PENGARUH CITRA COUNTRY OF ORIGIN TERHADAP REPURCHASE INTENTION YANG DIMEDIASI OLEH BRAND EQUITY

(1)

commit to user

i

PENGARUH CITRA COUNTRY OF ORIGIN TERHADAP REPURCHASE

INTENTION YANG DIMEDIASI OLEH BRAND EQUITY

(studi kasus pada pengguna produk elektronik buatan Jepang di kota Solo)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Yusuf Setya Permadi F0207124

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF COUNTRY OF ORIGIN IMAGE TO REPURCHASE INTENTION WITH BRAND EQUITY AS MEDIATING VARIABLE

(study of Japanese electronic products users in Solo) YUSUF SETYA PERMADI

F0207124

The purpose of this research is to know how brand’s country of origin image affects repurchase intention which is meditated by brand equity. Researcher observes the competition in globalization era demands the company to expand strategies to compete especially in marketing sector. Reseacher thinks that making an unbreakable brand will persuade the consumers and develop the understanding of the way consumers make the decision to repurchase products of a company.

This research has survey method by using questionnaire as an instrument for gathering primary data. Population target in this research is Brand Oriented Solonese Users of electronic products (television, refrigerator, and air conditioner) made in Japan. The sample of this research is 150 respondents. Sampling technique of this research is nonprobability sampling that is convenience sampling.

The result using Structural Equation Model (SEM) which examines hypothesis in this research concludes that brand equity affects repurchase intention and brand’s country of origin image affects brand equity, whereas for contribution of meditation, brand equity meditates totally the influence of brand’s country of origin image toward repurchase intention.

Practical implication of this research is that the company is demanded to obviously formulate brand identity through brand’s country of origin image in detail. Proper brand identity is going to be crucial since it affects brand awareness of a product creating brand equity. Unbreakable brand equity then will persuade consumers to do repurchase (repurchase intention).

Keyword: country of origin, repurchase intention, brand equity, brand loyalty, brand awareness, brand distinctiveness, brand association, electronic product, Solo.


(3)

commit to user


(4)

(5)

commit to user

v

HALAMAN MOTTO

Tidak ada suatu cara apapun yang dapat kau tempuh untuk menjadi yang

terbaik, namum akan selalu ada cara untuk menjadi lebih baik. Maka

teruslah berusaha dan berdoa.


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

 

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Allah SWT atas segala rahmat,rizki, nikmat, serta hidayatNya

Ibu dan Bapak atas curahan, doa serta kasih sayangnya

Sahabat-sahabatku atas semangat dan dukunganya

Ibu Rini atas bimbingan dan kesabarannya

Teman-teman Manajemen Regular 2007

Almamaterku tercinta


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan

skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Citra Country of Origin Terhadap Rwpurchase Intention yang Dimediasi oleh Brand Equity” (studi kasus pada pengguna produk elektronik buatan Jepang di kota Solo).

Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi

Jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu

baik secara langsung maupun secara tidak langsung hingga selesainya skripsi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Wisnu Untoro, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas

Maret.

2. Dra. Endang Suhari, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas

Ekonomi Universitas Sebelas Maret.

3. Siti Khoiriyah, SE, M.Si., selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan arahan sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Kedua orang tuaku, adik-adik, kakak serta keluarga besarku terima kasih

atas doa, dukungan, serta semangat hingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan studi dengan baik.

5. Sahabat-sahabat senasib dan sependeritaan di kampus (Daniel, Roni Bulu,


(8)

Fani, Mahendra, dll) atas semangat dan dukungannya.

6. Teman-teman satu bimbinganku Rahmaningrum Putri, Mahendra Dwi Putra dan Sunu Adhi Nugraha, terima kasih atas bantuan, kerjasama dan

informasinya hingga penelitian ini dapat terselesaikan.

7. Rekan-rekan yang tidak disebutkan satu per satu, terima kasih atas

dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi

ini. Oleh karena itu, segala masukan, kritik, dan saran yang membangun akan

menjadikan skripsi ini lebih berarti.

Surakarta, 23 juni 2011

Yusuf Setya Permadi


(9)

commit to user

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah ... 1

B Rumusan Masalah ... 6

C Tujuan Penelitian ... 8

D Manfaat Penelitian ... 9

E Batasan Penelitian ... 10

BAB II. TELAAH PUSTAKA DAN HIPOTESIS A Country of Origin ... 11

1. Definisi Country of Origin ... 11

2. Efek Country of Origin ... 12


(10)

1. Definisi Brand Equity ... 13

2. Dimensi Brand Equity ... 16

3. Manfaat Brand Equity ... 24

C Repurchase Intention ... 25

1. Definisi Repurchase Intention ... 25

D Penelitian Terdahulu ... 26

E Pengembangan Hipotesis ... 29

F Model Penelitian ... 34

BAB III. METODE PENELITIAN A Desain Penelitian ... 36

B Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampling ... 36

1. Populasi ... 36

2. Sampel ... 37

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 37

4. Teknik Pengumpulan Data ... 38

5. Sumber Data ... 38

C Definisi Operasional dan skala pengukuran ... 38

D Pengujian Instrumen Penelitian ... 46

1. Uji Validitas ... 46

2. Uji Reliabilitas ... 52

3. Uji Asumsi Model ... 53


(11)

commit to user

xi

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A Analisis Deskriptif ... 56

B Uji Validitas ... 59

C Uji Reliabilitas ... 61

D Uji Asumsi Model ... 62

1. Uji Normalitas Data ... 62

2. Evaluasi Outliers ... 64

3. Analisis Kesesuaian Model (Goodness-of-Fit) ... 65

E Analisis Mediasi, Uji Hipotesis dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 66

1. Analisis Mediasi ... 66

2. Uji Hipotesis ... 71

3. Pembahasan ... 71

4. Alternatif Model ... 78

BAB V. PENUTUP A Kesimpulan ... 80

B Keterbatasan Penelitian ... 81

C Saran ... 81

1. Saran untuk Studi Lanjutan ... 81

2. Saran Praktis ... 82

D Implikasi Manajerial ... 83

1. Implikasi Praktis ... 83


(12)

DAFTAR PUSTAKA


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

II.1 Manfaat Brand Equity ... 24

III.1 KMO and Bartlett's Test ... 46

III.2 Hasil Pretest Uji Validitas I ... 48

III.3 Hasil Pretest Uji Validitas II ... 49

III.4 Hasil Pretest Uji Validitas III ... 51

III.5 Hasil pretest Uji Reliabilitas ... 52

III.6 Goodness-of-fit Indices ... 55

IV.1 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

IV.2 Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ... 57

IV.3 Deskripsi Responden Berdasarkan Penghasilan Keluarga ... 57

IV.4 Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 58

IV.5 Deskripsi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 58

IV.6 Deskripsi Responden Berdasarkan Status Pernikahan ... 58

IV.7 Deskripsi Responden Berdasarkan Produk yang Digunakan ... 59

IV.8 KMO and Bartlett's Test ... 60

IV.9 Hasil Uji Validitas ... 61

IV.10 Hasil Uji Reliabilitas ... 62

IV.11 Hasil Uji Normalitas ... 63

IV.12 Jarak Mahalanobis Data Penelitian ... 64


(14)

IV.14 Structural Equation Analyses ... 68 IV.15 Regression Weight ... 71


(15)

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

II.1 The Awareness Pyramid ... 18

II.2 The Loyalty Pyramid ... 22

II.3 Model Penelitian ... 34

IV.1 Partially Mediated Model ... 67

IV.2 Fully Mediated Model ... 69


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Membangun merek yang kuat telah menjadi prioritas pemasaran berbagai

organisasi atau perusahaan karena memberikan berbagai keuntungan (Yasin et al., 2007). Keuntungan dari merek yang kuat antara lain: (1) memberikan value sehingga nilai total produk menjadi lebih tinggi, (2) meningkatkan kemungkinan

pemilihan merek oleh konsumen, (3) kesediaan konsumen untuk membayar harga

premium, (4) meningkatkan peluang lisensi merek dan efektivitas komunikasi

pemasaran, (5) menurunkan kerentanan merek terhadap persaingan yang

kompetitif dan respon elastis terhadap kenaikan harga (Aaker, 2008; Simon dan

Sullivan, 1993; Keller, 1993; Yoo et al., 2000).

Dalam mengukur keseluruhan nilai dari suatu merek, peneliti pemasaran

dan praktisi menggunakan konsep yang disebut “brand equity” (Aaker, 2008 dan Keller 1993). Kemampuan ekuitas merek (brand equity) untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan perusahaan telah menarik perhatian peneliti pemasaran dan

praktisi sejak tahun 1980-an (Tong dan Hawley., 2009). Ekuitas merek dianggap

sebagai indikator kunci dari kondisi kesehatan merek, dan pengamatan diyakini

menjadi langkah penting dalam pengelolaan merek yang efektif (Aaker, 2008). Ekuitas merek (brand equity) merupakan seperangkat aset (dan kewajiban) yang berkaitan dengan nama merek dan simbol yang menambah (atau mengurangi) dari


(17)

commit to user

xvii

perusahaan (Aaker, 2008). Aaker dalam Pappu et al. (2005) menyatakan bahwa ekiutas merek (brand equity) dapat diukur melalui empat dimensi, yaitu: kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), kesan kualitas (perceived quality), dan loyalitas merek (brand loyalty). Sedangkan Yasin et al (2007) menyebutkan tiga dimensi yang mengukur brand equity sebagai berikut: kekhasan merek (brand distinctiveness), loyalitas merek (brand loyalty), dan kesadaran/asosiasi merek (brand awareness/association). Ketiga dimensi dari brand equity dari Yasin et al (2007) ini yang akan penjadi konstruk dalam penelitian ini.

Merek yang merasuk dalam benak konsumen memiliki pengalaman

primordial dan motivasi untuk membentuk suatu afinitas emosional dan

menimbulkan hubungan yang mengakar dengan konsumen (Batey, 2008 : 36),

tetapi merek juga dapat memberikan asosiasi tertentu dalam benak konsumennya.

Pada dasarnya merek merupakan janji penjual kepada konsumen untuk secara

konsisten memberikan perangkat atribut, manfaat dan pelayanan. Merek yang

dibangun dengan menciptakan struktur mental yang berhubungan dengan

perusahaan pada ingatan konsumen akan membantu konsumen mengorganisasikan

pengetahuannya. Pengetahuan tersebut kemudian akan membantu konsumen

dalam melakukan keputusan pembelian ulang (repurchase intention) pada suatu produk perusahaan.

Country of origin juga merupakan variabel penting yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap merek dan citra merek (Hulland, 1999 dan Ahmed et al., 2002 dalam Pappu et al., 2005). Country of origin didefinisikan sebagai negara


(18)

asal sebagai negara tempat perusahaan kantor pusat perusahaan pemasaran produk

atau merek berada (Johansson et al., 1985 dan Ozsomer dan Cavusgil,1991 dalam Al-Sulaiti dan Baker, 1998). Beberapa studi terdahulu memandang citra country of origin sebagai persepsi umum konsumen mengenai kualitas produk yang dibuat dalam negara tertentu (Hong dan Wyer, 1989; Chattalas et al., 2007). Banyak konsumen yang menggunakan stereotip country of origin untuk mengevaluasi produk misalnya, “produk elektronik Jepang dapat diandalkan”, “mobil buatan

Jerman sangat baik”. Beberapa konsumen juga mempercayai bahwa label “Made in…..” menunjukkan apakah suatu produk itu “superior” atau “inferior” tergantung pada persepsi dari negaranya (Yasin et al., 2007). Merek dari negara-negara yang memiliki citra yang baik pada umumnya akan lebih mudah diterima

daripada negara-negara yang memilki citra kurang baik. Gagasan bahwa informasi

mengenai negara asal digunakan sebagai indikator atas kualitas produk dari suatu

negara sangat didukung oleh beberapa penelitian terdahulu (Hong dan Wyer,

1989; Bluemelhuber et al., 2007; Lampert dan Jaffe, 2007; Chowdhury dan Ahmed, 2009; Al-Sulaiti dan Baker, 1998; Keller 1993).

Dampak dari negara asal terhadap persepsi konsumen atau evaluasi produk

disebut “country of origin effect” (Samiee, 1994). Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa country of origin effect kemungkinan memiliki dampak terhadap ekuitas dari beberapa merek. Sebagai contoh, Aaker (2008) dan Keller

(1993), keduanya berpendapat bahwa country of origin dapat mempengaruhi brand equity dengan menghasilkan asosiasi sekunder terhadap merek. Sebuah premis dasar dari country of origin effect menyebutkan bahwa evaluasi konsumen


(19)

commit to user

xix

terhadap country of origin akan mempengaruhi evaluasi-evaluasi selanjutnya mengenai produk tersebut serta mempengaruhi perilaku untuk membeli (purchase) atau pembelian ulang (repurchase) terhadap produk tersebut (Ouellet, 2007 dalam Josiassen dan Assaf, 2009). Karena country of origin dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam evaluasi konsumen terhadap suatu merek produk,

tujuan dari studi ini adalah untuk mengeksplorasi efek dari citra brand’scountry of origin terhadap niat pembelian ulang (repurchase intention) yang dimediasi oleh ekuitas merek (brand equity).

Kehidupan masyarakat Indonesia dalam kesehariannya tidak dapat terlepas

dari barang-barang elektronik. Masyarakat menganggap barang-barang elektronik

tersebut sangat membantu dalam aktifitas keseharian mereka. Di Indonesia sendiri

telah beredar berbagai produk elektronik yang berasal dari luar negeri.

Kebanyakan produk-produk elektronik yang beredar di Indonesia berasal dari

Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang. Objek yang dipilih dalam penelitian ini adalah

produk-produk elektronik buatan Jepang. Kekuatan merek produk-produk buatan

Jepang yang ditandai dengan kuatnya posisi mereka di benak masyarakat (top of mind) menendakan besarnya kesadaran merek (brand awareness) masyarakat terhadap produk-produk elektronik buatan Jepang. Brand association atau asosiasi terhaadap merek juga merupakan salah satu faktor dalam pembentukan citra merek

di mata konsumen. Asosiasi merek akan menciptakan nilai pada produk-produk

elektronik buatan Jepang, hal ini dikarenakan asosiasi merek dapat membantu penyusunan informasi untuk membedakan suatu merek terhadap merek yang lain.


(20)

akan mendorong konsumen berniat untuk melakukan pembelian ulang (repurchase intention).

Jenis produk elektronik yang dipilih adalah kategory peralatan rumah

tangga seperti: televisi, lemari es, dan AC. Alasan memilih peralatan rumah tangga

adalah kebanyakan alat rumah tangga adalah elektrik yang pada umumnya mahal,

memiliki durabilitas yang tinggi dan terdapat beberapa resiko yang berkaitan

dengan barang-barang tersebut (Yasin et al., 2007). Maka, akan masuk akal bila konsumen membutuhkan beberapa pengetahuan mengenai merek dan

mengembangkan beberapa kriteria tertentu sebelum mengambil keputusan

pembelian. Selain itu, konsumen yang sudah familiar dengan kategori produk dan

merek yang mereka gunakan akan relevan dengan subjek penelitian yang

menghasilkan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi (Yasin et al., 2007). Relevansi antara kategori produk dan merek yang dipilih memungkinkan reponden

untuk memberikan jawaban yang valid dan reliable atas kuisioner.

Lokasi yang menjadi setting penelitian ini adalah kota Solo, Jawa Tengah. Sebagai salah satu kota besar di Jawa Tengah, kota Solo memilki jumlah

penduduk yang cukup tinggi yaitu kurang lebih 500.642 jiwa

(www.mediaindonesia.com; Sabtu, 28 Agustus 2010, 19:15 WIB). Hal ini

menunjukkan bahwa kota Solo merupakan pasar yang potensial untuk berbagai

produk elektronik. Sebagai bukti, di kota Solo terdapat beberapa toko atau gerai

elektronik yang bisa dikatakan cukup besar, antara lain Semeru Elektronik, Berkat Elektronik, Mulia Elektronik, Columbia Elektronik, dan Mega Store Elektronik.


(21)

commit to user

xxi

peralatan rumah tangga seperti televisi, AC, mesin cuci, dsb. Sebagai contoh, pada

kuartal III tahun 2010 produk televisi layar datar (LCD) mendominasi total transaksi di toko Semeru Elektronik dengan persentase rata-rata 40% dan diikuti

penjualan pendingin ruangan (AC) sebesar 30% sedangkan di toko Berkat

Elektronik penjualan mesin cuci yang menguasai 30% total penjualan elektronik

sepanjang tahun dan diikuti penjualan LCD TV sebesar 20% (solopos.com;.13

Oktober 2010).

Berdasarkan pejelasan tersebut di atas, peneliti ingin memberikan model

prediksian yang tepat untuk dapat menjelaskan fenomena pada setting yang diamati. Terkait dengan hubungan antar variable yang diamati maka memunculkan

masalah penelitian sebagai berikut.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang pertama adalah bagaimana pengaruh brand equity terhadap repurchase intention.

1.1. Apakah brand destinctiveness berpengaruh terhadap repurchase intention?

1.2. Apakah brand loyalty berpengaruh terhadap repurchase intention? 1.3. Apakah brand awareness/association berpengaruh terhadap repurchase

intention?

Rumusan masalah yang kedua adalah bagaimana pengaruh dari citra country of origin terhadap brand equity.


(22)

2.1. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap brand distinctiveness?

2.1. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap brand loyalty?

2.3. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap brand awareness/association?

Rumusan masalah yang ketiga adalah bagaimana pengaruh dari country of origin terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand equity.

3.1. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand distinctiveness?

3.2. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand loyalty?

3.3. Apakah citra brand’s country of origin berpengaruh terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand awareness/association?


(23)

commit to user

xxiii

Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang

ingin dicapai, yaitu untuk menganalisis dan mengetahui :

1.1. Pengaruh brand destinctiveness terhadap repurchase intention 1.2. Pengaruh brand loyalty terhadap repurchase intention

1.3. Pengaruh brand awareness/association terhadap repurchase intention 2.1. Pengaruh citra brand’s country of origin terhadap brand

distinctiveness?

2.1. Pengaruh citra brand’s country of origin terhadap brand loyalty

2.3. Pengaruh citra brand’s country of origin terhadap brand awareness/association?

3.1. Pengaruh citra brand’s country of origin terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand distinctiveness?

3.2. pengaruh citra brand’s country of origin terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand loyalty?

3.3. Pengaruh citra brand’s country of origin terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand awareness/association?


(24)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Praktisi

Penelitian ini dapat memberikan penjelasan yang lebih jelas

mengenai bagaimana citra country of origin dapat mempengaruhi repurchase intention dan membentuk ekuitas merek (brand equity) yang kuat. Hal ini bermanfaat untuk menentukan kebijakan strategis perusahaan yang berkaitan dengan bidang pemasaran di masa yang akan datang.

2. Bagi Teoritisi

Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sarana untuk

mengaplikasikan teori yang sudah didapat, khususnya mengenai

ilmu-ilmu tentang pemasaran sehingga meningkatkan pemahaman terhadap

teori dan kenyataan yang sesungguhnya, dan diharapkan mampu

memberikan wawasan ataupun gambaran yang lebih luas mengenai

ekuitas merek (brand equity) yang timbul di benak konsumen karena citra brand’s country of origin, bagaimana citra brand’s country of origin dapat mempengaruhi repurchase intention, serta sebagai referensi untuk penelitian yang akan datang.

E. BATASAN PENELITIAN


(25)

commit to user

xxv

1. Subjek penelitian adalah pengguna produk elektronik buatan Jepang

di kota Solo.

2. Objek penelitian ini adalah produk elektronik buatan Jepang.

3. Produk elektronik yang dimaksud adalah produk peralatan rumah

tangga seperti televisi, lemari es, dan AC.

4. Lingkup penelitian ini adalah kota Solo.

Studi ini difokuskan pada pengguna produk elektronik (televisi, lemari

es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo sehingga berdampak pada

generalisasi studi yang bersifat terbatas. Keterbatasan ini mengisyaratkan

perlunya studi-studi lanjutan untuk menggeneralisasi hasil-hasil yang

diperoleh pada konteks yang berbeda dan lebih luas.

BAB II


(26)

A. Country of Origin

1. Definisi Country of Origin

Country of origin didefinisikan sebagai negara tempat perusahaan kantor pusat perusahaan pemasaran produk atau merek berada

(Johansson et al., 1985 dan Ozsomer and Cavusgil 1991 dalam Al-Sulaiti dan Baker 1998). Nagasima (1970) dalam Yasin et al., (2007) mendefinisikan Country of origin sebagai citra, reputasi, stereotip yang dilampirkan pengusaha dan konsumen untuk produk dari negara tertentu,

citra ini dibentuk oleh variabel seperti perwakilan produk, karakteristik

nasional, latar belakang politik dan ekonomi, sejarah, serta tradisi.

Beberapa peneliti lain memandang citra country of origin sebagai persepsi umum konsumen mengenai kualitas produk yang dibuat dalam

negara tertentu (Hong dan Wyer, 1989; Chattalas et al., 2007) sementara yang lain memandang sebagai definisi mengenai keyakinan tentang

industrialisasi suatu negara dan kualitas nasional standar (Srikatanyoo

dan Gnoth, 2002). Citra secara garis besar dapat dikategorikan menjadi

dua macam, yaitu citra yang menguntungkan (favorable) maupun citra yang tidak menguntungkan (unfavorable). Oleh karena itu, dapat dibuat dikotomi tentang citra country of origin yang favorable tentunya akan mengangkat citra kualitas produk dan citra country of origin yang unfavorable akan menurunkan citra kualitas produk.


(27)

commit to user

xxvii

Konsumen mengevaluasi sebuah produk tidak hanya melalui

penampilan dan karakteristik-karakteristik saja, tetapi juga negara asal di mana produk itu dibuat. Nagashima (1970) dalam Al-Sulaiti dan Baker

(1998) juga menyebutkan bahwa citra “made in” sangat dipengaruhi oleh keakraban dan ketersediaan produk dari negara yang bersangkutan.

Gagasan bahwa informasi mengenai negara asal digunakan sebagai

indikator atas kualitas produk dari suatu negara sangat didukung oleh

beberapa penelitian terdahulu (Hong dan Wyer, 1989; Bluemelhuber et al., 2007; Lampert dan Jaffe, 2007; Chowdhury dan Ahmed, 2009; Al-Sulaiti dan Baker, 1998; Keller 1993).

Ketika seorang konsumen mengidentifikasi sebuah produk

dengan negara, muncul peluang dimana evaluasi secara keseluruhan

mengenai negara akan mempengaruhi evaluasi produk (Chowdhury dan

Ahmed, 2009). Beberapa konsumen juga mempercayai bahwa label

Made in…..” menunjukkan apakah suatu produk itu “superior” atau “inferior” tergantung pada persepsi dari negaranya (Yasin et al., 2007). Dampak dari negara asal terhadap persepsi konsumen atau evaluasi

produk disebut “country of origin effect” (Samiee, 1994).

Menurut Hong dan Wyer (1989), ketika konsumen diperkenalkan

dengan isyarat mengenai country of origin bersama-sama dengan isyarat lainnya, seperti harga dan merek, efek dari country of origin dalam proses kognitif mereka dapat diamati dengan dua cara: yaitu (1) the halo effect dan (2) the summary construct. Ketika konsumen tidak familiar


(28)

dengan produk suatu negara, citra negara bertindak sebagai "halo" yang secara langsung mempengaruhi keyakinan konsumen tentang produk-produk dan secara tidak langsung mempengaruhi keseluruhan evaluasi

dari mereka melalui keyakinan. Artinya, menyebutkan suatu negara

tertentu memicu perasaan positif atau negatif dalam benak konsumen.

Sebaliknya, ketika konsumen sudah familiar dengan produk-produk dari

suatu negara, summary construct model beroperasi di mana konsumen menyimpulkan citra suatu negara dari informasi produk, yang kemudian

secara tidak langsung mempengaruhi sikap merek (Han dan Terpstra,

1987). Citra negara kemudian berfungsi sebagai saluran tidak langsung

dalam mempengaruhi atribut produk dan sikap merek.

B. Brand Equity

1. Definisi Brand Equity

Aaker (2008) menyatakan bahwa merek memberikan value, sehingga nilai total dai produk “bermerek” baik akan menjadi lebih tinggi

dibanding produk yang hanya dinilai secara objektif (tanpa merek).

Aaker menyebut nilai tersebut sebagai brand equity. Cobb-Walgren et al., (1995) juga menyatakan sulit untuk mengelola "added value" tanpa mengetahui nilai yang sebenarnya ditambahkan nama merek ke dalam

produk, oleh karena itu dikembangkan suatu konsep yang disebut brand equity. Aaker dalam Kotler (2002:189) membedakan lima tingkat sikap pelanggan terhadap merek, yaitu:


(29)

commit to user

xxix

1. Konsumen akan berganti merek, khususnya karena alasan

harga. Tidak ada loyalitas.

2. Konsumen puas. Tidak ada alasan untuk berganti merek.

3. Konsumen puas dan mau mengeluarkan biaya dengan

berganti merek.

4. konsumen menghargai merek dan menganggapnya sebagai

teman

5. Konsumen setia pada merek.

Brand equity sangat berkaitan dengan berapa banyak pelanggan di kelas 3, 4, atau 5.

Yoo et al., (2000) mendefinisikan brand equity sebagai perbedaan pada pilihan konsumen antara fokus produk bermerek dan

produk tidak bermerek mengingat produk memiliki tingkat fitur yang

sama. Ekuitas merek (brand equity) merupakan seperangkat aset (dan kewajiban) yang berkaitan dengan nama merek dan simbol yang

menambah (atau mengurangi) dari nilai yang diberikan oleh produk atau

jasa kepada perusahaan dan / atau pelanggan perusahaan (Aaker, 2008).

Secara garis besar aset disini dikategorikan sebagai : brand name awareness, brand loyalty, perceived quality, dan brand association.

Aaker (2008) menjelaskan secara panjang lebar mengenai

beberapa deifini aspek dari brand equity. Pertama, brand equity merupakan serangkaian aset. Manajemen ekuitas merek melibatkan


(30)

masing-masing aset menciptakan nilai dalam berbagai cara yang berbeda.

Dalam rangka mengelola brand equity secara efektif dan untuk membuat keputusan informasi tentang kegiatan pembentukan merek, penting untuk

peka terhadap cara-cara di mana merek yang kuat akan menciptakan

value. Ketiga, ekuitas merek menciptakan value bagi pelanggan maupun perusahaan. Pelanggan yang dimaksud adalah end user maupun rang-orang di tingkat infrastruktur. Keempat, untuk assets atau liabilities yang mendasari brand equity, mereka harus terkait dengan nama yang sama atau simbol dari merek. jika nama merek atau simbol berubah, beberapa

atau semua assets atau liabilities dapat terpengaruh dan bahkan hilang, walaupun beberapa mungkin bergeser ke nama baru atau simbol.

Maka, suatu produk dikatakan memiliki brand equity apabila merek dari produk tersebut memberikan added value, sedangkan apabila suatu merek tidak memberikan added value atau bahkan mengurangi nilai produk berarti produk itu tidak memiliki brand equity. Salah satu karakteristik merek yang memiliki brand equity yang tinggi adalah adanya konsumen yang loyal terhadap merek tersebut.

2. Dimensi Brand Equity

Brand equity merupakan sebuah konsep multidimensi dan fenomena yang kompleks. Keller (2002) membagi brand equity menjadi dua komponen: awareness dan association. Sedangkan Aaker (2008) mengelompokkan brand equity ke dalam lima komponen: perceived quality, brand loyalty, brand awareness, brand association, dan other


(31)

commit to user

xxxi

proprietary brand assets seperti hak paten, trademarks, dan channel relationships. Di antara lima dimensi brand equity, empat pertama merupakan evaluasi pelanggan dan reaksi terhadap merek yang dapat

dengan mudah dipahami oleh konsumen. Singkatnya, brand equity yang kuat berarti bahwa pelanggan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap

brand-name, mempertahankan citra merek yang menguntungkan, menganggap bahwa merek tersebut adalah kualitas tinggi, dan loyal

terhadap merek tersebut.

a. Brand awareness

Brand awareness merupakan komponen penting dalam brand equity. Hal ini mengacu pada kemampuan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat merek sebagai anggota dari suatu

kategori produk tertentu (Aaker, 2008). Menurut Keller (1993)

brand awareness terdiri dari dua sub-dimensi: brand recall dan recognition. Brand recognition merupakan langkah dasar dalam mengkomunikasikan tugas merek, di mana perusahaan

mengkomunikasikan atribut produk hingga brand-name terbentuk untuk diasosiasikan.

Keller (1993) menyebutkan bahwa brand recognition berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi

paparan sebelum merek ketika diberi merek sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recognition merupakan isyarat bahwa konsumen dapat membedakan merek yang telah mereka dengar dan


(32)

lihat. Sedangkan brand recall berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengingat merek ketika diberi kategori produk, kebutuhan dipenuhi oleh kategori, atau beberapa jenis penyelidikan

lain sebagai petunjuk. Dengan kata lain, brand recall mensyaratkan bahwa konsumen dapat membangkitkan merek dari ingatan mereka.

Aaker (1991) dalam Widjaja et al., (2007) menggambarkan tingkatan brand awareness dalam suatu piramida yang disebut The Awareness Pyramid (Piramida Kesadaran Merek).

Gambar II.1

The Awareness Pyramid Sumber: Widjaja et al., 2007

Piramida ini menggambarkan tingkatan awal sejak konsumen belum

menyadari keberadaan suatu merek hingga merek tersebut menjadi

top of mind dibenak mereka. b. Brand association

Pengelolaan brand equity menekankan bahwa sebagian besar brand equity didukung oleh asosiasi yang dibuat konsumen terhadap


(33)

commit to user

xxxiii

merek. Asosiasi di sini kemungkinan berkaitan dengan atribut

produk, seorang juru bicara selebriti, atau simbol tertentu (Aaker, 2008). Secara garis besar, brand association merupakan segala sesuatu "terkait" dalam memori konsumen terhadap merek (Aaker,

1991 dalam Tong dan Hawley, 2009). Brand association dapat dilihat di segala bentuk dan mencerminkan fitur dari produk atau aspek

independen dari produk itu sendiri. Brand association juga menciptakan nilai bagi perusahaan dan pelanggan dengan membantu

proses / mengambil informasi, membedakan merek, membuat sikap

yang positif atau perasaan, memberikan alasan untuk membeli, dan

menyediakan dasar untuk ekstensi (Aaker, 2008).

Terdapat beberapa jenis brand association yang membentuk brand equity, seperti atribut yang terkait dengan produk atau atribut yang tidak terkait dengan produk, manfaat fungsional, pengalaman,

atau simbolis, dan sikap merek secara keseluruhan. Asosiasi-asosiasi

ini dapat bervariasi menurut keuntungan (favorability), kekuatan

(strength), dan keunikan (uniqueness) (Keller, 1993).

Favorability of brand associations. Terdapat perbedaan asosiasi, tergantung dari seberapa menguntungkan mereka dievaluasi.

Keberhasilan program pemasaran tercermin dalam penciptaan

asosiasi merek yang menguntungkan, yaitu konsumen percaya bahwa


(34)

keinginan mereka sehingga sikap positif akan merek secara

keseluruhan terbentuk.

Strength of brand associations. Asosiasi juga dapat ditandai olek kekuatan sambungan ke brand node. Kekuatan asosiasi tergantung tentang bagaimana informasi yang masuk memori

konsumen (encoding) dan bagaimana hal itu dipertahankan sebagai bagian dari brand image (penyimpanan). Kekuatan adalah fungsi dari kedua jumlah atau kuantitas pengolahan informasi yang diterima di

encoding dan sifat atau kualitas pengolahan informasi yang diterima di encoding.

Uniqueness of brand associations. Brand association mungkin akan dibagi kepada merek pesaing atau mungkin saja tidak.

Inti dari brand positioning adalah bahwa merek memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan atau "unique selling proposition" yang memberikan konsumen alasan menarik untuk membeli suatu merek

tertentu. Keunikan dari brand association ini berkaitan dengan brand distinctiveness. Brand distinctiveness merupakan seni yang unik dan diinginkan oleh pelanggan (Wong dan Marrilees, 2008). Perusahaan berusaha untuk membuat beberapa bentuk brand distinctiveness untuk menghindari produk mereka yang dipandang sebagai

komoditas (McQuiston, 2004 dalam Wong dan Marrilees, 2008).


(35)

commit to user

xxxv

perusahaan. Aaker (2008) menyebutkan bahwa konsumen tidak akan

memiliki dasar untuk memilih merek tertentu jika merek dianggap tidak berbeda dengan yang lain.

c. Perceived quality

Perceived quality bukanlah kualitas produk yang sebenarnya namun persepsi pelanggan tentang keseluruhan kualitas atau

keunggulan produk (atau jasa) dengan tujuan yang dimaksudkan, relatif

terhadap alternatif (Zeithaml, 1988). Aaker (2008) menyebutkan bahwa

perceived quality memberikan nilai ke dalam merek dalam beberapa cara: kualitas tinggi memberikan alasan yang baik kepada konsumen

untuk membeli merek dan memungkinkan merek untuk membedakan

dirinya dari pesaing, untuk menetapkan harga premium, dan memiliki

dasar yang kuat untuk perluasan merek. Senada dengan Aaker,

Zeithaml (1988) mengidentifikasikan perceived quality sebagai komponen brand value, sehingga perceived quality yang tinggi akan mendorong konsumen untuk memilih merek daripada merek pesaing

lainnya. Aaker (2008) mengukur perceived quality dengan skala sebagai berikut:

1. Kualitas unggul vs. kualitas rendah

2. Terbaik dalam kategori vs. terburuk dalam kategori

3. Kualitas yang konsisten vs. kualitas yang tidak konsisten 4. Kualitas terbauk vs.kualitas rata-rata vs. kualitas inferior


(36)

Aaker (2008) menganggap brand loyalty sebagai inti dari brand equity. Dari sudut pandang keperilakuan, brand loyalty didefinisikan sebagai tingkatan dalam sebuah unit pembelian, seperti rumah tangga,

konsentrat pembelian dari waktu ke waktu pada merek tertentu dalam

suatu kategori produk (Schoell dan Guiltinan, 1990 dalam Tong dan

Hawley 2009). Sedangkan dari sudut pandang sikap, Oliver (dalam Yoo

et al., 2000) mendifinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan pada suatu

produk atau layanan jasa yang disukai di masa mendatang, meskipun

pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan

perubahan perilaku.

Brand loyalty dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya. Brand loyalty menambahkan nilai yang cukup besar pada merek dan/atau perusahaan

karena menyediakan satu set habitual buyers untuk jangka waktu yang lama (Aaker, 2008). Aaker (dalam Widjaja et al., 2007) menggambarkan tingkatan brand loyalty dalam suatu piramida yang disebut The Loyalty Pyramid.


(37)

commit to user

xxxvii

Gambar II.2

The Loyalty Pyramid Sumber: Widjaja et al., 2007

Berikut penjelasan mengenai tingkatan loyalitas terhadap suatu merek:

1. Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang

sama sekali tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi

mereka merek apapun dianggap memadai sehingga merek

memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian.

2. Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk

atau setidaknya tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa

disebut sebagai pembeli kebiasaan (habitual buyer).

3. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka

memikul biaya peralihan (switching cost) serta biaya berupa waktu, uang atau resiko kinerja berkenaan dengan tindakan

beralih merek, kelompok ini bisa disebut pelanggan yang


(38)

4. Tingkat keempat adalah mereka yang sungguh-sungguh

menyukai merek tersebut, preferensinya mungkin dilandasi oleh suatu asosiasi seperti simbol, rangkaian pengalaman

dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang tinggi.

5. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia, mereka

mempunyai kebanggaan menjadi pengguna suatu merek,

merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi

fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka.

3. Manfaat Brand Equity

Secara garis besar, Aaker (2008) membagi manfaat brand equity ke dalam dua kelompok, yaitu menyediakan nilai bagi konsumen dan

perusahaan.

Tabel II.1 Manfaat Brand Equity

Manfaat bagi konsumen Manfaat bagi perusahaan

1. Menyediakan nilai bagi konsumen dengan meningkatkan penafsiran atau pemrosesan informasi.

2. Menyediakan nilai bagi konsumen dengan meningkatkan kepercayaan dalam keputusan pembelian. 3. Menyediakan nilai bagi konsumen

dengan meningkatkan guna kepuasan.

1. Menyediakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari program pemasaran.

2. Menyediakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan brand loyalty.

3. Menyediakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan harga atau margin

4. Menyediakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan brand extensions.


(39)

commit to user

xxxix

dengan meningkatkan pengungkit perdagangan (trade leverage). 6. Menyediakan nilai bagi perusahaan

dengan meningkatkan keunggulan kompetitif.

Sumber: Aaker, 2008

C. Repurchase Intention

1. Definisi Repurchase Intention

Repurchase intention merupakan kemungkinan subjektif seorang individu untuk terus membeli produk dari vendor atau provider yang sama di masa yang akan datang (Chiu et al., 2009). Lee et al.,(2010) menyatakan bahwa perilaku pembelian dan niat pembelian ulang sangat

bermanfaat bagi dunia bisnis. Beberapa studi terdahulu menunjukkan

bahwa repurchase intention memiliki hubungan yang sangat dekat dengan loyalitas konsumen, kepuasan, kepercayaan, komitmen,

perceived value (Jiang dan Rosenbllom, 2005; Hume dan Mort, 2008; serta Boonlertvanich, 2009)

Batey (2008 : 36) menyatakan adanya asosiasi antara merek

dengan repurchase intention. Suatu merek yang dibangun dengan menciptakan struktur mental yang berhubungan dengan perusahaan pada

ingatan konsumen akan membantu konsumen mengorganisasikan


(40)

konsumen dalam melakukan keputusan pembelian ulang (repurchase intention) pada suatu produk perusahaan (Batey, 2008 : 36).

Pengetahuan konsumen mengenai citra country of origin juga dapat mempengaruhi konsumen dalam keputusan pembelian ulang

(repurchase intention). Ouellet, (2007) dalam Josiassen dan Assaf, (2009) menyebutkan bahwa evaluasi konsumen terhadap country of origin akan mempengaruhi evaluasi konsumen untuk melakukan keputusan pembelian ulang (repurchase intention) terhadap suatu produk tertentu.

D. PENELITIAN TERDAHULU

Pada sub bab ini akan dijelaskan perbandingan antara penelitian yang

dilakukan oleh peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan variabel-variabel yang menjadi objek amatan dan alat analisis yang digunakan

dalam penelitian. Hal ini dilakukan agar hipotesis dan model penelitian yang

dikembangkan memiliki dasar teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam

penelitian ini peneliti mendesain ulang model dari beberapa penelitian terdahulu

dengan penyesuaian untuk setting penelitian di Indonesia. Kajian mengenai beberapa penelitian terdahulu yang menjadi dasar pembentukan konstruk


(41)

commit to user

xli Tabel II.2 Penelitian Terdahulu Peneliti (tahun) Variabel Independen Variabel Mediasi Variabel Moderator Variabel Dependen Alat Analisis Yasin e tal.,

(2007)

Country of origin image

Brand equity

dimensions

Brand equity Regression analysis Yoo et al.,

(2000)

Price, store image, distribution intensity, advertising spending, price deals Brand equity dimensions

Brand equity SEM

Pappu et al., (2005)

Country of origin ‘product

category-country’ association

Brand equity MANOVA

Chowdhury dan Ahmed (2009)

Country of design, country of part,

country of assembly Perceived product desain, perceived product Sophistication, perceived Manufacturing Excellence Perceived product quality SEM Josiassen dan Assaf (2009)

Country of origin product-origin image, product-origin congruency, product involvement on consumers’ product-related evaluations Behavioral intention SEM Tabel II.2


(42)

Penelitian Terdahulu (lanjutan) Peneliti (tahun) Variabel Independen Variabel Mediasi Variabel Moderator Variabel Dependen Alat Analisis Hume dan Mort (2008) Core service quality, peripheral service quality, appraisal emotion Perceived value, customer satisfaction Repurchase intention SEM

Lee et al., (2010) Perceived value, perceived ease of use, perceived usefulness, firm’s reputation, privacy, trust, reliability, functionality Online purchase intention Regression analysis Kuenzel dan Halliday (2008) Prestige, satisfaction, corporate communication Brand identification WOM, repurchase MANOVA Penelitian ini (2011)

Country of origin image

Brand equity Repurchase

intention

SEM

E. PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah dalam penelitian atau

pernyataan sementara tentang pengaruh hubungan dua variabel atau lebih.


(43)

commit to user

xliii

Aaker (2008) mengatakan bahwa brand equity merepakan seperangkat aset (dan kewajiban) yang berkaitan dengan nama merek dan simbol yang menambah (atau mengurangi) dari nilai yang diberikan oleh

produk atau jasa kepada perusahaan dan / atau pelanggan perusahaan. Aset

di sini merupakan penguraian dimensi dari brand equity yang masing-masing memiliki pengaruh dalam pembentukan brand equity. Aaker juga menambahkan bahwa dengan menguatkan dimensi brand equity kita dapat membangkitkan brand equity. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Yasin et al., (2007) dimensi brand equity yang membentuk brand equity adalah brand distinctiveness, brand loyalty, dan brand awareness/association.

Brand distinctiveness didefinisikan sebagai seni yang unik dan diinginkan oleh pelanggan (Wong dan Marrilees, 2008). Perusahaan

berusaha untuk membuat beberapa bentuk brand distinctiveness untuk menghindari produk mereka yang dipandang sebagai komoditas

(McQuiston, 2004 dalam Wong dan Marrilees, 2008). Aaker (2008)

menyebutkan bahwa konsumen tidak akan memiliki dasar untuk memilih

merek tertentu jika merek dianggap tidak berbeda dengan yang lain.

Brand loyalty dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya. Brand loyalty dapat didefinisikan melalui dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang sikap dan keperilakuan. Dari sudut pandang sikap, Oliver (dalam Yoo et al., 2000) mendifinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang dipegang


(44)

teguh untuk membeli ulang atau berlangganan pada suatu produk atau

layanan jasa yang disukai di masa mendatang, meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan perubahan

perilaku. Sedangkan dari sudut pandang keperilakuan, brand loyalty didefinisikan sebagai tingkatan dalam sebuah unit pembelian, seperti rumah

tangga, konsentrat pembelian dari waktu ke waktu pada merek tertentu

dalam suatu kategori produk (Schoell dan Guiltinan, 1990 dalam Tong dan

Hawley 2009).

Brand Awareness mengacu pada kemampuan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat merek sebagai anggota dari suatu kategori

produk tertentu (Aaker, 2008). Dimensi relevan yang menjelaskan brand knowledge dan mempengaruhi respon konsumen adalah kesadaran terhadap merek (dalam hal ini brand recall dan recognition), dan keuntungan, kekuatan, serta keunikan brand association di benak konsumen (Keller, 1993). Dengan kata lain, brand awareness dan brand association merupakan dua konstruk yang saling berkaitan. Brand association sendiri merupakan segala sesuatu "terkait" dalam memori konsumen terhadap

merek (Aaker, 1991 dalam Tong dan Hawley, 2009).

Secara garis besar, suatu merek dikatakan memiliki brand equity yang kuat ketika merek tersebut memiliki struktur mental yang dapat

menumbuhkan asosiasi mengenai pengetahuan merek tersebut dalam benak konsumen. Pengetahuan tersebut kemudian akan membantu konsumen


(45)

commit to user

xlv

suatu produk perusahaan (Batey, 2008 : 36). Berdasarkan penjelasan di atas,

maka disusun hipotesis sebagai berikut:

H1a : Brand distinctiveness berpengaruh positif terhadap brand equity. H1b : Brand loyalty berpengaruh positif terhadap brand equity.

H1c : Brand awareness/association berpengaruh positif terhadap brand equity.

2. Pengaruh Country of Origine Image Terhadap Brand Equity

Konsumen memiliki asosiasi terhadap entitas seperti produk, tempat,

merek dan negara asal (Pappu et al., 2005). Beberapa penelitian terdahulu juga telah menggagas bahwa informasi mengenai negara asal digunakan

sebagai indikator atas kualitas produk dari suatu negara (Hong dan Wyer,

1989; Bluemelhuber et al., 2007; Lampert dan Jaffe, 2007; Chowdhury dan Ahmed, 2009; Al-Sulaiti dan Baker, 1998; Keller, 1993). Country of origin sendiri didefinisikan sebagai negara tempat perusahaan kantor pusat

perusahaan pemasaran produk atau merek berada (Johansson et al., 1985 dan Ozsomer and Cavusgil 1991 dalam Khalid dan Micheal 1998).

Dalam membentuk brand equity, akan diuji bagaimanakah pengaruh country of origin image terhadap aset pembentuk brand equity, dalam hal ini adalah dimensi brand equity. Merujuk pada penelitian yang dilakukan

Yasin et al., (2007) dimensi brand equity yang membentuk brand equity adalah brand distinctiveness, brand loyalty, dan brand awareness/association, maka disusun hipotesis sebagai berikut:


(46)

H2a : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand distinctiveness.

H2b : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand loyalty.

H2c : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand awareness/association.

3. Pengaruh Country of Origin Image Terhadap Repurchase intention Dengan Brand Equity Sebagai Pemediasi

Sebuah premis dasar dari country of origin effect menyebutkan bahwa evaluasi konsumen terhadap country of origin akan mempengaruhi evaluasi-evaluasi selanjutnya mengenai produk tersebut serta

mempengaruhi perilaku untuk membeli (purchase) atau pembelian ulang (repurchase) terhadap produk tersebut (Ouellet, 2007 dalam Josiassen dan Assaf, 2009). Yoo et al., (2000) menyatakan bahwa evaluasi konsumen dalam melakukan pembelian ulang (repurchase intention) dapat dilakukan dengan membandingkan country of origin image antara merek produk yang digunakan saat ini dengan merek lain dalam kategori produk yang sama.

Sebagai contoh, ketika seorang konsumen yang menggunakan produk

elektronik buatan Jepang hendak membeli lagi produk elektronik buatan

Jepang konsumen tersebut kemungkinan akan membandingkan produk yang akan ia beli dengan produk sejenis yang dibuat oleh negara lain.


(47)

commit to user

xlvii

Country of origin juga dikenal dalam membawa asosiasi di benak konsumen (Aaker, 2008 dan Keller, 1993). Keduanya berpendapat bahwa country of origin dapat mempengaruhi brand equity dengan menghasilkan asosiasi sekunder terhadap merek. Sebagai contoh, konsumen mungkin

asosiasi negara Jepang dan Cina dengan atribut "keandalan" dan "daya

tahan", untuk tingkatan yang berbeda. Gagasan bahwa informasi mengenai

negara asal digunakan sebagai indikator atas kualitas produk dari suatu

negara sangat didukung oleh beberapa penelitian terdahulu (Hong dan

Wyer, 1989; Bluemelhuber et al., 2007; Lampert dan Jaffe, 2007; Chowdhury dan Ahmed, 2009; Al-Sulaiti dan Baker, 1998; Keller 1993).

Karena country of origin dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam evaluasi dan tindakan yang akan dilakukan konsumen

terhadap suatu merek produk, maka disusun hipotesis sebagai berikut:

H3a : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand equity yang dimediasi oleh brand distinvtiveness.

H3b : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand equity yang dimediasi oleh brand loyalty.

H3c : Citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand equity yang dimediasi oleh brand awareness/association.

F. MODEL PENELITIAN

Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan, hubungan antar variabel yang


(48)

hubungan pengaruh citra country of origin terhadap repurchase intention yang dimediasi oleh brand equity. Berikut adalah model dalam penelitian ini,

.

Gambar II.3 Model Penelitian

Variabel Penelitian

Variabel independen : Country of Origin Image Variabel Mediasi : Brand Equity

Variabel Dependen : Repurchase Intention

Dalam kerangka penelitian ini dijelaskan bahwa brand equity sebagai variabel independen yang mempengaruhi variable dependen repurchase intention, country of origin image sebagai variable independen yang Country of

origin image

Brand distinctiveness

Brand loyalty

Brand awareness/ association

Repurchase intention

H1a

H1b

H1c H2a

H2b

H2c

H3c H3b H3a


(49)

commit to user

xlix

mempengaruhi variable dependen brand equity, dan variable independen country of origin image yang mempengaruhi variabel dependen repurchase intention dengan brand equity sebagai pemediasi.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Ditinjau dari tujuannya, penelitian ini dikategorikan ke dalam

penelitian pengujian hipotesis. Desain penelitian ini menggunakan desain


(50)

research merupakan penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-fakta saat ini dari suatu populasi. Tujuan dari descriptive research adalah untuk menguji hipotesis atau jawaban pertanyaan yang berkaitan dengan current status dari objek yang diteliti.

Apabila ditinjau dari horizon waktu, penelitian ini tergolong penelitian

cross sectional, yaitu penelitian yang mengambil data hanya pada satu kurun waktu tertentu (Sekaran, 2006). Penelitian ini dilakukan terhadap pengguna

produk elektronik (televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang, dan peneletian

ini termasuk penelitian survey sebagai alat untuk mengumpulkan data yang akan digunakan.

B. POPULASI, SAMPEL, dan TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna produk elektronik

(televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo yang berniat untuk

loyal.

2. Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah 150 pengguna produk elektronik

(televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo yang berniat untuk

loyal.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini


(51)

commit to user

li

teknik pengambilan sampel ini penulis bebas memilih individu yang akan

dijadikan responden penelitian (Sekaran, 2006).

Ferdinand (2002) memberikan pedoman ukuran sampel yang

diambil, yaitu:

ƒ100-200 sampel untuk teknik Maximum Likelihood Estimation

ƒTergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya

adalah 5-10 kali jumlah parameter yang diestimasi.

ƒTergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh

variabel laten. Jumlah sampel adalah jumah indikator dikali 5-10.

Bila terdapat 20 indikator, besarnya sampel adalah antara 100-200.

ƒBila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik

estimasi. Misalnya bila jumlah sampel di atas 2500, teknik estimasi

ADF (asymptotically Distribution Free Estimation) dapat digunakan.

Berdasarkan pedoman di atas, maka jumlah sampel minimum dapat

ditentukan dari 5 kali indikator yang digunakan. Dalam penelitian ini

menggunakan 30 indikator, sehingga jumlah sampel minimum adalah 150

responden.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode survey dengan membagikan kuisioner secara personal kepada responden yang dianggap memenuhi syarat dapat memberi informasi yang


(52)

elektronik (televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang dari berbagai took

elektronik di kota Solo.

5. Sumber Data

Sumber data yang digunakan adalah data primer. Data primer

merupakan data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh suatu organisasi

atau perorangan langsung dari objeknya.

C. DEFINISI OPERASIONAL dan SKALA PENGUKURAN

Definisi operasional adalah definisi yang dengan jelas mengartikan

suatu variabel dengan menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan

yang perlu untuk mengukur variabel tersebut. Skala pengukuran yang

digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert dengan interval skala satu

sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak

setuju).

Country of Origin Image

Country of origin didefinisikan sebagai negara tempat perusahaan kantor pusat perusahaan pemasaran produk atau merek berada (Johansson et al., 1985 dan Ozsomer and Cavusgil 1991 dalam Al-Sulaiti dan Baker 1998).

Beberapa studi terdahulu memandang citra country of origin sebagai persepsi umum konsumen mengenai kualitas produk yang dibuat dalam


(53)

commit to user

liii

negara asal terhadap persepsi konsumen atau evaluasi produk disebut

country of origin effect” (Samiee, 1994). Konstruk diukur dengan menggunakan 7 item pertanyaan (Yasin et al, 2007) sebagai berikut:

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang inovatif..

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang memiliki tingkat kemajuan teknologi tinggi.

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang dapat merancang produk elektronik dengan baik.

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang kreatif dalam memproduksi produk elektronik.

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang dapat memproduksi produk elektronik yang berkualitas tinggi.

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang prestisius atau membanggakan.

• Produk elektronik yang saya gunakan diproduksi oleh negara yang dikenal sebagai negara maju.

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert

dengan interval skala satu sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju).

Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

Skala 2 = Tidak Setuju (TS)


(54)

Skala 4 = Setuju (S)

Skala 5 = Sangat Setuju (SS)

Brand Distinctiveness

Brand distinctiveness merupakan seni yang unik dan diinginkan oleh pelanggan. Aaker (2008) menyebutkan bahwa konsumen tidak akan

memiliki dasar untuk memilih merek tertentu jika merek dianggap tidak

berbeda dengan yang lain. McQuinston dalam Wong (2008) menyatakan

bahwa perusahaan berusaha untuk membuat beberapa bentuk brand distinctiveness untuk menghindari produk mereka yang dipandang sebagai komoditas. Brand distinctiveness berkaitan dengan asosiasi khusus antara merek dan konsumen. Konstruk diukur dengan menggunakan 7 item

pertanyaan (Yasin et al, 2007) sebagai berikut:

• Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan dinamisme • Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan teknologi

tinggi

• Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan inovasi.. • Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan

kecanggihan.

• Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan kekhasan/keistimewaan.

• Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan keunggulan. • Merek produk elektronik yang saya gunakan identik dengan prestis atau


(55)

commit to user

lv

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert

dengan interval skala satu sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju).

Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

Skala 2 = Tidak Setuju (TS)

Skala 3 = Netral (N)

Skala 4 = Setuju (S)

Skala 5 = Sangat Setuju (SS)

Brand Loyalty

Dari sudut pandang keperilakuan, brand loyalty didefinisikan sebagai tingkatan dalam sebuah unit pembelian, seperti rumah tangga, konsentrat

pembelian dari waktu ke waktu pada merek tertentu dalam suatu kategori

produk (Schoell dan Guiltinan, 1990 dalam Tong dan Hawley 2009).

Sedangkan dari sudut pandang sikap, Oliver (dalam Yoo et al., 2000) mendifinisikan brand loyalty sebagai sebuah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan pada suatu produk atau layanan jasa

yang disukai di masa mendatang, meskipun pengaruh situasional dan usaha

pemasaran yang berpotensi menyebabkan perubahan perilaku. Konstruk

diukur dengan menggunakan 5 item pertanyaan (Yasin et al, 2007) sebagai berikut:

• Jika saya akan membeli produk elektronik selain AC/lemari es/televisi (salah satu), saya akan memilih merek produk elektronik yang saya


(56)

• Saya bersedia membayar harga yang lebih tinggi (premi) untuk merek produk elektronik yang saya gunakan saat ini dibanding merek lain yang

memiliki fitur yang sama.

• Saya tidak akan membeli merek lain jika merek produk elektronik yang saya gunakan tersedia di toko.

• Saya akan berpikir dua kali untuk membeli merek lain jika merek itu hampir sama dengan merek produk elektronik yang saya gunakan.

• Terlepas dari pertimbangan harga, saya memilih membeli AC/lemari es/televisi sesuai dengan merek favorit saya.

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert

dengan interval skala satu sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju).

Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

Skala 2 = Tidak Setuju (TS)

Skala 3 = Netral (N)

Skala 4 = Setuju (S)

Skala 5 = Sangat Setuju (SS)

Brand Awareness/Association

Brand Awareness mengacu pada kemampuan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat merek sebagai anggota dari suatu kategori produk

tertentu (Aaker, 2008). Dimensi relevan yang menjelaskan brand knowledge dan mempengaruhi respon konsumen adalah kesadaran terhadap merek


(57)

commit to user

lvii

keunikan brand association di benak konsumen (Keller, 1993). Dengan kata lain, brand awareness dan brand association merupakan dua konstruk yang saling berkaitan. Brand association sendiri merupakan segala sesuatu "terkait" dalam memori konsumen terhadap merek (Aaker, 1991 dalam Tong

dan Hawley, 2009). Konstruk diukur dengan menggunakan 4 item

pertanyaan (Yasin et al, 2007) sebagai berikut:

• Saya mengetahui simbol dari merek produk elektronik yang saya gunakan.

• Saya dapat membayangkan merek produk elektronik yang saya gunakan dengan mudah

• Saya dapat mengingat simbol atau logo merek produk elektronik yang saya gunakan dengan cepat.

• Saya memiliki pendapat tersendiri mengenai merek ini.

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert

dengan interval skala satu sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju).

Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

Skala 2 = Tidak Setuju (TS)

Skala 3 = Netral (N)

Skala 4 = Setuju (S)

Skala 5 = Sangat Setuju (SS)


(58)

Repurchase intention didefinisikansebagai kemungkinan subjektif seorang individu untuk terus membeli produk dari vendor atau provider yang sama di masa yang akan datang (Chiu et al., 2009). Yoo et al., (2000) menyatakan bahwa evaluasi konsumen dalam melakukan pembelian ulang (repurchase intention) dapat dilakukan dengan membandingkan country of origin image antara merek produk yang digunakan saat ini dengan merek lain dalam

kategori produk yang sama.. Konstruk diukur dengan menggunakan 7 item

pertanyaan sebagai berikut:

• Jika merek lain memiliki fitur yang sama seperti merek produk elektronik yang saya gunakan, saya lebih suka membeli merek produk elektronik

yang saya gunaka saat ini.

• Jika saya harus memilih antara merek AC/lemari es/televisi, merek produk elektronik yang saya gunakan saat ini adalah pilihan saya.

• Jika saya harus membeli AC/lemari es/televisi saya berencana membeli merek produk elektronik yang saya gunakan meskipun ada merek lain

yang memiliki kualitas sama.

• Jika merek lain memiliki harga yang sama seperti merek produk elektronik yang saya gunakan, saya akan membeli merek produk

elektronik yang saya gunakan saat ini.

• Saya akan tetap menggunakan merek produk elektronik yang saya gunakan saat ini.

• Saya merasa penggunaan merek produk elektronik yang saya gunakan saat ini adalah pilihan yang tepat.


(59)

commit to user

lix

• Masuk akal untuk membeli merek produk elektronik yang saya gunakan daripada merek lain, bahkan jika mereka memiliki kesamaan.

Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert

dengan interval skala satu sampai lima (sangat setuju, setuju, netral, tidak

setuju, dan sangat tidak setuju).

Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)

Skala 2 = Tidak Setuju (TS)

Skala 3 = Netral (N)

Skala 4 = Setuju (S)

Skala 5 = Sangat Setuju (SS)

D. PENGUJIAN INSTRUMEN PENELITIAN

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur apakah instrumen

penelitian benar – benar mampu mengukur konstruk yang digunakan. Uji

validitas akan menunjukkan sejauh mana perbedaan antara data responden

diperoleh dengan pengukuran. Uji validitas menggunakan alat uji

Confirmatory Factor Analysis dengan bantuan program SPSS for Windows versi 11.5. Menurut Hair et al. (1998) factor loading tiap item pertanyaan harus lebih besar dari 0,50.


(60)

Sebelum melakukan pengujian terhadap sampel besar peneliti

terlebih dahulu melakukan pretest terhadap 40 responden guna kepentingan uji reliabilitas dan validitas. Penulis melakukan 3 (tiga) kali

pretest guna mendapatkan hasil yang memenuhi kriteria validitas dan

untuk mengukur apakah instrumen penelitian benar-benar mampu

mengukur konstruk yang digunakan. Pretest dilakukan terhadap pengguna

produk elektronik (televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo

dan bersedia mengisi kuisioner.

Tabel III.1

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling

Adequacy. .596

Bartlett's Test of Sphericity

Approx. Chi-Square 217.723

df 78

Sig. .000

Tabel III.1 menunjukkan nilai KMO Measure of Sampling Adequacy (MSA) dalam penelitian ini sebesar 0.596. Karena nilai MSA di atas 0,5 serta nilai Barlett test signifikan pada 0,000 dapat disimpulkan bahwa uji analisis faktor dapat dilanjutkan.

Tabel III.2 menunjukkan hasil dari pretest uji validitas yang pertama

dimana terdapat 9 item pertanyaan dinyatakan tidak valid, karena masih

belum terekstrak secara sempurna dan masih mempunyai factor loading < 0,5. Kemudian peneliti melakukan perbaikan tata bahasa yang digunakan

dalam kuesioner, terutama pada item pertanyaan COO2, COO6, BD3, BL1,


(61)

commit to user

lxi

dilakukan mengingat item-item pertanyaan tersebut merupakan hasil

terjemahan dari bahasa asing dalam jurnal yang digunakan sebagai acuan oleh peneliti

Tabel III.2

Hasil Pretest Uji Validitas I n = 40 responden

Component

1 2 3 4 5

COO1 .708

COO2 .733 .476

COO3 .585

COO4 .440

COO5 .845

COO6 .532 .612

COO7 .663

BD1 .778

BD2 .686

BD3 .589

BD4 .535


(62)

BD6 .691

BD7 .584

BL1 .692

BL2

BL3 .577

BL4 .628

BL5 .449

BAO1 .773

BAO2 .787

BAO3 .760

BAO4 .685

RI1 .813

RI2

RI3 .432 .432

RI4 .528

RI5 .537

RI6 .608

RI7 .700

Sumber : Data primer yang diolah, 2011.

Kemudian peneliti melakukan pretest uji validitas yang kedua,

dengan hasil uji validitas tersaji dalam tabel III.3. Dalam tabel tersebut

masih menunjukkan adanya 5 (lima) item pertanyaan yang tidak valid, yaitu

COO6, BD7, BL2, RI5, dan RI6.

Tabel III.3

Hasil Pretest Uji Validitas II n = 40 responden

Component

1 2 3 4 5

COO1 .732

COO2 .753

COO3 .642

COO4 .797

COO5 .820

COO6 .682 .572

COO7 .723

BD1 .778

BD2 .686

BD3 .736


(63)

commit to user

lxiii

BD6 .691

BD7 .884

BL1 .769

BL2 .736

BL3 .697

BL4 .668

BL5 .849

BAO1 .683

BAO2 .797

BAO3 .731

BAO4 .644

RI1 .846

RI2 .712

RI3 .692

RI4 .828

RI5 .436

RI6 .683

RI7 .706

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

Masih munculnya beberapa item pertanyaan yang masih belum

terekstrak secara sempurna membuta peneliti harus mengkoreksi kembali

tata bahasa pada item-item pertanyan tersebut. Peneliti merubah kalimat

dalam item-item pertanyaan tersebut menjadi lebih singkat dan jelas agar

dapat memperoleh hasil output validitas yang lebih baik. Kemudian peneliti

melakukan pretest uji validitas yang ketiga.

Tabel III.4 menunjukkan hasil pretest uji validitas yang ketiga

dimana masih juga terdapat 3 (tiga) item pertanyaan yang tidak valid, yaitu

COO6, BD7, dan BL2. Hal ini mungkin dikarenakan item-item tersebut

memang tidak dapat mengukur variabel yang diuji pada setting penelitian yang dipilih oleh peneliti. Sehingga ketiga item pertanyaan tersebut (COO6, BD7, dan BL2 ) terpaksa dihilangkan, dengan pertimbangan masih ada


(64)

Tabel III.4

Hasil Pretest Uji Validitas III n = 40 responden

Component

1 2 3 4 5

COO1 .731

COO2 .764

COO3 .694

COO4 .694

COO5 .725

COO6 .828

COO7 .601

BD1 .626

BD2 .641

BD3 .718


(65)

commit to user

lxv

BD6 .795

BD7 .436 .589

BL1 .744

BL2 .572 .461

BL3 .641

BL4 .644

BL5 .771

BAO1 .777

BAO2 .817

BAO3 .777

BAO4 .635

RI1 .743

RI2 .855

RI3 .613

RI4 .698

RI5 .572

RI6 .761

RI7 .721

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat konsistensi

dari instrumen – instrumen yang diukur. Reliabilitas merupakan syarat

untuk tercapainya validitas suatu kuesioner dengan tujuan tertentu. Untuk

menguji reliabilitas digunakan alat ukur Cronbach Alpha dengan bantuan program SPSS for Windows versi 11.5. Semakin dekat dengan koefisien keandalan dengan 1 semakin baik. Secara umum nilai cronbach alpha kurang dari 0,6 dianggap buruk, bila nilai cronbach alpha dalam kisaran 0,7 bisa diterima sedang nilai cronbach alpha lebih dari 0,8 adalah baik (Sekaran, 2000).


(66)

Dari hasil pretest uji reliabilitas terhadap 40 responden

didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel III.5

Hasil pretest Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach's Alpha

Country of Origin (COO) 0,7769 Brand Distinctiveness (BD) 0,7335 Brand Loyalty (BL) 0,7179 Brand Awareness/Association (BAO) 0,7433 Repurchase Intention (RI) 0,7690 Sumber: Data primer yang diolah, 2011.

Dari Tabel III.5 dapat dilihat bahwa semua instrumen dinyatakan

reliabel karena mempunyai nilai cronbach’s alpha > 0,60.

3. Uji Asumsi Model a. Uji Normalitas

Nilai statistic untuk menguji normalitas disebut z value (Critical Ratio atau CR pada output AMOS 6) dari ukuran skewness dan kurtosis sebaran data. Bila nilai CR lebih besar dari nilai kritis maka dapat diduga bahwa distribusi data tidak normal.

b. Uji Outlier

Dalam analisis multivariate adanya outliers dapat diuji dengan statistic chi


(67)

commit to user

lxvii

signifikansi 0,001 dengan degree of freedom sejumlah konstruk yang digunakan dalam penelitian (Ferdinand, 2002)

E. PENGUJIAN HIPOTESIS

Setelah model dinyatakan fit atau dapat diterima secara statistik, langkah berikutnya adalah melakukan pengujian hipotesis dengan bantuan

AMOS 6 dengan menganalisis hubungan diantara variabel-variabel laten. SEM juga dapat mengestimasi nilai-nilai path dari setiap hubungan variabel. Dengan menggunakan analisis SEM maka semua hipotesis dalam studi ini dapat diuji dengan melihat nilai probability yang ditunjukkan oleh output AMOS 6. Pengujian yang dilakukan meliputi:


(68)

Model struktural dikategorikan sebagai “good fit”, bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini:

a) Memiliki degree of freedom (df) positif

b) Nilai level probabilitas minimum yang disyaratkan adalah 0,1 atau

0,2, tetapi untuk level probabilitas sebesar 0,05 masih diperbolehkan

(Hair et al., 1998:613)

c) Mengukur chi-square ( 2

χ ) statistic untuk memastikan bahwa tidak ada perbedaan antara matriks kovarian data sampel dan matriks

kovarian populasi yang diestimasi. Nilai chi-square (χ2) sangat sensitif terhadap besarnya sampel dan hanya sesuai untuk ukuran

sampel antara 100 – 200. Model yang diuji akan dipandang baik bila

nilai 2

χ -nya rendah dan diterima berdasarkan probabilitas dengan cut-off value sebesar p > 0,05 atau p > 0,01, sehingga perbedaan matriks aktual dan yang diperkirakan adalah tidak signifikan (Hair et al; Hulland et al dalam Ferdinand, 2002:55).

d) CMIN/DF, adalah statistik chi-square dibagi DF-nya, yang umumnya dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu indikator

untuk mengukur tingkat fitnya sebuah model. Nilai yang diterima

adalah kurang dari 2 atau bahkan kurang dari 3 (Arbuckle dalam

Ferdinand, 2002:58).

e) Menguji kesesuaian model dengan beberapa indeks tambahan,


(69)

commit to user

lxix

Index (AGFI), Tucker-Lewis Index (TLI), Comparative Fit Index (CFI), dan Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA). Indeks-indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan sebuah

model diringkas dalam table berikut:

Tabel III.6

Goodness-of-fit Indices

Goodness-of-fit Indices Cut-off Value chi-square (χ2) Diharapkan kecil Significance Probability (p) ≥0,05

CMIN/DF ≤2,00

RMR < 0,03

GFI ≥0,90

AGFI ≥0,90

TLI 95≥0,

CFI ≥0,95

RMSEA ≤0,08

Sumber: Ferdinand, (2006:61)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik responden. Responden dalam penelitian ini adalah pengguna produk elektronik (televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling.


(1)

variabel di dalam studi ini memiliki potensi berpengaruh secara langsung pada repurchase intention (Gambar IV.3). Oleh karena itu, kerangka model alternatif dalam studi ini mencakup pengaruh secara langsung variabel country of origin image dan brand equity terhadap repurchase intention.

Gambar IV.3

Direct Effect-Only Model

Direct effect-only model dihitung menggunakan Amos 6 dan

hasilnya dapat dilihat dalam Tabel IV.14. Selisih X2 antara fully mediated model dan direct effect-only model yaitu 42,935, df = 2. Pada Tabel IV.14 juga dapat dibandingkan antara fully mediated model dan direct effect-only model (GFI = 0,849 versus GFI = 0,833; CFI = 0,979 versus CFI = 0,958). SMC customer loyalty untuk direct effect-only model yaitu 0, 214 lebih


(2)

rendah jika di bandingkan dengan SMC customer loyalty pada fully mediated model yaitu sebesar 0,273. Indeks parsimoni direct effect-only model (PNFI = 0,753; PCFI = 0,873) dan fully mediated model memiliki nilai parsimoni yang lebih tinggi (PNFI = 0,765; PCFI = 0,887). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fully mediated model lebih baik dalam merepresentasikan data dibandingkan dengan direct effect-only model atau partially mediated model.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan penelitian dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil dari penelitian ini dengan memaparkan secara singkat mengenai


(3)

hasil penelitian.

Hasil pengujian mediasi mengindikasi dari membandingkan beberapa model penelitian didapatkan hasil bahwa model penelitian yang paling merepresentasikan data dalam studi ini yaitu fully mediated model. Kemudian dilakuakn pengujian hipotesis dan menunjukkan hasil sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa brand equity berpengaruh positif terhadap repurchase intention. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi brand equity suatu produk maka repurchase intention konsumen terhadap produk tersebut juga akan semakin tinggi.

2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra brand’s country of origin berpengaruh positif terhadap brand equity. Hal ini mengindikasikan semakin baik citra brand’s country of origin suatu produk maka brand equity produk tersebut juga akan semakin tinggi.

3. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra brand’s country of origin memiliki pengaruh tidak langsung terhadap repurchase intention melalui brand equity sebagai variabel mediasi. Hal ini mengindikasikan citra brand’s country of origin yang baik dapat membentuk brand equity yang kuat kemudian akan mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang (repurchase intention)

B. KETERBATASAN

Studi ini difokuskan pada pengguna produk elektronik (televisi, lemari es, dan AC) buatan Jepang di kota Solo sehingga berdampak pada generalisasi


(4)

studi yang bersifat terbatas. Keterbatasan ini mengisyaratkan perlunya studi-studi lanjutan untuk menggeneralisasi hasil-hasil yang diperoleh pada konteks yang berbeda dan lebih luas.

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Saran untuk studi lanjutan

a. Penelitian selanjutnya sebaiknya meneliti pada obyek dan subyekyang berbeda serta cakupan setting yang lebih luas sehingga konsep yang dimodelkan dapat ditingkatkan generalisasinya.

b. Penelitian selanjutnya sebaiknya menambahkan variabel-variabel lain yang belum ada dalam penelitian ini, sehingga dapat menyempurnakan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi repurchase intention.

c. Pengambilan data sebaiknya tidak hanya pada kurun waktu tertentu saja (data cross sectional), melainkan data diperoleh dari objek yang diamati secara berulang dan dikumpulkan pada kurun waktu yang berbeda (data longitudinal) agar hasil penelitian lebih baik lagi dan agar dapat diketahui apakah ada variable-variabel lain yang dapat mempengaruhi model.


(5)

Studi ini disarankan dapat memberikan pemahaman pada praktisi terhadap upaya-upaya untuk meningkatkan repurchase intention. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menentukan strategi pemasaran yang efektif terkait dengan stimulus-stimulus yang dapat digunakan untuk meningkatkan repurchase. Stimulus-stimulus yang dimaksud adalah:

1. Perusahaan harus mampu merumuskan identitas merek melalui citra brand’s country of origin secara jelas dan detail. Identitas merek yang tepat akan sangat penting karena berpengaruh pada brand awareness suatu produk yang membentuk brand equity. Brand equity yang kuat kemudian akan mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang (repurchase intention)

2. Perusahaan harus mampu mengembangkan suatu asosiasi yang bagi konsumen mempunyai arti tertentu. Asosiasi dapat dibentuk dengan pendekatan performa produk/layanan (brand performance) atau melalui pendekatan emosi/personifikasi (brand image). Kinerja sebuah produk/layanan berdampak terhadap pengalaman apa saja yang dialami oleh konsumen pengguna produk tersebut, apa yang mereka dengar tentang produk tersebut, dan apa yang disampaikan oleh perusahaan kepada konsumen tentang produk tersebut.

D. Implikasi Manajerial

Studi ini diharapkan memberikan implikasi baik secara teoritis maupun praktis:


(6)

1. Implikasi Praktis

Penelitian ini dapat memberikan penjelasan yang lebih jelas mengenai bagaimana citra country of origin dapat mempengaruhi repurchase intention dan membentuk ekuitas merek (brand equity) yang kuat. Hal ini bermanfaat untuk menentukan kebijakan strategis perusahaan yang berkaitan dengan bidang pemasaran di masa yang akan datang.

2. Implikasi Teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sarana untuk mengaplikasikan teori yang sudah didapat, khususnya mengenai ilmu-ilmu tentang pemasaran sehingga meningkatkan pemahaman terhadap teori dan kenyataan yang sesungguhnya, dan diharapkan mampu memberikan wawasan ataupun gambaran yang lebih luas mengenai ekuitas merek (brand equity) yang timbul di benak konsumen karena citra brand’s country of

origin, serta bagaimana citra brand’s country of origin dapat


Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH RELIGIOSITY, CONSUMER ETHNOCENTRISM DAN COUNTRY OF ORIGIN TERHADAP PURCHASE INTENTION Analisis Pengaruh Religiosity,Consumer Ethnocentrism Dan Country Of Originterhadap Purchase Intention (Studi Empiris Dalam Membeli iPhone Oleh Mahasi

0 2 14

ANALISIS PENGARUH RELIGIOSITY, CONSUMER ETHNOCENTRISM DAN COUNTRY OF ORIGIN TERHADAP PURCHASE INTENTION Analisis Pengaruh Religiosity,Consumer Ethnocentrism Dan Country Of Originterhadap Purchase Intention (Studi Empiris Dalam Membeli iPhone Oleh Mahasi

0 4 17

PENGARUH BRAND IMAGE TERHADAP BRAND EQUITY YANG DIMEDIASI OLEH BRAND AWARENESS Pengaruh Brand Image Terhadap Brand Equity Yang Dimediasi Oleh Brand Awareness (Studi Deskriptif Kuantitatif pada Pendengar Solo Radio FM di SMA Negeri 2 Surakarta).

0 2 15

PENGARUH BRAND IMAGE TERHADAP BRAND EQUITY YANG DIMEDIASI OLEH BRAND AWARENESS Pengaruh Brand Image Terhadap Brand Equity Yang Dimediasi Oleh Brand Awareness (Studi Deskriptif Kuantitatif pada Pendengar Solo Radio FM di SMA Negeri 2 Surakarta).

0 4 10

PENGARUH EFEKTIVITAS IKLAN TERHADAP MINAT BELI YANG DIMEDIASI OLEH CITRA MEREK Pengaruh Efektivitas Iklan Terhadap Minat Beli Yang Dimediasi Oleh Citra Merek.

0 1 16

PENGARUH EFEKTIVITAS IKLAN TERHADAP MINAT BELI YANG DIMEDIASI OLEH CITRA MEREK Pengaruh Efektivitas Iklan Terhadap Minat Beli Yang Dimediasi Oleh Citra Merek.

0 3 20

PERAN BRAND IMAGE SEBAGAI PEMEDIASI PENGARUH COUNTRY OF ORIGIN PADA BRAND EQUITY.

0 0 10

Analisis Pengaruh Brand Endorser pada Intention to The Brand yang dimediasi oleh Attitude to The Brand.

0 1 4

“ANALISIS HUBUNGAN PERCEIVED VALUE, PRICE FAIRNESS, BRAND IMAGE, TERHADAP REPURCHASE INTENTION YANG DIMEDIASI OLEH TRUST DAN CUSTOMER SATISFACTION”.

0 0 2

The Influence of Country of origin on Co

1 1 7