Hasil Uji Hipotesis Kedua : Kepemilikan manajerial,
106
tersebut juga didukung dengan kekuatan hubungan, yang artinya terdapat hubungan signifikan antara variabel
kepemilikan institusional dengan variabel financial distress yaitu sebesar 0.044 signifikan pada tingkat 5. Dengan
demikian terbukti bahwa secara individu parsial variabel kepemilikan institusional berpengaruh terhadap terjadinya
financial distress. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil
dari penelitian yang dilakukan oleh Masruddin 2007, yang menyatakan bahwa variabel kepemilikan institusional tidak
berpengaruh terhadap
terjadinya financial
distress. Sebagian besar pemegang saham perusahaan-perusahaan di
Indonesia adalah memakai nama suatu institusi daripada nama pribadi. Kondisi ini akan menyulitkan untuk
mengetahui nama-nama direksi atau komisaris yang mewakili pemegang saham perusahaan.
Tetapi hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Emrinaldi Nur DP 2007 yang menyatakan
bahwa terdapat
hubungan yang
signifikan antara
kepemilikan institusional dengan perusahaan berstatus kesulitan keuangan. Peningkatan kepemilikan institusional
dalam perusahaan akan mendorong semakin kecilnya
107
potensi terjadinya financial distress. Hal ini dikarenakan semakin besar kepemilikan institusional akan semakin
besar monitor yang dilakukan terhadap perusahaan yang pada akhirnya akan mampu mendorong semakin kecilnya
potensi financial distress yang mungkin terjadi di dalam perusahaan.
Kepemilikan institusional adalah persentase jumlah saham yang dimiliki oleh institusi. Institusi itu sendiri
meliputi pemerintah, perusahaan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya, hal ini dapat membuktikan bahwa peran
dari instutusi-intitusi tersebut besar terhadap perusahaan. Sehingga
institusi-institusi tersebut secara otomatis memiliki kontrol yang besar terhadap perusahaan. Oleh
karena itu, perusahaanpun akan lebih baik lagi dalam hal meningkatkan
kinerja perusahaan
guna untuk
mempertanggungjawabkan kinerjanya dan meningkatkan kepercayaan para pemegang saham.
108
Variabel STK pemegang saham terbesar kedua
menunjukkan nilai koefisien regresi sebesar 0.078 dengan probabilitas sebesar 0.030 di bawah atau lebih kecil dari
nilai signifikansi 0.05 5 persen. Dengan demikian terbukti bahwa
variabel pemegang
saham terbesar
kedua berpengaruh signifikan terhadap terjadinya financial
distress.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian dari Masruddin 2007 yang menyatakan bahwa
variabel pemegang saham terbesar kedua tidak berpengaruh terhadap terjadinya financial distress. Tetapi hasil
penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Tsun- Siou Lee 2004, yang menyatakan bahwa peran pemegang
saham terbesar kedua dalam mengontrol kebijakan yang diambil oleh pemegang saham terbesar akan mengurangi
peluang pengambilan
keputusan yang
cenderung menguntungkan pemilik saham terbesar. Di samping itu
menurut Classen, Djankov Lang 2000 dalam Masruddin 2007, menyatakan bahwa untuk perusahaan
keluarga ada kecenderungan bahwa pemegang saham terbesar kedua, masih ada hubungan keluarga atau masih
dari kelompok usaha yang sama sehingga hak suara yang
109
dimiliki cenderung mendukung keputusan pemegang saham mayoritas.
Variabel UDW ukuran dewan direksi menunjukkan nilai
koefisien regresi sebesar 0.750 dengan probabilitas sebesar 0.451 lebih besar dari nilai signifikansi sebesar 0.05 5.
Hal ini mengandung arti bahwa secara individu parsial, terbukti bahwa variabel ukuran dewan direksi tidak
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya financial
distress.
Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan hasil penelitian Masruddin 2007, yang menyatakan bahwa
variabel ukuran dewan direksi berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya financial distress. Hal ini
tidak konsisten pula dengan penelitian Deni darmawati 2004 dalam Masruddin 2007 yang menjelaskan bahwa
jumlah dewan direksi yang sesuai dengan besarnya perusahaan akan lebih efektif dalam monitoring kinerja
perusahaan dan terciptanya network dengan pihak luar perusahaan.
110
Tetapi Eisenberg et al. 1998 dalam Khaira Amalia Fachrudin 2008:41 menyatakan bahwa ada hubungan
negatif antara ukuran dewan dan kinerja prusahaan, dengan menggunakan sampel di Finlandia.
Dewan direksi menentukan kebijakan perusahaan. Dewan komisaris memonitor penerapan kebijakan tersebut.
Wardhani 2006 menuliskan bahwa jumlah dewan yang besar menguntungkan perusahaan dari sudut pandang
resources dependence Alexander, Fernel, Halporn, 1993; Goodstein, Gautarn, Boeker, 1994; Mintzberg, 1983.
Maksud dari pandangan resources dependence adalah bahwa perusahaan akan tergantung dengan dewannya untuk
dapat mengelola sumber dayanya secara lebih baik. Kerugian dewan yang besar adalah meningkatnya
permasalahan dalam hal komunikasi dan koordinasi serta turunnya
kemampuan dewan
untuk mengendalikan
manajemen, sehingga menimbulkan permasalahan agensi yang muncul dari pemisahan antara manajemen dan kontrol
Jensen, 1993; Yermack, 1996 dalam Khaira Amalia Fchrudin, 2008:41.
111
Hasil statistik pada pengamatan tahun 2002 yang dilakukan oleh Khairan Amalia Fachrudin 2008
menunjukkan semakin banyak direktur semakin besar kemungkinan perusahaan untuk tidak kesulitan keuangan.
Teori resources dependence mengatakan bahwa perusahaan tergantung pada dewannya untuk mengelola sumber daya
secara lebih baik.
Variabel KP kepemilikan publik menunjukkan nilai
koefisien regresi sebesar 0.048 dengan probabilitas sebesar 0.085 lebih besar dari nilai signifikansi sebesar 0.05 5.
Hal ini dapat diartikan bahwa secara individu parsial terbukti bahwa variabel kepemilikan publik tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya financial
distress.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Masruddin 2007, yang
menyatakan bahwa
variabel kepemilikan
publik berpengaruh
terhadap terjadinya
financial distress.
Masyarakat atau publik dalam hal ini dapat berupa pribadi atau suatu institusi. Keberadaanya menuntut untuk
diberikannya informasi kinerja perusahaan yang jujur, jelas
112
dan tepat waktu. Penerapan corporate governance yang baik, akan banyak mempengaruhi tinggi rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan manajemen dalam mengelola modal yang ditanamkan ke perusahaan
tersebut. Dengan demikian tanggung jawab perusahaan dalam menerapkan corporate governance yang baik akan
lebih besar, dimana hal tersebut sebagai bagian dari aspek transparansi dalam mekanisme corporate governance.
Variabel PP partisipasi pendiri menunjukkan nilai
koefisien regresi sebesar 0.849 dengan probabilitas sebesar 0.094 lebih besar dari nilai signifikansi 0.05 5. Hal ini
mengandung arti bahwa secara individu parsial terbukti bahwa variabel partisipasi pendiri tidak berpengaruh
terhadap terjadinya financial distress.
Hasil penelitian ini tidak sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Masruddin 2007, yang
menyatakan bahwa variabel partisipasi pendiri berpengaruh terhadap terjadinya financial distress. Tetapi hasil ini
konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tsun-Siou Lee dan Yin Hua Yeh 2004 yang menjelaskan
bahwa semakin besar campur tangan pihak pendiri dan
113
keluarga dalam menjalankan bisnis perusahaan, maka tingkat
kemandirian manajemen
dalam mengelola
perusahaan akan cenderung rendah karena adanya campur tangan dari pihak pendiri perusahaan, sehingga penerapan
prinsip-prinsip transparancy,
accountability dan
responsibility akan cenderung lemah yang berarti lemahnya penerapan corporate governance.
Yeh, Lee, dan Woidtke 2001 melaporkan perusahaan keluarga yang memiliki tingkat control tinggi
akan memiliki kualitas kinerja keuangan yang rendah, dibandingkan perusahaan keluarga yang memiliki tingkat
kontrol yang rendah dan telah dimiliki secara luas oleh publik. Lebih lanjut, mereka menemukan bahwa nilai
perusahaan lebih tinggi ketika pengendali perusahaan menempatkan wakilnya dalam jajaran manajemen dan
jumlahnya hanya minoritas saja dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2008:39.
114
Varaibel PK penyebaran kepemilikan menunjukkan nilai
koefisien regresi sebesar -1.255 dengan probabilitas sebesar 0.018 lebih kecil dari nilai signifikansi 0.05 5. Hal ini
dapat mengandung arti bahwa secara individu parsial terbukti
bahwa variabel
penyebaran kepemilikan
berpengaruh terhadap terjadinya financial distress. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil
penelitian Masruddin 2007, yang menyatakan bahwa variabel penyebaran kepemilikan tidak berpengaruh
terhadap terjadinya financial distress. Sebabnya adalah perusahaan dengan struktur kepemilikan saham yang
menyebar banyak pemilik dengan kepemilikan yang kecil menyebabkan pengendalian pemegang saham terhadap
manajemen cenderung lemah, karena tidak adanya pemegang saham mayoritas dan meratanya hak suara dari
masing-masing pemegang saham. Pemegang saham tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengendalikan
manajemen sehingga manajemen mempunyai derajat discreation yang tinggi yang memungkinkan mereka untuk
mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri Tri gunarsih, 2003. Tetapi ada penelitian lain yang
mendapati bahwa dengan kepemilikan saham yang
115
menyebar, maka tidak ada pemegang saham yang terlalu dominan, dengan demikian kebijakan-kebijakan perusahaan
akan banyak ditentukan oleh rapat umum pemegang saham RUPS yang dihadiri oleh perwakilan dari semua
pemegang saham. Sebuah riset yang dilakukan oleh ekonom Bank
Dunia pada tahun 1998 juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 1993 sampai tahun 1997, lebih dari 60
persen saham perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta BEJ hanya dikuasai oleh sepuluh
keluarga terkaya di Indonesia. Dengan kepemilikan perusahaan Indonesia yang demikian kerap terjadi sengketa
kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Sengketa kepentingan pada
perusahaan publik di Indonesia disebabkan pemegang saham mayoritas umumnya memiliki kontrol yang sangat
besar terhadap perusahaan tersebut. Pemegang saham mayoritas ini umumnya pemegang saham awal keluarga
di mana perusahaan publik di Indonesia pada mulanya merupakan perusahaan keluarga. Walaupun perusahaan
telah menjadi perusahaan publik, kepemilikan keluarga masih sangat besar dibandingkan jumlah saham yang
116
dilepas ke publik dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 2008:56
Forum For Corporate Governance in Indonesia 2002 mengatakan bahwa pemegang saham mayoritas ini
kerap memanfaatkan kekuatannya pada perusahaan publik untuk
kepentingannya yang
sebenarnya merugikan
pemegang saham minoritas. Hal-hal seperti inilah yang menjadi penyebab sengketa antara pemegang saham
mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Belajar dari perilaku usaha di Indonesia selama kurun waktu yang
sangat panjang telah tercemar dengan berbagai tindakan, kegiatan, dan modus usaha usaha yang tidak sehat, karena
pola dan kepemilikan usaha yang hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok dan secara sistematis menerapkan
strategi usahanya dengan bertumpu pada praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN dalam Indra Surya dan Ivan
Yustiavandana, 2008:57
117
Tabel 4.12 Hasil Analisis Regresi Logistik
Variabel Independen
Unstandardized Coefficients β
Sig Parsial Uji Wald
Sig Simultan Uji G
Interpretasi
Constant -25.484
0.000 KM
-0.024 0.373
Tidak signifikan KI
-0.046 0.044
Signifikan STK
0.078 0.030
Signifikan UDW
0.750 0.451
Tidak signifikan KP
0.048 0.085
Tidak Signifikan PP
0.849 0.094
Tidak signifikan PK
-1.255 0.018
Signifikan Cox Snell R
Square Nagelkerke R
Square =0.310
=0.462 Sumber data : data sekunder yang diolah
Keterangan : Signifikansi pada level 5
118