2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Santrock 2014 menjelaskan bahwa karakteristik anak usia 6 sampai 11 tahun adalah sebagai berikut:
2.1 Perkembangan kognitif mulai berkembang. Siswa mampu
berpikir logis, memahami konsep percakapan, mengorganisasikan objek ke dalam klasifikasi, mampu mengingat, memahami dan
memecahkan masalah yg bersifat konkret. Hal ini masuk dalam tahapan operasional konkret menurut Piaget.
2.2 Pertumbuhan fisik ditandai dengan lebih berat, kuat, dan tinggi.
Sistem tulang dan sistem otot mulai berkembang yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan dalam gerakan.
2.3 Perkembangan
bahasa ditandai
dengan meningkatnya
kemampuan membaca dan juga bertambahnya kosa kata serta perbendaharaan kata. Siswa perempuan akan lebih banyak
berbicara daripada anak laki-laki. 2.4
Perkembangan moral ditandai dengan kemampuan siswa untuk memahami aturan dan norma yang ada di dalam masyarakat.
Siswa akan belajar bagaimana berperilaku dari teman sebayanya.
D. DINAMIKA HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN TERHADAP
MATEMATIKA DAN PRESTASI MATEMATIKA
Kecemasan terhadap matematika dapat diartikan sebagai perasaan negatif yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang
berhubungan dengan matematika dan mengganggu performansi dalam matematika. Secara umum, kecemasan terhadap matematika memiliki
empat aspek, yaitu aspek fisik, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek perilaku.
Aspek yang pertama adalah aspek fisik yang meliputi reaksi tubuh berkeringat, mual, meningkatnya denyut jantung, serta mengalami
ketegangan. Adanya gangguan pada bagian tubuh tertentu akan mengakibatkan proses belajar matematika menjadi terganggu. Ketika
siswa mengalami ketegangan ataupun perut terasa mual, kemampuan untuk berkonsentrasi ketika menerima pelajaran juga akan terganggu. Hal
ini akan mengakibatkan materi pelajaran matematika yang diterima tidak akan maksimal, sehingga prestasi matematika menjadi rendah.
Dalam aspek kognitif meliputi munculnya pikiran-pikiran negatif dan pikiran menjadi kosong blank. Gangguan dalam aspek kognitif ini
juga akan berpengaruh dalam menerima materi pelajaran matematika yang diajarkan oleh guru. Materi yang seharusnya dapat diterima siswa dengan
baik akan menjadi hilang begitu saja ketika kualitas ranah cipta kognitif mengalami penurunan. Hal ini akan mengakibatkan prestasi matematika
siswa menjadi rendah. Aspek yang selanjutnya adalah aspek afektif yang meliputi
perasaan takut apabila terlihat bodoh, ragu akan kemampuan sendiri, serta kehilangan harga diri. Setiap siswa memiliki bakat untuk mencapai
prestasi sesuai dengan kemampuannya. Namun, ketika perasaan-perasaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut muncul, maka akan menghambat siswa ketika belajar matematika di sekolah. Ketika diberikan tugas oleh guru, siswa tidak memiliki
kepercayaan diri untuk mengerjakan soal tersebut, sehingga karena takut apabila terlihat bodoh maka siswa tersebut akan berusaha mencari jawaban
yang benar dengan mencontek teman yang dianggap pintar matematika. Hal ini akan mengakibatkan siswa semakin tidak memiliki rasa percaya
diri dengan kemampuannya sendiri. Siswa tersebut juga akan semakin memiliki perasaan takut apabila terlihat bodoh di depan teman-teman
sekelasnya. Apabila hal ini dialami siswa Sekolah Dasar, maka akan mengakibatkan prestasi matematika siswa tersebut menjadi rendah.
Aspek yang terakhir adalah aspek perilaku yang meliputi reaksi siswa yang akan menghindari kegiatan yang berhubungan dengan
matematika. Bolos atau absen dari pelajaran matematika menjadi tanda bahwa siswa mulai menghindari kegiatan yang berhubungan dengan
matematika. Siswa akan lebih memilih untuk menghindari pelajaran matematika daripada harus mengikuti pelajaran matematika yang akan
membuat dirinya menjadi tertekan. Ketika siswa sudah memiliki tanda tersebut, akan berpengaruh dalam kinerja siswa dalam matematika.
Akibatnya, prestasi matematika siswa menjadi rendah.
Individu yang
memiliki kecemasan
matematika tinggi
menunjukkan performansi yang buruk dalam memecahkan permasalahan matematika yang sulit. Kecemasan matematika berhubungan dengan
kemampuan akan matematika, pemrosesan spasial non-numerical, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
juga merupakan tolak ukur yang positif terhadap kemampuan matematika Gunderson et.al, dalam Ferguson et.al, 2015.
Kecemasan matematika memiliki pengaruh yang negatif terkait dengan pencapaian matematika karena mengarah pada menghindari
matematika. Kecemasan terhadap matematika akan mengganggu memori kerja siswa yang digunakan untuk memecahkan masalah matematika
Ashcraft, 2002; Lyons Beilock, 2012; Park, Ramirez, Beilock, 2014. Siswa yang memiliki kecemasan terhadap matematika cenderung
menunjukkan rasa ketidaksukaannya terhadap hal-hal yang ada kaitannya dengan matematika. Faktanya, dalam usia yang relatif masih muda, siswa
sekolah dasar banyak yang mengalami kecemasan terhadap matematika. Banyak siswa yang merasa bahwa pelajaran matematika adalah mata
pelajaran yang sulit untuk dipelajari. Pemikiran seperti ini akan meningkatkan kecemasan siswa pada hal-hal yang berkaitan dengan
perhitungan. Secara lebih ringkas, hubungan antara kecemasan terhadap matematika dan prestasi matematika dapat dilihat dalam bagan 1.
Bagan 1. Hubungan antara kecemasan terhadap matematika dengan prestasi matematika.
Kecemasan Tinggi terhadap Matematika
Aspek
Perilaku
Aspek Afektif Aspek Kognitif
Aspek Fisik
-menghindar dari kegiatan
yang berhubungan
dengan matematika
-takut bila terlihat bodoh
- ragu akan kemampuan
sendiri -kehilangan
harga diri. -munculnya
pikiran-pikiran negatif
-pikiran menjadi kosong blank
-reaksi tubuh yang berkeringat
-mual -meningkatnya
denyut jantung - mengalami
ketegangan
Tidak tercapainya komponen-komponen dalam prestasi matematika, yang tercermin dalam nilai
matematika dengan kompetensi dasar, yaitu: - Mengubah pecahan ke bentuk persen dan
desimal serta sebaliknya. -Menjumlahkan dan mengurangkan berbagai
bentuk pecahan. -Mengalikan dan membagi berbagai bentuk
pecahan. -Menggunakan pecahan dalam masalah
perbandingan skala.
Prestasi Matematika Rendah
E. HIPOTESIS