Waktu peniupan ruh ke janin

? M ?1. K MN1 ON  PQ H ; :1 ON1 =R I;:; = 3 S T. U AV E 2 W X  = 67Y. Z1R 9 = 5 L DC B MD - MN E Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati berasal dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Qs. al-Mukminun23: 12-14 Al-Razi menafsirkan firman Allah, “Lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging......”. Maksudnya, kami menjadikan darah yang menggupal itu mudhghah yaitu sepotong daging seolah-olah ukurannya sebesar kunyahan. Seperti kata ghurfah yang berarti seukuran gayung. Perubahan ini disebut dengan kata khalaq menciptakan, karena Allah menghilangkan sifat-sifat sementara padanya kemudian menciptakan sifat- sifat sementara lainnya, sehingga penciptaan sifat-sifat ini di sebut khalaqa, dan seolah-olah Allah menciptakan organ tambahan padanya. 14

4. Waktu peniupan ruh ke janin

Tidak ada perselisihan pendapat antar ulama bahwa ruh tidak ditiupkan hingga setelah fase mudhghah. Hal ini setelah melalui fase empat 14 Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir Fakhr al-Razi bi al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al- Ghaib Beirut: Dâr al-Fikr, 1985, juz ke-23, h. 85. bulan kehamilan. Kemudian, di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa ruh ditiupkan setelah sempurna empat bulan, yaitu setelah seratus dua puluh hari. Riwayat Ibnu Abbas dan Sa’id bin Musayyib, Imam Ahmad mengatakan bahwa ruh ditiupkan ke janin setelah empat bulan sepuluh hari, maksudnya setelah seratus tiga puluh hari. Mereka berdalil dengan firman Allah: یP 5 ,ی +, 5 , Pی Q R ی - , S ,-T UV ;W ,- X , +, V - , Y , ,Z 5, ﺕ [ 3\ . = 3 B E Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri- isteri hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya ber`iddah empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Qs. Al-Baqarah [2]: 234 Iddah perempuan yang ditingggal suaminya sebab wafat adalah empat bulan sepuluh hari. Menurut Zajaj, gunanya supaya dapat diketahui apakah dia hamil atau tidak, karena dalam waktu sepanjang itu dapat diketahui gerak- gerik anak yang berada dalam perut ibunya dan kalau sebenarnya dia telah hamil, maka dia berpindah masa iddah hamil. 15 Sa’id bin Musayyab ditanya tentang ‘iddah kematian empat bulan sepuluh hari, “ada apa dengan sepuluh hari?” Ia menjawab, “ Pada waktu itu ruh ditiup”. 16 15 Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam Jakarta: Kencana, 2006, h. 138. 16 Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, h. 61. Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa pada umur empat bulan sepuluh hari nyawaruh ditiupkan pada bayi. Oleh karena itu, peniupan ruh adalah sebab penciptaan kehidupan manusia pada janin. Maka, perlu adanya perlakuan khusus pada bayi yang sudah ditiupkan ruh tersebut dengan tidak sembarangan melakukan aborsi ataupun tindakan lain yang bisa membahayakan janin.

B. Pengertian Aborsi dan Macamnya

1. Pengertian Aborsi

Dalam kamus istilah GKKBN Gerakan Keluarga Berencana Nasional, aborsi diartikan sebagai keluarnya hasil konsepsi sebagian atau seluruhnya yang dapat terjadi secara spontan atau sengaja sebelum kehamilan 28 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 17 Aborsi Provocatus merupakan istilah latin yang secara resmi di pakiai dalam kalangan kedokteran dan hukum, maksudnya ialah dengan sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam rahim seorang perempuan hamil dengan spontan gugur. Secara medis, aborsi ialah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan 17 Anonim, “Abortus”, Kamus Istilah Gerakan Keluarga Berencana Nasional Jakarta: GKKBN, 1990, h. 1.