Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan Spontan Basal Ganglia Pada Kelompok Terapi Bedah Dan Konservatif Berdasarkan Penilaian Mich Score

(1)

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI

PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF

BERDASARKAN PENILAIAN MICH

SCORE

TESIS

Oleh:

Ahmad Brata Rosa NIM: 097116003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wata'ala, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -besarnya kepada Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, Sp.BS, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, Sp.BS selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Bedah. Saraf FK USU, para guru penulis : Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, Sp.BS, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, Sp.BS, Prof.


(4)

dr. Adril Arsyad Hakim, Sp.S, Sp.BS, Dr. dr. RR. Suzy Indharty, Sp.BS, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.

5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan tesis ini.

6. Para senior, teman-teman sejawat penulis yang memberikan bantuan dalam penulisan tesis in, khususnya dr. Abdurrahman Mouza, dr. Marsal Risfandi, dr. Teuku Yose dan dr. Alvin Abrar.

7. Seluruh perawat/paramedis di berbagai tempat di mana penulis bertugas, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama ini.

8. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

Kepada istriku tercinta Dr. Sumi Ramadani, Sp.PD, terima kasih atas kesabaran dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga cita-cita kita berdua dapat segera tercapai.

Terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda tercinta Said Astachri Koto dan ibunda Rosmawati Lubis yang telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya pada anak-anaknya sehingga cita-cita kami dapat tercapai. Sungguh kasih dan kebaikan ayahanda dan ibunda tidaklah terucapkan dan terbalaskan. Demikian pula teruntuk mertua saya (Alm) Dr. Zulhelmi Bustami, Sp.PD-KGH dan Dr. Sukarni Slamet, yang telah ikut mendoakan saya dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.


(5)

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat.

Medan, April 2014


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... KATA PENGANTAR. ...

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR SINGKATAN ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

ABSTRAK ... vi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ... 3

1.3. TUJUAN PENELITIAN ... 3

1.4. MANFAAT PENELITIAN ... 4

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI BASAL GANGLIA ... 5

2.2. PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN ... 6

2.3. EDEMA PERIHEMATOMA ... 8

2.4. MANIFESTASI KLINIS PIS ... 9

2.5. FAKTOR RISIKO PIS ... 11

2.6. ETIOLOGI ... 12

2.7. MORBIDITAS DAN MORTALITAS ... 18

2.8. DIAGNOSIS ... 20

2.9. PENATALAKSANAAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN ... 22

2.10. MODIFIED INTRACEREBRAL HEMORRHAGE SCORE ... 27

2.11. KERANGKA TEORI ... 28

BAB III: KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. KERANGKA PENELITIAN ... 31

3.2. VARIABEL PENELITIAN ... 31


(7)

BAB IV: METODE PENELITIAN

4.1. RANCANGAN PENELITIAN ... 34

4.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 34

4.3. SUBYEK PENELITIAN ... 34

4.4. KRITERIA PENELITIAN ... 34

4.5. POPULASI DAN SAMPEL ... 35

4.6. ALUR PENELITIAN ... 36

4.7. KERANGKA KERJA ... 37

4.8. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 37

4.9. INFORMED CONCENT ATAU ETHICAL CLEARENCE ... 37

BAB V: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL PENELITIAN ... 38

5.2. PEMBAHASAN ... 41

BAB VI: SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN ... 45

6.2. SARAN ... 45


(8)

DAFTAR SINGKATAN

ACA Anterior Cerebral Artery AVM Artery Venous Malformation CAA Cerebral Amyloid Angiopathy

CBF Cerebral Blood Flow

CSF Cerebro Spinal Fluid

CT SCAN Computed Tomography Scan EVD External Ventriculo Drainage

GCS Glasgow Coma Scale

ICP Intra Cranial Pressure MCA Middle Cerebral Artery

MICH Modified Intracerebral Hemorrhage MRI Magnetic Resonance Imaging PCA Posterior Cerebral Artery

PIS Perdarahan Intraserebral Spontan PIV Perdarahan Infra Ventrikuler SCA Superior Cerebral Artery STN Sub Thalamic Nucleus


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. MICH Score ... 28

Tabel 3.1. MICH Score ... 32

Tabel 3.2. Glasgow Coma Scale ... 33

Tabel 5.1. Data Karakteristik Demografi Dasar Subjek Penelitian ... 38

Tabel 5.2. Data Karakteristik Penyakit Dasar Subjek Penelitian. ... 39

Tabe15.3. Persentase Mortalitas Pasien Terapi Konservatif Berdasarkan MICH Score. ... 39

Tabel 5.4. Persentase Mortalitas Pasien Terapi Operatif Berdasarkan MICH Score ... 39


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ... 5

Gambar 2.2 ... 6

Gambar 2.3 ... 8

Gambar 2.4 ... 9

Gambar 2.5 ... 12

Gambar 2.6 ... 14

Gambar 2.7 ... 28

Gambar 2.8 ... 28

Gambar 3.1 ... 29

Gambar 4.1 ... 35


(11)

ABSTRAK

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF BERDASARKAN PENILAIAN MICH SCORE

Ahmad Brata Rosa, Abdul Gofar Sastrodningrat, Iskandar Japardi Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap perdarahan intraserebral spontan (PIS) adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score). MICH score ini merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS spontan, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya perdarahan intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Tujuan penelitian ini ialah untuk membandingkan mortalitas penderita PIS yang mendapat terapi bedah dengan terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4. Penelitian ini bersifat Cohort Prospektif, yang dilakukan terhadap 40 pasien yang mengalami PIS di RS H. Adam Malik Medan. Setelah ditentukan MICH score, pasien dikelompokkan kedalam kategori mendapat terapi bedah atau konservatif, kemudian diikuti mortalitasnya selama 30 hari dan dibandingkan kedua kelompok tersebut. MICH score 2 menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif, dan 81% pada terapi operatif. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 75%, dan subjek dengan terapi operatif sebesar 65%. Tidak dijumpai perbedaan kejadian mortalitas 30 hari antara kelompok konservatif dan operatif dalam penelitian ini (p=0,490).


(12)

ABSTRAK

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF BERDASARKAN PENILAIAN MICH SCORE

Ahmad Brata Rosa, Abdul Gofar Sastrodningrat, Iskandar Japardi Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap perdarahan intraserebral spontan (PIS) adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score). MICH score ini merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS spontan, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya perdarahan intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Tujuan penelitian ini ialah untuk membandingkan mortalitas penderita PIS yang mendapat terapi bedah dengan terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4. Penelitian ini bersifat Cohort Prospektif, yang dilakukan terhadap 40 pasien yang mengalami PIS di RS H. Adam Malik Medan. Setelah ditentukan MICH score, pasien dikelompokkan kedalam kategori mendapat terapi bedah atau konservatif, kemudian diikuti mortalitasnya selama 30 hari dan dibandingkan kedua kelompok tersebut. MICH score 2 menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif, dan 81% pada terapi operatif. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 75%, dan subjek dengan terapi operatif sebesar 65%. Tidak dijumpai perbedaan kejadian mortalitas 30 hari antara kelompok konservatif dan operatif dalam penelitian ini (p=0,490).


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS), atau yang biasa disebut stroke hemoragik, merupakan gangguan vaskular yang cukup sering terjadi di Indonesia. Stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang mempunyai prevalensi tinggi di dunia. Stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker, bahkan di Indonesia stroke menempati urutan teratas penyebab kematian di Indonesia diiringi oleh tuberculosis (TBC) dan hipertensi. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, jumlah pasien stroke yang rawat inap di seluruh rumah sakit Indonesia sebanyak 44.365 orang dan yang meninggal mencapai 8.878 dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 20,01% (Riset Kesehatan Dasar tahun 2007). Pentingnya penatalaksanaan yang akurat dan tepat terhadap penyakit ini. Beberapa sentra kesehatan melakukan beberapa penelitian batasan antara terapi konservatif dan operatif pada penatalaksanaan stroke hemoragik. Tetapi belum ada ketetapan yang jelas batasan kapan dilakukan terapi konservatif atau operatif terhadap pasien stroke (Hemphill, 2001). Intracerebral Hemorrhage Score (ICH score) telah dipakai di beberapa sentra bedah saraf untuk menentukan prognosis dari pasien PIS dengan sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi. Tetapi ICH score tidaklah dapat menjadi ketetapan dalam pemilihan terapi dalam penatalaksanaan PIS.

Pada institusi ini, operasi dilakukan dengan melihat besarnya volume hematoma dan jarak hematoma dari permukaan otak. Hal ini sesuai dengan kriteria American Heart association/American Stroke Association (AHA/ASA). Indikasi operasi pengangkatan clot meliputi: volume hematoma lebih dari 30 cc dan hematoma terletak ≤ 1 cm dari korteks, tanpa


(14)

memperhitungkan GCS awal. Pada penelitian STICH didapatkan bahwa pasien dengan PIS lobar dengan GCS 9 – 12 akan menghasilkan outcome yang lebih baik jika dilakukan tindakan operasi. Dan pasien GCS ≤ 8 akan memberikan outcome yang lebih buruk jika dilakukan tindakan operasi dibandingkan dengan tindakan konservatif. Karena itu diperlukan sistem penilaian yang menggabungkan berbagai komponen yang dapat mempengaruhi outcome pasien PIS untuk menentukan batasan antara terapi konservatif dan operatif pada PIS.

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap PIS adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score) (Cho, 2008). Cho meneliti 226 pasien PIS yang dilakukan tindakan operatif dan konservatif. Penelitian ini terbatas hanya pada pasien-pasien dengan perdarahan intraserebral pada basal ganglia, dikarenakan tingginya insiden terjadinya PIS pada basal ganglia. Meliputi 50-70% dari seluruh kasus PIS. Perdarahan intraserebral spontan pada lokasi lain, seperti: lobar, serebelum ataupun batang otak, dieksklusikan.

MICH score merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya Perdarahan Intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Hasilnya menunjukkan terapi konservatif direkomendasikan untuk perdarahan basal ganglia pada pasien dengan MICH score yang rendah (0-1) untuk mempertahankan fungsi neurologis. Pembedahan dianjurkan pada pasien dengan MICH score pada level tengah untuk menghasilkan outcome fungsional yang lebih baik (MICH 2) dan untuk menurunkan angka mortalitas (pada MICH score 3 atau 4). Pada MICH score 5, tidak ada lagi indikasi tindakan bedah.

Dalam penelitian sebelumnya pasien-pasien dengan skor MICH 0 dan 1 memiliki indeks Barthel dan Glasgow Outcome Scale (GOS) yang lebih baik dibanding dengan terapi bedah. Dan angka mortalitasnya juga sangat rendah. Untuk itu pasien dengan MICH score 0


(15)

dan 1 dieksklusikan dari penelitian ini, dikarenakan pembedahan tidak memberikan perbaikan hasil akhir klinis dan menurunkan angka mortalitas (Cho, 2008). Pada pasien dengan skor MICH 5, semua pasien yang diterapi konservatif maupun operatif meninggal. Sehingga pasien dengan MICH score 5 dieksklusikan. Mortalitas yang lebih tinggi pada pasien dengan. PIS basal ganglia yang mendapat terapi bedah terhadap pasien yang mendapat terapi konservatif ditunjukkan pada MICH score 2, 3 dan 4. Sebagai contoh, pada nilai 3 mortalitas terapi konservatif 97% dan terapi bedah 35%. Atas dasar ini maka peneliti membatasi skor hanya pada 2-4. Sistem penilaian ini sangat sederhana, karena sistem penilaian ini hanya melihat GCS awal, volume perdarahan dan ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Penelitian yang menggunakan MICH score ini belum pernah dilakukan di Indonesia, sehingga peneliti ingin mengetahui bagaimana jika penelitian ini dilakukan pada pasien-pasien di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di R. S. Adam malik.

Pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap pasien-pasien dengan nilai MICH score 2-4, dengan tujuan untuk melihat apakah pada terapi pembedahan lebih bermanfaat dibandingkan dengan konservatif pada rentang MICH score 2-4.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah analisis mortalitas 30 hari pasien perdarahan spontan di basal ganglia pada kelompok terapi operatif dan kelompok terapi konservatif pada rentang MICH score 2- 4?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum:

Menganalisis mortalitas 30 hari pasien perdarahan spontan di basal ganglia pada kelompok terapi operatif dan kelompok terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4.


(16)

1.3.2. Tujuan Khusus:

a. Mengetahui mortalitas penderita perdarahan spontan basal ganglia yang mendapat terapi bedah pada perawatan 30 hari.

b. Mengetahui mortalitas penderita perdarahan spontan basal ganglia yang mendapat terapi konservatif pada perawatan 30 hari.

1.4. Manfaat Penelitian

Menjadikan MICH score sebagai salah satu patokan bagi dokter bedah saraf untuk menentukan pemilihan terapi terhadap pasien dengan perdarahan spontan basal ganglia.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Basal Ganglia

Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus (eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).

Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA, yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial substansia nigra dan sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA


(18)

adalah yang terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).

Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah.

2.2 Perdarahan Intraserebral Spontan

Perdarahan Intraserebral Spontan adalah perdarahan pada jaringan otak yang bukan disebabkan oleh trauma kepala ataupun patologi lain seperti tumor, aneurisma, malformasi arteri vena, kavernoma dan sebagainya. Perdarahan intraserebral spontan penyebab stroke kedua tersering setelah stroke iskemik (Mohr, 1978; Broderick, 1993). Estimasi insidensi pada stroke perdarahan berkisar antara 16 sampai 33 kasus per 100.000 kasus stroke (Sacco, 2009).

Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen, dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga


(19)

15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag, 1968; Furlan, 1979).

Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan dan pons dan serebelum (Manish, 2012).

Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).


(20)

2.3 Edema Perihematoma

Edema perihematoma ditandai dengan hipodensitas disekeliling hematoma intraserebral pada CT scan. Edema perihematoma ini menjadi perhatian oleh beberapa praktisi untuk dijadikan sebagai target terapi. Pembentukan edema setelah terjadi perdarahan intraserebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, herniasi otak, dan kematian.

Wagner (1996) memasukan komponen whole blood ke intraserebal untuk sebagai percobaan dan edema perihematoma terjadi 1 jam setelah pemberian whole blood. Ketika diberikan hanya komponen sel darah merah saja, edema tidak terjadi bahkan pada 72 jam pasca pemberian. Hal ini menandakan bahwa edema yang terjadi pada fase awal disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam serum dan bukan yang terkandung dalam sel darah merah, atau terjadi kebocoran cairan akibat cedera pada sawar darah otak (blood brain barrier). Edema yang terjadi setelah 72 jam diakibatkan oleh lisis sel darah merah atau kerusakan sawar darah otak.

Penelitian berikutnya melaporkan bahwa edema perihematoma dapat terjadi dengan menggunakan faktor pembekuan. Elemen kaskade pembekuan yang dapat menimbulkan edema adalah thrombin dan fibrinogen (Lee, 1996). Fenomena ini telah dikonfirmasi oleh kelompok peneliti yang berbeda yang melaporkan bahwa darah yang telah diberikan heparin yang disuntikkan kedalam otak, menimbulkan edema perihematoma yang minimal dibandingkan dengan darah yang tidak diberikan heparin. Dikarenakan pada otak yang tidak disuntikkan heparin, edema terbentuk sangat cepat (Xi, 1998).

Pada penelitian yang dilakukan dengan subyek manusia, Gebel (1998) melaporkan bahwa kebanyakan perdarahan yang disebabkan oleh terapi trombolitik memiliki karakteristik volume perdarahan yang besar dengan edema perihematoma yang minimal. Hal ini konsisten


(21)

dengan temuan bahwa aktivitas faktor pembekuan berhubungan dengan pembentukan edema perihematoma pada fase awal.

Gambar 2.3. Potongan axial dan gambaran MRI Brain yang menggunakan teknik FLAIR yang diambil pada penderita perdarahan intraserebral spontan 48 jam dan onset serangan (A

dan B) dan pada hari ke 7 (C). Tampak perdarahan putaminal dengan edema perihematoma (Venkatasubramanian, 2011).

Sebagai kesimpulan, aktivasi kaskade pembekuan darah merupakan hal penting dalam fase awal pembentukan edema perihematoma. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh terapi trombolitik atau koagulopati memiliki edema perihematoma yang lebih sedikit dibandingkan dengan perdarahan intraserebral spontan.

2.4 Manifestasi Klinis PIS

Beberapa inisial gejala klinis pada PIS meliputi nyeri kepala, hemiparesis, perubahan status mental, dan juga penurunan kesadaran. Juga disertai dengan simtom susulan seperti mual, muntah, gangguan visus, dan diplopia. Beberapa simtom berbeda pada PIS, tergantung dari lokasi lesi. Pada perdarahan supra tentorial terutama pada perdarahan basal ganglia akan menampilkan hemiparesis pada kontralateral lesi. Pada perdarahan infra tentorial akan menimbulkan efek cepat ke batang otak seperti koma, intranuclear ophthalmoplegy, reflex pupil yang abnormal, quadriparesis, dan postur dekortikasi (Nyquist, 2010).


(22)

Gambar 2.4. Gambaran anatomis pembuluh darah basal ganglia. A) Lenticulo striata merupakan cabang dan Ml yang memperdarahi basal ganglia dan kapsula interna. B) Ruptur arteri Lenticulo Striata menyebabkan infark pada kapsula interna yang menyebabkan hemiparesis.

Muntah terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (51% dan 47%) dibandingkan pada stroke iskemik (4%-10% kasus). Tujuh puluh delapan persen penderita dengan perdarahan subarachnoid mengalami nyeri kepala pada onset serangan, sedangkan pada sepertiga pasien yang mengalami perdarahan intraserebral spontan mengalami nyeri kepala, dibandingkan dengan hanya 3% hingga 12% pasien stroke iskemik yang mengalami nyeri kepala. 24% pasien perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral spontan mengalami koma, dibandingkan hanya 5% saja pada penderita stroke iskemik. Onset serangan yang gradual terjadi pada 63% penderita perdarahan intraserebral spontan dan hanya 34% pasien yang mengalami onset yang mendadak. Sedangkan pada stroke iskemik hanya 5% sampai 20% pasien saja yang mengalami onset yang gradual, sedangkan pada perdarahan subarachnoid onset gradual hanya terjadi pada 14% pasien.


(23)

2.5 Faktor Risiko PIS

Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Baik tekanan sistolik maupun diastolik merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi merupakan presentasi klinis tersering pada kasus stroke terutama pada PIS. Pada pasien dengan perdarahan intraserebral spontan memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 100mHg meliputi 91% pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat hipertensi sebelumnya (Mohr, 1990).

Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai risiko relatif 1,5-2,2 (Abbort, 1986; Colditz, 1988; Shinteon, 1989). Faktor risiko yang lain adalah kadar kolesterol darah, rendahnya kadar kolesterol darah merupakan faktor risiko dan terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Iso (1989) menyatakan dalam penelitiannya bahwa risiko terjadinya PIS tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan kadar kolesterol rendah dibandingkan yang tinggi. Tetapi hiperkolesterolemia berhubungan dengan stroke non hemoragik.

Salah satu mekanisme terjadinya stroke akibat rendahnya kadar kolesterol darah adalah dikarenakan kadar kolesterol darah berhubungan dengan konsentrasi asam arakidonat pada membran sel. Asam arakidonat adalah komponen struktural yang penting dan membran sel pada endotel pembuluh darah. Dan metabolit dari asam arakidonat berperan dalam tonus pembuluh darah dan perbaikan dan dinding endotel pembuluh darah. Maka kekurangan kolesterol akan meningkatkan risiko terjadinya stroke (Golfetto, 2001).

Tingginya konsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko terjadinya PIS. Meskipun demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak memberikan efek dan bahkan dapat mencegah terjadinya PIS (Biller, 1998).


(24)

warfarin sering menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun demikian pemakaian antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan risiko stroke, tetapi dosis optimal belum diketahui. Dosis aspirin yang dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan dosis yang direkomendasikan 325 mg/hari (American Heart Association: Guidelines for the management of transient ischemic attacks, 1994).

2.6 Etiologi

Beberapa etiologi telah dikemukakan dalam beberapa penelitian, seperti hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pemakaian anti koagulan, pemakaian beberapa obat dan alkohol, aneurisma, dan AVM. Tetapi secara garis besar etiologi terjadinya PIS terbagi menjadi primer dan sekunder. PIS primer disebabkan oleh karena gangguan pada pembuluh darah yang disebabkan hipertensi kronis atau CAA, ini merupakan penyebab tersering dari PIS, meliputi 80% dan seluruh kasus PIS. PIS sekunder berhubungan dengan malformasi vaskular, tumor atau gangguan koagulasi.

2.6.1 Hipertensi

Hipertensi diduga kuat merupakan penyebab utama terjadinya PIS. Hipertensi kronis menyebabkan degenerasi dan dinding pembuluh darah kecil yang berasal dan arteri serebri anterior, media dan posterior. Perubahan ini dapat mengurangi compliance, sehingga pembuluh darah mudah ruptur. Tekanan darah normal adalah 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Hipertensi terbagi kedalam empat tingkat, yaitu: prehipertensi untuk tekanan darah sistolik/diastolik 120-139/80-89 mmHg, hipertensi tingkat 1 untuk tekanan darah 140-159/90-99 mmHg, tingkat 2 untuk tekanan 160-179/100-109 mmHg, dan tingkat 3 untuk tekanan darah >190/>110 mmHg. Risiko terjadinya PIS bervariasi pada beberapa penelitian tentang hubungan tingginya risiko PIS dengan tingkat hipertensi. Tingkat rekurensi PIS dikarenakan hipertensi kronis adalah 2%, tetapi dapat diturunkan dengan


(25)

pemakaian obat-obatan anti hipertensi secara teratur (Furlan, 1979).

2.6.2 Cerebral amyloid angiopathy (CAA)

CAA merupakan penyebab utama perdarahan lobar pada kelompok lanjut usia (Okazaki, 1983; Vinters, 1987). Gambaran patologi dari CAA ini berupa deposisi protein amiloid pada tunika media dan tunika adventisia dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler, dan yang jarang terjadi, pada vena (Vonsattel, 1991; Mandybur, 1978; Maruyama, 1990). Destruksi elemen pembuluh darah yang normal oleh deposisi amiloid pada tunika media dan adventisia dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Pembuluh darah yang sudah mengalami gangguan ini rentan untuk mengalami ruptur oleh trauma ataupun perubahan tekanan darah yang mendadak (Ueda, 1988). CAA juga berperan pada kelainan transient neurologic symptoms dan demensia akibat leukoencephalopathy (Greenberg, 1993).

Gambar 2.5. Gambaran skematis manifestasi iskemik dan hemoragik yang diakibatkan oteh sporadic CAA yang tampak pada MRI. (Charidimou, 2012)

CAA hampir selalu terjadi di daerah lobar. Deposisi amiloid di dalam pembuluh darah kortikal semakin meningkat seiring pertambahan usia. Pada individu berusia 60 hingga 69 tahun, hanya 5% sampai 8% yang memiliki amyloid angiopathy dibandingkan dengan 57%


(26)

sampai 58% pada individu yang berusia diatas 90 tahun. Deposisi ini lebih sering dijumpai di daerah parietal dan occipital, dan jarang terjadi di daerah basal ganglia, batang otak, atau serebelum.

Okazaki dan Whisnant (1983) melaporkan bahwa amyloid angiopathy terjadi pada 5 dari 17 individu yang berusia 65 tahun ke atas yang mengalami perdarahan intraserebral, dan Drudy dan kawan-kawan melaporkan bahwa separuh dari perdarahan intraserebral yang dialami oleh individu yang berusia 65 tahun ke atas memiliki perdarahan lobar. Sifat rekurensi dan multifokal yang dimiliki oleh CAA ini menjadi ciri khusus yang membedakan jenis perdarahan ini dengan perdarahan yang disebabkan oleh hipertensi, yang jarang sekali terjadi berulang. Hill (2000) melaporkan pasien dengan perdarahan lobar memiliki 4 kali mengalami perdarahan berulang di lokasi lobar.

2.6.3 Apolipoprotein E dan CAA

Beberapa penelitian menyebutkan peranan genotip apolipoprotein Eε2 (ApoE2) (setidaknya satu alel ApoE2) dan genotip apolipoprotein Eε4 (ApoE4) pada perdarahan intraserebral yang berkaitan dengan CAA. Greenberg melaporkan bahwa dan 45 kasus perdarahan lobar yang dikumpulkan di Massachusetts dibandingkan dengan 1899 population based controls dari Iowa, kasus perdarahan lobar memiliki prevalensi dua kali lipat memiliki ApoE4 dibandingkan kontrol tersebut. Individu yang memiliki carrier alel ApoE4 memiliki kecenderungan untuk mengalami serangan perdarahan pertama kali 5 tahun lebih awal dibandingkan individu yang non-carrier. Nicoll et al melaporkan bahwa diantara 36 pasien yang telah dikonfirmasi atau probable memiliki CAA secara patologi, ApoE4 memiliki faktor risiko mengalami penyakit Alzheimer, tetapi bukan merupakan faktor risiko independen untuk perdarahan yang disebabkan oleh CAA. Para peneliti ini melaporkan 42% kasus CAA


(27)

memiliki ale ApoE2. Skema patofisiologi peranan genotip apolipoprotein E yang berkaitan dengan CAA menyebabkan terjadinya PIS, dapat dilihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6. Peranan produksi Amyloid-β(Aβ) dan ApoE dalam kejadian PIS (Charidimou A, 2012).


(28)

Berdasarkan diagram diatas ditemukan bahwa sumber utama dari Aβ berasal dart sel neuron. Produksi Aβ diawali dengan pelepasan protein prekursor amiloid (APP) oleh sekretase β- dan γ sesuai dengan proporsi aktivitas neuron. Aβ dieliminasi oleh otak melalui

Empat jalur utama: (a) degradasi proteolitik oleh endopeptidase (seperti neprilysin dan insulin degrading enzyme (IDE)); (b) pembersihan yang dimediasi oleh reseptor di sel pada parenkim otak (microglia, astrosit dan sebagian kecil oleh neuron); (c) transport aktif kedalam darah melalui sawar darah otak; (d) eliminasi di sepanjang jalur perivaskuler dimana cairan interstisial mengalir ke otak. Carrier khusus (seperti ApoE) dan/ atau mekanisme transport reseptor (seperti low density lipoprotein receptor (LDLR) dan LDLR related protein (LRP1)) terlibat pada seluruh jalur pembersihan selular utama. Deposisi vaskular difasilitasi oleh faktor-faktor yang meningkatkan rasio Aβ40:Aβ42 (peningkatan Aβ42 menyebabkan oligomerisasi dan pembentukan plak amiloid). Apabila proses pembersihan ini gagal karena misalnya faktor usia, Aβ akan terjebak dan tidak terdrainase di jalur perivaskuler ke dalam membrane basalis kapiler atau arteriol otak yang menyebabkan terjadinya CM. Alel ApoE memiliki efek yang berbeda pada proses selular dan molecular pembentukan AO. (8) Peranan dari alel ApoE yang berbeda pada berbagai jalur di otak yang berperan pada pathogenesis terjadinya CM (Charidimou A, 2012).

2.6.4 Koagulopati dan perdarahan intraserebral pasta terapi trombolitik

Koagulopati baik disebabkan oleh kelainan kongenital maupun akibat efek samping pengobatan, berhubungan dengan terjadinya perdarahan intraserebral. Penggunaan antikoagulan Coumadin memiliki peningkatan risiko 6 hingga 11 kali lipat terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Petty et al melaporkan bahwa risiko terjadinya perdarahan intraserebral meningkat dan waktu ke waktu dari 1% pada 6 bulan, menjadi 7% pada 2 hingga


(29)

3 tahun pengobatan. Meskipun dosis obat yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan risiko perdarahan, kebanyakan kasus perdarahan terjadi pada rentang dosis standar. Riwayat stroke atau trauma kepala sebelumnya tidak jelas berhubungan dengan perdarahan akibat koagulopati.

Perdarahan intraserebral akibat terapi trombolitik 20% terjadi di luar distribusi vaskular yang terlibat stroke iskemik. Gebel melaporkan bahwa 77% perdarahan intraserebral akibat terapi trombilitik terjadi di daerah lobar. Perdarahan akibat terapi trombolitik terjadi soliter pada 66% kasus, konfluens pada 80% kasus, dan menunjukan gambaran blood-fluid level pada 82% kasus. Pfleger (1994) melaporkan bahwa gambaran blood-fluid level 98% spesifik untuk adanya PT atau APTT yang tidak normal.

2.6.5 Perdarahan akibat infark serebri

Infark serebri memiliki risiko terjadi perdarahan intraserebral sebesar 5 hingga 22 kali lipat. Hubungan yang erat antara infark dengan perdarahan intraserebral tidak mengherankan, karena kedua kelainan ini memiliki faktor risiko yang sama, yakni hipertensi. Pada penelitian di Greater Cinninati, 15% pasien yang mengalami perdarahan intraserebral memiliki riwayat stroke sebelumnya. Woo (2002) juga melaporkan bahwa 13% dari seluruh perdarahan intraserebral disertai faktor risiko stroke iskemik.

2.6.6 Hipokolesterolemia

Hipokolesterolemia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral dibandingkan individu yang memiliki kadar kolesterol yang normal. Analisis multivariat yang dilaporkan oleh (Giroud, 1995) di Dijon, Perancis, faktor risiko yang signifikan pada perdarahan intraserebral adalah hipertensi dan kadar kolesterol yang rendah. (Okumura, 1999) juga melaporkan bahwa kadar kolesterol yang rendah juga merupakan faktor risiko yang signifikan pada pria, dan tidak signifikan secara statistik pada wanita. (Segal, 1999)


(30)

melaporkan bahwa 47% kasus perdarahan intraserebral yang letaknya dalam memiliki kadar kolesterol yang rendah dibandingkan dengan 27% pada kasus perdarahan lobar.

2.6.7 Konsumsi alkohol

Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya perdarahan intraserebral (Caicoya, 1999) melaporkan bahwa mengkonsumsi alkohol lebih dari 140g per hari memiliki OR 6.2 (CI:1.3-24.0) terhadap terjadinya perdarahan intraserebral. Monforte melaporkan hubungan ini paling signifikan terjadi pada perdarahan lobar. Pada penelitian Greater Cincinnati, multivariate OR untuk konsumsi alkohol yang berlebihan (>2 gelas per hari) terhadap terjadinya perdarahan lobar adalah 5.3 (CI: 1.4-20). Woo et al melaporkan bahwa 8% seluruh perdarahan lobar disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan.

2.7 Morbiditas dan Mortalitas

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya, yaitu dengan mortalitas 30 hari sebesar 18%. Pada penelitian sebelumnya berkisar antara 23%-58% (Wijdicks, 2004; Qureshi, 2001; Lisk, 1994; Broderick, 1993; Mayer, 2008; Naidech, 2009; Becker, 2001). PIS score adalah skala yang valid dalam menentukan prognosis dari suatu PIS. Dikarenakan skala ini menggabungkan antara besar hematoma, GCS, ada atau tidak PIV dan usia pasien. Becker mengatakan bahwa variabel terpenting untuk menentukan outcome dan suatu PIS adalah tingkat dari dukungan medis yang disediakan. Persepsi dari kegagalan terapi agresif mengarah pada pemberhentian awal dukungan medis, yang mana PIS nya sedikit menyerupai PIS pada pasien yang ditangani secara pembedahan (Becker, 2001), Ini mungkin menjadi penelitian yang bernilai apabila PIS pasien mempunyai hasil akhir yang lebih baik pada volume tinggi yang sering kali diterapi dengan medis dan pembedahan, suatu fenomena yang ditunjukkan pada penanganan


(31)

pembedahan aneurisma yang belum pecah (Barker, 2003). Dilaporkan mortalitas 30 hari tertinggi pada PIS adalah yang berlokasi pada basal ganglia, yaitu sekitar 50%. Kemudian disusul oleh perdarahan thalamus sekitar 23%. Perdarahan serebellum 16% dan perdarahan lobar dan pons adalah PIS yang memiliki angka mortalitas terendah yaitu 13%, dan outcome jangka panjang yang baik (Cheung, 2003) (Salvati, 2001).

Salah satu yang diperdebatkan dalam manajemen post PIS jangka panjang ialah mengenai penggunaan antikoagulan. Pada suatu penelitian, data epidemiologis dari literatur medis digunakan untuk mendapatkan model Markov-state transition decision. Keberhasilan terapi diukur dengan kualitas angka harapan hidup (Eckman, 2003). Peneliti menemukan bahwa pada pasien dengan lobar PIS sebelumnya menunda penggunaan antikoagulan akan menghasilkan outcome lebih baik bagi kualitas angka harapan hidup sebanyak 1,9 kali. Sebaliknya, pada pasien dengan deep interhemispheric PIS, dikarenakan rendahnya risiko recurrent PlS akibat ketiadaan amyloid angiopathy, sebaiknya tidak diberikan antikoagulan untuk keadaan fibrilasi atrium non katup, namun antikoagulan disertai aspirin tetap diberikan apabila terdapat risiko moderat-tinggi kejadian trombo-emboli dan ditambah coumadin bila risiko tersebut sangat tinggi. ASA Stroke Council (Broderick, 2007) dan EUSI guidelines (Steiner, 2006) merekomendasikan antikoagulan warfarin bagi pasien yang memiliki katup jantung buatan selama 7-14 hari setelah onset PIS (Butler, 1998). Angka rekurensi PIS diperkirakan 2,4% per tahun, dan 3,8 kali lipat lebih tinggi setelah lobar PlS cerebral amyloid angiopathy dibandingkan dengan hypertensive deep PIS (Hill, 2000). Faktor yang berperan sebagai prediktor positif perdarahan berulang yaitu usia diatas 65 tahun dan jenis kelamin pria (Vermeer, 2002).

Volume perdarahan juga memegang peranan terhadap prognosis pasien dengan PIS secara signifikan. Meskipun demikian, volume perdarahan pada PIS pada daerah yang dalam dan pada lobar memiliki prognosis yang berbeda, dikarenakan perdarahan pada bagian dalam


(32)

lebih tidak dapat menolerir adanya perdarahan yang luas. Hematoma dibagi menjadi perdarahan kecil (≤30cm3), sedang (30-60 cm3), dan luas (≥ 60 cm3). Mortalitas 30 hari pada hematoma yang kecil, sedang dan luas adalah 23%, 60%, dan 71% untuk perdarahan lobar, dibandingkan dengan 7%, 64%, dan 93% untuk hematoma pada daerah otak yang dalam (Broderick, 1993). Secara keseluruhan mortalitas 30 hari untuk lobar hematoma adalah 39% dan 48% untuk hematoma yang dalam. Volume perdarahan juga berhubungan dengan terjadinya perdarahan ulang. Pada salah satu penelitian retrospektif menyebutkan bahwa perdarahan ulang pada PIS dengan volume <25 cm3adalah 39% dibandingkan dengan volume perdarahan >25 cm3

2.8 Diagnosis

yaitu 23% (Kazui S, 1997).

Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada intrakranial jika perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan memberikan gambaran yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan memberikan gambaran hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan intraserebral CT juga dapat menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya hidrosefalus. Jika terdapat lesi lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda.

Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur volume dari hematom. Salah satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu dengan menggunakan alat bantu komputer yang dilengkapi dengan neuronavigasi (BrainLab®). Data gambar CT scan


(33)

diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk perencanaan navigasi (Iplan® Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan dengan menggunakan software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian volume perdarahan akan dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm3

Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat diestimasi dengan menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui volume perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

. Tetapi pada keadaan emergensi, hal ini sulit untuk dilakukan.

Perdarahan intraventrikular dapat terlihat dengan adanya gambaran hiperdens di dalam sistem ventrikel. Perdarahan ini bisa meliputi salah satu ventrikel ataupun seluruh sistem ventrikel. Jika ventrikel tidak terisi penuh oleh darah, dapat dilihat gambaran fluid level dari hematom. Hal ini penting diperhatikan untuk membedakan perdarahan dari kalsifikasi plexus choroid, dikarenakan keduanya menampilkan gambaran hiperdens pada intraventrikular.

Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari sistem ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio evans. Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan jarak biparietal terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%.

MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama sehingga sulit untuk melakukannya berulang-ulang. MRI tidak


(34)

dianjurkan untuk tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan. Tetapi dengan MRI dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti ditemukannya gambaran tumor, malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap merupakan pilihan diagnostik sekunder setelah CT.

Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan vascular, seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA, penemuan lesi vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA dapat dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi emergensi.

2.9 Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral Spontan 2.9.1 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan terbaik untuk perdarahan intraserebral spontan masih menjadi perdebatan. Terapi medikamentosa, tindakan bedah ataupun kombinasi dari keduanya masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi inti penatalaksanaan PIS adalah untuk memperbaiki fungsi neurologis, dengan menyelamatkan penumbra di sekitar PIS. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa penumbra yang mengelilingi suatu hematoma mengandung sel saraf yang hampir rusak dan kadang masih reversibel. Pada PIS jaringan otak akan ditekan oleh hematoma yang keluar dari pembuluh darah. Pada penelitian Bullock dkk. (1984) terhadap hewan percobaan menyebutkan penekanan tersebut akan menyebabkan terjadinya edema, iskemik, dan nekrosis pada batas dari clot. Bahkan volume dan penumbra ini dapat melebihi dan volume perdarahan. Sehingga kemungkinan defisit neurologis yang disebabkan oleh adanya penumbra akan bersifat reversibel jika penumbra berhasil diselamatkan. Studi SPECT dapat menampilkan gambaran jaringan penumbra menunjukkan iskemia reversibel.


(35)

Seluruh pasien PIS dirawat di ICU neurologi. Infus terpasang dan tekanan darah sistolis dipertahankan antara 100-140 mmHg menggunakan obat antihipertensi intra vena Selain itu, pasien juga diberikan manitol dan obat antiepileptik, pemasangan EVD, serta untuk proteksi penumbra dilakukan kontrol gula darah, suhu, dan pemberian obat hemostatik untuk mencegah perdarahan ulang.

Dikarenakan beberapa kasus kegagalan manitol menurunkan ICP dan efek rebound, maka dikembangkan agen osmolar baru berupa larutan garam hipertonis 23,4% , yang dapat diberikan secara bolus 30 cc. Efek penurunan ICP bertahan hingga 15 jam. Studi random masih diperlukan untuk obat altematif ini.

EVD dipasang pada kasus PIS yang disertai dengan PIV yang berujung pada hidrosefalus obstruktif. Untuk mencegah clot diberikan 5 mg tPA 2 kali/hari i.v sesuai dengan penelitian sebelumnya (Goh, 1998). Setelahnya EVD ditutup selama 30 menit jika ICP tidak naik, untuk mencegah tPA keluar dan ventrikel.

PIS sering diikuti oleh kejang, sekitar 5-10% pada perdarahan supratentorial (Passero,2002). Dikarenakan kejang dapat meningkatkan tekanan intrkranial, maka pemberian obat antiepileptik profilaksis dianjurkan (Broderick , 1999).Demam sering terjadi pada PIS, ditemukan 90% pada perdarahan supratentorial. Dan semakin sering dan parah pada perdarahan intrventrikular. Demam dapat menyababkan outcome jangka panjang yang buruk. Untuk itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan menggunakan asetaminofen ataupun kompres dingin hingga temperatur ≤ 37,50C (Schwarz, 2000).

Pada perdarahan intraserebral dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien nondiabetik maupun dengan penyakit diabetes. Dan hiperglikemia juga merupakan predictor outcome yang buruk bagi pasien diabetik maupun nondiabetik (Passero, 2003). Untuk mengontrol kadar gula darah diberikan insulin intravena dengan menggunakan syringe pump hingga kadar


(36)

gula darah dipertahankan 80-110 mg/d1. Pada penelitian Van den Berghe G dkk. (2006) mengemukakan bahwa dengan pengontrolan kadar gula darah yang ketat dapat mengurangi angka mortalitas terutama yang disebabkan sepsis dan kegagalan beberapa organ.

Terapi hemostasis dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pertambahan perdarahan ataupun perdarahan ulang beberapa jam setelah serangan. Pada pasien dengan koagulopati diberikan FFP, prothrombin complex concentrate dan faktor IX. Terapi pengganti faktor VIII dan IX diberikan pada pasien dengan hemofilia A dan B. Cryoprecipitate diberikan pada pasien dengan hipofibrinogenemia. Dan Desmopressin Diacetate Arginine Vasopressin (ddAVP) diberikan pada pasien gangguan trombosit.

Pada PIS juga dapat diberikan neuroprotektor, yang berguna untuk melindungi penumbra disekitar hematoma. Neuroprotektor yang telah terbukti secara klinis adalah GABA antagonist muscimol dan NMDA receptor antagonists MK801 dan D-(E)-4-(3- phodphonoprop- 2-enyl)-piperazine-2-carboxylic acid (D-CPP-ene). Obat-obatan ini telah terbukti mengurangi edema dan melindungi white matter pada hewan percobaan (Mendelow, 1993).

2.9.2 Tindakan Pembedahan pada Perdarahan Intraserebral Spontan Terdapat beberapa bukti eksperimental yang menyatakan bahwa evakuasi hematoma yang dilakukan segera dapat memperbaiki cerebral blood flow (CBF), perubahan histologis, edema serebri, iskemia, dan outcome. Lia kematian pada perdarahan intraserebral terjadidalam 48 jam setelah onset dan pertambahan volume atau rebleeding terjadi maksimal dalam 3 hingga 4 jam dan terus berlangsung hingga 24 jam setelahnya. Oleh sebab itu, tindakan operasi dapat meningkatkan outcome. Beberapa bukti klinis juga mendukung tindakan operasi yang segera. Salah satu cabang dan arteri lentikulostriata yang ruptur dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan hematoma hipertensif yang bermakna. Tindakan


(37)

koagulasi pada pembuluh darah tersebut yang dilakukan dengan segera dapat menguntungkan. Eksaserbasi terjadi tiba-tiba dan kebanyakan terjadi pada 4 hingga 6 jam setelah onset perdarahan, evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan klinis. Oleh karena perubahan sekunder seperti edema otak terjadi dalam 7 hingga 8 jam setelah perdarahan, maka tindakan evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perubahan sekunder tersebut.

Kaneko dan kawan-kawan melakukan pengamatan pada 100 perdarahan putaminal yang dilakukan operasi dalam 7 jam setelah onset. Seluruh pasien mengalami hemiplegia, dengan skor GCS berkisar antara 6 hingga 12 dan volume hematoma diatas 20 hingga 30 cm3. Mortalitas mencapai 7% dan useful recovery dalam 6 bulan mencapai 83%. Dua pasien meninggal akibat eksaserbasi yang terjadi sangat cepat sebelum tindakan operasi dilakukan, dan dua pasien yang lain meninggal akibat reakumulasi hematoma. Hasil penelitian ini menunjukan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kasus serial yang dilaporkan oleh Yukawa dan Kanaya, yang tidak menekankan tindakan operasi segera pada perdarahan intraserebral (28.6% angka mortalitas dan 62.8% angka useful recovery). Pasien-pasien dalam kelompok penelitian Kaneko dan kawan-kawan menunjukan nilai neurologis preoperatif yang lebih baik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan operasi yang segera ini dapat menghentikan proses perburukan lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut tidak dimasukkan pasien-pasien dengan skor GCS 13 dan volume hematoma antara 20 cm3 hingga 30 cm3

Hasil penelitian tersebut diatas juga didukung oleh analisis retrospektif pada kelompok pasien dengan hematoma putaminal yang berukuran sedang. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Juvela dan kawan-kawan, 52 pasien dengan skor GCS antara 7 hingga 10 tidak memperoleh keuntungan dari tindakan operasi yang dilakukan setelah 24 jam. Tindakan operasi dapat memperbaiki angka mortalitas apabila dilakukan dalam 13 jam.


(38)

Medical Research Council dan Stroke Association mendanai proyek penelitian Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STPIS) yang dilakukan pada tahun 1998. Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif dan randomized yang membandingkan tindakan operatif yang segera dengan pengobatan konservatif pada penderita perdarahan intraserebral spontan. Tindakan operasi yang dilakukan dalam 24 jam dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Analisis didasari oleh intention-to-treat basis. Pada 6 bulan, 468 pasien diacak untuk dilakukan tindakan operasi segera, dan 122 (26%) menunjukkan favorable outcome dibandingkan dengan 118 (24%) dari 496 pasien yang diacak memperoleh pengobatan konservatif (OR, 0.89 [95% CI, 0.66 hingga 1.19]; p= ,414). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tidak dijumpai overall benefit dari tindakan operasi yang dilakukan segera dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Tetapi setelah dilakukan analisis yang seksama pada CT scan kelompok pasien yang dimasukan dalam penelitian STPIS ini, ada 42% pasien yang memiliki perdarahan intraventrikular. Telah diketahui bahwa pasien yang memiliki perdarahan intraventrikel baik mengalami hidrosefalus atau tidak, memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki perdarahan intraserebral saja. Apabila kelompok pasien ini dikeluarkan dari penelitian ini dan menambahkan kelompok pasien dengan hematoma yang letaknya di superfisial menunjukan manfaat yang lebih baik pada tindakan operasi. Apabila penilaian prognosis yang digunakan adalah Rankin score pada subgroup pasien tersebut, maka menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok yang memperoleh tindakan operasi (p=013). Analisis yang dilakukan lebih lanjut oleh Auer dan kawan-kawan dan Teemstra dan kawan-kawan mendukung hipotesis bahwa subgroup pasien dengan perdarahan lobar memperoleh manfaat yang lebih baik apabila dilakukan tindakan operatif yang segera.

Perdarahan yang terjadi di serebelum atau di dekat batang otak, dianjurkan untuk dievakuasi apabila diameternya diatas 3 cm. Perdarahan serebelum cenderung berkembang


(39)

cepat menyebabkan perburukan neurologis atau kematian karena letaknya dekat dengan batang otak. Pada penderita dengan GCS 13 atau kurang dengan perdarahan 4 ml atau lebih perlu dilakukan evakuasi. Beberapa penulis lain lebih menekankan beberapa sindroma serebelar dan saraf kranial sebagai dasar untuk pengambilan keputusan operasi di samping kriteria radiologis diatas.

2.9.3 Teknik operasi pada perdarahan intraserebral spontan

Meskipun Chushing merupakan manusia yang sukses pertama kali melakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma intraserebral, beberapa ahli bedah setelahnya secara sporadis juga berhasil dalam operasi intraserebral hematoma, bahkan meliputi perdarahan intrakranial akibat trauma maupun spontan (Penfield,1933) (Bagley,1932) (Doughty, 1938). Pada tahun 1932, Bagley pertama kali mendeskripsikan indikasi evakuasi berdasarkan lokasi hematoma.

Pada tahun 1961, McKissock dan kawan-kawan mempublikasikan sikap pesimistik terhadap tindakan operasi pada perdarahan intraserebral spontan. Mereka melaporkan angka mortalitas sebesar 51% pada 244 pasien yang dilakukan operasi dan mortalitas 100% pada pasien yang koma. Mortalitas setelah tindakan operasi dilaporkan bervariasi pada penelitian-penelitian berikutnya berkisar antara 20% hingga 90% pada penderita koma dengan perdarahan ganglionik dan thalamik yang lokasinya dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang saling kontroversial tersebut, kemudian muncul beberapa teknik minimal invasive seperti tindakan aspirasi sederhana, aspirasi menggunakan stereotaktik, pengobatan menggunakan fibrinolitik, aspirasi mekanik, dan endoskopi.

Kraniektomi dekompresi tanpa melakukan evakuasi clot juga dapat memberikan hasil klinis yang baik pada perdarahan basal ganglia. Heuts dkk. (2013) melakukan penelitian


(40)

terhadap pasien dengan basal ganglia yang dilakukan hemikraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot dan didapati mortalitas 6 bulan sebesar 20%. (Simon G. 2013)

Secara keseluruhan teknik operasi yang dipakai pada penatalaksanaan tindakan bedah pada perdarahan spontan basal ganglia meliputi: evakuasi clot dengan open surgery dan endoscopy atau hanya kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot.

2.10 Modified Intracerebral Hemorrhage Score

Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH Score) merupakan skala modifikasi dari ICH score hemphill yang dibuat oleh Cho dkk. (2008). MICH score ini dipakai sebagai skala pengambilan keputusan tindakan untuk perdarahan spontan basal ganglia, apakah perlu dilakukan tindakan operasi atau hanya terapi konservatif. MICH score ini berbeda dengan ICH score, dikarenakan ICH score hanya untuk menentukan prognosis tetapi tidak untuk pilihan terapi.

MICH score terdiri dari beberapa komponen, meliputi GCS, volume perdarahan dan ada atau tidak terdapat PIV atau hidrosefalus. Setiap komponen akan diberikan nilai. Akumulasi dari seluruh nilai komponen inilah yang disebut MICH score.

Komponen GCS pada MICH score terbagi kedalam 3 kelompok nilai. GCS 15 - 13 bernilai 0, GCS 12 - 5 bernilai 1, dan GCS 4 - 3 bernilai 2. Pembagian kelompok GCS ini dibuat berdasarkan keriteria GCS PIS score hemphill.

Volume perdarahan dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu kelompok dengan volume perdarahan 20 ml, volume perdarahan 21 - 50 ml, dan volume perdarahan ≥ 51 ml. Kelompok ini juga dibuat berdasarkan penelitian Hemphill. Volume perdarahan dihitung dengan menggunakan rumus AxBxC/2 seperti yang disebutkan sebelumnya. Nilai dari setiap


(41)

kelompok secara berurutan adalah: volume perdarahan ≥ 20 ml bernilai 0, volume perdarahan 21 - 50 ml bernilai 1,dan volume perdarahan ≥ 51 ml bernilai 2.

Komponen terahir adalah ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Jika terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 1, dan jika tidak terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 0.

Tabel 2.1 MICH score.

Komponen Nilai

GCS

• 15-13 0

• 12-5 1

• 4-3 2

Volume PIS

• < 20 ml 0

• 21-50 ml 1

• > 51 ml 2

PIV / Hidrosefalus

• Ada 0

• Tidak ada 1

Total MICH score 0-5

Cho dkk. meneliti 226 pasien dengan perdarahan basal ganglia. Kemudian pasien dibagi kedalam 2 kelompok, kelompok yang diterapi dengan terapi bedah dan kelompok yang diterapi dengan konservatif. Mereka meneliti hasil akhir klinis pada kedua kelompok dengan melihat GOS dan Barthel index selama satu tahun. Penelitian ini dianalisis dengan chi-square test dan Student's t-tests. Cut-off MICH score dikalkulasi dengan menggunakan youden index.

Hasil penelitian menunjukkan terapi konservatif menunjukkan angka barthel index yang lebih baik pada MICH score 0 dan 1 dibandingkan dengan terapi bedah. Pada MICH score 2 tindakan bedah menunjukkan hasil akhir klinis yang lebih baik dari tindakan konservatif. Dan pada MICH score 3 dan 4 menunjukkan bahwa terapi bedah menurunkan tingkat mortalitas yang signifikan. Tetapi pada MICH score 5 pasien yang mendapat terapi konservatif maupun terapi bedah semuanya meninggal. Hasil penelitian ditunjukkan seperti pada grafik dibawah ini.


(42)

Gambar 2.7. Grafik mortalitas pasien kelompok konservatif dibandingkan dengan kelompok pembedahan (Chou, 2008).

2.11 KERANGKA TEORI

Gambar 2.8. Diagram Kerangka Teori

Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS) Perdarahan intraventrikular (PIV)

Edema Perihematoma

Peningkatan TIK

Herniasi Otak

Mortalitas

MICH Score Vol darah

Hipertensi Merokok Hiperkolesterolemia

Konsumsi alkohol Pemakaian Anti Koagulan

Operatif Konservatif GCS Hidrosefalus

Komorbid:

• Usia

• DM

• Koagulopati

• Uremia


(43)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka konsep 3.2 Variabel Penelitian

Adadua variabel pada penelitian ini, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Definisi operasional kedua variabel tersebut ialah:

3.2.1 Variabel Terikat Mortalitas 30 hari

Mortalitas 30 hari adalah tingkat kematian pasien yang dipantau dalam waktu 30 hari dan waktu terjadinya tanda dan gejala dan perdarahan intrakranial, baik pada kelompok terapi bedah maupun kelompok terapi konservatif.

3.2.2 Variabel Bebas 1. Terapi Konservatif

Terapi konservatif adalah terapi non-bedah yang meliputi pengontrolan jalan napas, pernafasan dan sirkulasi, juga penatalaksanaan terapi non-bedah untuk mengontrol tekanan intrakranial.


(44)

2. Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan tindakan operasi yang dilakukan terhadap pasien meliputi dekompresi maupun pengangkatan hematom. Pada kelompok ini, terapi konservatif seperti diatas tetap diberikan setelah dilakukan operasi.

3. MICH Score

MICH score (Modified Intracerebral Hemorrhage score) adalah skala yang dipakai dalam menentukan pilihan terapi pada perdarahan basal ganglia. Skala ini merupakan akumulasi dari beberapa nilai dari abnormalitas yang terjadi pada perdarahan basal ganglia, meliputi GCS, volume perdarahan, dan ada atau tidaknya PlV/ hidrosefalus.

Tabel 3.1. MICH Score.

Komponen Nilai

GCS • 15-13 • 12-5 • 4-3 0 1 2 Volume ICH

• ≤ 20 ml

• 21-50 ml

• ≥ 51 ml

0 1 2 PIV / Hidrosefalus

• Ada

• Tidak ada

0 1

Total MICH score 0-5

a. Glasgow Coma Scale (GCS)

GCS adalah skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran penderita yang mengalami perdarahan intraserebral spontan dengan komponen sebagai berikut; Eye (1-4), Motorik (1-6), Verbal (1-5) dengan nilai terendah adalah GCS 3 dan nilai tertinggi adalah GCS 15. GCS 3-8 dikategorikan sebagai koma. GCS yang dimaksud pada penelitian ini adalah GCS awal pasien diterima oleh peneliti setelah dilakukan resusitasi.


(45)

Tabel 3.2. Glasgow Coma Scale.

Kategori Respons Nilai

EYE (respons mata) • Membuka spontan

• Membuka dengan rangsangan suara

• Membuka dengan rangsangan nyeri

• Tidak ada respons

4 3 2 1 MOTOR ( respons motorik) • Menuruti perintah

• Melokalisir nyeri

• Menghindari nyeri

• Flexi abnormal

• Ekstensi abnormal

• Tidak ada respons

6 5 4 3 2 1 VERBAL ( respons verbal) • Berbicara dan mengerti dengan jelas

• Berbicara ngawur, disorientasi

• Mengeluarkan kata yang tidak berarti

• Suara yang tidak jelas, mengerang

• Tidak ada respons

5 4 3 2 1

TOTAL GCS 3 – 15

b. Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah dilatasi sistem ventrikel yang terbukti dari CT scan kepala akibat gangguan dinamika cairan serebrospinalis yang menyebabkan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

c. Perdarahan Intra Ventrikel

Perdarahan Intra Ventrikel ialah adanya perdarahan di dalam sistem ventrikel.

3.3 Hipotesis

Ada perbedaan kejadian mortalitas 30 hari pasien dengan perdarahan basal ganglia kelompok terapi bedah dan terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4.


(46)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cohort prospektif. Pasien dengan perdarahan basal ganglia akan dihitung MICH score. Lalu dilihat mortalitas 30 hari pasien yang mendapat terapi konservatif maupun terapi operatif

4.2 Tempat dan Waktu penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan mulai Januari 2012 hingga November 2013

4.3 Subyek Penelitian

Subyek penlitian adalah seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4 Kriteria Penelitian 4.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan perdarahan spontan pada basal ganglia dengan MICH score 2-4 2. Onset serangan dibawah 48 jam

3. Belum ada intervensi terapi serebral (seperti: manitol, citicolin, semax dan lain sebagainya) maupun tindakan operasi


(47)

4.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan hematome yang sangat kecil ( < 10 ml) dan dengan hematome yang sangat besar (>100 ml)

2. Pasien dengan PIS yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, AVM, perdarahan tumor, dan trauma kepala

3. Koagulopati atau riwayat penggunaan antikoagulan 4. Pasien dengan gagal ginjal

4.5 Populasi dan Sampel 4.5.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan pada basal ganglia dengan MICH score 2-4 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

4.5.2 Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus uji hipotesis dua kelompok data independen. Besar sampel ditentukan berdasarkan consecutive sample sesuai dengan urutan datang pasien yang mendapat tindakan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama periode penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:

Rumus : n1=n2 = n = ��∝�2�̅

(1−�̅)+��1(1−�1)+�2(1−�2)2 (�1−�2)2

Z : tingkat kepercayaan 95% = 1,96 Z :kekuatan uji 80e7

P1 : probabilitas kematian pada terapi konservatif = 0,95 (Cho 2008) /0 = 0,841

P2 : probabilitas kematian pada terapi bedah = 0,5 ��: �1 +�2

2


(48)

4.6 Alur Penelitian

Pasien yang diterima di IGD adalah seluruh pasien dengan penurunan kesadaran secara tiba-tiba, kemudian pasien akan dilakukan resusitasi dan kemudian diukur GCS. Seluruh pasien akan diperiksakan kadar darah rutin, hemostasis, faal ginjal dan faal hati, AGDA, juga head CT scan nonkontras. Pasien dengan onset serangan lebih dari 48 jam, dengan pemakaian antikoagulan, sirosis hati dan perdarahan yang kurang dari 10 cc atau lebih dari 100 cc akan dieksklusikan. Dilakukan penghitungan score MICH. Pasien dengan MICH score 0, 1 dan 5 dieksklusikan. Selanjutnya seluruh pasien dengan score MICH 2, 3, 4 itu akan ditawarkan untuk dilakukan tindakan operasi. Pasien yang menolak tindakan operasi akan ditindaki secara konservatif, yang nantinya menjadi acuan untuk tindakan konservatif pada score MICH 2-4. Pasien yang diterapi secara bedah akan dilakukan tindakan craniectomy decompresi dan evakuasi PIS. Pasien akan dirawat di ICU paska operasi. Sementara pasien konservatif diberikan terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial seperti elevasi kepala 30°, terapi manitol, phenitoin, manajemen tekanan darah dan pernafasan. Pasien akan diberikan anti hipertensi dan dijaga agar TD sistolik tidak melebihi 140 mmHg. Pernapasan dibantu dengan pemberian oksigen dengan nasal kanul ataupun masker. Seluruh pasien dengan saturasi kecil dari 96% akan diintubasi dan dibantu dengan ventilator jika perlu. Akan dibandingkan mortalitas pasien yang mendapat terapi bedah dan konservatif dalam 30 hari ke depan.


(49)

4.7 Kerangka Kerja

Gambar 4.1. Kerangka kerja 4.8 Pengolahan dan Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan software statisik komputer, hasil data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Analisis data menggunakan chi-square.

4.9 Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Informed consent meliputi penjelasan patologi penyakit, tindakan dan komplikasi terhadap pasien atau keluarga pasien. Penelitian dilaksanakan bila pasien ataupun keluarga pasien setuju.

Perdarahan Basal Ganglia

•GCS

•Volume PIS

•Ada atau tidak PIV/HCP

MICH Score

Konservatif Operatif


(50)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik Medan, selama periode Januari 2012 hingga November 2013, dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 40 orang.

Subjek berjenis kelamin pria 17 orang (9 orang mendapat terapi konservatif dan 8 orang mendapat terapi bedah). Subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 23 orang (11 orang mendapat terapi konservatif dan 12 orang mendapat terapi bedah). Rata-rata usia subjek penelitian yang mendapatkan terapi konservatif yaitu 56,10 ± 10,30 SD dan terapi bedah yaitu 51,3 ± 9,42 SD (Tabe15.1). Mean score GCS awal masuk pada subjek yang diterapi konservatif adalah 8,5 ± 1,9 SD dan 7,9 ± 2,07 SD pada subjek yang diterapi pembedahan. Volume perdarahan pada subjek tindakan konservatif sebanyak 41,5 cc ± 34,27 SD sedangkan pada subjek tindakan operatif sebanyak 54,95 cc ± 19,95 SD. Kejadian PIV/hidrosefalus di awal penelitian pada subjek dengan tindakan konservatif yaitu 17 kasus dari 20 kasus (85%) dan subjek dengan tindakan operatif yaitu 11 kasus dari 20 kasus (55%). Rerata MICH score untuk subjek terapi konservatif adalah 2,85 ± 0,88 dan subjek terapi operatif adalah 3,15 ± 1,53. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 15/20 (75%) dan subjek dengan terapi operatif sebesar 13/20 (65%) (Tabel 5.2).

Tabel 5.1. Data Karakteristik Demografi Dasar Subjek Penelitian

Variabel Konservatif Operatif

Usia 56,10 ± 10,30 51,3 ± 9,42

Jenis kelamin

Laki-laki 9 (45%) 8 (40%)


(51)

Tabel 5.2. Data Karakteristik Penyakit Dasar Subjek Penelitian

Variabel Konservatif Operatif

GCS 9,7 ± 2,36 7,9 ± 2,07

Volume perdarahan 48,47 ± 34,12 54,95 ± 19.95

PIV / Hidrosefalus 17 (85%) 11 (55%)

MICH Score 2,85 ± 0,88 3,15 ± 1;53

Mortalitas 15 (75%) 13 (65%)

Mortalitas pada MICH score yang berbeda didapati meliputi: MICH score 2 menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif dan 81% pada terapi operatif.

Tabel 5.3. Persentase mortalitas pasien terapi konservatif berdasarkan MICH score. MICH Score

Konservatif

Mati Hidup Total % Mortalitas

MICH Score 2 5 4 9 55,6

MICH Score 3 4 1 5 80

MICH Score 4 6 0 6 100

Tabel 5.4. Persentase mortalitas pasien terapi operatif berdasarkan MICH score. MICH Score

Operatif

Mati Hidup Total %Mortalitas

MICH Score 2 3 4 7 42

MICH Score 3 1 1 2 50


(52)

Gambar 5.1. Persentase mortalitas pasien perdarahan basal ganglia yang mendapat terapi bedah dan konservatif menurut MICH score.

Dengan tabulasi silang dibandingkan kedua pilihan terapi sesuai dengan MICH score, didapatkan mortalitas sebagai outcome yang lebih banyak terjadi pada kedua jenis terapi (28 kasus). Mortalitas pada terapi konservatif sebanyak 15 kasus dan 13 kasus pada terapi operatif (label 5.5).

Tabel 5.5.Analisis Mortalitas 30 Hari Terapi Konservatif dan Operatif Outcome (n=40)

Mati (n=28) Hidup (n=12) Terapi

Konservatif

15 5 20

Terapi Operatif

13 7 20

Total 28 12 40

Chi-Square p = 0,49 ,

Setelah dilakukan uji analisis statistik hubungan mortalitas dan jenis terapi diperoleh nilai p=0,490, sementara p value yang digunakan untuk menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan ialah p < 0,05. Hal ini berarti tidak dijumpai perbedaan bermakna antara mortalitas pasien yang mendapat tindakan konservatif maupun operatif.


(53)

Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan hubungan yang signifikan antara volume PIS dengan skala GCS pasien (p= -0,299), hal ini menunjukkan bahwa semakin besar volume PIS pasien semakin rendah tingkat GCS pasien. Akan tetapi tidak didapat hubungan yang signifikan antara mortalitas dengan ada atau tidaknya PIV (p=0.252) begitu juga antara volume PIS dengan tingkat mortalitas pasien (p=0.262).

5.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan angka mortalitas pasien perdarahan basal ganglia pada rentang MlCH score 2-4 yang mendapat terapi bedah dan terapi konservatif. Pada penelitian sebelumnya (Cho, 2008) disebutkan bahwa angka mortalitas konservatif lebih tinggi dibandingkan dengan terapi bedah untuk rentang MICH score 2-4. Pada penelitian ini memperlihatkan tidak ada hubungan bermakna antara terapi konservatif dan terapi bedah pada kasus ini. Seluruh terapi memperlihatkan angka mortalitas diatas 50%. Tetapi dari data yang didapat memperlihatkan angka mortalitas terapi bedah (65%) masih dibawah terapi konservatif (75%).

Perbedaan signifikan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Cho, 2008) terletak pada pasien yang mendapat terapi operatif. Pada penelitian sebelumnya persentase mortalitas pada seluruh nilai MICH score (kecuali score 0 dan 5) pada terapi operatif adalah kurang dari 50%, pada penelitian ini didapat nilai mortalitas 65% dengan persentase tertinggi adalah pada score 4 (81%). Hal ini diperkirakan disebabkan adanya beberapa hal yang berbeda meliputi perbedaan teknik operasi, sumber daya manusia, juga perbedaan timing operasi, dan perawatan pasca operasi.

Teknik operasi yang digunakan pada penelitian sebelumnya ialah dengan menggunakan endoskopi yang bersifat minimal invasif. Dikarenakan keterbatasan fasilitas, peneliti menggunakan teknik open surgery. Kerusakan otak mungkin akan lebih besar dengan


(54)

open surgery dikarenakan eksplorasi pada otak akan lebih banyak pada open surgery. Hal ini mungkin menyebabkan perbedaan mortalitas antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya.

Timing dilakukannya operasi dan terjadinya perdarahan juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Timing operasi pada penelitian sebelumnya dibawah 24 jam, dikarenakan sulitnya mendapatkan kasus dibawah 24 jam, peneliti menetapkan onset operasi dibawah 48 jam. Hal ini mungkin menyebabkan perburukan pada sampel - sampel penelitian ini. Beberapa penelitian melaporkan variasi yang luas tentang timing dilakukannya tindakan bedah, mulai dan 4 jam hingga 96 jam dari onset serangan. Pada penelitian Kaneko (1983) melaporkan 100 kasus dengan perdarahan putamen mengalami outcome yang memuaskan dengan tindakan bedah dalam waktu kurang dan 7 jam. Tetapi beberapa penelitian (pantazis, 2006; Zuccarello, 1999; Morgenstern 2001) melaporkan terdapat variasi outcome pasien yang mendapat operasi dalam 12 jam setelah onset. Beberapa penelitian lain, tidak ada perbedaan kejadian mortalitas yang signifikan antara pasien-pasien yang dioperasi pada 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam setelah serangan dibandingkan dengan terapi konservatif (Tan, 2001; Juvela, 1989; Wang, 2009; Mendelow, 2005). Bahkan operasi yang dilakukan kurang dari empat jam setelah terjadinya onset serangan meningkatkan risiko perdarahan ulang (Morgenstern, 2001)

Perbedaan sumber daya manusia, dalam hal ini operator dan perawat bedah, juga menjadi salah satu pembeda dalam penelitian ini. Perbedaan meliputi kemampuan operasi, pengalaman operasi, dan alat instrumentasi.

Perawatan paska operasi juga memegang peranan dalam keberhasilan satu operasi. Ketidaktersediaan alat, seperti ICP monitoring, ataupun serial CT scan yang tidak dapat dilakukan, membuat tenaga medis menjadi kurang tanggap dalam pemantauan ICP. Dimana peningkatan ICP dapat disebabkan oleh penambahan edema ataupun perdarahan ulang.


(55)

Meskipun pada penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan bedah secara statistik tidak signifikan lebih superior dibandingkan terapi konservatif, akan tetapi jika dilihat dari ilustrasi kasus pada setiap MICH score, tindakan bedah tetap lebih unggul dalam menurunkan angka mortalitas. Hal ini jelas terlihat, terutama pada MICH score 4 dimana semua pasien konservatif meninggal dan pasien yang diterapi bedah masih ada yang dapat hidup (19%). Juga pada score 3 mortalitas pada terapi konservatif 80% dan terapi bedah 50%.

5.2.1 Keterbatasan penelitian

MICH score merupakan akumulasi dari beberapa komponen klinis meliputi GCS, perdarahan dan ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Untuk itu belum jelas komponen mana yang memperburuk mortalitas pada kasus ini.

Pada MICH score, PIV/hidrosefalus merupakan salah satu komponennya. Tetapi nilai yang diberikan hanya berdasarkan ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus tersebut. MICH score tidak memperdulikan seberapa banyak PIV atau seberapa besar hidrosefalus. Karena besarnya hidrosefalus atau luasnya PIV akan menentukan prognosis dari pasien. Salah satu sistem penilaian yang menentukan prognosis dan PIS berdasarkan luasnya PIV adalah IVH score (IVHS) (Hwang 2012). Pada IVHS keterlibatan dari satu setengah ventrikel lateral, satu ventrikel lateral, kedua ventrikel lateral ataupun keterlibatan ventrikel 3 atau 4 memberikan prognosis yang semakin buruk, ditambah lagi jika adanya hidrosefalus. Tetapi pada MICH score tidak memperhitungkan luas dari PIV. Pada penelitian ini didapati bahwa angka kematian meningkat pada pasien yang disertai dengan perdarahan intraventrikular/ hidrosefalus. Pada terapi bedah didapati, dari 13 orang yang mati, 9 orang (70%) diantaranya disertai dengan perdarahan intravenrikular /hidrosefalus. Pada terapi konservatif dari 15 orang yang mati, 14 orang (93%) diantaranya disertai PIV/hidrosefalus. Akan tetapi tidak didapati


(56)

hubungan yang signifikan antara mortalitas dengan ada atau tidaknya PIV (p=0.252). Hal ini disebabkan pada beberapa pasien yang hidup juga terdapat PIV atau hidrosefalus.

Terdapat variasi angka kematian pada volume perdarahan dan GCS awal pasien. Beberapa pasien dengan volume perdarahan diatas 50 cc dapat bertahan hidup setelah mendapat terapi bedah, tetapi tidak ada satu pun yang hidup dengan terapi konservatif.

Keterbatasan yang lain pada penelitian ini adalah teknik pengukuran volume perdarahan. Peneliti menghitung volume perdarahan secara manual dengan menggunakan rumus AxBxC/2 mengikuti rancangan penelitian terdahulu (Kothari, 1996). Perhitungan ini mungkin dapat memberikan hasil yang berbeda dengan perhitungan melalui sistem komputerisasi. Namun penelitian Kothari (1996), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perhitungan manual dengan menggunakan rumus AxBxC/2 dibandingkan dengan komputerisasi.


(57)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

a. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari pada kelompok dengan terapi konservatif sebesar 75%, dan kelompok dengan terapi operatif sebesar 65%.

b. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan apakah terapi bedah lebih dapat menurunkan angka mortalitas dibandingkan tindakan konservatif pada rentang MICH score yang direkomendasikan pada penelitian sebelumnya (p=0,490).

6.2 Saran

a. Perlu ada penelitian yang lebih lanjut untuk membandingkan tingkat mortalitas pada setiap nilai MICH score sehingga dapat memberikan hasil yang lebih signifikan.

b. Perlu adanya penelitian yang menggunakan sistem penilaian lain untuk menentukan batasan pemilihan terapi pada perdarahan intraserebral spontan pada institusi ini.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Abbort, R.D., Yin,Y., Reed, D.M., Yano, K., 1986. Risk of stroke in male cigarette smokers. N Engl J Med, 315(12), pp. 717-720.

Ad Hoc Committee on Guidelines for the Management of Transient Ischemic Attacks of the Stroke Council of the American Heart Association, 1994. Guidelines for the management of transient ischemic attacks. Stroke, 25, pp. 1320-35

Bagley, C., 1932. Spontaneous cerebral hemorrhage. Arch. Neurol. & Psychiat, 27, p.1133.

Barker, F.G., Amin-Hanjani, S., Butler W.E., Ogilvy, C.S., Carter, B.S., Neurosurgery, 52, pp. 995-1007

Becker, K.J., Baxter, A.B., Cohen, W.A., Bybee, H.M., Tirschwell, D.L., Newell, D.W, et al., 2001. Neurology, 56, p. 766-772

Biller, J., Feinberg, W.M., Castaldo, J.E., Whittemore, A.D., Harbaugh, R.E., Dempsey, R.J., et al., 1998. Guidelines for carotid endarterectomy: A Statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Circulation, 97(5), p. 501-509.

Broderick, J.P., Brott, T.G., Duldner, J.E., Tomsick, T., Huster, G Stroke, 24, pp. 987-993


(59)

Broderick, J.P., Adams, Jr., H.P., Barsan, W., Feinberg, W., Feldmann, E., Grotta, J., et al., Stroke, 30, pp. 905-915

Broderick, J., Connolly, S., Feldmann, E., Hanley, D., Kase, C., Krieger, D., et al., 2007. Circulation, 116, p. e391-e413

Bullock, R., Mendelow, A.D., Teasdale, G.M., Graham, D.I., Neurol Res, 6, pp. 184-188

Butler, A.C., Tait, R.C.,

Br J Haematol, 103, pp.

1064-1066

Caicoya, M., Rodriguez, T., Corrales, C., et al., 1999. Alcohol and stroke: A community case-control study In Asturias, Spanish. J Clin Epidemiol, 52, pp. 677-684

Cheung, R.T., Zou, L.Y., 2003. Stroke, 34, pp. 1717-1722

Cho, D.Y., Chen, C.C., Lee, W.Y, Lee, H.C., Ho, L.H., 2008. A New Modified Intracerebral Hemorrhage Score for treatment decisions in basal ganglia hemorrhage—a randomized trial. Crit Care Med, 36(7), pp. 2151-2156.

Colditz, G.A., Bonita, R., Stampfer, M.J., et al., 1988. Cigarette Smoking And Risk Of Stroke In Middle-Aged Women. N Engl J Med, 318(15), pp. 937-941.

Doughty, R., 1938. Post traumatic delayed intracerebral hemorrhage. South. Med. J, 31, p. 254


(1)

(2)

Lampiran: 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Assalamualaikum Wr.Wb., Salam sejahtera, Selamat pagi/siang/malam Bapak/Ibu, perkenalkan, nama saya dr. Ahmad Brata Rosa, saya sedang menjalani pendidikan spesialis bedah saraf dan S2 di Fakultas Kedokteran USU/RS HAM. Pada hari ini, saya hendak meminta kesediaan bapak/ibu atau keluarga bapak/ibu untuk ikut didalam penelitian saya yang berjudul “Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan Spontan Basal Ganglia Dengan Sistem Penilaian MICH Score yang Mendapat Terapi Bedah dan Terapi

Konservatif”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pilihan terapi yang terbaik terhadap pasien dengan perdarahan spontan pada basal ganglia, yaitu jenis perdarahan kepala yang sedang Bapak/Ibu atau keluarga dari Bapak/Ibu alami saat ini. Apakah nantinya tindak lanjut terapi bersifat obat-obatan/konservatif ataupun dengan tindakan operasi, akan ditentukan sesuai penilaian/skor dan persetujuan Bapak/Ibu sendiri. MICH Score (Modified Intracerebral hemorrhage score) merupakan salah satu penilaian yang baik dilakukan untuk penderita perdarahan basal ganglia.

Adapun prosedur penelitian yang nantinya akan Bapak/Ibu atau keluarga Bapak/Ibu jalani selama penelitian ini adalah:

- Pemeriksaan fisik neurologis, tanda vital - Diukur Skala Koma Glasgow (SKG)

- Pemeriksaan laboratorium darah rutin, fungsi ginjal dan fungsi hati, kadar oksigen, juga scanning kepala tanpa zat kontras.

- Dilakukan penghitungan score MICH. Pasien dengan score MICH 2,3,4 akan ditawarkan untuk dilakukan tindakan operasi. Pasien yang menolak tindakan operasi akan ditindaki secara konservatif, yang nantinya menjadi acuan untuk tindakan konservatif pada score MICH 2-4.

- Pasien yang diterapi secara bedah akan dilakukan tindakan Craniectomy decompresi dan evakuasi ICH. Pasien akan dirawat di ICU setelah operasi.


(3)

- Bapak/Ibu/keluarga akan diikuti perkembangannya dalam 30 hari ke depan. diberi alat bantu nafas/mesin ventilator.

Segala biaya, pemeriksaan laboratorium dan penyediaan obat menjadi tanggung jawab peneliti. Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak/Ibu dapat menghubungi saya:

Nama : dr. Ahmad Brata Rosa

Alamat : Jl. Asrama, Komp. Bumi Asri Blok C-222, Medan. Telepon/ HP : (061)8470183/081260831143

Pada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini, diminta kesediaannya untuk mengisi lembar surat persetujuan ikut dalam penelitian. Semoga kiranya partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini dapat memberikan sumbangan dalam memajukan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu bedah syaraf khususnya, dan bagi dunia kesehatan pada umumnya. Terima kasih sebesar-besarnya peneliti ucapkan.

Medan, 2013


(4)

Lampiran: 3

SURAT PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONCERN)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ………

Alamat : ………

Umur : …………Tahun Jenis Kalamin : Laki-laki/Perempuan

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini, saya menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tentang “Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan Spontan Basal Ganglia Dengan Sistem Penilaian MICH Score yang Mendapat Terapi Bedah dan Terapi Konservatif”. Apabila sewaktu-waktu saya mengundurkan diri dari penelitian ini, kepada saya tidak dituntut apapun.

Demikian surat persetujuan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan,………..2013


(5)

I. DATA PRIBADI

Nama : dr. Ahmad Brata Rosa

Tempat/Tgl. Lahir : Medan/28 September 1983 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Dokter PPDS

NIP : -

Pangkat/ Gol. : -

Istri : dr. Sumi Ramadani, Sp.PD

Anak : -

Alamat Pekerjaan : Fakultas Kedokteran USU Jl. dr. Mansyur no. 5 Medan

Departemen Ilmu Bedah Saraf FK-USU RSUP. H. Adam Malik Medan

Jl. Bunga Lau no.17 Medan

Alamat Rumah : Jl. Asrama, Komp.Bumi Asri, Blok C-222 Medan Telepon selular : (061)-8470183/ 081260831143

II. PENDIDIKAN

1. SDN 060820 (1989-1995) di Medan 2. MTS Nurul Hakim (1995-1998) di Medan 3. MAN 1 (1998-2001) di Medan

4. Fakultas Kedokteran USU (2001-2008 ) di Medan

5. PPDS Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2009 – sekarang) di Medan


(6)

III. RIWAYAT PEKERJAAN -

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

2. Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI) 3. Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia

V. KURSUS PENATARAN

Basic Surgical Skills (BSS)

Advanced Life Trauma Support (ATLS)

VI. KARYA ILMIAH

1. Ahmad Brata Rosa, Occult Spinal Disraphism, pada simposium Recent Advances in Neurotrauma Management, Medan, 28-29 November 2012

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta simposium Educational Course, UPH Lippo Karawaci, Banten, 26-27 Januari 2013

2. Peserta dan panitia simposium Recent Advances in Neurotrauma Management, Medan, 28-29 November 2012

3. Peserta workshop neuropatologi FK USU, 9-10 Juni 2011 4. Peserta simposium P2B2 PABI VIII, Medan, 2011

5. Peserta kursus peri-operative critical care dan acute care surgery, Bali, 25-27 April 2010

6. Peserta kursus wound and stoma care course, Bali, 23 April 2010 7. Peserta kursus total nutritional therapy course, Bali, 21-22 April 2010

8. Peserta pelatihan teori dan simulasi fire safety, RSHAM Medan, 19 Maret 2013 9. Peserta pelatihan advanced trauma life support, Medan, 20-22 Mei 2011