Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Berpikir

2010, karena pada periode tersebut harian Jawa Pos dan Kompas memuat berita- berita mengenai Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas didapatkan perumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana surat kabar Jawa Pos dan Kompas membingkai berita-berita Muktamar NU ke-32 di Makassar berdasarkan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki?”

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang masalah serta perumusan masalah yang telah diajukan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah surat kabar Jawa Pos dan Kompas membingkai berita-berita Muktamar NU ke-32 di Makassar berdasarkan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan teoritis, yaitu : a. Memberi ciri ilmiah pada ilmu komunikasi khususnya komunikasi massa, karena salah satu ciri keilmiahan suatu pengetahuan adalah penelitian. b. Lebih memahami teori-teori komunikasi massa dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu komunikasi. Sedangkan kegunaan praktisnya, yaitu : a. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian dan sumber informasi bagi pihak lain untuk melakukan penelitian. 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Media Massa, Interpretasi dan Konstruksi Realitas

Istilah interpretasi menunjuk bagaimana gagasan dan pendapatan tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan Eriyanto, 2001:113, sehingga realitas yang terjadi tidaklah digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk. Penggambaran yang buruk, cenderung memarjinalkan seseorang atau sekelompok tertentu. Media dalam memaknai realitas melakukan dua proses. Pertama, pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak melihat tanpa perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut disajikan kepada khalayak Eriyanto, 2001:116. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan bagaimana fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa, lewat bahasa, lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu Eriyanto, 2004:24. Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkontruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita, diantaranya realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat diakatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi Constructed Reality. Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita Tuchman dalam Sobur, 2001:83. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahwa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat realitas, namun juga menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa asing tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya Sobur, 2001:88. Setiap upaya “menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas, begitu pula dengan profesi wartawan. Pekerjaan utamam wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak. Dengan demikian mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksi realitas, yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita News, karangan khas Feature, atau gabungan keduanya News Feature. Dengan demikian berita pada dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan Constructed Reality Sobur, 2001:88. Penggunaan bahwa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad dalam Sobur 2001:90 bahwa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi media Sobur, 2001:91.

2.1.2. Ideologi Media

Konsep ideologi dalam sebuah institusi media massa ikut berpengaruh dalam menentukan arah pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca. Hal ini disebabkan karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu Eriyanto, 2004:13. Dalam pembuatan berita selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau bahkan media yang bersangkutan. Ideologi ini menentukan aspek fakta dipilih dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya jika seorang wartawan menulis berita dari salah satu sisi, menampilkan sumber dari satu pihak dan memasukkan opininya pada berita semua itu dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Dapat dikatakan media bukanlah saran yang netral dalam menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan dalam media itulah yang akan ditampilkan dalam berita-beritanya Eriyanto, 2004:90. Pada kenyataannya berita dimedia massa tidak pernah netral dan obyektif. Jika kita ihat bahasa jurnalistik yang digunakan media pun selalu dapat ditemukan adanya pemilihan fakta tertentu dan membuang aspek fakta yang lain yang mencerminkan pemihakan media massa pada salah satu kelompok atau ideologi tertentu. Bahasa ternyata tidak pernah lepas dari subyektivitas sang wartawan dalam mengkonstruksi realitas dengan mengetahui bahasa yang digunakan dalam berita, pada saat itu juga kita menemukan ideologi yang dianut oleh wartawan dan media yang bersangkutan. Konsep ideologi bisa membantu menjelaskan mengapa wartawan memilih fakta tertentu untuk ditonjolkan dari pada fakta yang lain, walaupun hal itu merugikan pihak lain, menempatkan sumber berita yang satu lebih menonjol dari pada sumber yang lain, ataupun secara nyata atau tidak melakukan pemihakan kepada pihak tertentu. Artinya ideologi wartawan dan media yang bersangkutanlah yang secara strategis menghasilkan berita-berita seperti itu. Disini dapat dikatakan media merupakan inti instrumen ideologi yan tidak dipandang sebagai zona netral yaitu sebagai kelompok dan kepentingan ditampung, tetapi media lebih sebagai subyek yang mengkonsumsi realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri untuk disebarkan kepada khalayak Eriyanto, 2004:92. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses melihat dan menandakan peristiwa tersebut, kita menggunakan titik melihat tertentu. Titik atau posisi melihat ini menggambarkan bagaimana dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu Eriyanto, 2002:130. Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi informasi kepada khalayak dapat diketahui dari pelapisan-pelapisan yang melingkupi institusi media. Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese, seperti dikutip Susilo 2000:19 membuat model “Hierarchy of Influence” yang menjelaskan hal ini : 1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi, latar belakang personal dan profesional. 2. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan seleksi-seleksi yang dilakukan oleh komunikator, termasuk tenggat deadline dan rintangan waktu yang lain, keterbatasan tempat space, struktur piramida terbalik dalam penulisan berita dan kepercayaan reporter pada sumber-sumber resmi dalam berita yang dihasilkan. 3. Pengaruh organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materiil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengaruh pada sisi yang dihasilkan. 4. Pengaruh dari luar organisasi media. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media, pseudoevent dari praktisi public relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan di bidang pers. 5. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi disini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan koherensif yang mempersatukan di dalam masyarakat Shoemaker, Rees, 1991 dalam Susilo, 2000:19-20. Bagi Hartley, memandang narasi berita semacam ini, mangadaikan dua belah pihak yang ditampilkan oleh media. Media selalu mempunyai kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi, untuk dipertentangkan diantara kedua teks berita, kalau dibedah dari sudut narasinya terdapat dua sisi yang saling bertolak belakang oposisi. Dalam liputan selalu ditekankan bahwa liputan yang baik adalah liputan dua sisi. Ketika ada peristiwa dicari komentar dari dua orang yang kontras, yang saling bertolak belakang. Ini bukan untuk menunjukkan bahwa dua pendapat tersebut sama-sama benarnya, tetapi untuk menekankan liputan yang bersifat dua sisi tersebut Eriyanto, 2002:131.

2.1.3. Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa disini adalah realitas atau fakta yang meliputi oleh wartawan dan pada gilirannya akan dilaporkan secara terbuka melalui massa Birowo, 2004:168. Peristiwa-peristiwa yang dijadikan berita oleh media massa tertentu melalui proses penyeleksian terlebih dahulu, hanya peristiwa yang memenuhi kriteria kelayakan informasi yang akan diangkut oleh media massa kemudian ditampilkan kepada khalayak Eriyanto, 2004:26. Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikain rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan tentunya melalui proses konstruksi. Proses konstruksi atau suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan Eriyanto, 2004:3. Berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan ataupun dari institusi media, tempat dimana wartawan itu bekerja. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami Birowo, 2004:176. Peristiwa atau realitas yang sama dapat dibingkai secara berbeda oleh masing-masing media Sobur, 2001:.... Hal ini terkait dengan visi, misi dan ideologi yang dipakai oleh masing-masing media. Sehigga kandangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak kepada siapa jika yang diberitakan adalah seorang tokoh, golongan atau kelompok tertentu. Keberpihakan pemberitaan terhadap salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung etika, moral dan nilai-nilai. Aspek- aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian integral dan tida terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

2.1.4. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas

Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan menginformasikan kepada publik seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subyektif tertentu, semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban kemanusian yang lebih baik Djatmika, 2004:25. Sedangkan Walter Litman, menganggap bahwa kerja jurnalistik tugas wartawan hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan, yang konkrit Panuju, 2005:27. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan dengan obyek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya Eriyanto, 2002:31. Menurut filsafat Common Sense Realism, adanya suatu obyek tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi tertentu dalam ruang. Suatu obyek mencirikan sebagaimana orang mempersepsikannya. Sesungguhnya, relasi antara realitas empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis, sangat tergantung pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederajat makna. Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif sudut pandang yang dihadirkan, dan satu lagi tergantung pada pencarian atau penemuan fakta Panuju, 2005:27. Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan tentunya melalui konstruksi. Proses konstruksi atas suatu realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan Eriyanto, 2002:VI. Kata penonjolan Salience didefinisikan sebagai alat untuk membuat informasi agar lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:78. Wartawan sebagai individu, memiliki cara berfikir Frame of Thingking yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan pengalaman yang dimiliki. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh kebiasaan menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga memiliki konteks dalam “membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang dimaksud, misalnya senang – tidak senang, menganggap bagian tertentu penting dari bagian lain, dapat juga konsteks sesuai bidang sosial, ekonomi, keamanan, agama dan lain-lain, juga konteks masa lalu atau masa depan dan seterusnya Panuju, 2005:3. Jadi meskipun wartawan punya ukuran tentang “nilai sebuah berita” News Value, tetapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan ideologis, dan sudut pandang yang berbeda dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elie atau orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat memancing kesedihan, keharuan, dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai berita Eriyanto, 2005:104. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka semakin meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang telah melahirkan paradigma 5 W + H What, Who, When, Where, Why, How bahwa berita tidak sekedar apa, siapa, kapan melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah diskripsi tentang jalannya peristiwa. Jadi, semakin mendalam penjelasan atas Why dan How, maka semakin tinggi nilai suatu berita, dan tentu saja semakin mahal harga berita tersebut Pareno, 2005:3. Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti itu, atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dari dipahami dalam pengertian tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental wartawan ketika memahami suatu peristiwa. Menurut Van Dijk, analisa kognisi sosial yang memusatkan perhatian pada struktur mental, proses produksi berita. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis dan ditafsirkan, ditampilkan dalam suatu model dalam memori. Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konseo, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarar dengan kepentingan-kepentingan. Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas obyektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang berbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu, melalui proses internasionalisasi Bungin, 2001:13. Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu peristiwa. Pertama, model ini menentukan bagaimana peristiwa tersebut dilihat. Model ini dlam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang berada dalam posisi mahasiswa mempunyai pemahaman dan pandangan yang berbeda dengan wartawan yang telah mempunyai pengalaman. Kedua, model ini secara spesifik menunjukkan opini personal dan emosi yang dibawa tentang mahasiswa, polisi, atau obyek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini kemudian dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan yang berbeda dalam hal fokus, titik perhatian dan kemenarikan dibandingkan dengan wartawan lain yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan modal yang dimiliki. Disini model adalah prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memproduksi berita Eriyanto, 2002:268.

2.1.5. Teori Penjagaan Gerbang Gate Keeper

Pandangan seleksi berita selectivity of news seringkali melahirkan teori seperti gatekeeper. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi. Seleksi ini dari wartawan di lapangan yang akan memilih mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang bisa diberitakan dan mana yang tidak. Setelah itu berita masuk ke tangan redaktur, akan diseleksi lagi dan disunting dengan menekankan bagian mana yang perlu dikurangi dan bagian mana yang perlu ditambah. Pandangan ini mengandaikan seoah-olah ada realitas yang benar-benar riil yang ada di luar diri wartawan. Realitas yang riil itulah yang akan diseleksi oleh wartawan untuk kemudian dibentuk dalam sebuah berita Eriyanto, 2002:100. Semua saluran media massa mempunyai sejumlah gatekeeper. Mereka memainkan peranan dalam beberapa fungsi, mereka ini dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi pesan yang akan disebarkan, merekapun bisa menghentikan sebuah sumber informasi dan tidak membuka “pintu gerbang” gate bagi keluarnya informai lain. Bagi Ray Eldon Hiebert, Donald F. Ungurai dan Thomas W. Bohn, gatekeeper bukan bersifat pasif-negatif, tetapi mereka merupakan suatu kekuatan yang kreatif, seperti seorang editor dapat menambahkan pesan dengan mengkombinasikan pesan dari berbagai sumber. Seorang layouter juga bisa menambahkan sesuatu pada gambar atau setting pada media cetak agar kelihatan bagus. Secara umum peran gatekeeeper seiring dihubungkan dengan berita khususnya surat kabar. Editor sering melaksanakan fungsi sebagai gatekeeper ini mereka menentukan apa yang khalayak butuhkan atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk pembacanya. Seolah editor menjadi mata audience sebagaimana mereka menyortir melalui peristiwa sehari- hari sebelum dibaca pembacanya. Ketika seorang editor menekankan berita secara sensasional dan spektakuler dan juga masalah kriminal ia sedang melaksanakan fungsi gatekeeping pentapisan informasi atau dengan kata lain tugas gatekeeper adalah bagaimana dengan seleksi berita yang dilakukannya pembaca menjadi tertarik untuk membacanya. Oleh karena itu editor diharapkan bisa memilih mana berita yang benar-benar dibutuhkan pembaca dan mana yang tidak, sebab dengan batasan ruangan yang disediakan tidak mungkin semua berita disiarkan. Salah satu alasannya ia harus bersaing dengan iklan-iklan yang masuk yang biasanya tidak lebih dari 40. Jadi bagaimana membuat berita secara singkat, padat dan jelas sehingga memudahkan pembaca memahaminya. Seorang editor bisa menyuruh reporter untuk melengkapi fakta-fakta dalam beritanya misalnya dengan mengadakan wawancara lagi termasuk jika tulisan yang telah disajikan tidak mencerminkan cover both side. Dengan demikian paling tidak gatekeeper mempunyai fungsi sebagai berikut : 1 Menyiarkan informasi pada kita; 2 Untuk membatasi informasi yang kita terima dengan mengedit informasi ini sebelum disebarkan ada fakta; 3 Untuk memperluas informasi dengan menambahkan fakta Nurudin, 2003:111-113.

2.1.6. Framing dan Proses Produksi Berita

Framing berhubungan dengan proses produksi berita, yang meliputi kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa yang dibingkai daam kerangka tertentu dan bukan bingkai yang lain, bukan hanya disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi juga rutinitas kerja dan institusi media, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan terhadap suatu peristiwa. Intitusi media dapat mengontrol pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa ke dalam kemasan tertentu, atau bisa juga wartawan menjadi bagian dari anggota komunitasnya. Jadi, wartawan hidup dan bekerja dalam suatu instusi yang mempunya pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika dan rutinitas tersendiri. Dimana semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi cara pandang wartawan dalam memaknai peristiwa Eriyanto, 2005:99-100. Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebernaran dan menginformasikan ke publik seluas mungkin temuan-temuan dari fakta-fakta yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subyektif tertentu. Selain semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban manusia yang lebih baik. Sekalipun dampak dari pelaksanaan profesinya itu akan memakan korban seperti pejabat yang korupsi, dokter yang melanggar etika profesi dan sebagainya. Peranan itu harus dilakukannya, karena pers bukanlah petugas hubungan masyarakat humas sebuah apartemen, yang hanya berbicara pada sisi-sisi positif dan keberhasilan dari apartemennya serta menyimpan dalam- dalam keburukan dan kebobrokan lembaganya Djatmika, 2004:25. Framing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bagaimana awak media mengkonstruksi realitas. Framing berhubungan erat dengan proses editing penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian. Reporter di lapangan menentukan siapa yang akan diwawancarainya, serta pertanyaan apa yang akan diajukan. Redaktur yang bertugas di desk yang bersangkutan, dengan maupun tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana atau redaktur umum, menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap mata dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur-redaktur apakah teks berita itu perlu diberi eksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi mana yang akan dipilih Eriyanto, 2006:165.

2.1.7. Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktifis

Analisis framing termasuk kedalam paradigma konstruktivis. Dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realias yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Sehingga konsentrasi analisisnya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna Eriyanto, 2002:37. Konsep framing dari para konstruksionis dalam literatur sosiologi memperkuat asumsi mengenai proses kognitif individuall – perstrukturan kognitif dan teori proses pengendalian informasi dalam psikologi. Framing dalam konsep psikologi dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif inidividu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan Siahaan, Purnomo, Imawan, Jacky, 2001:77. Yang menjadi titik perhatian pada paradigma konstruktivis adalah bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi, saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan yang dibentuk secara bersama- sama antara pengiriman dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesai itu dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu sebagai penerima pesan Eriyanto, 2003:4.

2.1.8. Analisis Framing

Gagasan ide mengenai framing pertamakali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 Sudibyo dalam Sobur, 2001:161. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Guffman 1974 yang mengendalikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku strips of behaviour yang membimbing individu dalam membaca realitas Sobur, 2001:162. Realitas itu sendiri tercipta dalam konsepsi wartawan sehingga berbagai hal yang terjadi seperti faktor dan orang, didistribusikan menjadi peristiwa yang kemudian disajikan khalayak. G.J. Aditjondro mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan menggunakan istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi Sudibyo dalam Sobur, 2001:165. Pada analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media memakai, memahami dan membingkai sebuah kasus atau peristiwa yang ada dalam berita. Maka jelas adanya framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu analisis untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa, aktor, kelompok atau apa sajalah dibingkai oleh media Eriyanto, 2004:3. Dalam ranah studi komunikasi analisis framing mewakili tradisi yang mengdepankan pendekatan multidisipliner untuk menganalisa fenomena untuk membeda-bedakan cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Karena konsep framing selalu berkaitan erat dengan proses seleksi isu dan bagaimana menonjolkan aspek dari isu atau realitas tersebut dalam berita. Disini framing dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu tersebut mendapatkan alokasi yang besar daripada isu-isu yang lain. Sehingga jelas berdasarkan Gitlin dalam Eriyanto, dengan framing jurnalis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemaskan sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disamping pada khalayak Eriyanto, 2004:69. Analisa framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realisasi dibingkai oleh media. Dengan demikian realisasi sosial dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Inilah sesunggunya sebuah realitas. Bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan suatu peristiwa kepada pembacanya Eriyanto, 2004:VI.

2.1.9. Proses Framing

Proses framing sangat berkaitan erat dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam perspektif sebuah media. Kemasan package disini adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah berita, serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang diterima khalayak. Kemasan ini diibaratkan sebagai wadah atau struktur data yang menorganisir sejumlah informasi yang dapat menunjukkan posisi atau kecenderungan posisi atau kecenderungan politik seorang wartawan dalam penyusunan berita, selain itu proses framing juga dapat membantu untuk menjelaskan makna dibalik suatu isu atau peristiwa yang dibingkai oleh sebuah berita. Proses framing juga berkaitan dengan strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam hubungannya dengan rutinitas dan konvensi profesional jurnalistik. Dominasi sebuah frame dalam suatu wawancara berita bagaimanapun dipengaruhi oleh proses produksi berita dimana terlibat unsur-unsur redaksional, reporter, redaktur dan lainnya. Dengan kata lain proses framing merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa dan menempatkan awak media wartawan pada posisi strategis Sudibyo, 2001:187. Untuk menekankan pengaruh wartawan dalam proses framing realitas media, Dorothy Nelkin dalam buku Sudibyo 2001:188 menyatakan : 1 By their selection of newsworthy event, journalist identify pressing issues, 2 By their focus controversial issues, they stimulate demands for accountability, 3 By their issues image “frontiers”, “struggles”, they help to create the judgemental biases that underline public policy. Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian realitas sosial difahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Elemen tersebut manandakan bagaimana peristiwa ditampilkan. Inilah sesungguhnya sebuah realitas, bagaimana media membangun, menyuguhkan dan memproduksi suatu peristiwa kepada pembacanya Eriyanto, 2004:VI. perangkat dalam framing yang peneliti gunakan dalam memframingkan berita Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar, peneliti memilih memakai perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, terdapat empat perangkat framing. Pertama, struktur sintaksis yaitu bagaimana wartawan menyusun peristiwa, opini kedalam bentuk susunan berita. Kedua, struktur skrip yaitu berhubungan dengan bagaimana wartawan menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Ketiga, struktur tematik yaitu bagaimana wartawan mengungkapkan pandangan atas peristiwa ke dalam proposisi dan kalimat. Keempat, struktur retoris yaitu bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita Eriyanto, 2001:254-256. Alasan peneliti menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, mengutip Jisuk Woo, paling tidak ada tiga kategori besar elemen framing, yaitu : 1. Level Makrostruktural, dimana pada level ini dapat kita lihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. 2. Level Mikrostruktural, dimana pada level ini elemen ini memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa tersebut yang ditonjolkan dan bagian atau sisi mana yang dilupakandikecilkan. 3. Elemen Retoris, dimana elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan. Berdasarkan ketiga kategori tersebut maka model-model framing yang ada dapat digambarkan dalam tabel berikut : Tabel 2.1 Kategori model framing Model Makrostruktural Mikrostruktural Retoris Murray Edelman V V Robert N. Entman V V William Gamson V V V Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki V V V Sumber : Eriyanto, 2002, “Analisis Framing”, LKIS, Yogyakarta hal :288 Berdasarkan tabel tersebut model framing William Gamson dan Zhongdan Pan – Gerald M. Kosicki memiliki ketiga kategori framing. Tetapi model William Gamson memerlukan pembanding berita yang sama. Sedangkan model Zhongdan Pan – Gerald M. Kosicki tidak memerlukan pembanding berita yang sama. Berdasarkan berita-berita obyek penelitian lebih tepat menggunakan perangkat framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, sebab tidak semua berita memiliki pembanding

2.1.10. Perangkat Framing Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki

Analisis dalam penelitian menggunakan model Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki, analisis framing ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media disamping analisis isi kuaitatif. Analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan Eriyanto, 2002:251. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi, framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu. Framing disini dilihat sebagai suatu penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik atau khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol dalam kognisis seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu atau peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang realitas, kedua, konsepsi sosiologis, pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas. Frame disini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklarifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas diluar dirinya. Frame disini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu Eriyanto, 2002:252. Dalam pendekatan ini perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris. Penjelasan lebih lanjut tentang keempat struktur tersebut sebagai berikut :

A. Sintaksis

Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa – pertanyaan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa – kedalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan berita headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip, dan sebagainya. Bentuk sintaksis yang paling populer adalah struktur Piramida Terbalik, dimana bagian yang diatas lebih penting dibandingkan bagian yang dibawahnya. Unit yang diamati dalam struktur sintaksis, antara lain : a HeadlineJudul Berita Headline merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi yang menunjukkan kecenderungan berita. Pembaca cenderung lebih mengingat headline yang dipakai dari pada bagian berita. Headline mempunyai framing yang kuat. Headline mempunyai kisah dimengerti untuk kemudian digunakan dalam membuat pengertian isu dan peristiwa sebagaimana mereka beberkan. Selain headline, lead adalah perangkat sintaksis lain yang sering digunakan. Lead yang baik umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. Berkenaan dengan judul berita, biasanya judul dibuat semenarik mungkin, to attack the reader. Didalam pers atau media cetak, hal itu lebih jelas lagi, karena judul dicetak bervariasi. Dengan teknik grafika yaitu tipe-tipe huruf, judul menonjolkan suatu berita, sehingga dapat lebih menarik orang yang membacanya. Posisi judul dianggap penting karena sekilas kalau pembaca atau melihat media massa, maka yang terbaca judulnya dahulu. Judul berita headline pada dasarnya mempunyai 3 fungsi Sobur, 2002:76, yaitu mengiklankan cerita atau berita, meringkaskan atau mengikhtisarkan cerita dan memperbagus halaman. Dalam judul berita tidak diizinkan mencantumkan sesuatu yang bersifat pendapatan atau opini Sobur, 2002 b LeadTeras Berita Lead yang baik umumnya memberikan sudut pandang dari berita, menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan Eriyanto, 2002:258. Para wartawan sering berseloroh mengemukakan bahwa menulis lead, katanya, sama dengan mencium seorang gadis. Dengan ungkapana ini wartawan ingin menunjukkan bahwa jika lead sudah didapat, maka bagian-bagian yang lainnya akan mudah dituliskan. Lead adalah intisari berita yang memiliki tiga fungsi, yakni : 1 menjawab rumus 5W+H who, what, when, where, why, how, 2 menekankan news feature of the story dengan menempatkan pada posisi awal, dan 3 memberikan identifikasi cepat tentang orang, tempat dan kejadian yang dibutuhkan bagi pemahaman cepat berita itu Sobur, 2002:77. c Informasi Ketika menulis berita biasanya dikemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Ini merupakan cerminan ideologis, dimana komunikator dapat menyajikan latar belakang dapat juga tidak, bergantung pada kepentingan mereka Sobur, 2002:79. Latar umumnya ditampilkan di awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan sangat beralasan. Karena itu latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa Eriyanto, 2002:258. d Kutipan Sumber Pengutipan sumbe berita dalam penelitian berita dimaksudkan untuk membangun obyektivitas-prinsip keseimbagan dan tidak memihak. Ini juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata, melainkan pendapat orang dari orang yang mempunyai otoritas tertentu. Pengutipan sumber menjadi perangkat framingtas tiga hal. Pertama, mengklaim validitas atau keberadaan dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik. Wartawan bisa jadi mempunyai pendapat tersendiri atas suatu peristiwa, pengutipan itu digunakan hanya untuk memberi bobot atas pendapata yang dibuat bahwa pendapat itu tidak omong kosong, tetapi didukung oleh ahli yang berkompeten. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pemandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau pandangan mayoritas sehingga pandangan tesebut tampak sebagai menyimpan Eriyanto, 2002:259.

B. Skrip

Laporan berita sering disusun sebagai suatu cerita. Hal ini dikarenakan dua hal. Pertama, banyak laporan berita yang berusaha menunjukkan hubungan, peristiwa yang ditulis merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya. Kedua, berita umumnya mempunyai orientasi menghubungkan teks yang ditulis dengan lingkungan komunal pembaca. Eriyanto, 2006:260. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah 5W + H who, what, when, where, why dan how. Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Unsur kelengkapan berita ini dapat menjadi penanda framing yang penting. Eriyanto, 2006:260-261.

C. Tematik

Bagi Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan pernyataan yang diungkapkan – semua perangkat itu digunakan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat. Tema yang dihadirkan atau dinyatakan secara tidak langsung atau kutipan sumber dihadirkan untuk mendukung hipotesis. Pengujian hipotesis ini kita gunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkap atau dibuat oleh wartawan. Struktur tematik berhubungan dengan fakta itu ditulis, bagaimana kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber ke dalam teks berita secara keseluruhan. Dalam menulis berita, seorang wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa. Ada beberapa elemen yang diamati dari perangkat tematik ini. Diantaranya adalah koherensi: pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat. Ada beberapa macam koherensi. Pertama, koherensi sebab-akibat, proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi atau kalimat lain. Kedua, koherensi penjelas, proposisi atau kalimat satu dilihat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain Eriyanto, 2006:262-264.

D. Retoris

Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Elemen grafis juga muncul dalam bentuk foto, gambar dan tabel untuk mendukung gagasan atau bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan Eriyanto, 2006:264-266.

2.2. Kerangka Berpikir

Pekerjaan sebuah media pada dasarnya adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Pada dasarnya realitas bukan sesuatu yang telah tersedia, yang tinggal ambil wartawan. Sebaliknya semua pekerja jurnalis pada dasarnya adalah agen: bagaimana peristiwa yang acak, kompleks disusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu berita. Wartawanlah yang mengurutkan, membuat teratur, menjadi mudah dipahami, dengan memilih aktor- aktor yang diwawancarai, sehigga membentuk suatu kisah yang dibaca oleh khalayak. Dalam hal ini surat kabar harian Jawa Pos berusaha mengemas berita- berita mengenai Mukatamar NU ke-32 di Makassar pada edisi 22 – 28 Maret 2010. Berita yang merupakan hasil konstruksi realitas dari sebuah proses manajamen radaksiona ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan wartawan dalam diri khalayak pembacanya. Berita tidaklah mencerminkan realitas sosial yang direkamnya. Berita yang ada di media dapat memberikan realitas yang sama sekali berbeda dengan realitas sosialnya. Demikian halnya dengan berita Muktamar NU ke-32 di Makassar, surat kabar Jawa Pos dan Kompas akan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam pemberitaanya masing-masing mengenai realitas yang sama. Khususnya pemberitaan mengenai Muktamar NU ke-32 di Makassar. Pemberitaan pada dua media tersebut cenderung berbeda. Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi berita pada khalayak dapat diketahui dari pelapisan yang melingkupi instusi media. Yang mana dari redaksional itu dipengaruhi oleh konsep penjagaan gerbang seperti apa nantinya yang akan ditampilkan oleh khalayak. Berita-berita seputar Muktamar NU ke-32 di Makassar yang muncul di harian Jawa Pos dan Kompas tersebut akan dianalisis menggunakan analisis framing model Pan dan Kosicki, karena model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu kedalam teks secara keseluruhan. Model analisis framing ini terbagi menjadi empat struktur yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam satu koherensi global. Keempat struktur ini merupakan suatu rangkaian yang dapat mewujudkan framing dari suatu media. 43 Tabel 2.2 Kerangka Berpikir Berita Muktamar Nahdlatul Ulama Ke - 32 di Makassar STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta PERANGKAT FRAMING 1. Skema berita 2. Kelengkapan berita 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti 7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber pernyataan, penutup Paragraf, proposisi Kata, idiom, gambar 44 BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian