Target yang diharapkan dalam program pemberantasan penyakit menular adalah tercapainya eliminasi kusta Depkes RI, 2005b. Kebijakan program pemberantasan
kusta adalah pemberian obat kusta secara gratis, pengobatan kusta mengikuti rekomendasi Word Health Organization, penderita kusta tidak diisolasi, dan program
pemberantasan penyakit kusta diintegrasikan dalam kegiatan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas.
Strategi program pemberantasan penyakit kusta ditujukan pada daerah endemik tinggi dengan jumlah prevalensi rate 1 per 10.000 penduduk dan daerah endemik
rendah dengan jumlah prevalens rate 1 per 10.000 penduduk dengan melakukan kegiatan perencanaan kesehatan terpadu, penyuluhan intensif, penemuan kasus,
pengembangan kemitraan
yang intensif,
memberikan pelayanan
rutin dengan perhatian khusus di daerah fokus, merujuk dan mendeteksi suspek penderita kusta Depkes RI, 2005b.
Kegiatan program pemberantasan penyakit kusta adalah penemuan penderita,diagnosis dan klasifikasi, pengobatan, pencegahan cacat, rehabilitasi,
perencanaan, pelatihan, penyuluhan, supervisi, pencatatan dan pelaporan, pemeriksaan laboratorium, monitoring dan evaluasi serta pengelolaan logistik
Depkes RI, 2005a.
2.8. Konsep Prilaku
Prilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi hubungan dengan lingkungannya. Semua makhluk hidup mempunyai prilaku, maka yang dimaksud
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
dengan prilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia sendiri seperti berbicara, menangis, tertawa, bekerja dan lain sebagainya Machfoedz dan Suryani,
2006. Menurut Notoatmodjo 2005 dari aspek biologis prilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahkluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas
yang dimaksud terdiri dari dua yaitu aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain yaitu berjalan, bernyanyi, tertawa dan sebagainya. Aktivitas yang tidak dapat diamati
oleh orang lain adalah berpikir, berfantasi, dan bersikap. 2.8.1. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit
Pendapat masyarakat tentang tubuh sehat dan sakit sifatnya tidak selalu objektif, bahkan selalu dipengaruhi oleh pengalaman terdahulu dan sosial budaya. Sebaliknya
petugas kesehatan berusaha menerapkan kriteria yang objektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosa kondisi fisik seseorang Sarwono, 1997.
Sehat adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaannya, misalnya orang yang tidak mempunyai keluhan fisik dipandang
sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat beranggapan orang gemuk adalah orang yang sehat. Tahun 1947 WHO mendefenisikan sehat yaitu sehat adalah suatu
keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Menurut UU No.23,1992, sehat adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. FosterAnderson 1986 menyatakan bahwa sakit mempunyai peranan sosial seperti memberikan kebebasan
dari tekanan hidup yang tidak dapat ditahan, untuk menutupi kegagalan yang telah dilakukan seseorang, mendapatkan perhatian dari orang lain, supaya dapat tinggal di
rumahsakit sebagai tempat hiburan maupun istirahat, sebagai alat pengawasan sosial dan sebagai perwujudan untuk menebus dosa.
Di dalam hubungannya dengan peranan sakit Talcott dalam Sudarti 1996 menyatakan bahwa pasien mempunyai dua hak yaitu dibebaskan dari tanggung jawab
dan memperoleh perawatan sampai sembuh, dan mempunyai 2 kewajiban yaitu berkewajiban berusaha agar cepat sembuh dan mencari pertolongan pada dokter agar
segera mengatasi sakitnya. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat Sarwono, 1997
Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti 1998 di Kabupaten Bangkalan, masyarakat Madura menggolongkan penyakit menjadi dua golongan yaitu penyakit
yang disebabkan oleh mahluk halus sihir dan penyakit karena kondisi tubuh tidak baik, penyakit yang tidak wajar disebabkan oleh mahluk halus. Menurut mereka
penyakit seperti koreng, kudis, batuk bukanlah sakit, karena dapat disembuhkan oleh pengobat formal atau dapat diobati sendiri secara tradisional. Demikian halnya
dengan penderita kusta di Banyusangkah pada umumnya seseorang akan marah bila dikatakan menderita kusta, karena mereka menganggap penyakit kusta adalah
penyakit kulit, dan sebagian dari mereka percaya penyakit kusta adalah penyakit
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
turunan atau karena sihir, sehingga mereka berobat untuk penyembuhan penyakit kusta kepada dukun. Jika keadaannya sudah parah atau stadium lanjut maka dia akan
berobat pada petugas kesehatan. 2.8.2. Prilaku kesehatan
Menurut Notoatmodjo 2005 prilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-
faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan. Prilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi
dua yaitu : 1. Prilaku orang yang sehat agar tetap sehat
2. Prilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh kesembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.
Menurut Becker dalam Notoatmodjo 2005 membuat klasifikasi prilaku kesehatan menjadi tiga yaitu : Prilaku sehat, prilaku sakit dan prilaku peran orang sakit.
1. Prilaku sehat Prilaku sehat adalah prilaku – prilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain : a.
Makan dengan menu seimbang. b.
Kegiatan fisik secara teratur dan cukup. c.
Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba. d.
Istirahat yang cukup.
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
e. Pengendalian atau manajemen stres.
f. Prilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan
Prilaku sehat adalah perilaku yang didasarkan prinsip-prinsip kesehatan. Terciptanya keadaan sehat sebenarnya termasuk kebutuhan dasar manusia
Machfoedz dan Suryani, 2006. 2. Prilaku sakit
Menurut Sarwono 1997 prilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus prilaku
sakit adalah faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala menghilang atau terus menetap gejala, motivasi individu untuk mengatasi
gejala dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit. Menurut Sucman dalam Sarwoto 1997 terdapat lima macam aksi dalam proses
mencari pengobatan untuk penyembuhan dari sakit : 1. Proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang
dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit 2. Proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama,
contoh berobat ke dokter sekaligus ke sinse dan dukun. 3. Proses penundaan mencari pengobatan walau gejala penyakitnya sudah dirasakan
4. Pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan dinilai tepat baginya.
5. Penghentian proses pengobatan
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
Pemerintah wajib menyediakan sarana pelayanan kesehatan dan ansuransi kesehatan bagi masyarakat. Dalam hal pelayanan kesehatan yang disediakan oleh
pemerintah belum tentu akan digunakan oleh si penderita atau masyarakat, karena menurut teori Health Belief model oleh Rosenstock, prilaku seseorang ditentukan
oleh motif dan kepercayaan tanpa memperdulikan apakah motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang
apa yang baik untuk seseorang. Meskipun berbeda dengan realitas menurut Rosenstock pendapat subyektif inilah yang justru merupakan kunci dilakukannya
suartu tindakan kesehatan. Artinya seseorang baru akan melakukan tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika dia benar-benar merasa terancam oleh penyakit itu.
Model kepercayaan kesehatan ini memusatkan pada kesiapan seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan bergantung pada beberapa faktor yaitu
Machfoedz dan Suryani, 2006: 1. Kepekaan seseorang terhadap penyakit.
2. Persepsi seseorang terhadap konsekwensi dari penyakit tertentu 3. Persepsi seseorang keuntungan diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan.
4. Persepsi seseorang terhadap hambatan – hambatan di dalam menggunakan pelayanan kesehatan.
3. Perilaku peran orang sakit Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan
lingkungannya. Jika penyakit itu membutuhkan ketrampilan khusus maka bantuan ini
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse. Untuk mencapai kesembuhan maka harus melakukan makan obat sesuai dengan
anjuran dokter, periksa laboratorium, diet makanan dan lain-lain. Penyebab kegagalan untuk mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak
pelayanan kesehatan jauh, sulit transport, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya
masyarakat dan minimnya informasi kesehatan Notoatmodjo, 2005. 2.8.3. Domain prilaku
Skiner dalam Notoatmodjo 2005 mengeluarkan suatu teori yang disebut teori S-O-R stimulus-organisme-respons yang mengelompokkan prilaku menjadi dua
yaitu prilaku tertutup dan prilaku terbuka. Prilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain secara jelas. Respons
tersebut masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap. Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan
atau praktek dan dapat diamati dari luar. Meskipun prilaku adalah bentuk respon atau reaksi stimulus namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada
karakteristik orang yang bersangkutan, bersifat bawaan. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut diterminan prilaku.
Diterminan prilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
1. Faktor internal a. Umur
Menurut La Greca dalam Smeat 1994 anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak
mendapatkan informasi yang kurang. Untuk penderita lanjut usia kepatuhan minum obat dapat dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila
penderita lanjut usia tinggal sendiri. Menurut Dunbar Waszak dalam Smeat 1994 ketaatan dalam aturan pengobatan pada anak-anak, remaja dan dewasa adalah sama.
Menurut Taylor dalam Smeat 1994 orang tua cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua anjuran dokter.
b. Jenis kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi penderita untuk patuh minum obat.
Penderita wanita biasanya akan lebih patuh untuk minum obat karena sesuai dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak ingin ada cacat pada
tubuhnya, sehingga dalam penanggulangannya penyakit kusta akan lebih patuh minum obat dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Smeat 1994 di Amerika
Serikat kaum wanita cenderung mengikuti anjuran dokter, termasuk anjuran teratur minum obat demi kesembuhannya.
c. Pendidikan Penderita dengan pendidikan rendah dan kecerdasan yang terbatas perlu
penanganan yang lebih teliti dalam instruksi tatacara penggunaan obat yang betul dan
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
benar. Karena pendidikan yang rendah akan menganggap aturan minum obat 3x1 sama dan 1x3, sehingga obat untuk satu hari diminum sekaligus. Menurut Langevelt
dalam Notoatmodjo 1993 pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaan yaitu
kedewasaan jasmani dan rohani. Menurut Notoatmodjo 1993 pendidikan tersebut menuju kepada suatu perubahan yaitu mengubah perilaku kearah yang diinginkan,
maka tujuan pendidikan kesehatan mengubah perilaku dari yang merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah laku yang menguntungkan
kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan. Menurut penelitian Fajar 2002 di Kabupaten Gresik bahwa pendidikan tidak mempengaruhi keteraturan berobat
pada penderita kusta http:digilib.litbang.depkes.go.id. Tetapi menurut penelitian Masduki 1993 di Kabupaten Kuningan pendidikan mempunyai hubungan terhadap
kepatuhan minum obat pada penderita kusta. d. Pekerjaan
Penderita penyakit kusta yang bekerja seperti biasa akan termotivasi untuk lebih patuh minum obat demi kesembuhannya bila dibandingkan dengan penderita
yang tidak bekerja, karena pekerjaannya adalah sumber mata pencahariannya, sumber untuk memberikan nafkah dan berguna bagi keluarganya walaupun kondisi tubuh
menderita penyakit kusta, tetap bekerja. Hasil penelitian Masduki 1993 di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat bahwa pekerjaan memberikan kontribusi paling
besar terhadap kepatuhan berobat atau minum obat.
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
e. Penghasilan Penghasilan keluarga setiap bulannya digunakan untuk membiayai keluarga
sehari-hari. Adanya berbagai keresahan dibidang sosio ekonomi keluarga, khususnya masyarakat yang pendapatannya kecil. Dengan penghasilan yang kecil,
mengeluarkan biaya untuk ongkos terasa berat bagi masyarakat datang ke pelayanan kesehatan atau puskesmas, dengan tidak datangnya mereka ke puskesmas membuat
penderita tidak akan teratur meminum obat. Dari hasil penelitian Fajar 2002 di Kabupaten Gresik terhadap 100 penderita kusta, ada pengaruh penghasilan rendah
terhadap pengobatan teratur http:digilib.litbang.depkes.go.id. f. Pengetahuan
Definisi pengetahuan menurut Notoatmodjo 2005 adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang
dimilikinya.Tahu diartikan sebagai recall memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Teori L.W. Green dalam Notoatmojo 1993,
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari suatu perilaku yang diharapkan dan pada umumnya berkorelasi positif dengan perilaku. Menurut Azwar
2007 fungsi pengetahuan mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Menurut
Notoatmodjo 2003 pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut penelitian Masduki 1993 di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat pengetahuan mempunyai hubungan terhadap kepatuhan berobat
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
pada penderita kusta. Apabila penderita kusta memiliki pengetahuan yang baik dan memadai tentang penyakit kusta, cara pengobatannnya, jenis obat,cara memakan obat
tersebut dan akibat bila tidak patuh meminum obat yang akan berakibat buruk terhadap dirinya akan mampu mengimplementasikannya di dalam kehidupannya
sehari-hari maka diharapkan angka kesembuhan pada penderita kusta meningkat. Rendahnya pengetahuan tentang kusta dan masih kuatnya stigma terhadap penyakit
kusta sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk minum obat. g. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan senang, tidak
senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo 2005 sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Thustone dan Likert dalam Azwar 2007 sikap adalah suatu bentuk evalusi, reaksi perasaan yang mendukung,
memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Menurut Taylor dalam Azwar 2007 ketaatan penderita minum obat sering
diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai
kesembuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fajar 2002 di Kabupaten Gresik pada penderita kusta, ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan
upaya pengobatan teratur oleh penderita kusta. http:digilib.litbang.depkes.go.id .
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
h. Kepercayaan Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian,
tanpa menunjukkan sikap pro atau anti. Menurut Krech dkk dalam Sarwono 1997 kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang-ulang kali mendapat informasi yang
sama. Dari hasil penelitian Oesman 1993 di Tangerang secara statistik bahwa ada pengaruh kepercayaan penderita kusta terhadap keteraturan minum obat
http:digilib.litbang.depkes.go.id. Dari hasil penelitian kualitatif oleh Rachmalia dan Sunanti 1999 di Kabupaten Bangkalan kepada penderita kusta mengatakan
mereka terpaksa berobat ke petugas kesehatan karena malu akan penyakitnya dan keluarga mereka percaya bahwa penyakit kusta itu disebabkan guna-guna, penyakit
kutukan dan sihir, sehingga setelah penyakit parah terpaksa mereka berobat kepada petugas kesehatan.
2. Faktor eksternal a. Peran keluarga
Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di
dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi
proses pendidikan termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap persoalan-persoalan
keluarga akan memberikan kontribusi yang positif bagi upaya kesehatan para
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
anggotanya Notosoedirdjo dan Latipun, 2005. Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan
kesehatan. Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti 1999 di Kabupaten Bangkalan peran anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat.
b. Peran petugas kesehatan Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan berperilaku
positip. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati pasien tanpa menunggu lama-lama serta dan mengambil obat diperiksa dokter terlebih dahulu, maka
penderita merasa dihargai datang ke puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang
hanya kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, karena hampir semua orang mempunyai keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan
Smet,1994. Dari hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti 1999 di Kabupaten Bangkalan
peran petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita untuk berobat. Menurut Zulaicha dalam Smet 1994 di Indonesia kualitas interaksi antara
petugas kesehatan terutama dokter dan penderita berbeda-beda berdasarkan tingkat pendidikannya, karena si petugas harus memberikan informasi dengan kalimat atau
kata-kata sesuai dengan tingkat pendidikan pasiennya.
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
Dari hasil penelitian Masduki 1993 di Kabupaten Kuningan bahwa peran petugas mempunyai hubungan yang bermakna terhadap ketidakteraturan berobat pada
penderita kusta. Menurut Depkes RI 2000 Penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas, pelayanan puskesmas yang buruk dan tidak
ada petugas dipuskesmas ketika datang mengambil obat dengan memperhatikan besarnya masalah kusta yang dapat menimbulkan penularan pada masyarakat,
perlunya penderita untuk berobat, pencegahan kecacatan dan keteraturan minum obat maka kegiatan penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas merupakan
komponen sangat penting perlu dilanjutkan, dikembangkan, dan ditingkatkan perannya dalam pemberantasan penyakit kusta.
c. Lama minum obat Pengobatan untuk kusta type Multi Baciler diberikan secara teratur dalam
waktu 12-18 bulan dan sedapat mungkin sampai pemeriksaan bakteri negatif. Jika pegobatan tidak teratur maka 12 bulan regimen bulanan Multi Drug Therapy harus
diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan dengan syarat pemeriksaan bakteri negatif. Pengobatan untuk type Paucy Baciler diberikan secara teratur tanpa berhenti
dalam waktu 6 bulan. Jika tidak teratur minum obat selama 6 bulan maka harus diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan Depkes RI, 2005b.
d. Reaksi kusta Reaksi kusta dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan
pada saat pengobatan maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6 bulan
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
sampai setahun sesudah mulai pengobatan. Menurut Depkes RI 2000 reaksi kusta adalah bukan dari efek samping obat Multi Drug Therapy MDT. Reaksi adalah
respon tubuh terhadap penyakit kusta dan tidak berarti penyakit menjadi bertambah buruk atau bukan berarti pengobatan tidak berhasil. Menurut Depkes RI 2005a Jenis
reaksi kusta menurut proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu reaksi tipe I dan II. Menurut Guinto dkk 2000 gejala-gejala reaksi tipe I adalah perubahan bercak
kulit, nyeri tekan pada syaraf tepi, gangguan fungsi syaraf tepi, kadang ada gangguan umum, dan gejala reaksi tipe II adalah nodul yang nyeri tekan dan ada yang sampai
pecah, nyeri tekan dan gangguan fungsi syaraf tepi dan bisa terjadi gangguan pada organ tubuh. Reaksi tipe I terjadi pada penderita tipe Pauci Baciler dan Multi Baciler
pada 6 bulan pertama pengobatan. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih. Pada reaksi
tipe II terjadi pada penderita Multi Baciler, biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih, kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. Menaldi,
2001. Dari hasil penelitian Pagolori 2002 di Kabupaten Gowa ditemukan bahwa tipe kusta dan teratur minum obat adalah faktor resiko kejadian reaksi kusta
http:digilib.litbang.depkes.go.id. Disarankannya disiplin minum obat untuk mencegah reaksi kusta lebih berat.
e. Cacat kusta Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki,
dan yang mana semua cacat tersebut dapat dicegah. Menurut Word Health
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
Organization WHO dalam Depkes RI 2006 membagi tingkat cacat kusta sebagai berikut : 0 jika mata, tangan atau kaki tetap utuh maka dinyatakan tingkat cacat 0, 1
Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf tetapi cacat itu tidak kelihatan maka dinyatakan tingkat cacat 1 dan 2 kalau ada cacat akibat
kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan borok luka, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea maka diberi tingkat cacat 2.
Dari hasil penelitian Hasnani 2002 di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukan bahwa kejadian tingkat cacat 2 berhubungan dengan umur, lama sakit,
status imunisasi BCG, riwayat keteraturan berobat dan tipe penyakit http:digilib.litbang.depkes.go.id. Disarankannya agar petugas lebih aktif
meningkatkan penemuan penderita, pendekatan khusus pada tipe Multi Baciler MB dengan tingkat cacat 1 dan 2 sehingga dapat memotivasi penderita untuk minum obat
teratur. Dari hasil penelitian Gunadi 2000 di Rumah Sakit Tugu, Semarang terdapat hubungan yang bermakna antara kecacatan dengan keteraturan minum obat
http:digilib.litbang.depkes.go.id. f. Efek samping obat
Efek samping pengobatan kombinasi atau Multi Drug Therapy MDT yang umum akan muncul seperti air kemih berwarna merah. Ini disebabkan zat warna dari
obat Rifampicin yang diminum sebulan sekali. Dan ini berlangsung hanya beberapa jam setelah minum obat dan tidak menimbulkan bahaya. Kulit menjadi gelap, ini
adalah akibat minum obat Lamprene yang diminum setiap hari. Ini tidak berbahaya
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan akan hilang beberapa bulan setelah pengobatan lengkap, oleh karena itu penderita harus minum obat secara teratur Depkes RI, 2000.
Alergi muncul pada beberapa penderita kusta dapat terjadi yaitu pada salah satu dari obat kombinasi. Yang paling umum terjadi adalah alergi gatal-gatal yang hebat,
bintik-bintik merahgelap pada kulit penderita. Bila ditemui alergi maka penderita dianjurkan untuk menghentikan sementara minum obat dan dirujuk ke puskemas atau
rumah sakit untuk lebih dahulu mengobati alergi yang ada Depkes RI, 2000. g.Tersedianya obat
Kelengkapan fasilitas kesehatan yang di dapat penderita kusta salah satunya adalah tersedianya obat di puskesmas terutama stok obat kombinasi atau Multi Drug
Therapy. Menurut Depkes RI 2000 penderita sering terputus pengobatannya karena keterbatasan obat di puskesmas. Penelitian Fajar 2002 di Kabupaten Gresik,
menunjukkan tersedianya obat di puskesmas mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita kusta, disarankannya perlu perencanaan tahunan kebutuhan obat sesuai
dengan jumlah sasaran http:digilib.litbang.depkes.go.id. h. Jarak tempat tinggal ke pelayanan kesehatan
Makin jauh tempat pelayanan kesehatan, masyarakat semakin malas untuk datang ke tempat pelayanan tersebut. Disebabkan bahwa pada batas jarak tertentu
orang masih mau berpergian untuk mencari dan memamfaatkan pelayanan kesehatan. Batas jarak ini pun dipengaruhi oleh jenis jalan, jenis kendaraan, waktu tempuh,
berat ringannya penyakit dan kemampuan bayar transportasi. Jarak tempat tinggal
Basaria Hutabarat : Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita..., 2008 USU e-Repository © 2008
penderita kusta dengan tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas sering menjadi masalah kelangsungan keteraturan untuk minum obat, karena jarak yang jauh ke
tempat pelayanan kesehatan berhubungan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk ongkos. Dari hasil penelitian Oesman 1991 jarak tempat tinggal penderita
kusta ke tempat pelayanan kesehatan atau puskesmas mempunyai hubungan bermakna terhadap keteraturan berobat.
2.9. Landasan Teori