Kariotipe Tikus Muridae Analisis Kariotipe Laboratorium .1 Kariotipe Mencit Mus musculus Linnaeus, 1758

55 telosentrik dan tiga pasang akrosentrik Harada dan Kobayashi 1980. Berdasarkan penelitian Harada dan Kobayashi 1980, kromosom T. suhaniahae dan T. nigrescens sebagai genus monotipik Cynopterus, berbeda dua pasang kromosom. Berdasarkan tipe kromosom, T. suhaniahae menunjukkan kesamaan tipe yaitu metasentrik, sub metasentrik dan sub telosentrik tetapi dengan jumlah pasangan kromosom yang berbeda. Kromosom beberapa spesies Dobsonia telah diteliti seperti Dobsonia praedatrix yang memiliki 2n = 38, FN = 66 dan Dobsonia molluccensis dari New Guinea yang memiliki 2n = 38, FN = 68 dengan kromosom X identik dengan Rousettus Haiduk 1983. Berdasarkan hasil penelitian jumlah kromosom D. viridis 2n = 36 menunjukkan D. viridis berbeda satu pasang kromosom dari D. praedatrix dan D. molluccensis. Tipe kromosom D. praedatrix kebanyakan adalah metasentrik dan sub metasentrik Haiduk 1983; sedangkan tipe kromosom D. viridis tidak dapat ditentukan pada penelitian ini. Kebanyakan Pteropodidae menunjukkan kecenderungan trend jumlah diploid sebanyak 34, 36 dan 38 Haiduk et al. 1980; Namun, beberapa spesies seperti M. niphanae dan Balionycteris memiliki jumlah diploid berkisar antara 24 sampai 28 Hood et al. 1988. Berdasarkan penelitian ini, B. bidens tidak berada dalam trend tersebut; Sedangkan T. suhaniahae, T. nigriscens dan D. viridis masuk dalam trend tersebut. Perbedaan jumlah kromosom yang terjadi pada spesimen penelitian ini diduga karena adanya beberapa faktor. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan penambahan dan pengurangan jumlah kromosom meliputi translokasi Robertsonian, tendem fusion, periantric inversion, heterocromatin change dan supernumeries Gibson 1984; Zima 2000. B. bidens pada penelitian ini memiliki jumlah kromosom yang berbeda dengan Rousettus diduga akibat faktor supernumeries yang ditunjukkan dengan adanya kromosom tambahan. Sementara itu, perbedaan komosom T. suhaniahae dan T. nigrescens dengan Cynopterus dan D. viridis dengan beberapa spesies Dobsonia yang lain masih belum diketahui penyebabnya. Studi komparatif jumlah, panjang relatif dan struktur yang terdapat pada kromosom dapat digunakan untuk mengkaji hubungan taksonomi antar spesies mamalia Feldhamer et al. 1999. Pada penelitian ini status taksonomi masing- masing spesimen tikus dan kelelawar telah jelas, yang berarti spesimen tersebut merupakan spesies yang berbeda berdasarkan morfologi dan kromosom. R. hoffmanni berbeda dengan sub spesiesnya yaitu R.h linduensis. B. bidens telah jelas berbeda dengan Rousettus berdasarkan morfologi dan kariotipe, T. suhaniahae dan T. nigrescens telah berbeda dengan Cynopterus dan D. viridis berbeda secara morfologi dan kariotipe dengan spesies satu genusnya. Tikus dan kelelawar pemakan buah telah mengalami evolusi morfologi luar dan tengkorak yang berbeda. Karakter morfologi luar dan tengkorak primif basal mamalia yaitu insektivora darat Feldhamer et al. 1999. Lebih lanjut, tikus mengalami evolusi menjadi omnivora terestrial dan kelelawar menjadi frugivora aerial. Evolusi kromosom tikus dan kelelawar dari insectivora masih belum diketahui secara pasti Zima 2000. Penelitian ini menunjukkan tikus dan kelelawar memiliki jumlah dan tipe kromosom yang berbeda. Namun, terlihat adanya trend tipe kromosom. Jumlah kromosom telosentrik tikus cenderung lebih 56 banyak dibandingkan kelelawar. Sebaliknya, jumlah kromosom metasentrik hanya terdapat di kelelawar. Shrew yang merupakan insektvora, memiliki kariotipe nenek moyang ancestral karyotype dengan tipe akrosentrik dan autosom yang tidak mengalami penggabungan unfused autosome Zima 2000. Rickart dan Musser 1993 menduga tipe telosentrik merupakan tipe kromosom primitif basal dari spesies tikus. Hal tersebut ditunjukkan dengan kariotipe yang mirip antar spesies Muridae Australia, Indocina dan semenanjung India. Berdasarkan temuan trend tipe kromosom penelitian ini, peneliti menduga kromosom telosentrik pada tikus telah mengalami pengurangan jumlah kromosom dikarenakan beberapa faktor seperti translokasi Robertsonian, tendem fusion dan supernumeries yang sering terjadi pada spesies tikus. Translokasi Robertsonian akan menghasilkan kromosom metasentrik dan mengurangi jumlah kromosom. Hal ini ditunjukkan trend jumlah kromosom kelelawar Pteropodidae yang lebih sedikit dibandingkan tikus. Lebih lanjut, populasi dengan jumlah kromosom yang lebih besar dianggap lebih primitif dibandingkan populasi dengan jumlah kromosom yang lebih kecil Zima 2000.

4.4 Perbandingan Teknik Kariotipe Lapang dan Laboratorium

Hasil analisis kariotipe laboratorium dengan spesimen mencit menunjukkan hasil yang lebih optimal daripada analisis lapang. Teknik kariotipe merupakan teknik yang rentan terhadap kondisi lingkungan dan waktu. Hasil preparat kromosom spesimen lapang yang kebanyakan tidak menunjukkan hasil yang optimal diduga karena suhu lingkungan yang rendah mencapai 10 °C. Suhu rendah berpengaruh pada tahap larutan hipotonis. Baker et al. 2003 menjelaskan proses perlakuan larutan hipotonis merupakan tahap yang kritis. Sumsum tulang pada saat perendaman pada larutan hipotonis harus mendekati suhu tubuh manusia sekitar 37 °C. Oleh karena itu, peneliti melakukan hal yang sama seperti metode Baker et al. 2003 yaitu meletakkan larutan tersebut dekat ke tubuh peneliti, tetapi masih tidak mampu menghasilkan tampilan kromosom yang baik. Kondisi laboratorium terutama suhu dapat secara mudah diatur daripada lapang. 5 SIMPULAN Delapan spesies 24 individu tikus dan lima spesies 15 individu kelelawar telah diuji untuk analisis kariotipe di lapang dan satu spesies 10 individu mencit untuk kariotipe di laboratorium. Spesimen tikus dan kelelawar masing-masing memiliki perbedaan ukuran tubuh dan karakter morfologi luar. Satu spesies tikus menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu R. hoffmanni betina 2n= 44, FN = 61, FNa = 59, bentuk kromosom X telosentrik. M. musculus memiliki 2n=40, FN=40, FNa=38 dan bentuk keseluruhan kromosom telosentrik. Dua spesies kelelawar menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu B. bidens jantan 2n = 30, FN = 53, FNa = 50, bentuk kromosom X sub metasentrik dan Y telosentrik dan T. suhaniahae betina 2n = 38, FN = 64, FNa = 60, bentuk kromosom X metasentrik. T. nigriscens memiliki 2n=38 dan D. viridis 2n=34. 57 Injeksi kolkisin 0.005 dengan waktu inhibitasi mitosis 2 jam dapat menghasilkan tampilan kromosom yang optimal. Kromosom sumsum tulang pada preservasi PBS selama 2 sampai 15 hari menunjukkan tren kualitas kromosom yang terdegradasi. Preservasi PBS selama 2 hari menunjukkan hasil yang lebih optimal. Preservasi stok suspensi sel pada larutan Carnoy 4 hari 96 jam menunjukkan hasil yang optimal dibandingkan preservasi 2 hari 48 jam. Analisis kariotipe di laboratorium menunjukkan hasil kromosom yang lebih optimal dibandingkan analisis kariotipe di lapang. 6 SARAN Saran penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jaringan paru, ekor atau darah, jumlah sampel yang lebih banyak dan metode pewarnaan yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Abramoff MD, Magelhaes PJ, Ram SJ. 2004. Image Processing with ImageJ. Biophotonics International. 11:36-42. Andersen K. 1912. Catalogue of the Chiroptera in the collection of the British Museum. Vol 1. Megachiroptera. 2nd edition. London UK: British Museum Natural History Ando K, Tagawa K, Uchida TA. 1980. A karyotype study on four species of the Indonesian fruit-eating bats, belonging to Cynopterus, Eonycteris and Macroglossus Chiroptera: Pteropidae. Journal of Cytology, Cytosystematics and Cytogenetics. 33: 41-53. Anthony ELP. 1988. Age determination in bats. In Ecological and behavioural methods for the study of bats Kunz TH ed.. Washington DC US: Smithsonian Institution Press. Bakare AA, Ademeso MM, Adetunji OA, Alabi OA. 2011. Pharmaceutical effluent induced chromosome aberration in rat bone marrow cells. Archives of Applied Science Research 3:345-352. Baker RJ, Biickham JW. 1980. Karyotypic evolution in bats: Evidence of extensive and conservative chromosomal evolution in closely related taxa. Systematic Zool 29:239-253. Baker RJ, Haiduk MW, Robbins LW, Cadena A, Koop BF. 1982. Chromosomal studies of South American bats and their systematic implications. Special Publication Pymatuning Laboratory of Ecology. 6: 303–327. Baker RJ, Patton JL. 1967. Karyotypes and karyotypic variation of North American vespertilionid bats. Journal of Mammal. 48: 270–86. Baker RJ, Hamilton M, Parish DA. 2003. Preparations of mammalian karyotypes underfield conditions. Occasional Papers, Museum of Texas Tech University. 228: i+1-8. Bergmans W, Rozendaal FG. 1988. Notes on collections of fruit bats from Sulawesi and some off-lying islands Mammalia, Megachiroptera. Zoologische Verhandelingen 248: 1–74. 58 Brues AM, Cohen A. 1936. PMCID: Effects of colchicine and related substances on cell division. Biochemistry Journal. 30: 1363-1368. Capanna E, Castiglia R. 2004. Chromosomes and speciation in Mus musculus domesticus. Cytogenet Genome Res. 105: 375–384. Chauhan NPS. 2002. Observation of bamboo flowering and associated increases in rodent populations in the north-eastern region of India in Rats, mice and people: Rodent biology and management Canberra. Eds. Singleton GR, Hinds LA, Krebs CJ,Spratt DM. Canberra AU: ACIAR. Chaval Y, Waengsothom S, Claude J, Saksiri S, Herbreteau V. 2011. Preparing rodent specimens for collections in Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies. Eds. Herbreteau V. Jittapalapong S. Rerkamnuaychoke W. Chaval Y. Cosson JF. Morand S. Bangkok TH: Kasetsart University Press. Choi SS, Chan KF, Ng HK, Mak WP. 1999. Colchicine-induced myopathy and neuropathy. Hong Kong Medical Journal. 5: 204 - 207. Committee on Standardized Genetic Nomenclature for Mice. 1971. Standard karyotype of the mouse, Mus musculus. Journal of Heredity. 63:69-72. Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of The Indo-Malayan Region: A Systematic Review. London UK: British Museum Natural History. Daele V, Dammann P, Meier JL, Kawalika M, Van De Woestijne C, Burda H. 2004. Chromosomal diversity in mole-rats of the genus Cryptomys Rodentia: Bathyergidae from the Zambezian region: with descriptions of new karyotypes. Journal of Zoology London. 264: 317–326. Dobigny G, Ducroz JF, Robinson TJ, Volobouev V. 2004. Cytogenetics and cladistics. Systematic Biology. 53:470-484. Dobigny G, Xuereb A. 2011. Cytogenetics: karyotyping and tissue sampling for fibroblast cell culture in Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies. Eds. Herbreteau V, Jittapalapong S, Rerkamnuaychoke W, Chaval Y, Cosson JF, Morand S. Bangkok TH: Kasetsart University Press. Dulbecco R, Vogt M. 1954. Plaque formation and isolation of pure lines with poliomyelitis viruses. Journal of Experimental Medicine. 99:167-182. Duncan JF. 1976. Karyotypes of four rats Rodentia: Muridae from Sulawesi Celebes, Indonesia. Cytologia. 41: 481-486. Eldridge FE. 1985. Cytognetic of Livestock. USA: Avi Publishing Company Inc. Westport Connecticut. Esselstyn JA, Achmadi AA , Rowe. 2012. Evolutionary novelty in a rat with no molars : A new genus of shrew-rat. Biol. Lett. doi: 10.1098rsbl.2012.0574 Published online. Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH, Merritt JF, Krajewski C. 1999. Mammalogy: Adaptation, Diversity, Ecology 3rd ed. Boston, Massachusetts US: McGraw-Hill Co. Gersen SL, Keagle BM. 2005. The Principles of Clinical Cytogenetics, 2nd Ed. Humana Press. Gibson LJ. 1984. Chromosomal changes in mammalian speciation: A literature review. Origins 11:67-89. Haiduk MW. 1983. Evolution in The Family Pteropodidae Chiroptera: Megachiroptera as Indicated by Chromosomal and Immunoelectrophoretic Analyses. [Dissertation]. Texas US: Graduate Faculty of Texas Tech University.