commit to user
xxx
masing-masing aset menciptakan nilai dalam berbagai cara yang berbeda. Dalam rangka mengelola brand equity secara efektif dan untuk membuat
keputusan informasi tentang kegiatan pembentukan merek, penting untuk peka terhadap cara-cara di mana merek yang kuat akan menciptakan
value. Ketiga, ekuitas merek menciptakan value bagi pelanggan maupun perusahaan. Pelanggan yang dimaksud adalah end user maupun rang-
orang di tingkat infrastruktur. Keempat, untuk assets atau liabilities yang mendasari brand equity, mereka harus terkait dengan nama yang sama
atau simbol dari merek. jika nama merek atau simbol berubah, beberapa atau semua assets atau liabilities dapat terpengaruh dan bahkan hilang,
walaupun beberapa mungkin bergeser ke nama baru atau simbol. Maka, suatu produk dikatakan memiliki brand equity apabila
merek dari produk tersebut memberikan added value, sedangkan apabila suatu merek tidak memberikan added value atau bahkan mengurangi
nilai produk berarti produk itu tidak memiliki brand equity. Salah satu karakteristik merek yang memiliki brand equity yang tinggi adalah
adanya konsumen yang loyal terhadap merek tersebut.
2. Dimensi Brand Equity
Brand equity merupakan sebuah konsep multidimensi dan fenomena yang kompleks. Keller 2002 membagi brand equity menjadi
dua komponen: awareness dan association. Sedangkan Aaker 2008 mengelompokkan brand equity ke dalam lima komponen: perceived
quality, brand loyalty, brand awareness, brand association, dan other
commit to user
xxxi
proprietary brand assets seperti hak paten, trademarks, dan channel relationships. Di antara lima dimensi brand equity, empat pertama
merupakan evaluasi pelanggan dan reaksi terhadap merek yang dapat dengan mudah dipahami oleh konsumen. Singkatnya, brand equity yang
kuat berarti bahwa pelanggan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap brand-name, mempertahankan citra merek yang menguntungkan,
menganggap bahwa merek tersebut adalah kualitas tinggi, dan loyal terhadap merek tersebut.
a. Brand awareness Brand awareness merupakan komponen penting dalam
brand equity. Hal ini mengacu pada kemampuan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat merek sebagai anggota dari suatu
kategori produk tertentu Aaker, 2008. Menurut Keller 1993 brand awareness terdiri dari dua sub-dimensi: brand recall dan
recognition. Brand recognition merupakan langkah dasar dalam mengkomunikasikan tugas merek, di mana perusahaan
mengkomunikasikan atribut produk hingga brand-name terbentuk untuk diasosiasikan.
Keller 1993 menyebutkan bahwa brand recognition berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi
paparan sebelum merek ketika diberi merek sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recognition merupakan isyarat bahwa
konsumen dapat membedakan merek yang telah mereka dengar dan
commit to user
xxxii
lihat. Sedangkan brand recall berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengingat merek ketika diberi kategori produk,
kebutuhan dipenuhi oleh kategori, atau beberapa jenis penyelidikan lain sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recall mensyaratkan
bahwa konsumen dapat membangkitkan merek dari ingatan mereka. Aaker 1991 dalam Widjaja et al., 2007 menggambarkan
tingkatan brand awareness dalam suatu piramida yang disebut The Awareness Pyramid Piramida Kesadaran Merek.
Gambar II.1 The Awareness Pyramid
Sumber: Widjaja et al., 2007
Piramida ini menggambarkan tingkatan awal sejak konsumen belum menyadari keberadaan suatu merek hingga merek tersebut menjadi
top of mind dibenak mereka. b. Brand association
Pengelolaan brand equity menekankan bahwa sebagian besar brand equity didukung oleh asosiasi yang dibuat konsumen terhadap
commit to user
xxxiii
merek. Asosiasi di sini kemungkinan berkaitan dengan atribut produk, seorang juru bicara selebriti, atau simbol tertentu Aaker,
2008. Secara garis besar, brand association merupakan segala sesuatu terkait dalam memori konsumen terhadap merek Aaker,
1991 dalam Tong dan Hawley, 2009. Brand association dapat dilihat di segala bentuk dan mencerminkan fitur dari produk atau aspek
independen dari produk itu sendiri. Brand association juga menciptakan nilai bagi perusahaan dan pelanggan dengan membantu
proses mengambil informasi, membedakan merek, membuat sikap yang positif atau perasaan, memberikan alasan untuk membeli, dan
menyediakan dasar untuk ekstensi Aaker, 2008. Terdapat beberapa jenis brand association yang membentuk
brand equity, seperti atribut yang terkait dengan produk atau atribut yang tidak terkait dengan produk, manfaat fungsional, pengalaman,
atau simbolis, dan sikap merek secara keseluruhan. Asosiasi-asosiasi ini dapat bervariasi menurut keuntungan favorability, kekuatan
strength, dan keunikan uniqueness Keller, 1993. Favorability of brand associations. Terdapat perbedaan
asosiasi, tergantung dari seberapa menguntungkan mereka dievaluasi. Keberhasilan program pemasaran tercermin dalam penciptaan
asosiasi merek yang menguntungkan, yaitu konsumen percaya bahwa merek memiliki atribut dan manfaat yang memuaskan kebutuhan dan
commit to user
xxxiv
keinginan mereka sehingga sikap positif akan merek secara keseluruhan terbentuk.
Strength of brand associations. Asosiasi juga dapat ditandai olek kekuatan sambungan ke brand node. Kekuatan asosiasi
tergantung tentang bagaimana informasi yang masuk memori konsumen encoding dan bagaimana hal itu dipertahankan sebagai
bagian dari brand image penyimpanan. Kekuatan adalah fungsi dari kedua jumlah atau kuantitas pengolahan informasi yang diterima di
encoding dan sifat atau kualitas pengolahan informasi yang diterima di encoding.
Uniqueness of brand associations. Brand association mungkin akan dibagi kepada merek pesaing atau mungkin saja tidak.
Inti dari brand positioning adalah bahwa merek memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan atau unique selling proposition yang
memberikan konsumen alasan menarik untuk membeli suatu merek tertentu. Keunikan dari brand association ini berkaitan dengan brand
distinctiveness. Brand distinctiveness merupakan seni yang unik dan diinginkan oleh pelanggan Wong dan Marrilees, 2008. Perusahaan
berusaha untuk membuat beberapa bentuk brand distinctiveness untuk menghindari produk mereka yang dipandang sebagai
komoditas McQuiston, 2004 dalam Wong dan Marrilees, 2008. Brand distinctiveness juga memberikan keunggulan kompetitif bagi
commit to user
xxxv
perusahaan. Aaker 2008 menyebutkan bahwa konsumen tidak akan memiliki dasar untuk memilih merek tertentu jika merek dianggap
tidak berbeda dengan yang lain. c.
Perceived quality Perceived quality bukanlah kualitas produk yang sebenarnya
namun persepsi pelanggan tentang keseluruhan kualitas atau keunggulan produk atau jasa dengan tujuan yang dimaksudkan, relatif
terhadap alternatif Zeithaml, 1988. Aaker 2008 menyebutkan bahwa perceived quality memberikan nilai ke dalam merek dalam beberapa
cara: kualitas tinggi memberikan alasan yang baik kepada konsumen untuk membeli merek dan memungkinkan merek untuk membedakan
dirinya dari pesaing, untuk menetapkan harga premium, dan memiliki dasar yang kuat untuk perluasan merek. Senada dengan Aaker,
Zeithaml 1988 mengidentifikasikan perceived quality sebagai komponen brand value, sehingga perceived quality yang tinggi akan
mendorong konsumen untuk memilih merek daripada merek pesaing lainnya. Aaker 2008 mengukur perceived quality dengan skala
sebagai berikut: 1. Kualitas unggul vs. kualitas rendah
2. Terbaik dalam kategori vs. terburuk dalam kategori 3. Kualitas yang konsisten vs. kualitas yang tidak konsisten
4. Kualitas terbauk vs.kualitas rata-rata vs. kualitas inferior d. Brand loyalty
commit to user
xxxvi
Aaker 2008 menganggap brand loyalty sebagai inti dari brand equity. Dari sudut pandang keperilakuan, brand loyalty didefinisikan
sebagai tingkatan dalam sebuah unit pembelian, seperti rumah tangga, konsentrat pembelian dari waktu ke waktu pada merek tertentu dalam
suatu kategori produk Schoell dan Guiltinan, 1990 dalam Tong dan Hawley 2009. Sedangkan dari sudut pandang sikap, Oliver dalam Yoo
et al., 2000 mendifinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan pada suatu
produk atau layanan jasa yang disukai di masa mendatang, meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan
perubahan perilaku. Brand loyalty dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli
merek itu dibandingkan dengan merek lainnya. Brand loyalty menambahkan nilai yang cukup besar pada merek danatau perusahaan
karena menyediakan satu set habitual buyers untuk jangka waktu yang lama Aaker, 2008. Aaker dalam Widjaja et al., 2007 menggambarkan
tingkatan brand loyalty dalam suatu piramida yang disebut The Loyalty Pyramid.
commit to user
xxxvii
Gambar II.2 The Loyalty Pyramid
Sumber: Widjaja et al., 2007
Berikut penjelasan mengenai tingkatan loyalitas terhadap suatu merek: 1. Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang
sama sekali tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi mereka merek apapun dianggap memadai sehingga merek
memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian. 2. Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk
atau setidaknya tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa disebut sebagai pembeli kebiasaan habitual buyer.
3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan switching cost serta biaya berupa
waktu, uang atau resiko kinerja berkenaan dengan tindakan beralih merek, kelompok ini bisa disebut pelanggan yang
loyal terhadap biaya peralihan.
commit to user
xxxviii
4. Tingkat keempat adalah mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut, preferensinya mungkin dilandasi
oleh suatu asosiasi seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang tinggi.
5. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia, mereka mempunyai kebanggaan menjadi pengguna suatu merek,
merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka.
3. Manfaat Brand Equity