monosakarida. Protein yang terkandung dalam susu skim tidak cukup memberikan perlindungan terhadap keseluruhan dinding sel bakteri dengan jumlah sel yang
cukup tinggi. Selama proses pengeringan, air pada lipid bilayer membran sel akan terevaporasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan interaksi Van der waals
antar rantai acyl sehingga terbentuk fase gel dari dry bilayer. Fase gel dari membran bilayer ini dapat merubah permeabilitas membran akibat terjadinya
pemisahan komponen membran dan kebocoran sel. Kemampuan mengikat air water binding capacity dari disakarida lebih besar dibandingkan protein susu,
sehingga dapat mencegah kerusakan sel akibat perubahan membran menjadi fase gel. Selain itu medium pelindung berupa disakarida akan menggantikan posisi air
dalam membran setelah pengeringan dan mencegah kerusakan protein akibat putusnya ikatan hidrogen Lesli et al. 1995
4.3.2 Sintas Cronobacter sp. YRc3a dalam Susu Skim Saat Rekonstitusi
Sebelum dan Sesudah Pengeringan Semprot
Penurunan logaritma Cronobacter sp.YRc3a dalam susu skim yang belum mengalami proses pengeringan semprot saat direkonstitusi menggunakan suhu 50
°C lebih tinggi rata-rata 0,64 log CFUml dibandingkan Cronobacter sp. YRc3a dalam susu skim yang telah mengalami proses pengeringan semprot rata-rata 0,35
log CFUml. Sintas Cronobacter sp. saat direkonstitusi, yaitu saat sebelum dan sesudah mengalami pengeringan semprot dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Sintas Cronobacter sp. YRc3a selama rekonstitusi di dalam susu skim sebelum dan setelah pengeringan semprot
0.64
0.35
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
1 2
3
L o
g Reduk
si 1
cf um
l
Kondisi Isolat
Pada penelitian ini jumlah awal Cronobacter sp. dalam susu skim yang direkonstitusi sebelum dan sesudah pengeringan semprot berbeda. Jumlah awal
Cronobacter sp. dalam susu skim yang direkonstitusi sebelum pengeringan semprot berkisar 10
8
CFUml, sedangkan setelah pengeringan berkisar 10
4
CFUml. Perbedaan jumlah sel yang diinokulasikan ini mungkin berpengaruh terhadap kemampuan protein dari susu skim melindungi sel dan jumlah sel yang
terpapar suhu rekonstitusi 50 °C. Hasil uji lanjut berganda Duncan DMRT menunjukkan bahwa penurunan logaritma Cronobacter sp. sebelum dan sesudah
pengeringan semprot saat rekonstitusi be rbeda nyata α0,05. Perhitungan
statistik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Data lengkap hasil perhitungan log reduksi saat rekonstitusi sebelum dan sesudah pengeringan
semprot dapat dilihat pada Lampiran 4. Susu skim bubuk hasil pengeringan semprot pada penelitian ini memiliki
rata-rata kadar air awal 3,26 dengan aktivitas air a
w
0,32. Secara umum ketahanan bakteri terhadap panas akan meningkat dengan menurunnya aktivitas
air a
w
, sel E. sakazakii memiliki ketahanan panas paling tinggi pada kondisi pH netral dan a
w
rendah. Log reduksi yang lebih kecil ketahanan terhadap suhu 50 °C meningkat setelah isolat mengalami proses pengeringan semprot dapat terjadi
karena sel E. sakazakii yang telah terpapar proses panas dan mengalami kerusakan subletal sublethal injury akan menginduksi terjadinya mekanisme perlindungan
terhadap panas dalam sel. Salah satu cara untuk menstabilkan kondisi membran phospolipid, sel akan mengakumulasi komponen gula non reduksi trehalosa yang
berpengaruh pada peningkatan ketahanan panas sel Cronobacter spp. Arroyo et al. 2009.
Hasil penelitian Chang et al. 2009 menunjukkan bahwa perlakuan heat shock pada suhu 47 °C selama 15 menit dapat meningkatkan ketahanan panas E.
sakazakii selama proses pengeringan semprot. Menurut Shebuskhi et al. 2000 secara umum organisme akan mensintetis berbagai jenis stres protein saat terpapar
kondisi stres sehingga dapat melindungi selnya. Salah satu yang dilakukan oleh sel adalah dengan memproduksi heat shock protein Hsps untuk mencegah
kerusakan sel akibat denaturasi protein, sehingga sel menjadi lebih tahan terhadap perlakuan panas atau peningkatan suhu Arroyo et al. 2009; Wong et al. 2010.
4.4 Sintas Cronobacter sp. YRc3a dalam Susu Skim selama Penyimpanan