Tuntutan Ganti Rugi dari Pemegang Hak Cipta Asli.

56 Hak-hak moral yang diberikan kepada seorang penciptapemegang hak cipta sejajar dengan hak-hak ekonomi yang dimiliki oleh pemegang hak cipta atas ciptaannya. 59 Sehingga jika terjadi pelanggaran atas hak eksklusif, hak moral dan hak ekonomi, maka pemegang hak cipta asli berhak untuk melakukan gugatan ganti rugi.

2. Tuntutan Ganti Rugi dari Pemegang Hak Cipta Asli.

Jika ciptaan Pasal 11 UUHC itu ternyata hasil pelanggaran hak cipta, maka pemegang hak cipta asli pencipta asli berhak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dengan tidak mengurangi tuntutan pidana terhadap pelanggar hak cipta Pasal 42 ayat 3 UUHC. Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar supaya menghentikan kegiatan, pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran, dan penjualan ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta Pasal 42 ayat 4 UUHC. Kasus penerjemahan yang pernah terjadi yaitu kasus la tahzan yang diterjemahkan oleh penerbit tanpa izin dari Pemegang Hak Cipta asli. Penerjemah yang melakukan penerjemahan mempunyai kewajiban hanya menerjemahkan saja. Sehingga saat terjadi tuntutan ganti rugi oleh Pemegang Hak Cipta aslinya, penerjemah tidak mempunyai tanggung jawab dalam tuntutan tersebut. Dalam hal ini penerbit tersebutlah yang bertanggung jawab karena penerbit tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan akibat dari perbuatan penerbit 59 Eddy Damian, Op.Cit. hal 56. Universitas Sumatera Utara 57 tersebut, Pemegang Hak Cipta asli sangat dirugikan. Baik dari hak moral dan hak ekonomi. Apabila pelanggaran itu berupa pengumuman ciptaan yang bertentangan dengan hak cipta, dan perbanyakan yang tidak diperbolehkan, maka penggugat dapat menuntut tergugat : a. supaya dilakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan bertentangan dengan hak cipta itu, perbanyakan yang tidak diperbolehkan itu, baik penyitaan untuk dijadikan milik penggugat maupun penyitaan untuk dimusnahkan atau dirusak, sehingga tidak dapat dipakai lagi. b. Supaya dilakukan penyitaan terhadap jumlah uang tanda masuk yang dipungut untuk menghadiri ceramah, pertunjukan, atau pameran yang melanggar hak cipta itu. c. Supaya dilakukan penyerahan benda tersebut setelah dibayar ganti kerugian kepada pihak yang beritikad baik Pasal 42 ayat 1 dan 2 UUHC. B. Tanggung Jawab Hukum Penerjemah dalam Menghadapi Tuntutan Ganti Rugi dari Pihak Ketiga dalam Penerbitan Buku Terjemahan Tanggung jawab pemegang hak cipta terlihat jelas di dalam perjanjian penerbitan buku yang tertuang dalam hal mengenai hak dan kewajiban para pihak. Dari pasal hak dan kewajiban itu dapat mengetahui batas tanggung jawab dari para pihak di dalam perjanjian penerbitan buku tersebut. Salah satu isi dari perjanjian penerbitan yang telah disepakati oleh penerjemah dan penerbit berisi bahwa tanggung jawab penerjemah yaitu : Universitas Sumatera Utara 58 1. Menyerahkan untuk dialihkan karya tulis yang asli bukan plagiat. 2. Bersedia mengoreksi kembali hasil karyanya yang akan dicetak coba dan ulang. 3. Bertanggung jawab terhadap pihak ketiga tentang keaslian ciptaan karya tulis. 4. Bersedia mengganti kerugian kepada penerbit apabila karya tulisnya yang sudah dicetak dan mendapat tuntutan dari pihak ketiga. 60 Berdasarkan penelitian yang penulis dapatkan, penerjemah bertanggung jawab mengenai keaslian atau keabsahan hasil terjemahannya. Hasil terjemahan tersebut dilakukan secara seksama sehingga menghasilkan buku terjemahan yang diharapkan, dan jika terbukti penerjemah melakukan penerjemahan secara serampangan maka penerjemah akan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya, kesediaan untuk mengoreksi hasil terjemahan. Namun pada kasus ini penerjemah bertanggung jawab pada saat proses penerjemahan. Sedangkan penerbit yang mencetak, menerbitkan dan memasarkan karya tulis dari penerjemah kepada masyarakat, penerjemah dalam hal ini hanya hanya menerima feeroyalti. Hak cipta pada umumnya diserahkan kepada perusahaan penerbit. Dalam hal ini penerbit bertanggung jawab terhadap ciptaan yang diterbitkan. Apabila dikemudian hari ada tuntutan terhadap isi buku yang diterbitkan maka penerbitlah yang bertanggung jawab. 60 Hasil wawancara dengan Abdul Halim, Direktur PT. Ciputat Press Jakarta Selatan, Tanggal 20 April 2011 Universitas Sumatera Utara 59

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA APABILA TERJADI

WANPRESTASI OLEH PENERBIT A. Wanprestasi Wanprestasi atau ingkar janji adalah berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan 1431 KUHPerdata maupun perjanjian yang bersumber pada undang-undang seperti di atur dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak ingkar janji maka itu menjadi alasan bagi pihak lainya untuk mengajukan gugatan. Demikian juga tidak terpenuhinya Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat syarat sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau di batalkan suatu persetujuan perjanjian melalui suatu gugatan, Salah satu alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar janji dari penerbit. Wanprestasi itu dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atau terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah di perjanjikan. 61 Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu, wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 tiga macam, yaitu : 1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan 61 http:id.shvoong.comwriting-and-speaking2143564-pengertian-wanprestasiix zz1SWDH2tns Diakses tanggal 19 juli 2011. 59 Universitas Sumatera Utara 60 2. Debitur terlambat memenuhi perikatan 3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. 62 Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “doktrin pemenuhan prestasi substansial” adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melasanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” material breach. Karena itu, jika telah dilaksanakan substansial performance terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya. Misalnya, jika seorang penerbit mengikat kontrak dengan penerjemah untuk menerjemahkan buku yang berbahasa asing, misalnya penerbit tidak memberikan buku setelah dicetak sesuai dengan yang telah diperjanjikan tersebut sementara kewajiban-kewajiban lainnya telah selesai dilaksanakan, maka dapat dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara buku yang tidak diberikan setelah dicetak tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara 62 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remi Syahdeini, dkk, Kompilasi Hukum Perikatanl, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 18. Universitas Sumatera Utara 61 “material” material breach. Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial. Untuk kontrak jual-beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan Untuk kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi secara substansial, berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh, atau sering disebut dengan istilah-istilah sebagai berikut : a. strict performance rule; b. full perfomance rule; c. perfect tender rule. Jadi, berdasarkan doktrin pelaksanaan kontrak secara penuh ini, misalnya seorang penjual menyerahkan barang dengan tidak sesuai dari segala aspek dengan kontrak, maka pihak pembeli dapat menolak barang tersebut. Dalam diagram berikut ini terlihat pemenuhan prestasi dalam kontrak dengan berbagai kemungkinan yuridisnya. Diberlakukannya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial, maka untuk mengetahui tidak terlaksananya kontrak merupakan “material” atau tidak, masalahnya sangat relatif dan dalam praktek sangat ditentukan oleh kebijaksanaan hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan. Sebagai pedoman bagi hakim, biasanya diberlakukan beberapa kriteria dasar sebagai berikut : a. Kelayakan kompensasi Universitas Sumatera Utara 62 Dalam hal ini akan dilihat apakah tersedia kompensasi yang cukup memuaskan terhadap pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Apabila tidak cukup baik tersedia kompensasi atau sulit meghitung ganti rugi, maka pelaksanaan kontrak substansial akan sulit diakui. Jadi dalam hal yang demikian, pelaksanaan kontrak akan dianggap tidak sustansial, sehingga dianggap telah terjadi ketidakterlaksanaan kontrak yang material. b. Hilangnya keuntungan yang diharapkan. Dalam hal ini, semakin besar keuntungan yang hilang dari adanya pelaksanaan kontrak yang tidak sempurna, semakin besar pula kemungkinan wanprestasi yang material terhadap kontrak yang bersangkutan. Sehingga kalau kerugian kepada yang dirugikan tersebut besar, sulit dikatakan terjadi pelaksanaan kontrak yang substansial. c. Bagian kontrak yang dilaksanakan. Untuk dapat dikatakan bahwa pihak tertentu telah melaksanakan kontraknya secara substansial, dapat diukur dari bagian prestasi yang telah dilakukan. Semakin besar kemungkinan substansinya pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. d. Kesengajaan untuk tidak melaksanakan kontrak. Apabila ada bagian kontrak yang tidak dilaksanakan dengan unsur kesengajaan bukan karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsur iktikad baik, unsur kesengajaan biasanya terlihat dari dengan sengaja mengabaikan Universitas Sumatera Utara 63 kontraknya, atau dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standar, dapat dikatakan bahwa dia belum melaksanakan kontrak secara substansial. e. Kesediaan untuk memperbaiki prestasi. Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan punya kemauan untuk memperbaiki prestasinya, maka dalam hal yang demikian dapat dianggap tidak terjadi bukanwanprestasi yang bersifat material. f. Keterlambatan melaksanakan prestasi. Keterlambatan melaksanakan prestasi umumnya tidak dianggap sebagai wanprestasi yang bersifat material. Kecuali jika dengan keterlambatan tersebut akan sangat merugikan pihak lain. 63 Wanprestasi atau pun yang disebut juga dengan istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena : a. Kesengajaan; b. Kelalaian; 63 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 89. Universitas Sumatera Utara 64 c. Tanpa Kesalahan tanpa kesengajaan atau kelalaian. Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi untuk sementara atau selama-lamanya.

1. Terminasi Suatu Kontrak