Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Penelitian ini adalah penelitian norma hukum Syariah yang dijadikan dasar untuk pembentukan hukum di dalam kegiatan pasar modal Syariah, hal ini dilakukan karena belum ada undang-undang di Indonesia yang mengatur secara konkrit tentang hukum kontrak yang diberlakukan dalam kegiatan pasar modal Syariah. Jelasnya penelitian ini adalah untuk membentuk norma hukum yang berkaitan dengan hukum Islam yang akan diterapkan di dalam ketentuan-ketentuan bursa atau pasar modal Syariah. Untuk itu dalam penelitian ini dipergunakan teori mashlahah yang dikemukakan oleh asy-Syatibi dan teori mashlahah yang dikemukakan oleh at-Tufi. Teori mashlahah menurut asy-Syatibi adalah teori maqasyid al Syariah yang mengatakan: Setiap prinsip hukum Islam mashlahah yang tidak ditujukan oleh nass tertentu, dan ia sejalan dengan tindakan syara’. Maknanya diambil dari dalil- dalil syara’ maka mashlahah itu benar, dapat dijadikan landasan hukum Islam dan dijadikan tempat kembali. Demikian apabila prinsip tersebut mashlahah berstatus pasti berdasarkan kumpulan dalil-dalil syara’. Sebab dalil tidak harus menunjukkan hukum yang pasti secara berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan yang lain. Sekalipun kasus cabang itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu. namun telah didukung dalil kulli bersifat umum. Dalil kulli apabila bersifat pasti, kekuatannya sama dengan satu dalil tertentu. 23 Sedangkan mashlahah menurut at-Tufi menerangkan : Mashlahah sekalipun termasuk kategori mashlahah mulgah yang oleh para ulama disepakati tidak dijadikan landasaan penetapan hukum, dapat dijadikan 23 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al Ghazali, Mashlahah Mursalah Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hlm. 84 Universitas Sumatera Utara 21 landasan penetapan hukum. Bahkan mashlahah tersebut terkadang harus diutamakan dan didahulukan dari dalil-dalil hukum yang lain, termasuk nass dan ijma’. 24 Kalau dipersandingkan dari dua teori mashlahah yang dikemukakan oleh asy- Syatibi dan at-Tufi, maka dapat diketahui bahwa acuan dan pegangan untuk menentukan mashlahah sebagai pengembangan hukum Islam bagi asy-Syatibi didasarkan pada nass dalam Al-Qur’an, hadist dan ijma’. Berbeda dengan at-Tufi untuk menentukan mashlahah sebagai dasar pengembangan hukum Islam didasarkan pada akal. Dengan alasan bahwa akal dapat menemukan dan membedakan mashlahat dengan mafsadat. Maksudnya, akal semata tanpa harus melalui wahyu, dapat mengetahui kebaikan dan keburukan yang diperlukan umat manusia. Namun kedua- nya sepakat bahwa penerapan prinsip mashlahah sebagai dasar pengembangan hukum Islam hanya dapat diberlakukan terhadap perkara-perkara muamalat hubungan manusia dengan manusia dan tidak berlaku dalam lapangan ibadah hubungan manusia dengan Tuhan. Teori mashlahah dipergunakan dalam penelitian ini karena berkaitan dengan kepemilikan individu terhadap harta adalah sesuatu hal yang asasi. Setiap manusia secara alamiah haruslah mempunyai milik. Dengan milik tersebut eksistensi manusia menjadi bermakna. Dalam ajaran Islam, kepemilikan individu adalah izin dari syara’ Allah SWT yang memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan zat maupun kegunaan utility suatu barang serta memperoleh konpensasi, baik karena barangnya 24 Ibid, hlm. 87. Universitas Sumatera Utara 22 diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa maupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut. Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan terdiri dari lima perkara, yakni : 1. bekerja al-a’mal; 2. warisan al-irts; 3. harta yang menyambung hidup; 4. harta pemberian Negara i’thau ad-daulah; 5. harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apa pun. 25 Dalam konteks bisnis, dari lima sebab-sebab kepemilikan di atas, hanya sebab pertamalah bekerja yang dapat dikategorikan ke dalam kegiatan bisnis. Bekerja dalam pandangan Islam diarahkan dalam rangka mencari karunia Allah SWT, yakni untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sejahtera, dan dapat menikmati perhiasan dunia. Agar nilai ibadah pekerjaan yang dilakukan itu harus merupakan pekerjaan yang halal, sehingga harta yang didapatnya juga merupakan harta yang sah atau halal karena melalui cara yang halal. Bekerja merupakan pengamalan dari perintah syariat Islam, karenanya bila dilakukan dengan cara yang benar halal untuk mengerjakan sesuatu yang juga halal, bekerja bukan hanya akan menghasilkan harta, melainkan juga mendapatkan pahala dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dalam surat al- 25 Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Op.cit, hlm. 25. Universitas Sumatera Utara 23 Jumu’ah, ayat 10 yang artinya: “…maka bertebarlah di muka bumi dan carilah karunia Allah..” Konsekuensi dari bekerja atau berbisnis harus dilakukan dengan cara yang halal, menyebabkan fungsi Syariah menjadi penting. 26 Syariah adalah ketentuan- ketentuan hukum yang diberikan Allah SWT kepada umatnya. Syariah adalah mata air dari segala hukum yang mengatur kehidupan umat manusia agar manusia mendapat kemaslahatan. Dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadist Nabi, dan tindakan para sahabat dapat diketahui bahwa tak satupun penetapan hukum Islam yang terlepas dari tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Hal ini memang sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil-‘Alamin. 27 Fitrah manusia selalu ingin merasakan kemaslahatan dan kemaslahatan yang ingin dicari itu terdapat pada setiap penetapan hukum Islam. Potensi untuk dapat menyingkap kemaslahatan itu pun diberikan oleh sang Khaliq yang menetapkan hukum Islam itu kepada manusia. Itulah sebabnya oleh Al-Qur’an disebut sebagai agama fitrah, yakni agama yang ajarannya sejalan dengan fitrah manusia dan kebenarannya pun dapat dideteksi oleh fitrah manusia. Untuk itulah Al Ghazali menyatakan : Setiap mashlahat kemashlahatan yang kontra dengan Al-Qur’an, sunnah, atau ijma’ adalah batal dan harus dibuang jauh-jauh. Setiap kemashlatan yang sejalan dengan tindakan syara’ harus diterima untuk dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam. Bila kemashlahatan itu ada dalil tertentu yang menunjukkannya, metode pengembangan hukumnya lewat qiyas. Apabila hal 26 Ibid. 27 Ahmad Munif Suratmaputra, Op.cit, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara 24 itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu, metode pengembangannya melalui istislah. 28 Tujuan pokok penetapan hukum Islam untuk mewujudkan kemashlahatan telah menjadi konsensus ulama berdasarkan penelitian secara induktif istiqra’ terhadap sekian banyak ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Menurut Suratmaputra hal demikian ini “oleh asy-Syatibi penelitian semacam itu menghasilkan pengetahuan yang kebenarannya bersifat pasti yang tidak dapat disanggah”. 29 Dari pernyataan di atas dapatlah diketahui bahwa betapa lekatnya hukum Islam dengan mashlahat sebagai tujuan pokok penetapannya, dan berdasarkan prinsip itu para imam mujtahid kemudian mengembangkan hukum Islam, antara lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibn-Qayyim sebagaimana dikutip oleh Suratmaputra: Sesungguhnya prinsip dan dasar penetapan hukum Islam adalah kemashlahatan hamba di dunia dan akhirat, Hukum Islam itu semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat, dan membawa hikmah. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kezaliman, dari rahmat kearah sebaliknyalaknat, dari maslahat ke mafsadat, dan dari hikmah kepada sesuatu yang hampa, tidaklah termasuk ke dalam hukum Islam, sekalipun hal itu dimasukkan ke dalamnya takwil. 30 Kemashlahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum Islam itu bersifat universal, kemashlahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir, bathin, material spiritual, mashlahat individu juga mashlahat umum, mashlahat hari ini dan hari esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik, tanpa membeda-bedakan 28 Ibid, hlm. 58. 29 Ibid. 30 Ibid, hlm. 59. Universitas Sumatera Utara 25 jenis dan golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah dan kuat, penguasa atau rakyat. Oleh karena tujuan pokok hukum Islam adalah mewujudkan kemashlahatan, maka peranan mashlahat dalam hukum Islam sangat dominan dan menentukan. Dan mashlahat ini dalam pengembangan hukum Islam menjadi suatu prinsip. Jadi, semua produk hukum Islam, baik yang bersumber dari dalil yang disepakati maupun yang bersumber dari dalil yang diperselisihkan, tak satu pun yang terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemashlahatan. Atas dasar ini, hukum Islam kategori Syariah yang memang dijamin pasti mengandung dan membawa mashlahat sepanjang zaman, penerapan dan aplikasinya tidak dapat ditawar-tawar, dalam arti dalam kondisi apa pun mesti diterapkan seperti itu, tanpa ditambah dan dikurangi, di mana kondisi dan situasi harus tunduk kepadanya. Sementara itu, fiqh penerapan dan aplikasinya justru harus mengikuti kondisi dan situasi sesuai dengan tuntutan kemashlahatan dan kemajuan zaman. Mengapa penerapan dan aplikasi fiqh demikian? Hal ini dimaksudkan agar prinsip mashlahah tetap terpenuhi dan terjamin. Dan penerapan fiqh yang mengikuti perkembangan jaman merupakan mashlahah itu sendiri. Mengingat pentingnya prinsip mashlahah dalam pengembangan hukum Islam, dan subjek penelitian ini berkaitan dengan prinsip-prinsip Syariah dalam hukum pasar modal Syariah, maka tidak dapat dielakkan prinsip mashlahah ini menjadi dasar teori dari penelitian ini. Universitas Sumatera Utara 26 Adapun dipergunakannya kedua teori mashlahah di atas, didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut: a. Kedua teori tersebut berkaitan dengan pemikiran atau konsep tentang hukum yang didasarkan visi idealitas spriritual dan visi hukum yang materialis sosiologis. Visi hukum yang idealitas spiritual diwakili oleh pendapat asy-Syatibi sedangkan visi hukum materialis sosiologis diwakili oleh pendapat at-Tufi. b. Kedua teori tersebut mewakili aliran pemikiran ahli hukum Islam, yaitu satu pihak mewakili pemikiran ahlu al-hadist yaitu pengembangan hukum Islam mutlah didasarkan pada wahyu dan hadist, sedangkan pandangan kedua mewakili kelompok ar-ra’yi yang berpendapat bahwa penggunaan akal bebas untuk menguraikan hukum adalah sah dan perlu. c. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan hukum yang mengatur bidang muamalat hubungan antar pribadi yaitu ketentuan hukum tentang perdagangan saham yang berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia dan kemajuan zaman. d. Penelitian ini berkenaan dengan pembentukan hukum Islam di bidang investasi yang belum diatur secara konkrit sehingga diperlukan mengenal prinsip-prinsip hukum yang dapat digunakan untuk membentuk norma hukum Islam di bidang kegiatan perdagangan surat berharga atau finansial asset. Al-Qur’an adalah norma hukum yang berbentuk grundnorm yang keberadaannya sebagaimana apa adanya. Al-Qur’an sebagai norma dasar Universitas Sumatera Utara 27 groundnorm inilah yang menjadi acuan dalam pembentukan hukum yang bersifat lebih praktis atau hukum yang mengatur perilaku. Tegasnya prinsip-prinsip Syariah terdapat dalam Al-Qur’an dan dari sana lah dikeluarkan norma hukum perilaku yang mengatur perilaku kehidupan termasuk dalam melakukan kegiatan bisnis. Jadi, Al- Qur’an merupakan sebagai sumber utama dari peraturan-peraturan hukum yang akan dibentuk. Sebagaimana perbincangan dalam ekonomi Islam melibatkan tiga komponen pokok yang meliputi ALLAH SWT, Manusia dan alam semesta yang mencerminkan bahwa ALLAH SWT sebagai pemilik alam semesta serta memberikan keadilan dan manusia memanfaatkan nya sehingga dalam Islam setidaknya ada akidah, moral dan hukum Syariah yang menjadikan faktor kuat pada individu manusia dalam melakukan kegiatan ekonomi agar dapat terhindar dari praktik dan unsur-unsur riba, gharar, judi maysir, haram dan syubhat tercampur antara yang halal dan haram.

2. Kerangka Konsepsi