BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode statistik diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:
5.1.1. Statistik Deskriptif
Setelah diteliti lebih lanjut dari populasi 33 kabkota terdapat beberapa kabkota yang tidak berhasil diperoleh secara lengkap baik salah satu atau lebih dari data DAU,
DAK, DBH dan IPM. Oleh sebab itu data DAU, DAK, DBH, dan IPM dari tiap kabupatenkota yang memenuhi syarat untuk diuji adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1. Data Jumlah Kabupaten dan Kota
Kab. Asahan 34.
Kab. Dairi 35.
Kab. Deli Serdang 36.
Kab. Tanah Karo 37.
Kab. Labuhan Batu 38.
Kab. Langkat 39.
Kab. Mandailing Natal 40.
Kab. Nias 41.
Kab. Simalungun 42.
Kab. Tapanuli Selatan 43.
Kab. Tapanuli Tengah 44.
Kab. Tapanuli Utara 45.
Kab. Toba Samosir 46.
Kota Binjai 47.
Kota Medan 48.
Kota Pematang Siantar 49.
Kota Sibolga 50.
Kota Tanjung Balai 51.
Kota Tebing Tinggi 52.
Kota Padang Sidempuan 53.
Kab. Pakpak Bharat 54.
Kab. Nias Selatan 55.
Kab. Humbang Hasundutan 56.
Kab. Serdang Berdagai 57.
Kab. Samosir
Sumber: www.djpkd.depkeu.go.id dan BPS Diolah
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2 berikut ini menyajikan deskriptif statistik atas variabel-variabel yang terlihat dalam penelitian ini.
Tabel 5.2. Statistik Variabel
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum
Mean Std. Deviation
DAU 75
43.40 748.71
282.1023 157.77219
DAK 75
4.00 65.82
24.8223 16.55381
DBH 75
8.55 255.05
37.1629 43.22890
IPM 75
64.50 76.95
72.3867 2.70615
Valid N listwise 75
Rata-rata DAU 25 kabkota di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 282.102.000.000 dan standard deviasinya sebesar
157,77219
. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki DAU minimum adalah Rp. 43.400.000.000 yaitu
berada di Kabupaten Pakpak Barat, sedangkan DAU paling tinggi berada di Kota Medan sebesar Rp. 748.710.000.000.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap
, di mana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah fiscal needs dengan potensi daerah fiscal capacity. Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-
daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya
lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan negatif. Rata-rata DAK 25 kabkota di Provinsi Sumatera Utara sebesar
Rp. 24.822.000.000 dan standard deviasinya sebesar 16,55381. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki DAK minimum adalah Rp. 4.000.000.000 yaitu
berada di Kabupaten Asahan, sedangkan DAK paling tinggi berada di Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar Rp. 65.820.000.000
Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah i kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama
dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasiprasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan ii kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Rata-rata DBH 25 kabkota di Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 37.162.000.000 dan standard deviasinya sebesar 43,22890. Pemerintah
Kabupaten dan Kota yang memiliki DBH minimum adalah Rp. 8.550.000.000 yaitu
Universitas Sumatera Utara
berada di Kabupaten Samosir, sedangkan DBH paling tinggi berada di Kota Medan sebesar Rp. 255.050.000.000.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil by
origin . Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan PBB, Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB, dan bagi hasil sumber daya alam SDA yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun
1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 84 Tahun 2001.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru UU Nomor 17 Tahun 2000, mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan
PPh orang pribadi personal income tax, yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 2529 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan
sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara APBN.
Rata-rata IPM 25 kabkota di Provinsi Sumatera Utara sebesar 72,3867 dan standard deviasinya sebesar 2,70615. Pemerintah Kabupaten dan Kota yang memiliki
IPM minimum adalah 64,50 yaitu berada di Kabupaten Nias Selatan, sedangkan IPM paling tinggi berada di Kota Pematang Siantar sebesar 76,95.
Universitas Sumatera Utara
Metode yang dipakai dalam Indonesia sama dengan metode UNDP, untuk memastikan hasilnya dapat dibandingkan dengan gambaran internasional. Walau
bagaimanapun juga berkaitan dengan ketersediaan data dan juga untuk alasan beberapa substansi maka beberapa modifikasi dari metode. Sebagian dari perbedaan
itu adalah pengukuran pencapaikan pendidikan dalam komponen IPM diganti angka rata-rata lama sekolah menjadi kontribusi angka partisipasi kasar pendidikan dasar,
sekunder dan tertier. Hal lain yang berbeda dengan laporan dunia global report ialah pemakaian database untuk menggambarkan pendapatan. Laporan dunia
memakai GDP per kapita, sedangkan Indonesia memakai pengeluaran per kapita. Untuk rincian lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 2.
5.1.2.
Uji Asumsi Klasik
Oleh karena hipotesa akan diuji dengan memakai alat Uji Reggresi, maka hams dilakukan terlebih dahulu Uji Asumsi Klasik yang terdiri dari: Uji Normalitas,
Uji Multikolinearitas, Uji Autokorelasi dan Uji Heterokedastisitas. 5.1.2.1. Uji normalitas
Hasil pengujian normalitas data pada variabel DAU, DAK, DBH, dan IPM diperoleh hasil sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.1. Histogram Uji Normalitas
Berdasarkan tampilan histogram dan kurva normal yang berbentuk lonceng
maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan sudah berdistribusi normal.
Analisa lebih lanjut dengan menggunakan Normal Probability Plot of Regression Standardized Residual
dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Normal P - P Plot
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengujian menunjukkan bahwa data residual terdistribusi secara normal dimana titik-titik di sekitar garis diagonal dan penyebarannya masih mengikuti garis
diagonal.
5.1.2.2. Uji multikolinearitas
Hasil pengujian multikolinieritas bertujuan untuk menguji pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen IPM disajikan pada Tabel 5.3
di bawah ini yang diambil dari output koefisien korelasi.
Tabel 5.3. Nilai Koefisien Korelasi
Coefficient Correlations
a
Model DBH_X3
DAK_X2 DAU_X1
DBH_X3 1.000
.620 -.838
DAK_X2 .620
1.000 -.723
Correlations DAU_X1
-.838 -.723
1.000 DBH_X3
1.641E-10 2.094E-10
-4.279E-11 DAK_X2
2.094E-10 6.953E-10
-7.590E-11 1
Covariances
DAU_X1 -4.279E-11
-7.590E-11 1.587E-11
a. Dependent Variable: IPM_Y
Berdasarkan koefisien korelasi antar variabel independen tidak ada yang melebihi 0,90 dengan demikian tidak terdapat multikolinearitas dalam model regresi.
Hal ini menunjukkan tidak ada problem multikolinearitas dalam model regresi di atas.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.4. Nilai Tolerance dan VIF
Coefficients
a
Collinearity Statistics Model
Tolerance VIF
DAU_X1 .230
4.345 DAK_X2
.477 2.096
1 DBH_X3
.297 3.372
a. Dependent Variable: IPM_Y
Pengujian menggunakan VIF dan Tolerance menunjukkan bahwa tidak ada yang bernilai lebih dari 10 dan kurang dari 0,1. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat multikolinearitas dalam model regresi.
5.1.2.3. Uji autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam satu model regresi linier ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan sebelumnya.
Tabel 5.5. Hasil Uji Autokorelasi
Model Summary
b
Change Statistics Model
R Square Change F Change
df1 df2
Sig. F Change Durbin-Watson
1 .119
3.184 3
71 .029
1.070 a. Predictors: Constant, DBH_X3, DAK_X2, DAU_X1
b. Dependent Variable: IPM_Y
Kriteria: Jika nilai Durbin Watson di antara -2 sampai 2 maka terdapat No
Autokorelasi Singgih Santoso, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Dari output SPSS nilai Durbin Watson 1,070 maka model ini terbebas dari asumsi klasik autokorelasi. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa DW di daerah No
Autocorelation. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi linear terbebas dari Asumsi Klasik Statistik Autokorelasi.
5.1.2.4. Uji heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam satu model regresi terjadi ketidaksamaan varians residual dari satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang baik adalah regresi yang tidak terdapat Heteroskedastisitas, yaitu model regresi yang memiliki persamaan variance residual
suatu periode pengamatan dengan periode pengamatan yang lain. Uji Heteroskedastisitas ini dapat dilihat pada Gambar 5.3 di bawah ini.
Gambar 5.3. Scatterplot
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar output SPSS Scatterplot di atas bahwa tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka
model regresi berganda tidak terdapat Heteroskedastisitas.
5.1.3. Pengujian Hipotesis