4.8.4 Zoning, Konsep Zero Delta Q dan Kompensasi Hilir – Hulu
Sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka perlu dibuat zoning ataupun batas wilayah kawasan tertentu seperti kawasan hutan lindung,
kawasan wilayah sungai, kawasan konservasi, kawasan pemukiman, dan lain-lain. Dengan adanya ini ada kejelasan di dalam pengawasan, monitoring, dan tentunya
tindakan law enforcement bagi lembagadinas pemberi izin ataupun masyarakat yang melanggar perizinan tata ruang yang telah diberikan.
Upaya pengendalian tata ruang harus tetap dilaksanakan dengan adanya implementasi law enforcement dan pemberian sanksi bagi pelanggar dan memberi
insentif bagi individukelompok yang menjaga kelestarian hutan. Untuk hal ini agar tetap berjalannya sustainable development konsep Zero Delta Q yaitu tidak boleh ada
penambahan debit akibat adanya pembangunanperubahan tata guna lahan yaitu sebagai contoh bila ada pembangunan pada lahan seluas 1000 m
2
, maka 30 dari luas lahan atau 300 m
2
dijadikan kolam resapan. Khusus untuk mencegah bertambahnya debit run-off perlu diterapkan kepada
semua pengembang, individu, masyarakat, institusi pemerintah, bilamana melakukan perubahan tata guna lahan untuk pembuatan bangunan apa saja harus membuat kolam
resapan atau waduk buatan yang luasnya adalah 30 dari luas keseluruhan perubahan tata guna lahan untuk pembangunan yang dimaksud.
Kota Medan sebagai lembah yang berkembang dan mempunyai dana yang cukup perlu memberikan kompensasi ke wilayah kabupaten Deli Serdang dan Karo
sebagai DAS hulunya dalam bentuk program konservasi reboisasi ataupun dana
Universitas Sumatera Utara
segar, dengan demikian diharapkan masyarakat yang tinggal di daerah hulu akan benar-benar menjaga kelestarian lingkungan dan hutan di wilayahnya.
Adanya hubungan antara perencanaan wilayah yang terdiri dari penggunaan dan aktifitas ruang wilayah, hubungannya dengan konsep wilayah river basin
ataupun DAS, menuju kepada IWRM yang dipayungi UU SDA No.7 Tahun 2004 dengan pilar utama adanya pelaksanaan konservasi, pendayagunaan SDA dan
pencegahan daya rusak air, serta UU Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997, UU No.27 Tahun 1999 tentang AMDAL dan UU RI No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Terjadinya ketidakseimbangan dalam pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai, penataan ruang, dan perencanaan wilayah menyebabkan terjadinya
permasalahan banjir, yang selanjutnya perlu dilakukan pengelolaan banjir baik secara struktural maupun non-struktural yang salah satu non-struktural memerlukan model
koordinasi kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya banjir perkotaan terpadu dalam kerangka wilayah sungai sehingga akan mengurangi
terjadinya banjir dan akibatnya, baik di kota Medan ataupun wilayah pinggirannya. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa pengelolaan banjir perkotaan terpadu
merupakan bagian dari perencanaan dan pengembangan wilayah, dengan melihat banjir berdasarkan batas hidrologis dan dilihat berdasarkan batas administrasi serta
mensinergikan antara batas hidrologis dengan batas administrasi yang selanjutnya akan memacu pertumbuhan ekonomi untuk lokasi-lokasi dan tempat pemukiman
masyarakat yang selama ini sering terkena banjir.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN