1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagai manifesto kemerdekaan bangsa Indonesia, dan juga UUD 1945 sebagai konsitusi
yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Maka tentu selayaknya kebangsaan dan kerakyatanlah yang menjadi sokoguru bagi segala kegiatan penyelenggaraan
Negara Indonesia, termasuk pula halnya dengan penyelenggaraan perekonomian nasional.
Perlu dibangunnya perekonomian rakyat bukanlah sekedar suatu pemihakan kepada rakyat, tetapi juga merupakan strategi pembangunan yang
tepat.
1
Sebagai wujud pemihakan kepada rakyat, maka rakyat wajib dilibat aktifkan dalam pembangunan ekonomi nasional. Dan ini juga sesuai amanat UUD
1945 Pasal 27 Ayat 2 , “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Kemudian arah kebijakan perekonomian pun harus berorientasi pada kepentingan rakyat yang resourced-
1
Sri-Edi Swasono, Tuduhan Absurd; Perekonomian Rakyat Dikatakan Tidak Konsepsional?, t.t, t.p., t.th., h. 13.
based, people-centered dan putting people first. Dengan demikian diharapkan akan tercapai kemandirian bangsa, tanpa ketergantungan pada luar negeri.
Pembangunan ekonomi rakyat yang bersemangatkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”, menghendaki terwujudnya “Triple-Co”
2
atau “tiga kebersamaan” peran rakyat dalam ekonomi, yaitu co-ownership, co-determination dan co-
responsibility. Koperasi merupakan wadah bagi perekonomian rakyat, wadah untuk lebih
terbentuknya sinergi kekuatan rakyat dalam keekonomian.
3
Dan melalui gerakan koperasi inilah, asas Triple-Co akan lebih berhasil untuk dilaksanakan.
Dalam hal koperasi ini legislatif telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Perkoperasian pertama kalinya UU No. 14 Tahun 1965, kemudian
berturutan UU No. 12 Tahun 1967, UU No. 25 Tahun 1992, dan yang terbaru UU No. 17 Tahun 2012.
Kemudian, dalam upaya memberdayakan ekonomi rakyat, dipandang perlu untuk mengembangkan skema-skema pembiayaan alternatif seperti
pembiayaan berskala mikro, kecil dan menengah. Dan ini menjadi strategis karena terhadap perekonomian nasional, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
UMKM memberikan kontribusi antara lain sebagai penampung tenaga kerja
2
Ibid, h. 17.
3
Ibid, h. 16.
dalam jumlah besar sekitar 99,5, sebagai penyumbang Pendapatan Domestik Bruto PDB sebesar 56,7 dan dalam ekspor nonmigas kontribusinya sebesar
19,1. UMKM merupakan pihak mayoritas pelaku usaha nasional. Hal ini sesuai dengan data bersumber dari Bappenas bahwa pada tahun 2007 terdapat 41,3
jutaunit 99,85 usaha kecil mikro, 61,05 juta unit 0,14 usaha menengah, dan 2,2 juta unit 0,005 usaha besar.
4
Tentunya UMKM yang mayoritas ini adalah potensi yang sangat besar bagi Lembaga Keuangan Mikro untuk ambil bagian dalam memberdayakan
ekonomi rakyat sehingga mengkokohkan perekonomian rakyat. Dan pada akhirnya akan mewujudkan perekonomian nasional yang kuat dan mandiri.
Untuk itu pulalah pemerintah harus mengembangkan iklim yang kondusif guna mendorong perkembangan kegiatan usaha Lembaga Keuangan Mikro
termasuk di dalamnya Koperasi Jasa Keuangan Syariah, sehingga mampu memberikan manfaat dan kepastian hukum.
Koperasi Jasa Keuangan Syariah KJKS, termasuk pula di dalamnya Baitul Mal wat Tamwil BMT, telah tumbuh dan berkembang di masyarakat,
serta mengambil bagian penting dalam memberdayakan ekonomi masyarakat khususnya kalangan usaha kecil dan mikro. Adapun jumlah KJKSUJKS koperasi
per April 2012 adalah sekitar 4.117 unit dengan jumlah anggota sekitar 762 ribu
4
Dr. Euis Amalia, M. Ag, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2009, h. 8
– 10.
anggota dan total asetnya mencapai Rp 5 triliun - Rp 8 triliun. Jumlah ini akan semakin bertambah pada masa mendatang seiring dengan perkembangan industri
keuangan yang berbasis syariah akhir-akhir ini.
5
Namun, perkembangan ini tidak diikuti dengan pengelolaan BMT secara profesional. Faktanya saat ini tidak sedikit BMT yang melakukan praktik jauh
dari nilai- nilai Syari‟ah. Pelaporan keuangan BMT juga masih banyak yang
merujuk pada standar akuntansi konvensional. Pembinaan BMT tidak dilakukan oleh BI, sebagaimana yang terjadi pada Perbankan, dikarenakan termasuk dalam
katagori Koperasi yang dinaungi oleh Departemen Koperasi yang kurang mendapat perhatian terutama dari aspek akuntabilitasnya. Legalitas BMT yang
beroperasi masih banyak yang belum bahkan tanpa badan hukum yang jelas. Kini, telah sekitar dua tahun UU No. 17 Tahun 2012 diberlakukan.
Seharusnya seluruh KJKS sudah cukup memahami sehingga bisa melaksanakan peraturan di dalamnya. Berjalannya kegiatan usaha di KJKS ini sesuai dengan
peraturan tentunya sangat diharapkan agar aktifitas menjadi tertib. Maka dari itu, perlu untuk ditelaah lebih jauh apakah KJKS dalam hal ini BMT telah taat pada
5
“ugianto, Denyut Koperasi “yariah , artikel diakses pada Januari dari
www.depkop.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=948:denyut-koperasi- syariahcatid=54:bind-berita-kementerianItemid=98.
UU tersebut. Karena hal ini dapat menimbulkan banyaknya ruang abu-abu dan multi interpretatif yang akan menggiring pada pelemahan KJKS.
6
Mustamar mengatakan, masih adanya persoalan terkait penerapan UU No.17 Tahun 2012 ini, terutama mengenai turunannya seperti PP dan KepMen
yang belum terbit. Sementara itu Irvan Mahmud, Pengurus Koperasi Ceria Permata
mengungkapkan meskipun maksud pemerintah cukup baik, namun dirinya masih cukup bingung dalam menerapkan undang-undang baru itu, karena memerlukan
pemahaman lebih mendalam.
7
B. Identifikasi Masalah