Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kejahatan atau tindak kriminal, merupakan salah satu tindakan atau perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat dalam setiap bentuk masyarakat. Kejahatan pada masyarakat saat ini telah menempati tempat teratas yang merupakan permasalahan pokok dalam setiap kehidupan di masyarakat. Banyak terdapat jenis-jenis kejahatan dalam berbagai bentuk seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, perusakan, maupun pencurian dengan kekerasan merupakan hal yang sering kali terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat. Sejak awal mulai lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dalam suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit sekali hukum atau peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya. 1 Masalah hubungan pelaku kejahatan dan korban bukanlah masalah yang baru, hanya saja selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Korban tidaklah hanya sebagai sebab dan dasar proses terjadinya 1 Marjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, LKUI, Jakarta, h.81. 2 kriminalitas namun juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, mengerti masalah kejahatan, dilekuensi, dan deviasi. 2 Beberapa tahun terakhir ini kejahatan terhadap orang dewasa maupun anak-anak semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan peradaban manusia, kejahatan yang terjadi tidak hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa, harta benda akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan juga semakin meningkat. Sebagai masalah sosial pelecehan dan tindak pidana kejahatan seksual hingga kini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun lanjut usia dan dari kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Berbagai pelecehan seksual akhirnya menjadi perkara kejahatan yang terungkap selama ini, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat atau sudah kenal baik dengan korban baik hubungan keluarga maupun tetangga, ataupun hubungan antara pelaku dan korban sudah saling mengenal sebelumnya. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan Bangsa dan Negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya 2 Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, selanjutnya disingkat Arif Gosita I, h.89. 3 perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap hak anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak. Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child Konvensi tentang hak-hak anak. Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2002, yang secara substantif telah mengatur 4 beberapa hal antara lain persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi dan anak dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 selanjtnya disebut dengan UUD 1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Maraknya tindak kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual di tahun 2000an mendorong masyarakat memberikan sorotan keras terhadap fenomena itu tersebut. Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, pedofilia, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersial hingga pembunuhan yang marak dipublikasikan lewat media masa elektronika dan cetak membuat masyarakat geram dan meminta negara segera bertindak. 3 Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya UU Perlindungan Anak Tahun 2002 belum dapat berjalan secara maksimal terutama dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk 3 Muhadar dan Edi Abdulah, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, h. 71. 5 memperbaharui dengan membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606, selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2014. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dijelaskan bahwa: “Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya” Perlindungan khusus yang diatur dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 salah satunya adalah perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual dimana pengaturannya terdapat di dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjelaskan : 1 Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada anak. 2 Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada : a. Anak dalam situasi darurat; b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIVAIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan, danatau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik danatau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas; m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan 6 o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya. Disinilah terlihat jelas bahwa di dalam pengaturan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yakni Pasal 59 ayat 1 yang telah diperbaharui oleh Pemerintah Republik Indonesia memberikan kewajiban kepada Pemerintah baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk memberikan Perlindungan Khusus salah satunya adalah Perlindungan Khusus terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat 2 huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak yang dihimpun oleh vivanews.com, tren kejahatan terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun. Jumlah Kejahatan terhadap anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1 : Jumlah Kejahatan terhadap Anak Sumber : http:www.nasional.news.viva.co.idnewsread655240-kpai--kekerasan-terhadap- anak-meningkat-tajam Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI per April 2015, mencatat, terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus. Sementara pada tahun 2011, tercatat sebanyak 2179 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311, dan 2014 No. Tahun Jumlah Kasus 1 2010 171 2 2011 2179 3 2012 3512 4 2013 4311 5 2014 5066 6 Per April 2015 6006 7 sebanyak 5066 kasus. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan pornografi. Tabel 2 : Jenis Kejahatan No. Jenis Kejahatan Jumlah Kasus sd April 2015 1 Anak salah pengasuhan 3160 2 Pendidikan 1764 3 Kesehatan dan NAPZA 1366 4 Cyber crime dan Pornografi 1037 Jumlah 6006 Sumber : http:www.nasional.news.viva.co.idnewsread655240-kpai--kekerasan-terhadap- anak-meningkat-tajam Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Perlindungan anak Indonesia KPAI, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. 4 Sedangkan kasus yang terjadi di Kota Denpasar berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak P2TP2A yang dihimpun oleh Bali Tribun News, setidaknya ada 69 kasus kejahatan seksual terhadap anak selama periode Januari hingga September 2015. 5 4 lma Sovri Yanti, Ketua Satgas Perlindungan Anak, 2014, URL : http:www.nasional.news.viva.co.idnewsread655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak- meningkat-tajam , diakses tanggal 8 Oktober 2015. 8 Di Provinsi Bali sendiri untuk menanggulangi kasus kejahatan terhadap anak pada umumnya dan khususnya kasus kejahatan seksual terhadap anak, Pemerintah Daerah bersama DPRD Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014, selanjutnya disebut sebagai Perda Perlindungan Anak yang diharapkan mampu menjamin hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan terhadap anak. Perda Perlindungan Anak yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada Tahun 2014 masih mengacu pada UU Perlindungan Anak Tahun 2002, sehingga apa yang tercantum di dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 belum sepenuhnya diakomodir oleh Perda Perlindungan Anak ini. Salah satunya hal yang tidak diakomodir adalah mengenai bentuk perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual dimana perlindungan khusus terhadap anak di dalam Peraturan Daerah ini diatur dalam Pasal 21 yang menjelaskan : 1 Pemenuhan hak anak atas Perlindungan Khusus meliputi : a. Anak yang berhadapan dengan hukum; b. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual; c. Anak korban trafiking; d. Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya; e. Anak korban penularan HIVAIDS; f. Anak korban penculikan; g. Anak terlantar dan anak jalanan; h. Anak korban kekerasan; i. Anak korban bencana alam atau bencana sosial; 5 Bali Tribun News, 2015, URL : http:www.bali.tribunnews.com20151008kasus- kekerasan-anak-marak-polresta-denpasar-beri-prioritas, diakses tanggal 8 Oktober 2015. 9 j. Anak penyandang cacatdisabilitas; k. Anak korban perlakuan salah; dan l. Anak dari kelompok minoritas yang terisolasi. 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak anak atas perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Gubernur. Terdapat rumusan pasal yang belum diatur di dalam penerapan Peraturan Daerah ini yaitu tentang perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual, padahal berkaca pada pengaturan di dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 Pasal 59 ayat 1 yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat 2 huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. Di dalam Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 Ayat 1 huruf b Perda Perlindungan Anak. Tidak dijelaskan di dalam Peraturan Daerah ini tentang apa yang dimaksud dengan eksploitasi anak baik itu secara ekonomi danatau seksual, sehingga terlihat kurang jelas pengaturannya di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ini. Padahal Perda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak ini merupakan payung hukum Umbrella Act unuk menjadi pedoman perlindungan terhadap hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan seksual di Provinsi Bali. Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan peranan semua pihak yang terkait untuk keberadaan perlindungan khusus terhadap anak ini sangatlah penting, maka dari pemaparan mengenai kekosongan norma dalam Perda 10 Perlindungan Anak yang disinyalir dapat menyebabkan terganggunya penegakan hukum dengan semakin maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Provinsi Bali sehingga penulis tertarik mengangkat judul “PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.

1.2 Rumusan Masalah