BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada banyak penelitian yang outcomenya berkaitan dengan lama waktu. Secara umum waktu ini dikatakan survival time. Banyak metode analisis yang dapat
digunakan untuk survival time yang lengkap. Namun, faktanya dilihat data yang ada di masyarakat sulit sekali ditemukan data dengan time survival yang lengkap dan data
tersebut jarang terdistribusi secara normal, melainkan miring dan secara khas terdiri dari banyak kejadian baru. Oleh karena itu dibutuhkan analisis khusus untuk
menyelesaikan masalah ini. Metode ini dikenal sebagai survival analysis Novita Sari, 2011.
Analisis survival adalah kumpulan beberapa prosedur uji statistik untuk menganalisis data dengan variabel outcamenya adalah waktu sampai suatu kejadian
muncul, dan kemungkinan adanya data tersensor merupakan karakteristik khas yang membedakan dengan analisis lain. Peristiwa dalam analisis ini dapat berupa
timbulnya penyakit, kambuhnya penyakit, kesembuhan, kematian, atau sesuatu yang menarik untuk diamati pada objek tertentu Kleinbaum dan Klein, 2005.
Pada analisis survival diperlukan suatu model yang memberi gambaran tentang survival tersebut. Salah satu model yang dikenal pada analisis ini adalah model
regresi cox. Regresi cox digunakan bila ada variabel-variabel kovariat yang ingin dikontrol atau bila kita menggunakan beberapa variabel explanatory dalam
menjelaskan hubungan survival time. Regresi cox dapat digunakan untuk membuat
Universitas Sumatera Utara
model yang menggambarkan hubungan antara survival time sebagai dependent variabel dengan satu set variabel independent Yasril, 2009.
Regresi Cox merupakan salah satu metode yang sangat umum dan populer dari analisis survival. Dikatakan umum karena model ini tidak didasarkan pada asumsi-
asumsi tentang sifat atau bentuk distribusi yang mendasari survival, dan dikatakan popular karena fungsi baseline hazard pada model tidak ditentukan, merupakan
pengestimasi koefisien regresi yang baik Kleinbaum dan Klein, 2005. Salah satu bidang yang outcamenya sering berkaitan dengan survival time ialah
kesehatan. Masalah kesehatan di Indonesia sampai saat ini masih belum dapat terselesaikan, salah satunya yaitu pada penyakit menular. Tingkat kesakitan penyakit
ini masih tinggi, Terbukti dari masih banyaknya ditemukan KLB Kejadian Luar Biasa karena penyakit tersebut. Salah satu, penyakit menular yang seringkali
menimbulkan KLB adalah penyakit DBD Demam Berdarah Dengue. Penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia terutama, di daerah tropis ini dapat menyebabkan
kematian khususnya penderita pada anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun. Penyebab penyakit DBD adalah virus dangue yang termasuk familia Togaviridae
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes. Sebagai sumber penularannya adalah manusia dan hewan primata Soedarto, 2007.
Penyakit endemik ini pertama kali didata dan dilaporkan terjadi pada tahun 1953-1954 di Filipina. Sejak itu, penyebaran DBD dengan cepat terjadi
ke sebagian besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia WHO, 2010. Wabah dengue pertamakali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia dan
selama abad 18, 19, dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai dengue telah
Universitas Sumatera Utara
digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Vektor penyakit ini berpindah dan memindahkan penyakit dan virus dengue melalui transportasi laut.
Seorang pakar yang bernama Rush telah menulis tentang dengue yang berkaitan dengan break bone fever yang terjadi di Philadelphia tahun 1780. Kebanyakan wabah
ini secara klinis adalah demam dengue walaupun ada beberapa kasus yang berbentuk haemorrhargia. Penyakit DBD di Asia Tenggara ditemukan pertama kali di Manila
tahun 1954 dan bangkok tahun 1958 Soegijanto, 2006. Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1972. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung tahun 1972, dan Jogjakarta di
tahun yang sama Soedarma 2002. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya 1000 meter di atas
permukaan laut. Sejak pertama kali ditemukan jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat, baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit
dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahunnya. Sejak 5 Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh provinsi di Indonesia sudah
mencapai 26.015 orang Depkes RI, 2004 .
Penyakit DBD juga telah menyebar ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan
KLB wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat diklasifikasikan yaitu pertama daerah endemis DBD antara lain Kota Medan, Deli Serdang, Langkat, Asahan, Tebing
Tinggi, Pemantang Siantar dan Kabupaten Karo, kedua daerah sporadis DBD antara lain Kota Sibolga, Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli
Universitas Sumatera Utara
Tengah, Mandailing Natal, Padang Sidimpuan , Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Humbang Hasundutan, Pak-Pak Barat, Serdang Bedagai dan Kabupaten Samosir, dan
yang ketiga adalah daerah potensialbebas DBD antara lain Kabupaten Nias dan Nias Selatan. Pada tahun 2010, Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan frekuensi
KLB DBD. KLB DBD meningkat dari 5 kali pada tahun 2009 menjadi 10 kali pada tahun 2010 Dinkes Provsu, 2010. Sejak tahun 2005 rata-rata insiden rate DBD
per 100.000 penduduk di Provinsi Sumatera Utara telah relatif tinggi. Pada tahun 2010, jumlah kasus DBD tercatat 9.352 kasus dengan IR meningkat tajam
72100.000 penduduk yang sebelummya pada tahun 2009 sebesar 36,2100.000 penduduk, angka yang sangat jauh diatas indiaktor keberhasilan program dalam
menekan laju penyebaran DBD. Demikian juga dengan Case Fatality Rate CFR, tahun 2008 CFR 1,13 tahun 2009 1,2, tahun 2010 1,25 yang
pencapaiannya masih diatas target nasional yaitu 1 Dinkes Provsu, 2010. Insident Rate IR DBD dengan insident rate yang sangat tinggi dalam 3 tahun
terakhir umumnya, dilaporkan oleh daerah perkotaan yakni Kota Medan, Deli Serdang, Pematang Siantar, Langkat dan Binjai. Pada tahun 2010, IR demam
berdarah dengue DBD yang tertinggi diduduki wilayah Medan, dengan jumlah sebesar 3.122 kasus dan yang meninggal sebanyak 22 orang Dinkes Provsu, 2010.
Tidak hanya itu saja sejak Januari hingga September 2011 sudah tercatat 21 orang meninggal dan 1.721 orang dilaporkan terserang DBD
Tribun Medan, 27 Oktober 2011. Berdasarkan laporan bulanan penderita DBD dan program pemberantasan Dinkes Sumut sejak Januari hingga 22 september 2011,
jumlah penderita DBD di Sumatera Utara sebanyak 2.343 orang. Dengan rincian 543
Universitas Sumatera Utara
penderita berusia 15-44 tahun, 264 berusia 5-14 tahun, 1-4 tahun 191 orang, diatas 44 tahun 134 orang, usia dibawah setahun 24 orang, dan tidak diketahui
umurnya sebanyak 219 orang. KLB dan angka kesakitan penyakit DBD yang tinggi menjadi suatu pusat
perhatian. Apalagi, sampai saat ini tidak ada obat yang spesifik untuk memberantas virus dangue Soedarto, 2007. Oleh karena itu, dibutuhkan penatalaksanaan
penanganan penderita dengan cepat dan tepat sehingga dapat mempercepat penyembuhan pasien dan terhindar dari resiko perdarahan atau syok yang sering
menyebabkan kematian bagi penderitanya. Penelitian ini menerapkan analisis regresi cox untuk mengetahui faktor-faktor
umur, jenis kelamin, kecepatan penderita dikirim ke rumah sakit, derajat DBD, trombosit, dan hematokrit yang memengaruhi kecepatan kesembuhan penderita DBD
di RS. Santa Elisabeth tahun 2012.
1.2 Perumusan Masalah