2.3 Uji Aktivitas Antibakteri
Aktivitas potensi antibakteri dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya hambatnya terhadap bakteri. Ada dua metode umum
yang dapat digunakan yaitu Metode difusi dan Metode dilusi Pratiwi, 2008. Metode difusi untuk menentukan aktifitas agen antimikroba. Piringan
yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar Pratiwi, 2008.
Metode dilusi terdiri menjadi dua tahap. Tahap awal disebut metode dilusi cairbroth dilution test. Metode ini mengukur MIC minimum inhibitory
concentration atau kadar hambat minimum, KHM dan MBC minimum bactericidal concentration atau kadar bunuh minimum, KBM. Cara yang
dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen
antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM
tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair
yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM. Tahap selanjutnya disebut metode dilusi padatsolid dilution test. Metode ini serupa
dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat solid.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji Pratiwi, 2008.
2.4 Uraian Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut
sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembang biak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan
mikroskop Dwidjoseputro, 1988. Bakteri yang terdapat di kulit yaitu Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa.
2.4.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Sistematika bakteri Staphylococcus aureus menurut Dwidjoseputro 1982 adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif, aerob atau anaerob fakultatif berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur,
diameter 0,8- 1,0 μm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni
berwarna kuning. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37° C tetapi paling baik
Universitas Sumatera Utara
membentuk pigmen pada suhu 20-25° C. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan Jawetz et al., 2010.
2.4.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Irianto 2006 adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Famili : Micrococaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus epidermidis
Bakteri Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk
seperti anggur. Staphylococcus epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih,
memfermentasi glukosa, dapat bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi
staphylococcus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut, terdapat juga sebagai reaksi inflamasi yang kuat dan terlokalisir Irianto, 2006.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Sistematika bakteri Pseudomonas aeruginosa menurut Holti et al 1994 adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Pseudomonadales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Pseudomonas
Spesies : Pseudomonas aeruginosa
Bakteri Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang lurus atau
lengkung, berukuran sekitar 0,6 x 2 μm, ditemukan tunggal, berpasangan, dan kadang-kadang membentuk rantai pendek, tidak
mempunyai spora, tidak mempunyai selubung, serta mempunyai flagel. Namun bakteri ini kadang-kadang memiliki dua atau tiga flagel sehingga selalu
bergerak Jawetz et al., 2010.
2.4.4 Fase pertumbuhan bakteri
Fase pertumbuhan bakteri menurut Irianto 2006 meliputi: fase pertumbuhan diperlambat, fase log logaritma, fase konstan dan fase kematian
atau penurunan. Grafik pertumbuhan bakteri sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Grafik pertumbuhan bakteri
1. Fase pertumbuhan diperlambat
Fase ini merupakan fase penyesuaian bakteri terhadap suatu lingkungan baru. Dimana jumlah bakteri mulai bertambah sedikit demi sedikit, akan tetapi
kecepatan berkembang biak menjadi berkurang. Ini bukan karena keadaan medium memburuk, karena perubahan pH atau bertambahnya limbah kotoran
sehingga tampak menyusut jumlah sel-sel yang segar. 2.
Fase logaritma Fase ini terjadi setelah sel bakteri menyesuaikan diri terhadap
lingkungan baru, dimana pembiakan bakteri berlangsung paling cepat, jumlah sel bakteri baru meningkat secara eksponensial. Bakteri dalam fase ini baik
sekali untuk dijadikan inokulum.
Universitas Sumatera Utara
3. Fase konstan
Dalam fase ini kecepatan tumbuh bakteri yang berkembang biak sama dengan kecepatan bakteri yang mati. Kurva menunjukkan garis yang hampir
horizontal, sehingga jumlah sel yang hidup menjadi tetap. 4.
Fase Penurunan period of decline atau Fase Kematian Pada fase ini bakteri mengalami penurunan, dimana jumlah bakteri
yang mati bertambah. Hal ini tergantung kepada spesies dan keadaan medium serta faktor-faktor lingkungan, maka besar kemungkinan bakteri tidak dapat
dihidupkan kembali dalam medium baru.
2.5 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia mineral pelikan Ditjen POM, 1979.
Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau sebagai produk. Ekstrak tumbuhan obat
dapat berfungsi sebagai bahan baku obat tradisional atau sebagai produk yang dibuat dari simplisia Ditjen POM, 1979.
2.6`Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan
diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat Ditjen POM, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan Ditjen POM, 1995. Ada beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut Ditjen
POM, 2000, yaitu: 1.
Cara Dingin a.
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
kamar. b.
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahapan maserasi antara tahap perkolasi sebenarnya penetesanpenampungan ekstrak, terus menerus sampai
diperoleh ekstrak perkolat yang tidak meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada suhu + 50
C. 2.
Cara Panas a.
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi
sempurna.
Universitas Sumatera Utara
b. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik. c.
Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50 C.
d. Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 96-98
C selama 15-20 menit di penangas air dapat berupa bejana infus tercelup
dengan penangas air mendidih. Dekoktasi adalah proses penyaringan dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90
C selama 30 menit.
2.7 Krim Cremoris