dua alam, yaitu sadar kesadaran dan alam tak sadar ketidaksadaran. Kedua alam tidak hanya saling menyesuaikan atau alam sadar menyesuaikan terhadap
dunia luar, sedangkan alam tak sadar hanya menyesuaikan terhadap dunia dalam. Tingkah laku pada manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tingkah laku
refleksif dan tingkah laku non-reflektif. Tingkah laku refleksif merupakan tingkah laku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai
organisme tersebut. Misalnya kedipan mata bila terkena sinar, menarik jari jika terkena api, dan sebagainya. Reaksi atau tingkah laku reflektif adalah tingkah laku
yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Stimulus yang diterima oleh organisme atau individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau otak, sebagai
pusat kesadaran, sebagai pusat pengendali tingkah laku manusia. Dalam tingkah laku yang reflektif respons langsung timbul begitu menerima stimulus. Berbeda
dengan perilaku non-reflektif, tingkah laku non-reflektif dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran otak. Dalam kaitan sebagai pusat syaraf, pusat kesaadaran,
baru kemudian terjadi respons melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini disebut proses psikologis. Tingkah laku atau aktivitas atas
dasar proses psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau tingkah laku psikologis Branca, via Walgito: 1990: 11-12
Suryabrata 1990:186-190, sikap jiwa ialah arah dari energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya.
Arah aktifitas energi psikis itu dapat ke luar atau ke dalam. Berdasarkan sikap jiwanya, manusia digolongkan menjadi dua, yakni tipe manusia yang ekstrovert
dan introvert.Orang yang ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektif,
orientasinya adalah pikiran, perasaan, serta tindakan yang ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan nonsosial. Orang yang
introvert dipengaruhi dunia subjektif, orientasinya tertuju pada perasaan serta tindakan yang ditentukan oleh faktor subjektif.
4. Psikologi Sastra
Endraswara via Minderop, 2010 menjelaskan bahwa psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi
sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa.
Ilmu psikologi digunakan sebagai salah satu kajian dalam menelaah karya sastra, terutama untuk mengkaji tokoh-tokohnya.
Psyche
menurut Jung via Suryabrata, 2005 : 156-157 diartikan sebagai totalitas segala peristiwa psikis baik
yang disadari maupun tidak disadari. Jadi, jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu 1 alam sadar kesadaran, dan 2 alam tak sadar ketidaksadaran. Kedua
alam itu tidak hanya saling mengisi, tetapi berhubungan secara kompensatoris. Adapun fungsi kedua-duanya adalah penyesuaian, yaitu 1 alam sadar:
penyesuaian terhadap dunia luar, 2 alam tak sadar penyesuaian terhadap dunia dalam. Batasa antara kedua alam itu tidak tetap, melainkan dapat berubah-ubaha,
artinya luas daerah kesadaran atau ketidaksadaran itu dapat bertambah atau berkurang.
Hardjana 1985: 59 Menjelaskan bahwa pendekatan psikologi dalam studi sastra adalah suatu pendekatan yang berlandaskan teori-teori psikologi.
Munculnya pendekatan psikologi dalam kritik sastra berawal dari semakin
meluasnya teori psikoanalisis Freud yang muncul pada tahun 1905, yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya seperti Jung dengan teori Psikoanalisis,
dan Richard dengan teori psikologi kepribadian. Wellek Warren 1989: 90, menerangkan bahwa istilah psikologi sastra
sendiri memiliki empat kemungkinan pengertian.
Pertama
, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.
Kedua
, studi proses kreatif.
Ketiga
, studi tipe atau hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Keempat
, mempelajari dampak sastra pada pembaca psikologi pembaca. Psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
psike
, dengan aspek- aspek kejiwaan pengarang. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah
memahami kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas
dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung Ratna,
2013: 340. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya. Masyarakat dapat
memahami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan
psike
. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, yaitu: a
memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca Ratna, 2013: 342-343.
Psikologi sastra pun seharusnya memberikan prioritas pada sastra, bukan psikologi. Penelitian dapat dilakukan melalui dua cara,