PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

(1)

i

SKRIPSI

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN

SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA

PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA NIM. 1203005050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN

SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA

PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA NIM. 1203005050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi yang berjudul

“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI

BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” ini,

dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna akibat dari keterbatasan kemampuan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulisan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(6)

vi

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH., Dosen Pembimbing I yang telah sabar memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

6. Bapak A.A. Ngurah Wirasila, SH.,MH., Dosen Pembimbing II yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH., M.Si., yang telah memasuki masa pensiun kemudian digantikan oleh Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., Pembimbing Akademik yang telah menuntun dan membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah kepada penulis;

10. Bapak dan Ibu Staf Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana;

11. Kepada kedua orang tua saya, I Gusti Ngurah Aria Utama SH dan I Gusti Ayu Ngurah Aryani, yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

12. Kepada I Gusti Agung Istri Cintya Saraswati yang selalu sabar menemani serta memberikan semangat dan sahabat-sahabat penulis yang selalu


(7)

vii

memberikan bantuan dan dukungan Teman-teman seperti Arista, Jayak, Gek In, Cibo, Boldes, Ayu Pasek, dan teman-teman Kelas A Fakultas Hukum Universitas Udayana lainnya yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini;

13. Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya seperti Diska, Aik, Cida, Noving, Adel, Shah, Jerry, Dewa Arie, Ardi, Catur, Sabo, teman-teman Cenggolove dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Semoga segala bantuan, budi baik dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 20 April 2016


(8)

viii DAFTAR ISI

Isi Halaman

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 10

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4.Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5. Tujuan Penelitian ... 11

a. Tujuan Umum ... 11

b. Tujuan Khusus ... 11

1.6. Manfaat Penelitian ... 13

a. Manfaat Teoritis ... 13

b. Manfaat Praktis ... 13


(9)

ix

1.8. Metode Penelitian ... 22

a. Jenis Penelitian ... 22

b. Jenis Pendekatan ... 22

c. Bahan Hukum ... 23

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 25

e. Teknik Analisis ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1.Pengertian Korban ... 28

2.2.Pengertian Anak ... 30

2.3.Hak-Hak Anak ... 32

2.4.Pengertian Kejahatan Seksual ... 34

BAB III SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL 3.1. Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam KUHP ... 39

3.2.Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 48

BAB IV PERLINDUNGAN KHUSUS BERDASARKAN PERDA PROVINSI BALI NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

4.1.Pengaturan Perlindungan Khusus terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual Setelah Berlakunya Perda Provinsi


(10)

x

Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak …………... 57 4.2.Perlindungan Khusus terhadap Anak yang Tereksploitasi

secara Ekonomi dan/atau Seksual Berdasarkan Perda Provinsi

Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 64

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan ... 73 5.2. Saran ... 74


(11)

(12)

xii

ABSTRACT

Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection is felt not to run effectively, especially in giving special protection to children so that the Government of the Republic of Indonesia took the initiative to renew by establishing Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. Legal Protection of children as victims of sexual crimes specifically regulated in Article 59 on Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection and obliges local governments to implement special protection to children. In local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection still refers to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection in relation to giving special protection to children victims of sexual crimes only regulates children exploited economically and / or sexually referred to in Article 21 paragraph (1) letter b local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection.

The method used in this thesis is a normative legal research. The issues

raised in this study are: 1. How will the legal protection of children as victims of sexual crimes in terms of the Criminal Code and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection? 2. How will the special protection to children as victims of sexual crimes after the entry into force of the local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection?. The approach used in this study is the approach of legislation and conceptual approaches. As a source of law is the subject of this study is derived from the results of the research literature.

As can be inferred in legal research are as follows: (a) In the Criminal Code, sexual crimes committed against minors under Article 287 paragraph (1) Criminal Code is still a complaint-based offense and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection set up special protection victims of sexual crimes against children as defined in Article 59 paragraph (2) letter j Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. (b) Special protection of the rights of children in local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection provided for in Article 21 paragraph (1), provisions on special protection in relation to sexual crimes only under Article 21 paragraph (1) b of children who are economically exploited sexually and / or because they refer to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection.


(13)

xiii ABSTRAK

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasakan belum dapat berjalan secara efektif terutama dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk memperbaharui dengan membentuk UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual diatur secara khusus dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perlindungan khusus terhadap anak. Di dalam Perda Provinsi Bali Tahun 2014 yang masih mengacu pada UU Perlindungan Anak Tahun 2002 dalam kaitannya memberikan perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak? 2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari hasil penelitian kepustakaan.

Adapun yang dapat disimpulkan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : (a) Di dalam KUHP, kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak dibawah umur diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang masih merupakan delik aduan dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 mengatur perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. (b) Perlindungan khusus terhadap hak-hak anak di dalam Perda Perlindungan Anak Provinsi Bali diatur dalam Pasal 21 ayat (1), Ketentuan mengenai perlindungan khusus dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yaitu anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual karena masih mengacu pada UU Perlindungan Anak tahun 2002.


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kejahatan atau tindak kriminal, merupakan salah satu tindakan atau perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat dalam setiap bentuk masyarakat. Kejahatan pada masyarakat saat ini telah menempati tempat teratas yang merupakan permasalahan pokok dalam setiap kehidupan di masyarakat. Banyak terdapat jenis-jenis kejahatan dalam berbagai bentuk seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, perusakan, maupun pencurian dengan kekerasan merupakan hal yang sering kali terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat.

Sejak awal mulai lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dalam suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit sekali hukum atau peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.1

Masalah hubungan pelaku kejahatan dan korban bukanlah masalah yang baru, hanya saja selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana. Korban tidaklah hanya sebagai sebab dan dasar proses terjadinya

1

Marjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, LKUI, Jakarta, h.81.


(15)

2

kriminalitas namun juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, mengerti masalah kejahatan, dilekuensi, dan deviasi.2

Beberapa tahun terakhir ini kejahatan terhadap orang dewasa maupun anak-anak semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan peradaban manusia, kejahatan yang terjadi tidak hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa, harta benda akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan juga semakin meningkat. Sebagai masalah sosial pelecehan dan tindak pidana kejahatan seksual hingga kini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun lanjut usia dan dari kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Berbagai pelecehan seksual akhirnya menjadi perkara kejahatan yang terungkap selama ini, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat atau sudah kenal baik dengan korban baik hubungan keluarga maupun tetangga, ataupun hubungan antara pelaku dan korban sudah saling mengenal sebelumnya.

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan Bangsa dan Negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya

2

Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, (selanjutnya disingkat Arif Gosita I), h.89.


(16)

3

perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap hak anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang hak-hak anak).

Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2002), yang secara substantif telah mengatur


(17)

4

beberapa hal antara lain persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi dan anak dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaannya Undang tersebut telah sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjtnya disebut dengan UUD 1945) terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

Maraknya tindak kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual di tahun 2000an mendorong masyarakat memberikan sorotan keras terhadap fenomena itu tersebut. Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi, pedofilia, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersial hingga pembunuhan yang marak dipublikasikan lewat media masa elektronika dan cetak membuat masyarakat geram dan meminta negara segera bertindak.3

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya UU Perlindungan Anak Tahun 2002 belum dapat berjalan secara maksimal terutama dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk

3

Muhadar dan Edi Abdulah, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, h. 71.


(18)

5

memperbaharui dengan membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606, selanjutnya disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2014). Dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dijelaskan bahwa:

“Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak

dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap

ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya”

Perlindungan khusus yang diatur dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 salah satunya adalah perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual dimana pengaturannya terdapat di dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjelaskan :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada anak.

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan


(19)

6

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

Disinilah terlihat jelas bahwa di dalam pengaturan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yakni Pasal 59 ayat (1) yang telah diperbaharui oleh Pemerintah Republik Indonesia memberikan kewajiban kepada Pemerintah baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk memberikan Perlindungan Khusus salah satunya adalah Perlindungan Khusus terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014.

Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak yang dihimpun oleh vivanews.com, tren kejahatan terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun. Jumlah Kejahatan terhadap anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Jumlah Kejahatan terhadap Anak

*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per April 2015, mencatat, terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus. Sementara pada tahun 2011, tercatat sebanyak 2179 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311, dan 2014

No. Tahun Jumlah Kasus

1 2010 171

2 2011 2179

3 2012 3512

4 2013 4311

5 2014 5066


(20)

7

sebanyak 5066 kasus. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan pornografi.

Tabel 2 : Jenis Kejahatan

No. Jenis Kejahatan Jumlah Kasus s/d April

2015

1 Anak salah pengasuhan 3160

2 Pendidikan 1764

3 Kesehatan dan NAPZA 1366

4 Cyber crime dan Pornografi 1037

Jumlah 6006

*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam

Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI), rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.4 Sedangkan kasus yang terjadi di Kota Denpasar berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dihimpun oleh Bali Tribun News, setidaknya ada 69 kasus kejahatan seksual terhadap anak selama periode Januari hingga September 2015.5

4

lma Sovri Yanti, Ketua Satgas Perlindungan Anak, 2014, URL :

http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam , diakses tanggal 8 Oktober 2015.


(21)

8

Di Provinsi Bali sendiri untuk menanggulangi kasus kejahatan terhadap anak pada umumnya dan khususnya kasus kejahatan seksual terhadap anak, Pemerintah Daerah bersama DPRD Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014, selanjutnya disebut sebagai Perda Perlindungan Anak) yang diharapkan mampu menjamin hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan terhadap anak. Perda Perlindungan Anak yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada Tahun 2014 masih mengacu pada UU Perlindungan Anak Tahun 2002, sehingga apa yang tercantum di dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 belum sepenuhnya diakomodir oleh Perda Perlindungan Anak ini. Salah satunya hal yang tidak diakomodir adalah mengenai bentuk perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual dimana perlindungan khusus terhadap anak di dalam Peraturan Daerah ini diatur dalam Pasal 21 yang menjelaskan :

(1) Pemenuhan hak anak atas Perlindungan Khusus meliputi : a. Anak yang berhadapan dengan hukum;

b. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; c. Anak korban trafiking;

d. Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;

e. Anak korban penularan HIV/AIDS; f. Anak korban penculikan;

g. Anak terlantar dan anak jalanan; h. Anak korban kekerasan;

i. Anak korban bencana alam atau bencana sosial;

5

Bali Tribun News, 2015, URL : http://www.bali.tribunnews.com/2015/10/08/kasus-kekerasan-anak-marak-polresta-denpasar-beri-prioritas, diakses tanggal 8 Oktober 2015.


(22)

9

j. Anak penyandang cacat/disabilitas; k. Anak korban perlakuan salah; dan

l. Anak dari kelompok minoritas yang terisolasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak anak atas perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Terdapat rumusan pasal yang belum diatur di dalam penerapan Peraturan Daerah ini yaitu tentang perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual, padahal berkaca pada pengaturan di dalam UU Perlindungan Anak Tahun 2014 Pasal 59 ayat (1) yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. Di dalam Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Perlindungan Anak. Tidak dijelaskan di dalam Peraturan Daerah ini tentang apa yang dimaksud dengan eksploitasi anak baik itu secara ekonomi dan/atau seksual, sehingga terlihat kurang jelas pengaturannya di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ini. Padahal Perda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak ini merupakan payung hukum (Umbrella Act) unuk menjadi pedoman perlindungan terhadap hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan seksual di Provinsi Bali.

Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan peranan semua pihak yang terkait untuk keberadaan perlindungan khusus terhadap anak ini sangatlah penting, maka dari pemaparan mengenai kekosongan norma dalam Perda


(23)

10

Perlindungan Anak yang disinyalir dapat menyebabkan terganggunya penegakan hukum dengan semakin maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Provinsi Bali sehingga penulis tertarik mengangkat judul

“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diamati beberapa permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memudahkan dalam menelaah permasalahan dan tidak melebar ke masalah lain, maka perlu diadakan pembatasan masalah. Adapun yang dibahas dalam tulisan ini antara lain pembatasannya pada dua hal yaitu pertama membahas tentang bagaimana


(24)

11

pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan yang kedua yaitu membahas tentang bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

1.4Orisinalitas Penelitian

Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini, penulis melakukan pemeriksaan perpustakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disampaikan bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis namun dari segi substansi berbeda dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

NO. JUDUL

PENELITIAN

TAHUN TEMPAT RUMUSAN

MASALAH

1. Kekerasan Seksual terhadap anak (Suatu Tinjauan Kriminologis)

2009 Fakultas Hukum Universitas Udayana

1. Apakah penyebab terjadinya

kekerasan seksual terhadap anak? 2. Upaya apakah

yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak? 2. Penangan Tindak Pidana

Kekerasan terhadap Perempuan (Studi Kasus di UPPA Polres Bantul)

2014 Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

1. Bagaimana upaya penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan


(25)

12

Anak (UPPA) Polres Bantul Tahun 2012-2014? 2. Apa yang

menghambat dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap

perempuan oleh UPPA Polres Bantul?

1.5Tujuan Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah haruslah mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk memberikan perkembangan bagi hukum pidana, khususnya terkait urgensi pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisa bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014.


(26)

13

2. Untuk menganalisa bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

1.6Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangan dan manfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana sehingga dapat mempekaya bahan-bahan terutama guna pengembangan dunia peradilan pidana pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan atau pedoman referensi untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada anak sebagai korban suatu tindak pidana kejahatan seksual dengan lebih optimal dimasa mendatang.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Masyarakat sebagai bahan untuk acuan dalam pelaksanaan kehidupan keluarga berbangsa dan bernegara guna lebih memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap anak agar tidak menjadi korban suatu kejahatan seksual.

2. Bagi penegak hukum agar dapat menegakkan fungsinya dengan baik dan benar dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dan


(27)

14

menegakkan fungsi dengan benar dan adil dalam upaya penerapan Peraturan Perundang-undangan.

1.7Landasan Teoritis

1. Konsep Negara Hukum

Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M

Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance

and culture interact”.6 Terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal

substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal

culture).

Secara konseptual istilah negara hukum di indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu :

a. Rechsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum

yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menuju tipe negara hukum dari negara Anglo

Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.7

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep

rechsstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa

Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechsstaat yang

6

Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Prespective, Rusell Sage Foundation, New York, h.4.

7

I Dewa Gede Atmaja, 2010, Hukum Konstitusi : Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157.


(28)

15

pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodesasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia tidak seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep

rechsstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada

dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu

konsep “Negara Hukum Pancasila”.

Menurut Bagir Manan unsur-unsur terpenting dari negara hukum, dikemukakan terdiri dari :

1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.

2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreading van de

staatsmacht).

4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.

5. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan

atas hukum (undang-undang).9

2. Teori Perlindungan Hukum

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari teori hukum alam. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Plato dan Aristoteles.

8

Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon I), h.66-67.

9

Bagir Manan, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.35.


(29)

16

Kaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa :

Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.10

Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang perlu dikaitkan dengan adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :

1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif sangan besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif terdorong untuk bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.11

10

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon II), h.205.

11Ibid


(30)

17

Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12 Perlindungan hukum memberikan jaminan setiap orang untuk memperoleh hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana perlindungan hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

3. Teori Victimologi

Victimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat dari penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.13 Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,

sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the aprevention of

Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,

September 1985, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu

12

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54.

13


(31)

18

deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power.14

Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan :

“Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where

appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of

the victimization, the provision of service and the restoration of rights”.15

(Terjemahan bebas penulis : Pelaku atau mereka yang bertanggung jawab atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban. Restitusi terebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderit oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.16 Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu :

1. Acces to justice and fair treatment (pemberian kesempatan terlibat

dalam sistem peradilan pidana dan peradilan yang wajar) menentukan bahwa perlindungan korban harus dilakukan dengan jalan memberikan

14

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.

15

Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind Hill Co, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Arif Gosita II), h.77.

16


(32)

19

perhatian (respect and recognition) terhadap keberadaan mereka dalam sistem peradilan pidana, peradilan pidana dan mekanismenya harus dipastikan dan diperkuat agar dapat memenuhi kebutuhan korban untuk memperoleh penggantian kerugian baik melalui prosedur formal maupun informal secara cepat, wajar, tidak mahal dan mudah dilakukan, serta harus difasilitasi dengan jalan :

(a) Memberikan informasi perkembangan kasusnya;

(b) Memperhatikan keinginan korban terkait dengan kehadirannya di sidang pengadilan, memberikan masukan dalam pengambilan keputusan tanpa menimbuklan prasangka dari terdakwa dan sesuai dengan sistem yang berlaku;

(c) Memberikan bantuan pada korban dalam proses hukum;

(d) Melindungi privasi korban dan memberikan rasa aman pada korban dan keluarganya dan saksi yang mereka perlukan harus terbebas dari intimidasi dan balas dendam;

(e) Menghindari terjadi keterlambatan penyelesaian kasusnya, eksekusi dari keputusan dan menjamin adanya hadiah untuk korban.

2. Restitusi berupa upaya untuk mengganti kerugian dari perilaku kejahatan terhadap korban, dan keluarganya. Restitusi termasuk pengembalian harta benda, membayar biaya pengobatan, mengembalikan biaya-biaya yang harus ditanggung korban sebagai


(33)

20

akibat terjadinya korban. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaitkannya dengan pemidanaan pada pelaku kejahatan.17

3. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara bilamana ganti kerugian tidak diperoleh atau tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku kejahatan.18

4. Bantuan baik materi, medis, psikologis, maupun bantuan hukum.

4. Teori Perjenjangan Norma

Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.19 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu :

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) Kelompok II : Staatgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok

Negara)

17

Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, h.43.

18Ibid

, h.42.

19

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h.44.


(34)

21

Kelompok III : Formell Gesetz ( undang-undang formal)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom).

Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental

negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.

Batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatgerundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupakan

garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-Undang dikategorikan


(35)

22

dalam Formell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome Satzung.

1.8Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metedologi dan sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.20

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif ini juga disebut penelitian terhadap kaidah atau hukumnya itu sendiri dan asas-asas hukum.

b. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Untuk pengkajian permasalahannya dilihat dari segi

20


(36)

23

hukumnya dan mengenai sumbernya berasal dari peraturan perundang-undangan serta teori-teori yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaannya.21

c. Bahan Hukum

Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari hasil penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan terkait dengan pokok permasalahan yang pada dasarnya dapat diklarifikasikan menjadi 2 (dua) jenis bahan hukum, yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Sebagai bahan hukum primer dari hasil penelitian ini berasal dari penelitian terhadap aturan-aturan hukum termasuk peraturan

perundang-undangan, yaitu :

- Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

21

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 10.


(37)

24

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);

- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6602);

- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

- Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara); - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban


(38)

25

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4860); - Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder penelitian ini antara lain diperoleh dari literature, majalah, makalah maupun hasil-hasil penelitian Hukum yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan khusus terhadap anak.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pemenuhan bahan hukum adalah teknik studi kepustakaan (study document) yang dilakukan terhadap bahan-bahan hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada dengan menggunakan teknik membaca serta mencatat dengan sistem kartu

(card system) sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Sistem ini

dilakukan dengan tiga cara, yaitu :

1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya.

2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namum penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.


(39)

26

3. Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu bahan, dari subjek ini penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka.22

Sistem yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah mempergunakan kartu judul karena penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.

e. Teknik Analisis

Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpulkan berkenaan dengan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan eksplanasi. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk menentukan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Pada tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak sebagai korban kejahatan seksual baik berupa Undang-Undang maupun Peraturan Daerah.

Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahapan ini juga dilakukan koherensi antara aturan hukum yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Selanjutnya pada tahap

22

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.


(40)

27

eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.


(41)

28

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1Pengertian Korban

Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

“orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian

harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran

ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah

korban dari pelanggaran atau tindak pidana.23

Sedangkan menurut Arif Gosita, menyatakan yang dimaksud dengan

korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.24

Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut :

23

Bambang Waluyo, op.cit, h.9.


(42)

29

1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil;

2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam;

3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab;

4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.25

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan

oleh suatu tindak pidana”.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami

kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

25Ibid


(43)

30

3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah

orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya”.

2.2Pengertian Anak

Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak adalah bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda ada yang disebut dengan remaja dan dewasa. Menurut Shanty Dellyana yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa).26

Menurut Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak menurut hukum adat adalah mereka yang masih muda usia dan muda dalam jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar.27

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadi kita harus bersifat responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang

26

Shanty Dellyana, 1990, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Liberti, Yogyakarta, h. 50.

27

Made Sadhi Astuti, 2002, Hukum Pidana dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Malang, Malang, h. 6.


(44)

31

berlaku. Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangangan yang berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana”.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak Asasi Manusia.

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila tersebut

demi kepentingannya”.

4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang Kesejahteraan Anak.


(45)

32

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

5. Menurut Perda Provinsi Bali Tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) tentang Perlindungan Anak.

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dari pengertian anak yang telah dikemukakan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Undang-Undang menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

2.3Hak-Hak Anak

Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of

The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia

terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak.

Menurut Erna Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum :

a. Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih dalam proses perencanaan/pembentukannya;

b. Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanan Konvensi Hak Anak;


(46)

33

c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia;

d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan

e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia. 28

Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu :

1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat;

2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana

28

M. Nasir Djamil, tanpa tahun terbit, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.


(47)

34

mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29

2.4Pengertian Kejahatan Seksual

Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing, yaitu:

1. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian.

2. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

3. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat , misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.30

Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di kemudian hari.

29Ibid

, h. 15.

30

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), PT Refika Aditama, Bandung, h.27.


(48)

35

Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.31

Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan. Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan, sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya.

Berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan

jenis kelamin”. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa’abah

memgingatkan, ”membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana

yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat”.32

Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata “kejahatan” dan “seksual” tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni “kejahatan seksual” namun

ada pula yang mempertanyakan, apakah tidak setiap kejahatan itu mengandung

31Ibid

, h.28.

32Ibid


(49)

36

unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan.

Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan).

Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran. Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan.33

Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari tindak kejahatan.

33Ibid


(50)

37

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.34

Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.35

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga masuk dalam pengertian ini.36

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan

34

Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1.

35Ibid.

36Ibid,


(51)

38

dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya.

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.37

37


(1)

33

c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia;

d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan

e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia. 28

Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu :

1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat;

2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana

28

M. Nasir Djamil, tanpa tahun terbit, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.


(2)

34

mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29

2.4Pengertian Kejahatan Seksual

Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing, yaitu:

1. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian.

2. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

3. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat , misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.30

Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di kemudian hari.

29Ibid , h. 15. 30


(3)

35

Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.31

Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan. Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan, sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya.

Berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan

jenis kelamin”. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa’abah memgingatkan, ”membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat”.32

Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata “kejahatan” dan “seksual” tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni “kejahatan seksual” namun ada pula yang mempertanyakan, apakah tidak setiap kejahatan itu mengandung

31Ibid , h.28. 32Ibid


(4)

36

unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan.

Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan).

Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran. Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan.33

Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari tindak kejahatan.


(5)

37

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.34

Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.35

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga masuk dalam pengertian ini.36

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan

34

Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1.

35Ibid. 36Ibid,


(6)

38

dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya.

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.37