X
3
= Variabel pendapatan Berdasarkan persamaan di atas dapat dideskripsikan bahwa :
1. Apabila dinaikkan satu poin pengetahuan, maka pencegahan gizi buruk
pada balita akan naik sebesar 0,233. 2.
Apabila dinaikkan satu poin pendidikan, maka pencegahan terhadap gizi buruk pada balita akan naik sebesar 0,356.
3. Apabila dinaikkan satu poin pendapatan, maka pencegahan gizi buruk
pada balita akan naik sebesar 0,963. Hasil analisis regresi tersebut sesuai dengan Tabel 4.11 berikut ini:
Tabel 4.14. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda No.
Variabel Taraf
Signifikan B
R R
Square ρ
Value
1. Konstanta
-0,733 0,944
0,890 0,000
1. Pendidikan
0,014 0,356
2. Pendapatan
0,000 0,963
3. Jumlah Anak
0,375 0,080
4. Pengetahuan
0,027 0,233
4.7. Hasil Wawancara
1. Koordinator Gizi Puskesmas Simpang Kiri Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator gizi Puskesmas Simpang
Kiri menyatakan bahwa kemauan dan kesadaran masyarakat untuk memerhatikan tumbuh kembang balita, terutama untuk masalah pemenuhan gizi sangat kurang.
Hal ini dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang mayoritas rendah dan pengetahuan masyarakat tentang gizi juga sangat rendah. Ibu yang
memiliki balita kurang aktif dalam posyandu. Pada saat posyandu dilaksanakan di
Universitas Sumatera Utara
desa mereka, mereka cenderung tidak hadir bila tanpa disertai pemberian makanan tambahan berupa susu dan roti, sehingga tidak dapat terpantau tumbuh kembang
balitanya setiap bulan. Apabila balita mengalami sakit dan terjadi penurunan berat badan, terkadang
balita tidak langsung dibawa berobat ke puskesmas, tetapi diobati secara tradisional. Bila kondisi balita semakin buruk, barulah orang tua membawa
balitanya berobat ke puskesmas. Kondisi seperti akan segera ditangani petugas gizi dengan merujuk balita ke puskesmas rawat inap atau dirawat di rumah secara
berkala. Petugas kesehatan mengalami hambatan dalam melakukan rehabilitasi yaitu
masyarakat kurang kooperatif dalam usaha pemberian makananan bergizi kepada balitanya sendiri. Selama masa rehabilitasi dan seterusnya, masyarakat hanya
bergantung dengan pihak kesehatan saja. 2. Bidan Desa Sikelondang
Bidan desa yang bertempat tinggal di sekitar pemukiman penduduk saat ini masih gadis dan bukan penduduk asli. Saat wawancara dilakukan dengan bidan
tersebut, bidan mengatakan bahwa pelaksanaan posyandu diadakan di 3 tempat yaitu salah satunya di rumah kepala desa Sikalondang dan 2 posyandu lainnya di
rumah kader. Partisipasi masyarakat untuk datang membawa balitanya ke posyandu sangat
rendah walaupun tidak semua ibu balita pergi bekerja. Alasan masyarakat adalah bila balita tidak diimunisasi lagi, maka mereka tidak mau datang ke posyandu.
Apalagi jika tidak diberikan makanan tambahan. Beberapa kali dalam posyandu
Universitas Sumatera Utara
pernah dibagikan makanan tambahan berupa bubur, lalu masyarakat datang dengan antusias tapi bila tidak disediakan makanan tambahan, maka mereka jarang
datang. Kondisi ini menyulitkan bidan desa untuk memantau tumbuh kembang balita dan sulit memberikan informasi kesehatan ke ibu-ibu balita.
Apabila bidan desa menemukan kondisi balita gizi kurang, maka masyarakat menganggap itu merupakan hal yang biasa dan tidak mau membawa balita berobat
ke puskesmas. Menurut masyarakat, balita yang terlihat kurus bukan berarti sakit dan akan tetap tumbuh besar seperti anak lain pada umumnya.
3. Kepala Desa Sikelondang Berdasarkan wawancara dengan kepala desa Sikelondang bahwa masyarakat
asli penduduk di desa tersebut mayoritas memiliki pendidikan yang rendah. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat hanya tamat SD sehingga pengetahuan masyarakat
juga rendah terhadap gizi. Jarang ditemukan masyarakat tamatan SLTA bahkan tidak ada yang lulusan sarjana. Tapi, untuk masyarakat pendatang, ada beberapa yang
lulusan akademi. Sehingga kesenjangan sosial ekonomi masyarakat asli dan pendatang di desa tersebut terlihat dengan jelas.
Dalam hal pemberian makanan pada balita, masyarakat bukan memerhatikan gizinya, tapi yang penting balita kenyang dan tidak rewel.
4. Penduduk di Desa Sikalondang Hasil wawancara yang disertai dengan pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa rendahnya pencegahan gizi buruk pada balita disebabkan karena rendahnya pendapatan masyarakat. Rata-rata pendapatan mereka perbulan adalah Rp. 500.000
–
Universitas Sumatera Utara
Rp. 700.000. Pendapatan keluarga yang rendah, membuat ibu harus irit dalam penggunaan uang belanja.
Makanan yang dikonsumsi oleh keluarga biasanya ikan asin karena selain harganya murah juga tahan lama untuk disimpan selama satu minggu. Mereka akan
membeli ikan laut bila hari minggu waktu berbelanja ke pasar. Makanan yang dikonsumsi oleh balita sama dengan makanan yang dikonsumsi oleh orang dewasa.
Terkadang, ada juga yang hanya memberi nasi dengan air garam atau air penyedap rasa.
Sebagian ibu ada yang bekerja ke luar rumah untuk membantu perekonomian keluarga sebagai buruh angkut pasir, sehingga pengasuhan balita diserahkan pada
anaknya yang sudah SD atau SLTP. Saat wawancara dilakukan, cukup banyak ibu yang kurang
berpartisipasi ke posyandu, karena hanya dilakukan penimbangan dan pemeriksaan kesehatan tanpa disertai makanan tambahan. Bila balita mereka sakit maka akan
mereka obati sendiri secara tradisional, bila tidak kunjung sembuh barulah mereka membawa balita berobat ke puskesmas. Alasan lain masyarakat tidak membawa
balita berobat ke posyandu adalah karena tidak adanya transportasi keluarga. Transportasi angkutan umum jarang lewat dan jika ingin lebih cepat, maka harus naik
becak dengan harga yang menurut mereka relatif mahal.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PEMBAHASAN
Hasil analisis uji statistik dengan menggunakan uji regresi linier berganda
menunjukkan bahwa pengetahuan ibu memiliki pengaruh tehadap pencegahan gizi buruk pada balita. Dari variabel sosial ekonomi, menunjukkan bahwa pendidikan dan
pendapatan memiliki pengaruh terhadap pencegahan gizi buruk pada balita, sedangkan pekerjaan dan jumlah anak tidak memiliki pengaruh terhadap pencegahan
gizi buruk pada balita.
5.1. Pengaruh Pengetahuan Ibu terhadap Pencegahan Gizi Buruk pada Balita
Hasil uji regresi linier ganda menunjukkan pengetahuan ibu mempunyai pengaruh terhadap pencegahan gizi buruk pada balita ρ=0,0270,05.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian, ternyata perilaku
yang didasari oleh pengetahun akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan Gerungan, 1986. Pengetahuan merupakan tahap awal
dimana subjek mulai mengenal ide baru serta belajar memahami yang pada akhirnya dapat mengubah perilaku. Semakin baik pengetahun ibu tentang gizi akan memberi
respon positif terhadap tindakan ibu dalam pencegahan gizi buruk pada balita. Menurut Suharjo yang dikutip Himawan 2006, pengetahuan gizi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga memengaruhi
pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi
Universitas Sumatera Utara