingkat output masyarakat (pendapatan nasional) dan bisa pula dianggap mempunyai nilai tertentu dalam satu tahun.

Menurut Fisher dan kaum klasik diasumsikan selalu dalam keadaan “full employment”. Dan Velocity, ditentukan oleh faktor faktor kelembagaan, mencakup faktor faktor, misalnya tingkat permintaan uang akan sama dengan pendapatan nasional. Maka secara matematis dapat ditulis:

Md = kPY

Dimana k adalah proporsi / bagian dari GNP yang diwujudkan dalam bentuk uang kas, jadi besarnya sama dengan 1/V, sedangkan Y adalah tingkat pendapatan nasional riil, dan P adalah harga umum.

2. Teori Cambridge

Teori Cambridge mengatakan selain faktor faktor kelembagaan, tingkat bunga, besar kekayaan masyarakat, dan ramalan dari masyarakat tentang masa depan juga turut mempengaruhi, walaupun dianggap konstan. Dengan demikian, Teori Cambridge selangkah lebih maju dari teori Fisher, karena telah mempertimbangkan tingkat bunga maupun tingkat ekspektansi masyarakat, walaupun dijelaskan hanya secara umum.


(25)

b) Teori Permintaan Uang Keynes

Dalam bukunya, General Theory of Employment Interest and Money, yang ditulis pada tahun 1936, merupakan kritikan terhadap kaum klasik atas ketidak mampuan teori klasik menjelaskan masalah depresi yang terjasi melalui konsep mekanisme pasar yang selalu berada dalam keadaan full employment.

Di dalam teori moneter, teori uang Keynes lebih menekankan fungsi uang sebagai penyimpan nilai dan bukan hanya sebagai alat tukar umum.teori ini kemudian dikenal dengan “liquidity preference”, dan membagi motif permintaan uang masyarakat dalam tiga tujuan, yaitu:

a. Permintaan uang untuk tujuan transaksi.

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, maka besar keinginan akan uang kas untuk transaksi dan berjaga-jaga. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding seseorang masyarakat yang pendapatannya rendah.

b. Permintaan uang untuk berjaga jaga.

Setiap orang menghadapi ketidak pastian mengenai apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Ketidakpastian ini menyebabkan orang memegang uang tunai yang lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk transaksi. Menurut Keynes antisipasi terhadap pengeluaran yang direncanakan dan yang tidak direncanakan menyebabkan seseorang akan memegang uang


(26)

tunai lebih besar dari yang dibutuhkan untuk tujuan transaksi, yaitu untuk tujuan berjaga jaga (precautionary). Menurutnya jumlah uang yang dipegang untuk tujuan berjaga jaga ini tergantung dari besar penghasilan, semakin tinggi penghasilan semakin besar pula uang yang dipegang untuk tujuan berjaga jaga.

Oleh karena permintaan uang dengan tujuan transaksi (mt) dan berjaga jaga

(mp) ini dipengaruh oleh faktor yang sama, maka biasanya kedua variable ini

dijadikan satu menjadi permintaan uang untuk transaksi berjaga jaga (m1), jadi dengan kata lain permintaan uang untuk berjaga jaga merupakan penjumlahan dari permintaan uang untuk transaksi dan berjaga jaga, secara matematis yaitu :

M1 = mt + mp c. Permintaan uang untuk tujuan spekulasi.

Permintaan uang untuk tujuan spekulasi, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang kas untuk tujuan tujuan / motivasi spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uas kas (opportunity cost of holding money) makin besar / tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang kas akan makin kecil. Sebaliknya, makin rendah tingkat bunga makin besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang baru-baru terjadi.


(27)

Menurut Keynes terjadinya inflasi disebabkan oleh permintaan agregat sedangkan permintaan agregat ini tidak hanya karena ekspansi bank sentral, namun dapat pula disebabkan oleh pengeluaran investasi baik oleh pemerintah, maupun oleh swasta dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran belanja negara) dalam kondisi full employment. Secara garis besar Keynes menyebutkan bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya.

Pertumbuhan jumlah uang yang beredar yang tinggi sering menjadi penyebab tingginya tingkat inflasi, naiknya uang yang beredar akan menaikkan permintaan agregat (agregat demand) yang pada akhirnya jika tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya tingkat harga. Hal ini berarti jika pertumbuhan di sektor riil yang dicerminkan oleh pertumbuhan GDP, maka peristiwa meningkatnya inflasi bisa diminimalisir.

Tidak banyak berbeda dari teori Cambridge dalam hal motif uang untuk tujuan transaksi dan berjaga jaga, yaitu dipengaruhi oleh pendapatan, dan pengaruh yang tidak terlalu kuat dari tingkat bunga. Tetapi menjadi pembedaan utama adalah penekanan Keynes terhadap permintaan uang untuk motif spekulasi, yaitu pilihan untuk memegang kekayaan dalam bentuk uang atau surat berharga, dan prilaku ini dipengaruhi oleh tingkat bunga. Hubungan tingkat bunga dan harga surat berharga adalah sebagai berikut: 1. Jika tingkat bunga diharapkan naik maka harga surat berharga akan turun,


(28)

2. Jika tingkat bunga diharapkan turun maka harga surat berharga akan naik, karena masyarakat akan memilih untuk memegang obligasi. (Boediono, 2000)

Dalam mekanisme permintaan uang untuk tujuan spekulasi berkisar pada harapan tentang tingkat bunga di masa yang akan datang, dengan tujuan untuk melindungi kekayaan maupun meraih keuntungan.

Bentuk total dari permintaan uang Keynes adalah:

Md = (kY + (R,W))P

dimana ∅(R,W) adalah permintaan uang untuk motif spekulasi yang

dipengaruhi oleh tingkat bunga ( R ) dan nilai dari Asset ( W ). Dan P adalah tingkat harga.

Teori moneter Keynes mempunyai implikasi-implikasi teoritis maupun tingkat kebijakan yang penting dan berbeda dari teori klasik, antara lain: 1. Teori Keynes mempunyai implikasi bahwa perubahan sektor moneter bisa

mempengaruhi sektor riil melalui perubahan suplai uang bersama sama dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi (riil), yang kemudian melalui proses multiplier, mempengaruhi tingkat output masyarakat.

2. Dengan memasukkan faktor ekspektansi dan ketidakpastian, maka fungsi permintaan uang adalah fungsi yang tidak stabil, atau berubah cepat dari waktu ke waktu.


(29)

Sedangkan perbedaan pandangan antara Monetarists dan Keynesian adalah kalangan Monetarists adalah teori yang melanjutkan teori kuantitas uang klasik, teori mereka yang pokok adalah adanya hubungan antara kuantitas uang dan harga harga, dimana uang beredar merupakan faktor penentu utama tingkat harga.

Selanjutnya pandangan Monetarist tentang uang, berasal dari teori Friedman yaitu:

1. Monetarist beranggapan bahwa jalur antara uang beredar dengan

perubahan GNP adalah langsung dan meyakinkan, tidak hanya sebatas tingkat harga, karena dipengaruhi oleh perbedaan perekonomian, dimana sudah mendekati full employment atau resesi.

2. Monetary Velocity ( V ) adalah sesuatu yang dapat ditaksir, dan

hubungan antara uang beredar dengan GNP adalah V = GNP/M

3. Kalangan Monetarist beranggapan bahwa kebijakan fiskal tidak begitu perlu diperhatikan, perubahan uang beredar saja cukup untuk mengatasi persoalan ekonomi

Sedangkan pendapat Keynesian (Neo Keynesian) tentang uang adalah sebagai berikut:

1. Uang beredar mempengaruhi GNP dengan jalur yang kurang / tidak

langsung dan kurang meyakinkan, terutama karena anggapan bahwa V tidak stabil dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena dalam setiap transmisinya ke sektor riil dipengaruhi oleh tingkat bunga dan minat masyarakat dalam membelanjakan uang.


(30)

2. Mengenai kemungkinan perubahan tingkat bunga mempengaruhi pengeluaran agregat, maka kebijaksanaan moneter yang dibahas keynesian memiliki asumsi sebagai berikut: terdapat pihak kreditur yang apabila uang beredar meningkat dan jika pendapatan obligasi dibelanjakan ke sektor riil maka secara tidak langsung kebijakan moneter berhubungan dengan GNP.

2.3. Penawaran Uang

Penawaran Uang dalam teori moneter mempunyai arti yang sama dengan jumlah uang yang beredar. Dua topik penting dalam pembahasan uang beredar dalam kebijakan stabilisasi adalah:

1. Kemantapan dan keyakinan hubungan antara perubahan jumlah uang beredar dengan perubahan total pengeluaran masyarakat. Jika hubungan tesebut kuat dan meyakinkan maka perubahan uang beredar dapat dijadikan indikator dari pengaruh kebijakan tersebut dalam perekonomian.

2. Persoalan apakah otoritas moneter menetukan / mengontrol uang beredar secara tepat

Hasil interaksi antara bank sentral, pemerintah, lembaga keuangan bank dan non-bank dengan masyarakat sangat menentukan perubahan jumlah uang beredar.


(31)

Otoritas moneter adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian moneter, fungsi otoritas moneter tersebut dilaksanakan oleh Bank Sentral dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI), dengan fungsi fungsi:

1. Mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayar yang sah

2. Memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa

3. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank bank. 4. Memegang kas pemerintah

Jumlah uang beredar (M1) mencakup kewajiban sistem moneter yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). Uang kartal terdiri atas uang kertas dan uang logam yang berlaku, tidak termasuk uang kas pada KPKN dan bank umum. Uang giral terdiri atas rekening giro, kiriman uang, simpanan berjangka, dan tabungan dalam Rupiah yang sudah jatuh tempo, yang seluruhnya merupakan dalam rupiah pada sistem moneter. Sehingga uang beredar ( M1 ) adalah:

M1 = C + D 2.4. Permintaan Uang Kartal di Indonesia

Secara teknis yang dihitung sebagai uang beredar adalah uang yang benar-benar berada di tangan masyarakat. Uang yang berada di tangan bank (bank umum dan bank sentral), serta uang kertas dan logam (uang kartal) milik pemerintah tidak dihitung sebagai uang beredar tetapi sebagai likuiditas perekonomian (Rahardja: 2001).


(32)

Kemampuan bank umum dalam menciptakan uang giral tergantung dari uang primer yang lebih ditentukan dan dikendalikan oleh BI. Besarnya uang primer dapat mencerminkan arah kebijakan BI dalam mengendalikan uang beredar. Perkembangan uang kartal disajikan melalui tabel dibawah ini :

Tabel 2-1. Uang Kartal, M1, dan M2 (dalam miliar Rupiah) di Indonesia (1970 – 2004)

Tahun UKR M1 M2

1970 155 251 1.036 1971 199 320 1.173 1972 272 475 1.400 1973 375 669 1.692 1974 497 940 2.160

1975 625 1.250 2.683

1976 781 1.503 3.336

1977 979 2.006 3.835

1978 1.240 3.458 4.429 1979 1.552 3.385 5.842 1980 2.153 4.995 8.311 1981 2.557 6.486 10.337 1982 2.934 7.121 11.695 1983 3.333 7.569 14.663 1984 3.712 8.581 17.937

1985 4.440 10.104 23.153

1986 5.338 11.677 27.661

1987 5.782 12.685 33.885

1988 6.246 14.392 41.998

1989 7.426 20.144 58.705

1990 9.094 23.819 84.630

1991 9.346 26.342 99.059

1992 11.478 28.779 119.053

1993 14.431 37.036 145.559

1994 18.637 45.622 174.319

1995 20.807 52.677 222.638

1996 22.487 64.089 288.632

1997 28.424 78.343 355.643

1998 41.394 101.197 577.381

1999 58.353 124.633 646.205

2000 72.371 162.186 747.028

2001 76.342 177.731 844.053

2002 80.686 191.939 883.908

2003 94.542 223.799 955.682

2004 109.265 243.123 1.009.456


(33)

Perkembangan jumlah permintaan uang mencerminkan ataupun seiring dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Peningkatan jumlah permintaan uang disertai perubahan komposisinya adalah keadaan dimana perekonomian suatu negara semakin maju, yaitu apabila uang kartal memiliki persentase yang semakin meningkat terhadap M1, dan komposisi uang giral terhadap M1 makin meningkat juga.

2.5. Pendapatan Perkapita

Pendapatan per kapita (per capita income) adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu, yang biasanya satu tahun. Pendapatan per kapita bisa juga diartikan sebagai jumlah dari nilai barang dan jasa rata-rata yang tersedia bagi setiap penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu. Pendapatan per kapita diperoleh dari pendapatan nasional pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara pada tahun tersebut.

Tolak ukur yang paling banyak dipakai untuk mengukur keberhasilan sebuah perekonomian antara lain: pendapatan nasional, tingkat kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi neraca pembayaran luar negeri. Salah satu indikator telah terjadinya alokasi yang efisien secara makro adalah nilai output nasional yang dihasilkan sebuah perekonomian pada satu periode tertentu, sebab besarnya output nasional dapat menunjukkan hal penting dalam sebuah perekonomian


(34)

Pertama besarnya output nasional merupakan gambaran awal seberapa efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian (tenaga kerja, barang modal, uang, dan kemampuan kewirausahaan) digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Maka semakin besar pendapatan nasional suatu negara, semakin baik efisiensi alokasi sumber daya ekonominya.

Kedua, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang produktivitas dan tingkat kemakmuran suatu negara, dimana alat ukur yang dipakai untuk mengukur kemakmuran adalah output nasional perkapita. Nilai output perkapita diperoleh dengan cara membagi besarnya output nasional dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan, jika angka output pendapatan semakin besar maka tingkat kemakmuran dianggap semakin tinggi.

Ketiga, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang masalah masalah struktural yang mendasar yang dihadapi suatu perekonomian. Jika sebagian besar output nasional dinikmati oleh sebagian kecil penduduk maka perekonomian tersebut mempunyai masalah dengan distribusi pendapatannya.

Selain perhitungan pendapatan nasional, perhitungan pendapatan suatu daerah (region) diperlukan guna mengetahui perbedaan pembangunan yang dilaksanakan antara suatu daerah dengan daerah lainnya.

PDRB adalah jumlah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit unit produksi yang beroperasi pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu, atau apabila ditinjau dari segi pendapatan merupakan


(35)

jumlah dari pendapatan yang diterima oleh faktor faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk wilayah tersebut yang ikut serta dalam proses produksi dalam jangka waktu tertentu

Hasil perhitungan PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan harga konstan. Perhitungan atas dasar harga berlaku (current price) merupakan jumlah seluruh barang yang dihasilkan oleh unit unit produksi didalam suatu periode tertentu, biasanya dalam satu tahun yang dinilai dengan harga tahun yang bersangkutan. Pada perhitungan atas harga berlaku belum menghilangkan faktor inflasi.

Perhitungan atas dasar harga konstan (constant price) menggambarkan perubahan volume / kuantum produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah dihilangkan dengan cara menilai harga suatu tahun dasar tertentu. Pada perhitungan atas dasar harga konstan ini, faktor inflasi telah dihilangkan. Perhitungan atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau sektoral.

Pendapatan perkapita merupakan gambaran rata rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi. Pendapatan perkapita sering menjadi tolak ukur kemakmuran suatu negara atau daerah. Pendapatan perkapita pada dasarnya mengukur emampuan dari suatu negara untuk memperbesar output dalam laju yang lebih cepat dari pada pertumbuhan penduduk. Tingkatan dan laju pertumbuhan pendapatan perkapita riil (yakni sama dengan pertumbuhan pendapatan perkapita setelah dikurangi dengan


(36)

tingkat inflasi) merupakan tolak ukur ekonomis yang paling sering digunakan untuk mengukur sejauh mana kemakmuran ekonomis dari suatu negara.

Berdasarkan tolak ukur tersebut, maka akan dimungkinkan untuk mengetahui seberapa banyak barang dan jasa riil yang tersedia bagi rata rata penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi.

Konsep pendapatan nasional yang biasa dipakai dalam menghitung pendapatan per kapita pada umumnya adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB). Dengan demikian, pendapatan per kapita dari suatu negara dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

PDB Tahun t

PDB per kapita =

Jumlah penduduk pada tahun t

PNB Tahun t

PNB per kapita =

Jumlah penduduk pada tahun t

2.5.1 Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita

Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan masyarakat suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita negara yang bersangkutan. Akan tetapi, banyak sedikitnya jumlah penduduk pun akan


(37)

mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita suatunegara. Tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga sangat menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.

Bank Dunia (World Bank) telah mengelompokkan negara-negara menjadi 5 kelompok berdasarkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.

1. Kelompok Negara Berpendapatan Rendah (Low Income Economies), yaitu negara-negara yang memiliki PNB per kapita US $ 520,00 atau kurang. 2. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Bawah (Lower – Middle

Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 521,00 sampai US $ 1.740,00.

3. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah (Middle Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 1.741,00 sampai US $ 2.990,00.

4. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Tinggi (Upper – Middle Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 2.991,00 sampai US $ 4.870,00.

5. Kelompok Negara Berpendapatan Tinggi (High Income Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 4.871,00 sampai US $ 25.480,00 bahkan lebih.


(38)

2.5.2 Perbandingan per Kapita Indonesia dengan Negara lain Pendapatan per kapita Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, ternyata masih termasuk rendah. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel berikut:

Tabel 2.2. Perbandingan PNB perkapita negara negara ASEAN (1999)

Sumber: IMF World Economic Outlook, September 2000

Sementara itu, pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia dapat dilihat dari tabel berikut:


(39)

Tabel 2.3 Pertumbuhan PNB riil per kapita

Sumber: IMF World Economic Outlook, September 2000

Berdasarkan tabel diatas, secara umum pada tahun 1998 pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia mengalami penurunan sebagaimana halnya Indonesia kecuali negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Jerman, Kanada dan Perancis.

Hal ini terjadi, karena di dunia yang arus globalisasinya semakin gencar, kejadian atau masalah yang terjadi di suatu negara atau kawasan tertentu akan berdampak pula pada negara lainnya.


(40)

Pertumbuhan PNB riil per kapita di suatu negara atau di suatu kawasan, tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi negara atau kawasan yang bersangkutan.

2.6. Kebijakan Pengendalian Uang Beredar

Kebijakan pengendalian moneter setelah era deregulasi (1983) didasarkan pada target moneter sebagai target antara. Target moneter yang digunakan adalah uang beredar dalam arti sempit yaitu M1 dengan tetap memperhatikan uang beredar dalam arti luas. Sedangkan sasaran operasional yang digunakan adalah uang kartal. Alasan mengapa uang digunakan sebagai target antara selain indikator tingkat bunga, adalah karena alasan historis. Sebagaimana kita tahu bahwa pada awal orde baru (1969) situasi ekonomi berada pada kondisi hiperinflasi, dalam keadaan demikian keterkaitan antara uang (ekspansi moneter) dengan inflasi sangat menonjol.

Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja. Sejak 1983 BI telah mengeluarkan piranti kebijakan moneter, yaitu :

a. Operasi Pasar Terbuka

Bank Indonesia menggunakan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) untuk mempengaruhi likuiditas di pasar uang guna memelihara kestabilan rupiah, diantaranya dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yaitu surat berharga yang diterbitkan BI sebagai pengakuan hutang jangka pendek dengan sistem diskonto. Pembelian SBI selain ditujukan


(41)

kepada Bank, dapat juga dibeli masyarakat luas melalui perantaraan perusahaan pialang pasar uang / pasar modal.

b. Penetapan Tingkat Diskonto

Di dalam perkembangannya melaksanakan kebijakan moneter, BI untuk sementara waktu meniadakan fasilitas diskonto, yaitu pada pertengahan tahun 1998 diikuti dengan peniadaan sementara transaksi Surat Berharga Pasar Uang. Dengan demikian walaupun tidak secara resmi diumumkan bahwa bunga SBI sebagai patokan suku bunga dalam negeri, namun telah secara efektif menjadi acuan tingkat suku bunga dalam negeri. Sejak tahun 1987 penetapan tingkat diskonto tidak lagi merupakan keputusan bank Indonesia, melainkan berdasarkan mekanisme pasar melalui proses lelang, sehingga tingkat diskonto yang terjadi merupakan cerminan kondisi pasar uang yang ada. Penetapan tingkat diskonto dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengendalian moneter.

c. Penentuan Giro Wajib Minimum

Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya adalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank menyalurkan kreditnya akan lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya. Giro Wajib Minimum ditetapkan BI atas bank-bank umum sebagai upaya mempengaruhi kemampuan Bank untuk menyalurkan aktiva produktifnya. Dalam kurun waktu penelitian terjadi beberapa kali perubahan dalam penentuan Giro Wajib


(42)

Minimum (GWM), sementara pada tahun sebelum Pakto 1988, adalah sebesar 15%.

Kemampuan bank-bank umum dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK), harus mampu dicadangkan sebesar persentase tertentu di Bank Indonesia melalui ketentuan GWM. Besarnya GWM ataupun reserve requrement (RR) berhasil dihimpun bank-bank umum.

2.7. Kebijakan Inflasi

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah bank-bank sentral di dunia menggunakan inflation targeting dalam rangka kebijakan moneter sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan besaran-besaran moneter ataupun exchange rate targeting. Inflation targeting adalah strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking dengan memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga atau inflasi yang rendah sebagai sasaran tunggal akhir (Debelle dan Lim, 1998). Umumnya strategi pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-besaran harga (price targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Salah satu alasan pertimbangan penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Globalisasi perekonomian dunia, inovasi produk-produk keuangan, sekuritisasi aset serta decoupling antara sektor keuangan dan sektor riil merupakan faktor yang melatar belakangi melemahnya hubungan besaran moneter tersebut.


(43)

Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan karena terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut. Pengalaman Indonesia dan beberapa negara yang menggunakan sasaran ganda menunjukkan bahwa banyak kendala ditemukan untuk mencapai semua sasaran akhir tersebut secara optimal pada saat bersamaan, sehubungan dengan adanya sifat kontradiktif diantara sasaran akhir tersebut. Sebagai contoh, apabila Bank Sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka tindakan tersebut akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan keseimbangan neraca pembayaran. Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin mengetatkan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengangguran.

Trade off tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana dikemukakan dalam teori Phillips, yang dijelaskan dalam Phillips Curve. Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya, seperti mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Oleh karena itu banyak negara telah


(44)

menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Stanley Fischer dalam Gali (2004), Deputy Managing Director IMF, menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti pertumbuhan naturalnya.

Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998) mengemukakan beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara pada akhir-akhir ini menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat disarikan sebagai berikut:

a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa bank sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan konsisten.

b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan efisiensi dalam jangka panjang.

c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga, bukan output dan kesempatan kerja.


(45)

d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau keduanya.

e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya.

Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol, Swedia dan Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut menetapkan inflasi sebagai sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan pada level yang cukup rendah. Namun dalam jangka pendek terdapat tradeoff antara penurunan inflasi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat yang sustainable.

2.8. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Dalam hal nilai tukar, Bank Indonesia (BI) melaksanakan kebijakan nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan presiden. Fungsi BI dalam hal ini adalah hanya sebatas memberi usulan kepada pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan pemerintah. Usulan BI kepada pemerintah berdasarkan tugasnya dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar antara lain dapat berupa :

1. Dalam sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing.

2. Dalam sistem nilai tukar mengambang berupa usaha untuk tetap


(46)

3. Dalam nilai tukar mengambang terkendali berupa penetapan nilai tukar harian serta lebar pita intervensi.

Dalam UU No. 24 tahun 1999 pasal tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, disebutkan bahwa BI menggunakan sistem nilai tukar yang ditetapkan pemerintah. Dalam kurun waktu 1984 – 1997, kebijakan nilai tukar yang dianut oleh BI penggunaan batas fluktuasi rupiah dengan batas atas dan batas bawah disebut juga dengan sistem kurs terbatas. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1997, BI akhirnya melepaskan pita intervensinya setelah pada tanggal 11 Agustus 1997 dilakukan lebih dari dua kali intervensi.

Kebijakan pengendalian kurs berdasarkan mekanisme pasar yang disebut sistem kurs mengambang (free floating rate) merupakan suatu sejarah baru dalam kebijakan moneter.

Dalam kurun waktu sebelum periode krisis, BI tetap mengupayakan tingkat depresiasi sebesar 4% untuk meningkatkan daya saing ekspornya

Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Inflasi yang terjadi di Indonesia akibat jatuhnya nilai tukar rupiah, adalah keadaan dimana kelangkaan Dollar AS menyebabkan rupiah diperdagangkan dengan harga yang jauh lebih murah, artinya dalam konsep perdagangan internasional, harga barang impor menjadi lebih mahal, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun produksi dalam negeri, sebaliknya terjadi kenaikan ekspor. Kedua hal di atas dapat menimbulkan inflasi dalam negeri karena hubungannya terhadap peningkatan pertumbuhan uang beredar. Jika harga barang impor meningkat sementara industri di


(47)

Indonesia menggunakan import content yang tinggi, maka semakin banyak dibutuhkan rupiah untuk membeli kebutuhan produksinya, untuk kemudian menaikkan harga barang akibat kenaikan biaya produksinya. Bagi eksportir rendahnya nilai rupiah membuat penghasilannya meningkat jika harga 1 unit barang yang dijual dalam bentuk Dollar AS, kemudian kelebihan penghasilan tersebut dibelanjakan di dalam negeri, sehingga uang beredar bertambah dan akhirnya menaikkan tingkat inflasi (Salvatore dalam Khalwaty, 2000).

Kurs rupiah yang sempat menembus angka Rp. 16.000 per US. Dollar adalah ekspresi kepanikan sektor keuangan Indonesia, kemudian menjalar kepada kepanikan dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Ekspektasi negatif yang diterima masyarakat baik dalam dan luar negeri terhadap kondisi moneter Indonesia, sedaya upaya dibendung oleh BI dalam upayanya menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah.

Kondisi krisis nilai tukar yang tidak stabil di atas adalah keadaan dimana krisis moneter tidak hanya menyebabkan krisis ekonomi tetapi berimbas kepada krisis politik dan kepercayaan. Jika dilihat dari usaha BI untuk menstabilkan nilai rupiah mulai menunjukkan hasil dimana pada tahun 2002 kurs rupiah berada pada posisi Rp. 8900/US. Dollar, untuk selanjutnya stabil pada kisaran Rp. 8000 hingga Rp. 8.900 per US. Dollar.

2.9. Kebijakan Suku Bunga di Indonesia

Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel secara teori memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik terhadap aliran modal internasional dan keeratan hubungan negatif antara nilai


(48)

tukar Rupiah dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan nilai tukar Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain itu, nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik.

Oleh karena suku bunga tampak memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, maka pendekatan pengendalian moneter diusulkan untuk menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional dengan inflasi sebagai sasaran tunggal. Suku bunga sebagai sasaran operasional akan diuji transmisinya secara detail mulai dari suku bunga overnight, suku bunga deposito, suku bunga SBI lelang, dan suku bunga kredit.

Perkembangan nilai tukar rupiah yang relatif stabil, trend penurunan inflasi yang terus berlangsung, dan uang primer yang terkendali di bawah target indikatifnya tersebut, telah memberikan ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku bunga secara bertahap antara lain guna mempercepat proses pemulihan ekonomi.

2.10. Penelitian Sebelumnya

Ada beberapa peneliti yang telah meneliti mengenai permintaan uang, antara lain:

1. Insukindro (1998)

Disimpulkan bahwa uang berfungsi sebagai stok penyangga atau persediaan, karena dia diharapkan dapat menghilangkan kesenjangan yang tidak dapat diantisipasi oleh agen agen ekonomi sebagai akibat adanya perbedaan antara


(49)

saat mereka menerima pendapatan dan saat mereka membelanjakan, serta cara yang digunakan dalam transaksi tersebut (tunai, atau kredit). Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh adanya shock baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran atau keduanya, dan kecepatan pelaku ekonomi dalam melakukan penyesuaian penyesuaian. Dalam kondisi semacam ini, masyarakat memegang uang kartal bukan hanya untuk tujuan bertransaksi, tetapi lebih kepada untuk berjaga jaga, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk motif spekulasi.

2. Aliman (1998)

Disimpulkan bahwa lebih banyaknya variabel tingkat pendapatan nasional yang mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih segera dibandingkan dengan pengaruh sebaliknya baik di Indonesia dan di Thailand (kecuali untuk M2 dengan tingkat pendapatan nasional di Indonesia dan M1 dengan tingkat pendapatan nasional di Thailand). Apabila ada penambahan jumlah uang beredar, apakah M0, M1, M2 baru akan menaikkan tingkat pendapatan nasional setelah melalui proses multiplier dalam jangka waktu yang relatif lama. Dilain pihak adanya kenaikan tingkat pendapatan nasional dalam waktu yang relatif tidak lama akan menuntut penambahan jumlah uang yang beredar lebih segera, karena tingkat pendapatan nasional yang tidak lain output nasional, kalau mengalami kenaikan dengan tanpa diimbangi dengan penambahan jumlah uang beredar, harga harga akan turun, dan hal ini akan menyebabkan pelaku ekonomi menjadi kurang bergairah karena revenue nya berkurang.


(50)

3. Maravic dan Palic (2005)

Disimpulkan bahwa untuk jangka panjang dan jangka pendek fungsi permintaan uang sangat spesifik, tetapi permintaan uang tidak stabil selama periode observasi, mencapai titik stabil pada periode pertengahan 2002. Permintaan uang masih sangat dipengaruhi oleh expected inflasi. Pembayaran suku bunga jangka pendek merupakan trasaksi deposit yang sangat liquid.

4. Sterken (1999)

Disimpulkan dari vektor kointegrasi jangka panjang bahwa elastisitas income melebihi elastisitas unit, hal ini disebabkan sistem perekonomian yang terpusat dan adanya kegiatan black market. Sebuah kenaikan satu persen pada harga makanan atas harga barang yang bukan makanan akan mengakibatkan 0,2 persen kenaikan penyimpanan uang kontan perkapita. Untuk mengimbanginya pihak otoritas moneter di Ethopia selama masa kelaparan meningkatkatan supply uang kartal. Meningkatnya supply dan demand uang kartal tidak menimbulkan inflasi pada masa kelaparan di Ethopia

5. Santoso et al. (1999)

Beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali (managed floating exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang penuh (floating exchange rate) memberikan dampak terhadap kebijakan moneter di Indonesia. Nilai tukar yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu nominal anchor dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tidak berlangsung lama digunakan lagi. Sementara dengan semakin terbukanya perekonomian


(51)

Indonesia, nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap arus lalu lintas modal internasional yang bergerak sedemikian dinamis.

Pasar keuangan yang berkembang pesat sebagai imbas keterbukaan tersebut telah mendorong ketidak stabilan permintaan akan uang sehingga telah mengurangi efektivitas kebijakan moneter dengan pendekatan kuantitas. Ketidakstabilan permintaan uang tersebut antara lain disebabkan pesatnya perkembangan produk-produk keuangan dan terjadinya decoupling antara sektor keuangan dan sektor riil dimana uang bukan hanya sebagai alat transaksi tetapi juga sebagai barang yang diperdagangkan.

Pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan inflation targeting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka inflation targeting dapat dilakukan dengan menggunakan sukubunga PUAB overnight sebagai kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara, sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal.

Sementara penggunaan MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu, masih kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari quantity targeting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh.


(52)

Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

2.11. Kerangka Pemikiran

Dalam kerangka Pemikiran perlu dijelaskan secara teoritis antara variabel independen dan variabel dependen. Dengan demikian maka kerangka pemikiran penulis dari penelitian ini adalah Permintaan uang Kartal (sebagai dependent variable) dipengaruhi oleh inflasi, pendapatan per kapita, kurs, dan suku bunga (sebagai independent variable)

PENDAPATAN PER KAPITA

( + )

INFLASI

( + ) PERMINTAAN UANG

KARTAL

KURS ( + )

SUKU BUNGA ( - )


(53)

2.12. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara ataupun kesimpulan sementara untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian.

Berdasarkan teori dan permasalahan sebelumnya, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:

1. Kenaikan Pendapatan Perkapita mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah permintaan uang kartal di Indonesia.

2. Tingkat inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah permintaan uang kartal di Indonesia.

3. Kurs Mata Uang Rupiah terhadap Dollar AS mempunyai pengaruh yang positif terhadap jumlah permintaan uang kartal di Indonesia.

4. Suku bunga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah


(54)

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh faktor faktor sebagai berikut Pendapatan Perkapita, Inflasi, Kurs dan tingkat bunga bank terhadap permintaan uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970 – 2004, dengan mengambil data tahunan.

3.2. Sumber data

Dalam penyusunan tesis ini penulis mengadakan serangkaian penelitian guna mendapatkan data yang diperlukan. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara melakukan pencatatan data yang sudah ada dan didapat dari sumber yang terpercaya seperti Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik Indonesia.

3.3. Model Analisis

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi linear berganda, karena penelitian ini dirancang untuk meneliti pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Metode yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).


(55)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Permintaan Uang Kartal di Indonesia dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:

UKR = f (PDB, INF, ER, IR) ….……….……… (1)

Dan dari persamaan (1) dispesifikasikan kedalam model ekonometrika dalam bentuk model logaritma - linear :

Ln UKR = α + β1 LnPDB + β2 LnINF + β3 LnER - β4 LnIR + μ

Dimana:

UKR = jumlah uang kartal beredar per tahun (miliar rupiah) α = intercept

PDB = tingkatan pendapatan perkapita (juta rupiah) INF = tingkat inflasi (persen)

ER = Kurs (Rupiah)

IR = tingkat suku bunga (persen) β1, β2,...dst. = koefisien regresi μ = error term

3.4. Uji Diagnosis

3.4.1. Uji Kesesuaian (Test of Goodeness of Fit) a. Uji Parsial (uji – t)

Uji Parsial digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh positif dan signifikansi variabel bebas terhadap variabel terikat.


(56)

b. Uji F Hitung

Uji F hitung statistik digunakan untuk melihat secara bersama sama apakah ada pengaruh positif dan signifikan variabel bebas terhadap variabel terikat .

c. Uji Determinasi (R2)

Uji ini bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variable bebas. Apabila R2 = 0, artinya variasi dari variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas sama sekali. Sementara apabila R2=1, artinya variasi dari variabel terikat dapat diterangkan 100% oleh variabel bebas. Dengan demikian model regresi akan ditentukan oleh R2 yang nilainya antara nol dan satu.

3.4.2. Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinieritas

Salah satu asumsi regresi linear klasik adalah tidak adanya multikolinearitas sempurna (no perfect multicolinearity). Ada tiga hal yang perlu dibahas terlebih dahulu dalam multikolinearitas (Sumodinongrat, 1994) : (1) multikolinearitas pada hakekatnya adalah fenomena sample. (2) multikolinearitas adalah persoalan derajat bukan persoalan jenis. (3) masalah multikolinearitas hanya berkaitan dengan adanya hubungan liniear di antara variabel-variabel bebas.


(57)

Pengujian ini untuk mendeteksi multikolinearitas dengan cara melihat gejala – gejala yang biasa dipakai untuk melihat adanya multikolinearitas yaitu antara lain dengan melihat koefisien determinasi (R2). Multikolinearitas terjadi apabila nilai Fhitung terhadap Ftabel tinggi tetapi tidak semua koefisien

regresi signifikan. Apabila R2 tinggi yaitu 0,7 sampai 1 maka antara variabel independen yang berkorelasi mungkin terjadi multikolinearitas.

b. Uji Otokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series. Sehingga terdapat saling ketergantungan antara faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi yang dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lainnya. Oleh karena itu masalah autokorelasi biasanya muncul dalam data time series, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam data cross sectional.

Uji untuk melihat autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson Test ataupun dengan uji Lagrange Multiplier Test (LM-Test).

Namun uji DW Test tidak bisa diterapkan terhadap model regresi yang mempunyai nilai kelambanan (lag) dari variabel tak bebas. Dengan membandingkan nilai X2hitung dengan X2tabel dinyatakan penilaian:

• Jika nilai X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak


(58)

• Jika nilai X2hitung < X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak

ada masalah autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak

3.5. Batasan Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka, perlu diberikan batasan operasional sebagai berikut:

1. Uang Kartal (UKR) adalah uang kertas dan uang logam yang di edarkan oleh Bank Indonesia dan dinyatakan dalam miliar Rupiah

2. Pendapatan Perkapita (PDB) adalah tingkat Pendapatan Domestik Bruto tahunan berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan 2003 dan dinyatakan dalam juta Rupiah

3. Inflasi (INF) adalah adalah kecenderungan harga naik secara umum dan terus menerus untuk penelitian ini data diambil dari Indeks harga konsumen (dalam persen)

4. Nilai Tukar (ER) adalah nilai tukar mata uang Rupiah per satu satuan dollar AS, dan dinyatakan dalam Rupiah.

5. Suku Bunga (IR) adalah tingkat suku bunga deposito selama 12 bulan, dan dinyatakan dalam persen


(59)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Uang Kartal Di Indonesia

4.1.1. Perkembangan Uang Kartal

Perkembangan permintaan Uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 secara rata rata adalah 20,521 miliar Rupiah pertahun, tetapi perkembangan ini tidaklah secara merata mengalami kenaikan, melainkan diawali dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998. Permintaan uang kartal kembali mulai naik secara wajar pada tahun 2000, 2001, dan 2002, dan melonjak lagi pada tahun 2003 dan 2004. Permintaan uang kartal untuk periode 1970 – 2004 terbesar pada tahun 2004 sebesar 19265 miliar rupiah, dan terkecil pada tahun 1970 sebesar 155 miliar rupiah.

Kenaikan jumlah permintaan uang kartal di Indonesia pada umumnya disebabkan dua faktor. Pertama, musim lebaran yang setiap tahun menunjukkan peningkatan kebutuhan uang kartal dari masyarakat. Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak yang juga menyumbang peningkatan kebutuhan uang kartal.


(60)

Perkembangan permintaan uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

1970 197 2

197 4

197 6

1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004

Tahun

M

iliar R

upiah

Gambar 4.1. Permintaan Uang Kartal Di Indonesia Sumber: Bank Indonesia

4.1.2. Pendapatan Perkapita

Perhitungan PDB dapat memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran suatau negara atau tingkat kesejahteraan sosial masyarakat, semakin berkembangnya PDB, sektor riil akan berkembang, Sebelum krisis ekonomi (1970-1997) pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat berfluktuasi dengan kecenderungan menaikkan, selama periode tersebut Pertumbuhan rata-rata mencapai 6,58 %, kondisi paling buruk dialami yaitu masa krisis Tahun 1982 sampai tahun 1985 pertumbuhan ekonomi rendah disebab kan oleh melemahnya perekonomian dunia disebabkan resesi dunia sehingga permintaan terhadap ekspor Indonesia menurun, penurunan yang besar ini hingga pemerintah mendevaluasi rupiah. Pada tahun 1997 pertumbuhan


(61)

ekonomi semakin merosot dan pada tahun 1998 terjadi krisis ekomi dan inflasi sampai 58 % yang melemahkan hampir setiap kegiatan perekonomian Indonesia mencapai -13,13 %. Periode 1999-2004 pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, dan pertumbuhan dan sampai mulai pertumbuhan ekonomi semakin meningkat mencapai rata-rata 3,99 %.). Perkembangan PDB riil Indonesia dilihat dari pertahunnya yaitu: Selama tahun 2000-2004 meningkat secara representatif, dimana pada tahun 2002 meningkat sebesar 3,64 persen dibandingkan tahun 2001. Pertumbuhan ini terjadi pada sektor pertanian, sektor pertambangan-penggalian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan sektor keuangan-persewaan-jasa perusahaan, untuk tahun . 2003 meningkat sebesar 3,48 persen dibandingkan tahun 2002. Pertumbuhan ini terjadi pada sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Tahun 2003-2004 hampir semua komponen PDB mengalami peningkatkan terutama komponen investasi fisik, impor, ekspor dan konsumsi rumah tangga.


(62)

Perkembangan Pendapatan Perkapita (PDB) di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 199 1

1994 1997 2000 2003 Tahun

Miliar Ru

piah

Gambar 4.2. Perkembangan PDB Indonesia Sumber: Bank Indonesia

4.1.3. Inflasi

Sebelum krisis ekonomi (1970-1997) pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat,

Tahun 1998 tingkat inflasi tercatat cukup tinggi karena adanya Cost Push Inflation. Industri yang berkembang di Indonesia ternyata berdampak karena katergantungan sektor industri pada bahan baku impor, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang pernah mencapai Rp. 15.000 per 1 US$ pada tahun 1998 menyebabkan harga bahan baku import meningkat sehingga mempengaruhi harga-harga dalam negeri. Demikian juga pasca krisis 1997, masih lemahnya kinerja perekonomian (Sektor riil khususnya) menyebabkan


(63)

daya beli masyarakat mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan inflasi tercatat relatif rendah dibandingkan pada saat periode krisis yang lalu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun 1998-1999 merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia.

Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya kemampuan usaha sektor produksi. Sebagai akibatnya kualitas aset perbankan turun secara drastis sementara sistem perbankan diwajibkan untuk terus memberikan imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga pasar. Rendahnya kemampuan daya saing usaha pada sektor produksi telah pula menyebabkan berkurangnya peran sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi.,melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang pernah mencapai Rp. 15.000 per 1 US$ pada tahun 1998 menyebabkan harga bahan baku import meningkat sehingga mempengaruhi harga-harga dalam negeri. Krisis ekonomi dan moneter merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan, mengalami kesulitan keuangan. Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya kemampuan usaha sektor produksi.


(64)

Untuk mengatasi permasalahan inflasi Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter dengan meningkatkan suku bunga. Efeknya mulai terasa tahun 2000 dimana tingkat inflasi dapat ditekan mencapai 13,8 %

Perekonomian Indonesia Tahun 2004 menunjukkan perkembangan yang semakin mantap, bahkan lebih baik dari perkiraan awal tahun. Pertumbuhan ekonomi meningkat, disertai pola ekspansi yang semakin seimbang, perkembangan tersebut didukung oleh semakin terjaganya kestabilan makroekonomi melalui penerapan kebijakan yang konsisten. Meskipun demikian kerja keras masih harus ditingkatkan mengingat perbaikan yang terjadi belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya saing ekonomi. Kegiatan ekonomi mencatat pertumbuhan tertinggi pascakrisis ekonomi, yaitu sebesar 5,1%, yang diikuti dengan perbaikan pola ekspansi. Konsumsi mengalami pertumbuhan yang relatif stabil, sementara kegiatan investasi meningkat tajam, setelah dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang rendah, demikian pula pertumbuhan ekspor barang dan jasa terus meningkat, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan volume perdagangan dunia yang diikuti dengan melonjaknya harga- harga komoditi minyak dan gas bumi (Migas) serta non migas. Sementara itu meningkatnya kegiatan investasi didorong oleh membaiknya permintaan domestik dan dukungan pembiayaan. Sejalan dengan meningkatnya permintaan domestik dan ekspor, kegiatan impor barang dan jasa juga turut mengalami peningkatan yang tinggi.perkembangan tersebut berhasil


(65)

memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, yang tercermin pada peningkatan pendapatan perkapita dan penurunan kemiskinan.

Pada tahun 2004 masih banyak permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Pemerintah masih harus berupaya keras untuk mengatasi iklim investasi yang belum kondusif, ditengah kapasitas produksi yang semakin terbatas, efisiensi yang masih rendah yang mengakibatkan rendahnya daya saing perekonomian dan kondisi infrastruktur yang belum memadai. Pada saat yang sama restrukturisasi perbankan sepenuhnya yang dapat menghambat pulihnya kepercayaan dunia usaha serta kelancaran pembiayaan sektor riil.

Selain permasalahan diatas, perekonomian Indonesia tahun 2004 juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang dapat menghambat aktivitas perekonomian. Disisi eksternal, kecendrungan suku bunga global yang meningkat diperberat oleh peningkatan harga minyak yang tinggi

Selain itu kenaikan harga minyak juga berdampak pada peningkatan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang memberikan tekanan pada inflasi. Disisi internal, proses transisi politik yang terjadi pada tahun 2004 juga sempat mempengaruhi persepsi pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian nasional. Dibidang perbankan, struktur kelembagaan perbankan juga masih menghambat kemampuan Bank dalam mengelola dan meningkatkan skala usaha.

Berbagai tantangan yang melingkupi perekonomian menghadapkan para pengambil kebijakan yang harus dilakukan secara berhati- hati. di sektor moneter, inflasi yang bersumber dari depresiasi nilai tukar dan ekspektasi


(66)

inflasi yang tinggi. sektor riil, kebijakan fiskal dihadapkan pada tantangan untuk memgurangi defisit APBN akibat tingginya subsidi BBM akibat kenaikan harga BBM di pasar dunia, Nisbah pajak terhadap PDB yang masih rendah, dan sumber pembiayaan yang terbatas untuk menjaga suasana yang kondusif disektor riil, tantangan kebijakannya adalah untuk meningkatkan konsistensi antar berbagai ketentuan, memperkuat pelaksanaan kebijakan di lapangan dan menyelaraskan peraturan pemerintah pusat dan daerah

Untuk merespon berbagai tantangan tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan untuk memperkokoh stabilitas makroekonomi sekaligus tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.kebijakan moneter diarahkan untuk tetap konsisten mencapai sasaran inflasi jangka menengah. perbankan dan meningkatkan peran perbankan dalam perekonomian terutama melalui penyaluran kredit.

Kondisi moneter pada tahun 2004 secara umum cukup stabil, meskipun pada paruh kedua dibayangi tantangan yang terutama bersumber dari sektor eksternal. Kestabilan tersebut tercermin pada pertumbuhan uang primer yang relatif terkendali dan pergerakan suku bunga yang cendrung menurun. Komitmen dan konsisten Bank Indonesia untuk mencapai sasaran Inflasi dengan tetap mendukung percepatan perbaikan perekonomian disertai semakin membaiknya kondisi sosial politik dan iklim usahan mendorong tercapainya stabilitas moneter. Berikut perkembangan inflasi di Indonesia:


(67)

Perkembangan Inflasi (INF) di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 199 4

199 7

2000 2003 Tahun P e rs en ta se

Gambar 4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia Sumber: Bank Indonesia

Pada awal tahun 1970 – an perkembangan tingkat inflasi di Indonesia cukup tinggi hingga mencapai 40% di tahun 1974, hal ini disebabkan baru terjadinya perpindahan kekuasaan pemerintah dari Presiden Soekarno (Orde Lama) kepada Presiden Suharto (Orde Baru), dimana pemerintahan orde lama meninggalkan warisan keadaan ekonomi yang carut marut kepada pemerintah Orde Baru.

Secara perlahan pemerintah Orde baru berhasil menurunkan tingkat inflasi dengan adanya bantuan dari negara asing dan juga terjadinya “oil

boom” dimana indonesia sebagai salah satu anggota negara negara


(68)

dipasaran dunia, sehingga pembangunan di dalam negeri dapat terus bergerak, sehingga inflasi dapat ditekan.

Rata rata tingkat inflasi di Indonesia dari tahun 1970 – 2004 adalah 13,1 %. Tingkat inflasi yang tertinggi yang pernah dialami Indonesia adalah pada tahun 1998 yang berjumlah hampir mendekati 80%, hal ini disebabkan adanya krisis moneter di Indonesia. Sedangkan untuk mulai dari tahun 2000 – 2004 tingkat inflasi sudah dapat dikendalikan hanya berada pada kisaran rata rata 6% per tahun.

4.1.4. Nilai Tukar

Penyebab utama terjadinya fluktuasi nilai tukar bisa timbul dari berbagai sebab antara lain jika kepercayaan mastarakat terhadap mata uang tersebut menurun, disebabkan karena anggota masyarakat tidak mau memegang uang dan melepaskan pada pembelian barangsehingga kecepatan uang yang beredar semakin tinggi sehingga mengakibatkan terdorongnya harga harga naik dan mengakibatkan inflasi Pergerakan Nilai Tukar Rupiah pada tahun 1998 mengalami peningkatan mencapai Rp. 8.425 per US dollar yaitu pada saat krisis ekonomi peningkatan tersebut mencapai hampir 50 % dari tahun 1997.Tahun 2004 secara keseluruhan relatif stabil, meskipun rupiah sempat mengalami tekanan depresiasi yang cukup berarti.

Secara rata- rata perkembangan nilai tukar rupiah tahun dibandingkan denagan tahun 2004 sebesar Rp. 9.290 per US dollar. lebih tinggi dari tahun


(69)

2003 yang mencapai 5,31% yaitu sebesar Rp.8.465 per US dollar. sedangkan di tahun 2002 terapresiasi 14,4% yaitu sebesar Rp.8.940 per US dollar. pada tahun 2001 nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi hingga mencapai 8,39%. yaitu sebesar Rp.8.465 per US dollar dan kembali menguat di tahun 2000 mencapai 7,74% yaitu sebesar Rp.9.595 per US dollar

Perkembangan Nilai tukar (ER) di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003

Tahun

Ru

p

ia

h

Gambar 4.4. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US $ Dollar Sumber: Bank Indonesia

4.1.5. Suku Bunga

Suku bunga merupakan faktor yang penting dalam perekonomian suatu negara karena sangat berpengaruh terhadap “kesehatan” suatu perekonomian. Hal ini tidak hanya mempengaruhi keinginan konsumen untuk membelanjakan ataupun menabungkan uangnya tetapi juga mempengaruhi


(70)

dunia usaha dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang sangat luas, tidak hanya pada sektor moneter, melainkan juga pada sektor riil, sektor ketenagakerjaan, bahkan sektor internasional.

Nilai suku bunga domestik di Indonesia sangat terkait dengan suku bunga internasional. Hal ini disebabkan oleh akses pasar keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional dan kebijakan nilai tukar yang kurang fleksibel.

Selain suku bunga internasional, tingkat diskonto SBI juga merupakan faktor penting dalam penentuan suku bunga di Indonesia. Peningkatan diskonto SBI segera direspon oleh suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank), sedangkan respon suku bunga deposito baru muncul setelah 7–8 bulan. Faktor lain yang turut berpengaruh dalam penentuan suku bunga di Indonesia adalah kondisi likuiditas yang berdampak pada suku bunga PUAB dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang akan mendorong arus modal masuk sehingga pengaruhnya terhadap suku bunga deposito dan suku bunga kredit lebih kecil.

Salah satu faktor penting dalam menganalisa dan meramalkan tingkat suku bunga adalah inflasi. Pengertian inflasi dalam arti luas didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dalam tingkat harga umum. Inflasi dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito dalam peredaran banyak, dibandingkan dengan jumlah barang-barang serta jasajasa yang ditawarkan atau bila karena


(71)

hilangnya kepercayaan terhadap mata uang nasional, terdapat adanya gejala yang meluas untuk menukar dengan barang-barang.

Tingkat Suku Bunga pada tahun 1970 – 1977 masih berada disekitar 15,0 %, sedangkan pada tahun 1978 – 1982 tingkat suku bunga turun menjadi dibawah 10% hal ini disebabkan adanya resesi yang melanda dunia.

Rata rata suku bunga dari tahun 1970 – 2004 adalah sebesar 15,5%. Untuk periode 1983 – 1997 tingkat suku bunga naik menjadi sekitar dibawah 25%. Lonjakan drastis terjadi pada tahun 1998 – 1999, pada saat terjadinya krisis moneter di Indonesia suku bunga melonjak hingga 28%, Periode 2000 – 2004 suku bunga secara gradual turun menjadi sekitar 10% pada tahun 2004.

Perkembangan Suku Bunga (IR) di Indonesia sejak tahun 1970 hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 197 0

1973 1976 1979 198 2 198 5 198 8 199 1 199 4 199 7 200 0 200 3 Tahun P e rs en ta se

Gambar 4.5 : Perkembangan Suku Bunga di Indonesia Sumber: Bank Indonesia


(72)

4.2. Analisis dan Pembahasan

Analisis mengenai permintaan uang kartal di Indonesia, berdasarkan model estimasi yang dipengaruhi oleh Pendapatan Domestik Bruto, inflasi, Kurs, dan Suku Bunga. Untuk mengetahui besarnya parameter (koefisien regresi) dari masing masing variabel independent, yaitu PDB, INF, ER, dan IR terhadap permintaan uang kartal di Indonesia, dapat dilakukan dengan komputer dengan penggunaan program Eviews 4.1. Hasil Pengolahan data menunjukkan:

LNUKR = 5,279 + 0,350*LNPDB + 0,170*LNINF + 1,548*LNER – 0,936*LNIR

Standard Error (1,812) (0,129) (0,122) (0,082) (0,306) t- stat (2,913) (2,713) (2,392) (18,794) (-3,058)

R-squared 0,845 f-statistik 131,02

R2Adjusted 0.838 Prob. F- Statistik 0,0000 D-W Statistik 1.565

Dari persamaan tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

Koefisien Regresi PDB sebesar 0,350, menunjukkan bahwa Pendapatan Perkapita (PDB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Permintaan Uang Kartal (UKR). Atau dengan kata lain jika variabel


(1)

1. Uang Kartal (UKR) adalah uang kertas dan uang logam yang di edarkan oleh Bank Indonesia dan dinyatakan dalam miliar Rupiah 2. Pendapatan Perkapita (PDB)

adalah tingkat Pendapatan Domestik Bruto tahunan berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan 2003 dan dinyatakan dalam juta Rupiah

3. Inflasi (INF) adalah adalah kecenderungan harga naik secara umum dan terus menerus untuk penelitian ini data diambil dari Indeks harga konsumen (dalam persen)

4. Nilai Tukar (ER) adalah nilai tukar mata uang Rupiah per satu satuan dollar AS, dan dinyatakan dalam Rupiah.

5. Suku Bunga (IR) adalah tingkat suku bunga deposito selama 12

bulan, dan dinyatakan dalam persen

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis mengenai permintaan uang kartal di Indonesia, berdasarkan model estimasi yang dipengaruhi oleh Pendapatan Domestik Bruto, inflasi, Kurs, dan Suku Bunga. Untuk mengetahui besarnya parameter (koefisien regresi) dari masing masing variabel independent, yaitu PDB, INF, ER, dan IR terhadap permintaan uang kartal di Indonesia, dapat dilakukan dengan komputer dengan penggunaan program Eviews 4.1. Hasil Pengolahan data menunjukkan:

Koefisien Regresi PDB sebesar

0,350, menunjukkan bahwa

Pendapatan Perkapita (PDB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Permintaan Uang Kartal (UKR). Atau dengan kata lain jika


(2)

variabel Pendapatan Perkapita naik / meningkat sebesar 1 persen ceteris paribus, maka akan menaikkan permintaan uang kartal sebesar Rp 0,350 persen.

Koefisien Regresi INF sebesar 0,170, menunjukkan bahwa Inflasi (INF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Permintaan uang kartal (UKR). Atau dengan kata lain jika apabila variabel Inflasi naik / meningkat sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka akan menaikkan permintaan uang kartal sebesar 0,170 persen,

Koefisien Regresi ER sebesar 1,548, menunjukkan bahwa Kurs (ER) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Permintaan uang kartal (UKR). Atau dengan kata lain jika apabila kurs naik / meningkat sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka akan

menaikkan permintaan uang kartal sebesar 1,548 persen.

Koefisien Regresi IR sebesar -0,936, menunjukkan bahwa suku bunga (IR) berpengaruh negatif terhadap Permintaan uang kartal (UKR). Atau dengan kata lain jika apabila suku bunga naik / meningkat sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka akan menurunkan permintaan uang kartal sebesar 0,936 persen.

Untuk melihat apakah adanya pengaruh krisis moneter pada tahun 1998 membawa perbedaan yang signifikan maka diadakan Chow test.

Hasil dari eviews 4.1 adalah sebagai berikut nilai F-statistik menunjukkan Fhitung (43,315) > Ftabel (4,17), signifikan pada tingkat keyakinan 95 persen atau g = 5%, artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara periode sebelum krisis moneter dengan periode sesudah krisis moneter


(3)

Pengujian Hipotesis

Nilai uji F sebesar 131,02 dengan signifikansi 0,000, dimana disyaratkan signifikansi F lebih kecil dari lima persen, agar hipotesis dapat diterima. F tabel pada tingkat kepercayaan 95% g = 0,05 adalah 4,17. Ini berarti bahwa nilai F statistik lebih besar dari pada Ftabel (131,02 > 4.17). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa semua variabel independen dalam penelitian ini secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap Permintaan Uang Kartal di Indonesia. Hal tersebut berarti jika Pendapatan, Inflasi, Nilai Tukar, dan Suku Bunga secara bersama-sama mengalami kenaikan maka akan berdampak pada kenaikan tingkat Permintaan Uang Kartal di Indonesia, sebaliknya jika Pendapatan, Inflasi, Nilai Tukar, dan Suku Bunga secara bersama-sama mengalami penurunan maka akan

berdampak pada penurunan Permintaan Uang Kartal di Indonesia.

Nilai thitung dari hasil regresi tersebut

untuk mengetahui signifikansi variabel independen secara terpisah (parsial) terhadap variabel dependen dengan tingkat kepercayaan 95 persen atau pada tingkat α = 5%. Dengan syarat apabila variabel independen signifikan terhadap variabel dependen maka terdapat pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen, sedangkan apabila tidak signifikan maka tidak terdapat pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Pada penelitian ini Uji t digunakan untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima atau tidak dengan mengetahui apakah variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen.


(4)

Adapun metode dalam penentuan ttabel

menggunakan ketentuan tingkat signifikansi 5 persen, dengan nilai ttabel sebesar 2,04 disajikan di bawah

ini.

Var thitung ttabel Sig Keputusan

PDB2,713 2,04 0,0000 Hipotesis Terbukti

INF 2,392 2,04 0,0413 Hipotesis Terbukti

ER 18,794 2,04 0,0008 Hipotesis Terbukti

IR -3.058 2,04 0,0059 Hipotesis Terbukti

Besarnya Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.845 atau 84,5 persen sehingga dapat dikatakan bahwa 84,7 persen variasi variabel tidak bebas yaitu variabel Permintaan Uang Kartal pada model dapat diterangkan oleh variabel bebas yaitu variabel Pendapatan, Inflasi, Nilai Tukar, dan Suku Bunga, sedangkan sisanya sebesar 15,3 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.

Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model

regresi yang baik seharusnya tidak teradi korelasi di antara variabel independen (Gujarati, 2003). Persamaan regresi menunjukkan data sebagai berikut:

nilai R2 LUKR = PDB, INF, ER, IR = 0,845

lebih besar dibandingkan dengan nilai R2 dalam regresi parsial, R2 PDB = INF,

ER, IR = 0.276, R2 INF = ER, IR, PDB =

0.048, R2ER = IR, PDB, INF = 0.255, R2IR

= PDB, INF, ER, = 0.160. Maka dapat

disimpulkan bahwa dalam model empiris LUKR = f (LPDB, LINF, LER, LIR) tidak ditemukan adanya multikolinieritas.

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan penggangu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (Gujarati, 2003). Selanjutnya dilakukan Uji Asumsi Klasik Autokorelasi, melalui


(5)

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test dari program Eviews 4.1 diketahui bahwa tidak terdapat autokorelasi pada model regresi (Nilai probabilitas yang tidak signifikan nilai prob > sig. 0,05).

KESIMPULAN

1. Secara serempak (bersama) variabel variabel independen (Pendapatan perkapita, inflasi, Nilai Tukar, dan suku bunga), mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal).

2. Secara parsial variabel variabel independen yaitu pendapatan, inflasi, dan nilai tukar (kurs) mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal), sedangkan variabel independen suku bunga

berpengaruh negatip pada Permintaan Uang Kartal.

3. Secara keseluruhan dari hasil Estimasi menunjukkan bahwa nilai tukar (ER) mempunyai pengaruh paling besar terhadap permintaan uang kartal di Indonesia

SARAN

Kepada Pemerintah Indonesia:

1. Pemerintah hendaknya berusaha untuk terus meningkatkan Pendapatan Perkapita masyarakat, karena pendapatan perkapita yang tinggi akan memacu pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian ini bahwa kecenderungan masyarakat untuk meminta / menyimpan Uang Kartal sangat dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat

2. Hendaknya pihak otoritas moneter di Indonesia perlu menjaga


(6)

kestabilan nilai suku bunga pinjaman karena suku bunga memiliki pengaruh negatif pada Permintaan Uang Kartal dan apabila suku bunga terlalu tinggi hal ini juga bisa memperlambat pembangunan di negara kita

Kepada Peneliti Selanjutnya:

1. Penelitian yang bisa dilakukan untuk selanjutnya apakah ada

faktor lain selain pendapatan, inflasi, kurs dan suku bunga yang bisa mempengaruhi Permintaan Uang Kartal di Indonesia

2. Penelitian selanjutnya bisa dilakukan apakah faktor faktor yang diteliti disini juga akan sama berpengaruh terhadap Permintaan Uang Kuasi.