3. Mengandung gangguan. Seperti timbul – tenggelam fading dan gangguan teknis ”channel noise factor”.
4. Theatre of Mind. Radio mencipta gambar makes picture dalam imajinasi pendengar dengan kekuatan kata dan suara.
5. Identik dengan musik. Radio adalah sarana hiburan termurah dan tercepat sehingga menjadi media utama untuk mendengarkan musik.
Radio sebagai salah satu lembaga penyiaran di Indonesia merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial,
budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi,pendidikan, hiburan, serta
kontrol sosial dan perekat sosial. Perlu ada aturan juga yang mengatur dan mengawasi lembaga penyiaran yang ada, sehingga Undang-undang No.32 Tahun
32 mengatur Hal-hal penyiaran yang ada di Indonesia. Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2002 terdiri dari 64 Pasal. Secara umumnya, dalam UU Tentang
Penyiaran ini mengatakan bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam
pembentukan pendapat, sikap dan perilaku khalayak , maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral , tata susilah
budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa
II.5. Erotika Media Massa
Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan sosial, terutama di
masyarakat kota. Oleh karena itu, maka media massa sering digunakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
alat mentransformasikan informasi dari dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau mentransformasikan informasi di antara masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana sifat media massa selain mengandung nilai manfaat sebagi alat transformasi , namun juga sering tidak sengaja menjadi media informasi yang
ampuh untuk menabur nilai-nilai baru yang tidak diharapkan masyarakat itu sendiri.
Untuk meningkatkan daya saing suatu media massa, maka tidak jarang media massa menggunakan berita atau gambar erotika sebagai daya tarik media
tersebut. Karena disadari atau tidak, objek-objek berita yang dikembangkan secara komersial adalah berkisar harta,tahta dan wanita bungin,2001:2.
Erotika adalah gairah seksual yang dibangkitkan dengan stimulus internal maupun eksternal. Sedangkan erotika melalui media massa adalah stimulus
eksternal. Pengaruh stimulus eksternal melalui erotika bersifat subjektif dan relatif, yaitu tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Walaupun
demikian, tetap ada byang bersifat universal , yaitu stimuluas eksternal yang dapat membangkitkan fantasi erotika dalam diri setiap orang. Dalam hal ini, media
elektronik yaitu televisi,radio, dan internet bukanlah stimulus yang netral karena dapat membangkitkan gairah dan fantasi seksual pada pemirsanya.
Sehubungan dengan perdebatan mengenai erotika dan porno pornografi, pornoaksi, pornomedia, pornoteks atau pornowicara di media elektronik saat ini,
berkembang tiga anggapan di masyarakat. anggapan pertama, menilai tayangan adegan seks tidak memberikan inspirasi pada penontonnya untuk melakukan
hubungan seks, namun justru cenderung memperkuat keinginan dalam hati seseorang yang memang berniat melakukan hubungan seks. Kedua, beranggapan
Universitas Sumatera Utara
adegan-adegan itu hanya berfungsi sebagai katarsis penyaluran emosi, artinya apabila seseorang berkeinginan seksual, begitu melihat atau mendengar adengan
seks maka akan tersalurkan keinginannya itu. Ketiga, beranggapan adegan seks di televisi, film maupun radio sama sekali tidak berpengaruh buruk. Artinya banyak
kasus menunjukkan, penonton tidak meniru begitu saja adegan-adegan seks tersebut, akan tetapi peran lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan
agama sangat mempengaruhi seseorang. Pengaruh media massa ini tidak terlepas dari infiltrasi globalisasi
informasi dan budaya yang juga menyerang kehidupan kita. Globalisasi telah membawa budaya luar yang lebih dulu telah menerima perilaku seks bebas ke
dalam pikiran-pikiran masyarakat luas sehingga dengan mudah mempengaruhinya. Begitu sulit untuk mengidentifikasi adegan erotika yang
sering muncul di media elektronik. Kesulitan mengidentifikasi terdapat pada : 1. Ukuran erotika yang digunakan oleh badan sensor film yang begitu
longgar bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran norma masyarakat. 2. Batas umur dan kedewasaan pemirsa atau pembaca yang menonton atau
membaca berita-berita erotika menjadi mudah ditangkap dan diterima oleh masyarakat sebagai tontonan yang biasa-biasa saja dan sulit diidentifikasi
sebagai gejala erotika. 3. Ukuran-ukuran erotika yang hidup di masyarakat sangat bervariatif.
Karena itu ada masyarakat yang telah menentukan sebuah tanyangan sebagai erotik namun pada masyarakat lain, tayangan tersebut justru
belum masuk kategoti erotik.
Universitas Sumatera Utara
4. Menonton berita dan gambar-gambar erotik, bagi orang-orang tertentu adalah hiburan dan pelepas ketegangan sehingga secara objektif keadaan
itu diharapkan oleh orang tersebut. Dalam hal ini, dengan cara apapun mereka berharap agar dapat melihat, membaca atau mendengar berita, dan
gambar-gambar itu, walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Perdebatan tentang erotika dan pornografi sering muncul ke permukaan , tidak hanya karena sarat dengan nilai-nilai seksual, namun sering perdebatan
muncul hanya untuk menentukan makna sesungguhnya dari erotika atau pornografi itu sendiri. Perdebatan erotika dimulai dari persoalan etik-emik. Makna
etik erotika dan pornografi sebenarnya sama karena keduanya menyodorkan objek seks sebagai muatannya. Namun dari sini kemudian batasan-batasan emik dibuat
oleh orang lain yang sedang ”menikmati” erotika dan pornografi itu sehingga merangsang fantasi seksual.
Andre Dworkin berpendapat bahwa erotika merupakan porno kelas tinggi; diproduksi secara lebih baik dan ditujukan untuk konsumsi golongan yang lebih
tinggi. Sama dengan callgirl dan pelacur kaki lima. Yang satu dipandang lebih baik, tetapi keduanya menawarkan service yang sama, yaitu seks. Sedangkan
eksistensi kedua-duanya disebabkan oleh sistem nilai seksual yang sama Bungin,2001:28-29.
Erotika adalah gairah seksual yang dibangkitkan dengan adanya stimulus internal dan eksternal. Dan media elektronik adalah salah satu stimulus eksternal.
Pornografi dan erotika dapat dibedakan. Istilah ’porno’ selalu dikaitkan dengan objek-objek seks yang menjijikan merangsang nafsu, tidak sehat dan merugikan
Universitas Sumatera Utara
martabat individu. Sedangkan erotika adalah mengenai objek seks yang alami, sehat, menyenangkan, dan detail serta mendekati realitas. Pada kebanyakan orang,
pornografi tidak mampu merangsang nafsu birahi, karena justru pornografi menjijikan , sedangkan erotika justru secara lembut dapat membangkitkan fantasi
birahi yang indah. Pada perilaku verbal, seks yang diperbincangkan jauh dari objek seks itu
sendiri secara visual. Namun, perilaku seks visual selalu menghindarkan objek- objek seks dalam bentuk-bentuk yang sebenarnya. Dan juga karena sifat visual
yang lebih ’berkesan’ dari verbal, maka visualisasi seksual ini lebih banyak dipandang sebagai pelaku erotika dan porno. Film dan fotografi, umpamanya
selalu menyuguhkan objek-objek manusia sebagai sasaran langsung dalam karya- karyanya dan hal ini dipandang sebagai karya yang sarat dengan makna erotika
dan porno. Padahal, erotika dan pornografi yang disuguhkan melalui perilaku verbal pun banyak kita temukan dan memberi dampak yang pasti.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dorongan perilaku seks tertentu berhubungan dengan pengaruh lingkungan sosial. Sehingga pendidikan seks itu
penting buat perkembangan diri seseorang tersebut. Selain faktor lingkungan sosial yang disebut sebagai faktor eksternal, maka faktor internal juga sangat
mempengaruhi individu dalam berperilaku seks. Hormon dapat berpengaruh besar terhadap dorongan seksual individu, terutama saat anak laki-laki dan perempuan
menjadi dewasa. Perilaku seks manusia juga berhubungan dengan perkembangan sosial dan
budaya masyarakat. Pada masyarakat tradisional, sikap dan perilaku seks dimaknai sebagai sikap dan perilaku privasi yang hanya boleh ada, dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
serta diperbincangkan dalam hubungan-hubungan suami-istri. Nilai-nilai tradisional memberi bingkai yang kuat terhadap kesakralan nilai seksual ini dalam
institusi perkawinan. Dalam masyarakat yang sedang mengalami transformasi nilai dari agraris
ke industri atau dari tradisional ke modern bahkan ke postmodern seperti sekarang ini. Perilaku seks secara tertutup dan terbatas dalam perkawinan dipandang
sebagai nilai yang tradisional. Sejalan dengan itu pula bahwa pengenalan nilai- nilai seksual baru secara terbuka, tidak sopan vulgar, dan bebas dianggap
sebagai nilai-nilai baru dan lebih cocok pada masyarakat modern yang dicita- citakan. Sedangkan pada masyarakat postmodern, seks terbuka dan vulgar
dipandang sebagai hak azasi manusia yang harus dihormati oleh orang lain tanpa mereka pertimbangkan bahwa hak mereka itu telah menggangu orang
disekitarnya. Erotika menjadi sebuah inovasi manakala perilaku tersebut menjadi
sebuah gagasan atau ide, dimana ide itu mampu diangkat kepermukaan dan menembus batas norma perkawinan. Penyimpangan adalah setiap perilaku yang
dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat. Dengan demikian, perilaku penyimpangan bukannya sebuah tindakan
semata, tetapi sebuat konsekuensi dari adanya norma dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap pelaku tindakan tersebut. Didalam masyarakat
normal, perilaku seks menyimpang adalah cermin memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perkawinan dan norma seksual pada umumnya di
masyarakat tersebut, serta pola-pola lain disekitar norma pengaturan perilaku seks di masyarakat. Dan dengan melemahnya struktur sosial lain seperti keluarga,
Universitas Sumatera Utara
lembaga pendidikan, lembaga agama maupun lembaga sekuritas sosial dan sebagainya dalam mengontrol perilaku seks menyimpang ini, membuat
masyarakat kota tanpa beban apapun dapat melalukan perilaku seks menyimpang. Berita erotika media massa baik cetak maupun elektronik adalah media
yang amat dekat dengan khalayak dan sekaligus menjadi media yang kuat pengaruhnya terhadap masyarakat. Gambaran mengenai bagaimana masyarakat
memperoleh informasi erotika dari media massa menyampaikan informasi tersebut kepada masyarakat. informasi erotika atau mengenai seks itu bisa
diperoleh dari berbagai sumber. Informasi mengenai seks dan erotika itu berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan disekitar kita. Fenomena
erotika itulah yang diangkat dan dijadikan sebagai sebuat berita dan gambaran seks Bungin,2001:135 .
Informasi mengenai seks dan erotika tersebut yang diterima oleh khalayak dapat dikembangkan oleh fantasi mereka mengenai seks. Apalagi mereka yang
memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai seks dan erotika yang banyak. Dan dari sekian banyak media massa, media massa radio dikatakan sebagai media
yang cukup kuat membangkitkan fantasi erotika. Seperti dalam penelitian ini, radio memiliki kemampuan theater of mind , sehingga para pendengar radio siar
akan mulai berimajinasi di dalam pikiran mereka masing-masing tentang informasi mengenai seks dan erotika yang mereka dengar. Walaupun dalam media
massa radio khususnya informasi mengenai seks dan erotika terbatas,terputus- putus atau serba sedikit, namun hal itu sudah cukup dapat membangkitkan fantasi
erotik karena pada umumnya berita, gambar atau informasi media massa amat
Universitas Sumatera Utara
realistik. Kekuatan realistik inilah yang amat membantu seseorang untuk membangun kerangka fantasi yang serba indah.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1.1. Sejarah Singkat Radio VISI FM MEDAN