PENGARUH PENGHASILAN DAN KESADARAN WAJIB PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KELURAHAN TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2009
PENGARUH PENGHASILAN DAN KESADARAN
WAJIB PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB
PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN (PBB) DI KELURAHAN TEMBALANG
SEMARANG TAHUN 2009
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Khoirul Musthofa 3351405563
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
(2)
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsiini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada :
Hari : Senin
Tanggal : 25 Juli 2011
Dosen Pembimbing I
Dra. Sri Kustini NIP. 195003041979032001
Dosen Pembimbing II
Trisni Suryarini, SE, M.si., Akt NIP. 197804132001122001
Mengetahui, Ketua Jurusan Akuntansi
Drs. Fachrurrozie, M.si. NIP. 196206231989011001
(3)
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Sidang Ujian Skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 25 Agustus 2011
Penguji
Drs. Sukirman, M.si NIP. 196706111991031003
Dosen Pembimbing I
Dra. Sri Kustini NIP. 195003041979032001
Dosen Pembimbing II
Trisni Suryarini, SE, M.si., Akt NIP. 197804132001122001
Mengetahui, Dekan Fakultas Ekonomi
Drs. S . Martono, M. Si NIP. 196603081989011001
(4)
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila di kemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Juli 2011
Khoirul Musthofa NIM. 3351405563
(5)
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
¾ Orang yang bodoh adalah orang yang melakukan sesuatu tanpa berfikir, dan orang yang berfikir tanpa melakukan suatu apapun. (NN)
¾ Sebaik – baik manusia adalah orang yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain. (H.R. Dailami)
¾ Dan apa saja yang diberikan kepada kamu,maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasanya; sedang apa yang disisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al Qashash;60)
Persembahan
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya skripsi ini kupersembahkan kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan pendidikan terbaik dalam hidupku dan membimbing dalam meniti perjalanan hidup ini.
2. Keluarga besarku; Mas Eko, Mas Heru, Mas Is & Mbak Iin, Mbak Nur, Gunawan. 3. Mega Syilfiya yang telah banyak
membantu dan selalu memberi semangat, motivasi dan doanya.
4. Teman-temanku Sony, Bagus, Anggara, Ferry, Tanjung, Dodi, Panji, Ruly, Madya, Theo, Dedik, Mas Wawan, terima kasih atas bantuan dan motivasinya.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya dengan judul “Pengaruh Penghasilan dan Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009”.
Maksud dari penyusunan Skripsi ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada jurusan Akuntansi S1 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Universitas Negeri Semarang.
2. Drs. S . Martono, M. Si., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan mengikuti program S1 Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. 3. Drs. Fachrurrozie, M.Si., Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan selama masa studi.
(7)
vii
masukannya sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai.
5. Dra Sri Kustini, selaku Pembimbing I atas petunjuk, bimbingan, dan pengarahannya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Trisni Suryarini, SE, M.Si., Akt, selaku Pembimbing II atas petunjuk, bimbingan, dan pengarahannya sehingga terselesaikannya skripsi ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberi bekal ilmu yang tidak ternilai
harganya kepada penulis selama belajar di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
8. Sahabat-sahabatku dan teman-teman Akuntansi S1 angkatan 2005 terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
9. Semua pihak yang terkait yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal atas jasa-jasanya.
Dengan sepenuh hati penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, maka dengan kerendahan hati penulis menerima kritik, serta saran yang membangun. Akhirnya dengan harapan semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Juli 2011
(8)
SARI
Khoirul Musthofa. 2011. “Pengaruh Penghasilan dan Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009”. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Dra Sri Kustini Pembimbing II: Trisni Suryarini, SE, M.Si.
Kata kunci : Penghasilan, Kesadaran Wajib Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak.
Dilihat dari jumlah realisasinya, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang selama tiga tahun terakhir belum pernah memenuhi target. Seharusnya jika wajib pajak jumlahnya makin meningkat maka akan berdampak pada peningkatan jumlah penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Penghasilan dan Kesadaran Wajib Pajak merupakan faktor yang berpengaruh untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini: 1). Adakah pengaruh penghasilan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?, 2). Adakah pengaruh penghasilan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?, 3). Adakah pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?.
Populasi dalam penelitian ini wajib pajak di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009 berjumlah 2.011 orang. Pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling yang dihitung dengan rumus Slovin diperoleh sebanyak 95 orang. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari penghasilan dan kesadaran wajib pajak sebagai variabel bebas dan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan sebagai variabel terikat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi dan kuesioner, sedangkan analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghasilan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan sedangkan kesadaran wajib pajak memperoleh kriteria cukup baik dengan persentase 24,4%. Ada pengaruh positif antara penghasilan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan, hal ini ditunjukkan dari persamaan regresi Y = 6,561 + 0,382X1 + 0,576X2 dengan
Fhitung=20,302 dan besarnya pengaruh sebesar 29,1%. sedangkan sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Simpulannya bahwa hanya variabel kesadaran wajib pajak yang secara parsial berpengaruh sedangkan secara simultan keduanya mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan di Kelurahan Tembalang Semarang. Saran yang diberikan penulis diantaranya pihak kelurahan Tembalang Semarang diharapkan bersikap proaktif dalam mensosialisasikan tentang manfaat, sanksi dan peraturan pajak, khususnya PBB, dengan harapan wajib pajak mempunyai kesadaran yang tinggi dalam hal membayar pajak.
(9)
ix
ABSTRACT
Khoirul Musthofa. 2011. “Effects Income and Awareness Tax Payer to the Pursuance Tax Payer in Paying Land and Building Tax in Tembalang Village Semarang on 2009”. Accounting Department Economy Faculty Semarang State University. Guidance Dozen I: Dra Sri Kustini. Guidance Dozen II: Trisni
Suryarini, SE, M.Si.
Keywords: Income, Awareness Tax Payer, Pursuance Tax Payer.
Looked from the realization, receipt of Land and Building Tax in Tembalang village along three years letter never to reach target. Evenly amount tax payers increased so it will be affect to increased receipt Land and Building Tax. Income and Awareness Tax Payer are factor to be affected to increasing pursuance tax payer in paying Land and Building Tax. Problems in this case: 1). Are have effect of income and awareness tax payer to pursuance tax payer to paying Land and Building Tax in Tembalang village Semarang on 2009?, 2). Are have effect of income to pursuance tax payer to paying Land and Building Tax in Tembalang village Semarang on 2009?, 3). Are have effect of awareness tax payer to pursuance tax payer to paying Land and Building Tax in Tembalang village Semarang on 2009?.
Population in this research are tax payers in Tembalang village Semarang in 2009 with the amount 2,011 peoples. Taken sample used Propotional Random Sampling with the calculating used Slovin formula and the results 95 peoples. Variable in this research contain of Income and Awareness tax payer as non fixed variable and Pursuance tax payer in paying Land and Building Tax as fixed variable. Technical to data collection used documentary and questionnaire, whereas data analytic used descriptive analytic and variant linear regression analytic.
The results of research showed that income will not affected to pursuance whereas awareness tax payer got the good criteria with 24.4%. Have a good affected between income and awareness tax payer to pursuance tax payer in tax paying Land and Building Tax. This is showed with equation Y = 6.561 + 0.382X1 + 0.576X2 where F= 20.302 and it’s effect 29.1%. where the others were
effected by the others variable out of this research.
The conclusion that only awareness tax payer variable with the partialy effect whereas simultanly, both have effect to pursuance in paying Land and Building Tax in Tembalang village Semarang. The writer give advised to district administrered Tembalang village Semarang hopefully proactive in public socialitation about benefit, punished and rule of tax, especially Land and Building Tax, with the hopely tax payer have high awareness to tax paying.
(10)
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
SURAT REKOMENDASI ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak ... 8
2.1.1. Pengertian Pajak ... 8
2.1.2. Fungsi Pajak ... 10
2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak ... 11
2.2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 13
2.2.1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 13
2.2.2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 14
2.2.3. Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 16
(11)
xi
2.2.5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ... 19
2.2.6. Mekanisme Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) . 19
2.2.7. Tata cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .... 22
2.3. Kepatuhan Wajib Pajak ... 26
2.3.1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak ... 26
2.3.2. Kriteria Wajib Pajak Patuh ... 31
2.3.3. Faktor Penyebab Ketidakpatuhan Wajib Pajak ... 32
2.3.4. Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak ... 35
2.4. Penghasilan Wajib Pajak ... 37
2.5. Kesadaran Wajib Pajak... ... 44
2.6. Kerangka Berpikir ... 46
2.7. Hipotesis Penelitian ... 49
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Populasi da Sampel Penelitian ... 50
3.1.1 Populasi Penelitian ... 50
3.1.2 Sampel Penelitian ... 50
3.2. Variabel Penelitian ... 52
3.2.1. Variabel Bebas atau independent variable... 52
3.2.2. Variabel Terikat atau dependent variable ... 53
3.3. Metode Pengumpulan Data ... 54
3.3.1. Metode Angket. ... 54
3.3.2. Metode Dokumentasi... 56
3.4. Validitas dan Reliabilitas ... 57
3.4.1. Validitas ... 57
3.4.2. Reliabilitas ... 59
3.5. Metode Analisis Data ... 60
3.5.1. Statistik Deskriptif ... 61
3.5.2. Uji Prasyarat Regresi Linier Berganda ... 62
3.5.3. Uji Asumsi Klasik. ... 62
(12)
xii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ... 66
4.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 66
4.1.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 66
4.1.3. Uji Normalitas ... 70
4.1.4. Uji Asumsi Klasik ... 72
4.1.5. Uji Hipotesis. ... 74
4.2. Pembahasan ... 78
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan ... 84
5.2. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Penerimaan PBB di Kelurahan Tembalang tahun 2006-2008 .. 3
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas ... 58
Tabel 4.1 Analisis Deskriptif Variabel Penghasilan ... 67
Tabel 4.2 Analisis Deskriptif Variabel Kesadaran Wajib Pajak... 68
Tabel 4.3 Analisis Deskriptif Variabel Kepatuhan Membayar PBB ... 69
Tabel 4.4 Uji Normalitas ... 70
Tabel 4.5 Uji Multikolinieritas ... 72
Tabel 4.6 Uji Heteroskedastisitas ... 72
Tabel 4.7 Analisis Regresi Berganda ... 74
Tabel 4.8 Uji Simultan (uji F) ... 75
Tabel 4.9 Uji Parsial (uji t) ... 76
Tabel 4.10 Uji R2 Simultan ... 77
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 49
Gambar 4.1 Grafik Penghasilan ... 68
Gambar 4.2 Uji Normalitas ... 94
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kisi – Kisi Instrumen dan Kuesioner... 89
Lampiran 2 Tabulasi Data Penghasilan ... 94
Lampiran 3 Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Kesadaran ... 95
Lampiran 4 Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Kepatuhan Wajib Pajak .. 98
Lampiran 5 Tabulasi Data Hasil Penelitian ... 101
Lampiran 6 Statistik Deskripsf Indikator – Indikator Tiap Variabel ... 105
Lampiran 7 Hasil Olah Data ... 109
Lampiran 8 Daftar Skripsi Terdahulu dan Jurnal ... 113
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 116
(16)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara, dimana penerimaan pajak ini menduduki peringkat tertinggi di Indonesia. Karena merupakan penerimaan terbesar/tertinggi, pajak menjadi sumber pendanaan pembangunan yang paling besar pula. Terdapat beberapa jenis pajak yaitu PBB, PPN, PPN BM, dan PPh. Dari berbagai macam pajak tersebut, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembiayaan pembangunan. Karena sebagian besar pajak ini dikembalikan ke daerah untuk pembangunan daerah dan otonomi daerah yang lain, dalam hal ini adalah 90 % dari PBB keseluruhan, dan yang 10 % tetap diberikan Pusat.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diketahui bahwa PBB yang dasar pengenaannya didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak ini, penetapan pajaknya bersifat obyektif, yaitu pajak dikenakan kepada subyek pajak atas kepemilikan bumi/tanah dan/atau bangunan tanpa memperhatikan kemampuan dari subyek pajak bersangkutan, dimana penetapannya didasarkan pada keadaan riil di lapangan dari obyek pajak bersangkutan.
(17)
Menurut UU Nomor 45 tahun 2007 tentang APBN 2009, penerimaan PBB yang ditargetkan sebesar Rp24.159.700.000.000. Tingginya target penerimaan pajak tersebut akan menjadi tugas berat bagi pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk dapat merealisasikannya. Partisipasi rakyat dalam membayar pajak akan memudahkan DJP untuk merealisasikan target pajak yang sudah ditetapkan tersebut. Jika wajib pajak kurang berperan aktif dalam membayar pajak maka akan menjadi masalah dalam realisasi pajak tersebut, selain itu karena sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah Self Assesment System dimana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus (pengumpul pajak) hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan (Devano dan Siti Kurnia, 2006:109). Dalam pelaksanaan sistem tersebut, wajib pajak dituntut keaktifannya mulai dari saat mendaftarkan diri, mengisi SPT (Surat Pemberitahuan) dengan jujur, baik dan benar sampai dengan melunasi pajak terutang tepat pada waktunya. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak benar-benar penting bagi sistem perpajakan dan menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan Self Assesment System sehingga patut menjadi sorotan terutama bagi pemerintah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan wajib pajak juga menjadi faktor penting dalam merealisasikan target pajak yang tertuang dalam RAPBN.
Berdasarkan data pendahuluan yang diperoleh dari KPP Pratama Candisari Semarang menyebutkan bahwa penerimaan pajak bumi dan bangunan dari beberapa kelurahan di kecamatan Tembalang ternyata Kelurahan Tembalang
(18)
merupakan daerah yang dirasa kurang maksimal dalam terealisasinya penerimaan pajak bumi dan bangunan, adapun data yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2006-2008
Tahun WP
(SPPT)
Target PBB % WP
(SPPT)
Realisasi PBB
% Belum
Realisasi
2006 1.992 83.597.820 100 1.223 50.490.151 61,55 38,45
2007 2.004 111.490.536 100 1.261 78.306.839 70,24 29,76
2008 2.010 110.519.670 100 1.578 88.356.928 79,95 20,05
Sumber ; KPP Pratama Candisari Semarang Berdasarkan data di atas penerimaan PBB di Kelurahan Tembalang selama tiga tahun terakhir belum pernah memenuhi target. Hal ini dapat dilihat dari jumlah realisasi yang lebih rendah dari target, hal ini menjadi masalah karena seharusnya jika wajib pajak jumlahnya makin meningkat maka akan berdampak pada peningkatan jumlah penerimaan PBB. Kurangnya peran aktif rakyat dalam membayar pajak dapat menyebabkan turunnya penerimaan pajak yang diterima sehingga secara otomatis akan mempengaruhi jumlah penerimaan negara dan dapat menghambat pembangunan nasional. Masalah kurangnya realisasi penerimaan PBB dari targetnya ini diindikasikan karena faktor kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak yang kurang, kepatuhan wajib pajak dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Jackson dan Milliron dalam Ali Roshidi bin Ahmad dkk, (2007:4) menjabarkan faktor utama yang telah dibahas oleh para peneliti yang mempengaruhi kepatuhan pajak, antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan,
(19)
penghasilan, status atau jabatan, kesadaran dalam membayar pajak, panutan atau pengaruh wajib pajak lainnya, etika, sanksi sah, pengatahuan, kompleksitas, hubungan dengan otoritas perpajakan (IRS/Internal Revenue Service), sumber penghasilan, kewajaran menyangkut sistem perpajakan, kemungkinan yang sedang teraudit dan tarif pajak. Dari data di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak yang akan diteliti dalam penelitian ini hanya diambil dua faktor saja, yang pertama yaitu faktor penghasilan. Penghasilan merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan. Faktor penghasilan dapat dijadikan salah satu alasan wajib pajak tidak patuh. Seperti yang diungkapkan oleh Nurmantu (2003:149) yang menyebutkan bahwa bila seorang bekerja dan kemudian dapat menghasilkan uang, maka secara naluriah uang itu pertama-tama ditujukannya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya tetapi pada saat yang bersamaan jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu maka timbul kewajiban untuk membayar pajak kepada negara yang kemudian menyebabkan timbulnya konflik antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan negara. Pada umumnya kepentingan pribadi yang selalu dimenangkan, masyarakat awam akan lebih cenderung berpikir bahwa penghasilan yang mereka peroleh kurang dalam mencukupi kebutuhan sehingga mereka kurang bersedia apabila harus disisihkan untuk membayar pajak.
Selain faktor penghasilan, faktor kesadaran dalam membayar pajak juga dianggap sebagai hal yang penting dalam kaitan dengan kepatuhan membayar
(20)
pajak. Seperti yang diungkapkan Suhardito & Sudibyo (1999) kesadaran Wajib pajak merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, kognitif, yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap makna dan fungsi pajak. Kesadaran perpajakan berkonsekuensi logis untuk para wajib pajak agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara menbayar kewajiban pajaknya secara tepat waktu dan tepat jumlah. Kurniawan, V.B. (2006) menemukan bahwa kesadaran perpajakan WP berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB. Realita semacam itulah yang menjadi penghalang terwujudnya kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, dengan adanya kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak maka penerimaan negara akan meningkat sehingga dapat terwujud pembangunan nasional yang merata.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan dengan melakukan penelitian mengenai bagaimana “Pengaruh Penghasilan dan Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan
Tembalang Semarang tahun 2009.”
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Apakah penghasilan dan kesadaran wajib pajak berpengaruh secara simultan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?
(21)
2. Apakah penghasilan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak secara parsial dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?
3. Apakah kesadaran wajib pajak berpengaruh secara parsial terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah penghasilan dan kesadaran wajib pajak berpengaruh secara simultan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009.
2. Untuk mengetahui apakah penghasilan berpengaruh secara parsial terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009.
3. Untuk mengetahui apakah kesadaran wajib pajak berpengaruh secara parsial terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi khasanah pendidikan tentang Pengaruh Penghasilan dan Kesadaran Wajib
(22)
Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tembalang Semarang tahun 2009.
b. Manfaat Praktis 1. Bagi Peneliti
Sebagai wahana pelatihan pengembangan dalam bidang penelitian dan penerapan teori yang didapatkan di bangku kuliah.
2. Bagi Pemerintah
Memberikan bahan sumbangan pemikiran untuk mengevaluasi kebijakan mengenai masalah perpajakan secara umum dan juga mengenai kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak khususnya di kelurahan Tembalang Semarang.
3. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah.
(23)
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Definisi pajak menurut ”Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Penghasilan 1994”, yakni: Pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara (peralihan dari sector partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestatie) yang lansung dapat ditunjuk dan yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publike uitgaven) (Tarsis Tarmudji, 2001:9). Menurut Judisseno (2002) pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara. Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutupi belanja pemerintah (R. Santoso Brotodihardjo, 2003 dalam Devano dan Siti Kurnia, 2006:22).
Moh. Zain (2005) dalam Devano dan Siti Kurnia R. (2006:22) berpendapat bahwa pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun
(24)
wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak merupakan iuran masyarakat kepada Negara yang dipungut berdasarkan undang-undang dan bagi si pembayar pajak tidak mendapatkan jasa balik (kontra prestasi) yang bisa dinikmati secara langsung dan hasil pemungutan pajak dipakai membiayai pemerintah/pembangunan (Sambodo, 1999:2). Kartasapoetra dkk. (1989:2) mendefinisikan pajak sebagai iuran dari rakyat atau penduduk kepada kas Negara atau dengan kata lain, peralihan sebagian kecil hasil kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah berdasarkan undang-undang.
Ciri-ciri yang menggambarkan pajak berdasarkan pengertian-pengertian pajak yang telah dikemukakan di atas antara lain:
1. Merupakan suatu kewajiban bagi warga negara. 2. Merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar.
3. Sifatnya memaksa karena penetapannya diatur oleh negara melalui peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4. Manfaatnya akhirnya akan kembali pada warga negara itu sendiri karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan negara.
(25)
2.1.2 Fungsi Pajak
Pajak sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu negara karena pelaksanaan pembangunan pembiayaannya berasal dari penerimaan pajak. Fungsi-fungsi pajak antara lain:
2.1.2.1Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Fungsi Budgetair atau fungsi fiskal (fiscal function) adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana optimal ke kas Negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku, disebut juga fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali muncul. Pajak digunakan sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat tanpa ada kontraprestasi secara langsung dari zaman sebelum masehi sudah dilakukan. Berdasarkan fungsi tersebut, pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan dengan cara memungut pajak dari penduduknya.
2.1.2.2Fungsi Mengatur (Regulerend)
Fungsi Regulerend disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak merupakan alat kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Fungsi Regulerend juga disebut fungsi tambahan, karena fungsi Regulerend ini hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak, yaitu fungsi Budgetair (Devano dan Siti Kurnia, 2006:26).
(26)
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Demi terpenuhinya target pajak yang telah ditetapkan, pemerintah menggunakan sistem pemungutan pajak yang sederhana sehingga akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Sistem pemungutan pajak yang telah dilaksanakan oleh pemerintah antara lain:
1. Official assessment System
Dimana wewenang pemungutan pajak pada fiskus. Utang pajak timbul bila ada Surat Ketetapan Pajak (SKP), dilaksanakan sampai tahun 1967. Menurut Mardiasmo (2004:7), ciri-ciri Official assessment system yaitu:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b.Wajib pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus.
2. Semi Self Assesment System
Wewenang pemungutan ada pada wajib pajak dan fiskus. Pada awal tahun pajak wajib pajak menaksir dulu berapa pajak yang akan terutang untuk satu tahun pajak, kemudian mengangsurnya. Akhir tahun pajak, pajak terutang sesungguhnya ditentukan fiskus. Dilaksanakan di Indonesia pada periode 1968-1983.
(27)
3. Full Self Assesment System
Wewenang sepenuhnya untuk menentukan besar pajak ada pada wajib pajak. Wajib pajak aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak ikut campur tangan dalam penentuan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Dilaksanakan secara efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan pada tahun 1983. Ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
b.Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. (Mardiasmo, 2004:8)
4. With Holding System
Wewenang pemungutan ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. Dilaksanakan secara efektif sejak 1984 (Devano dan Siti Kurnia R., 2006:80).
5. Self Assessment System
Self Assesment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal dengan:
(28)
a. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak.
b. Menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang.
c. Menyetorkan pajak tersebut ke bank persepsi atau kantor pos. d. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak. e. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian
SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. Ciri Self Assesment System antara lain:
1. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
Pemerintah, dalam hal ini instansi perpajakan, melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku (Devano dan Siti Kurnia R., 2006:81).
2.2 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
2.2.1.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
(29)
dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan. 2. Jalan tol.
3. Kolam renang. 4. Pagar mewah. 5. Tempat olahraga.
6. Galangan kapal, dermaga. 7. Taman mewah.
8. Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak. 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat (Mardiasmo, 2002:269).
Asas Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan Undang-undang nomor 12 tahun 1994 yaitu:
a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan. b. Adanya kepastian hukum.
c. Mudah dimengerti dan adil. d. Menghindari pajak berganda.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas pemilikan atau pemanfaatan bumi dan bangunan di Indonesia.
2.2.1.2 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Segala sesuatu harus ada dasar hukumnya, begitu juga dengan PBB, penarikan PBB tidak akan berjalan lancar tanpa adanya peraturan dan
(30)
dasar hukum yang ditetapkan dan diberlakukan. Dasar hukum PBB diantaranya:
1. Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 12 tahun 1994.
2. Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1985 tentang Persentase Nilai Jual Kena Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Keputusan Menteri Keuangan nomor 1002/KMK.04/1985 tentang tata cara pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bumi.
4. Keputusan Menteri Keuangan nomor 1003/KMK.04/1985 tentang penentuan klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Keputusan Menteri Keuangan nomor 1006/KMK.04/1985 tentang tata cara penagihan PBB dan penunjukan pejabat yang berwewenang mengeluarkan surat paksa.
6. Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK.04/1985 tentang pelimpahan wewenang penagihan PBB kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II.
(31)
2.2.1.3 Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bumi dan atau bangunan merupakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak. DJP menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP.
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan dan lain-lain. Sementara dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain (Mardiasmo, 2004:271).
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:
(32)
1. Digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain:
a. Di bidang ibadah, contohnya masjid, gereja, dan vihara. b. Di bidang kesehatan, contohnya rumah sakit.
c. Di bidang pendidikan, contohnya madrasah dan pesantren. d. Di bidang sosial, contohnya panti asuhan.
e. Di bidang kebudayaan nasional, contohnya museum dan candi. 2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu.
3. Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan (Mardiasmo, 2004:271).
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas bangunan, dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. Jika suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat
(33)
2.2.1.4 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat. Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional (Mardiasmo, 2004:275).
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batasan nilai jual objek pajak yang tidak terkena pajak, besarnya ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00. Bila wajib pajak mempunyai lebih dari satu objek pajak, NJOPTKP berlaku untuk salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak adalah tiga tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas Self Assesment.
(34)
2.2.1.5 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Penetapan besarnya persentase untuk menentukan besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yaitu:
1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk: objek pajak perkebunan, objek pajak kehutanan, objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk: objek pajak pertambangan, objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan NJKP, dengan rumus:
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) = tarif pajak x NJKP = 0,5% x [persentase NJKP
x(NJOP-NJOPTKP)] (Mardiasmo, 2004:276).
2.2.1.6 Mekanisme Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak). Wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali jika wajib pajak tersebut menerima SPOP, maka wajib mengisinya dan mengembalikannya
(35)
kepada DJP. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada DJP yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh subjek pajak. Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan Negara maupun wajib pajak sendiri. Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada SPOP.
DJP akan menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada DJP. DJP dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. 2. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, DJP dapat
(36)
menerbitkan SKP secara jabatan. Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada DJP ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, DJP menerbitkan SKP secara jabatan.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang (Mardiasmo, 2004:277).
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak, contohnya SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2002 maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2002. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. Contohnya SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2002, maka jatuh tempo pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2002. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (Mardiasmo, 2004:282).
(37)
2.2.1.7 Tata Cara Pembayaran PBB
Walaupun sistem pemungutan pajak menggunakan self assesment, tetapi mengingat kondisi dan situasi masing-masing wilayah berbeda-beda, jumlah WP PBB sangat besar, terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di masing-masing Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama), luas wilayah dan keadaan geografis Indonesia yang begitu luas, tingkat pendidikan dan pengetahuan WP yang sangat heterogen khususnya di masyarakat pedesaan maka perhitungan PBB terutang tidak dilakukan oleh WP PBB itu sendiri melainkan dilakukan oleh KPP Pratama. WP hanya diminta mengisi SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) supaya berdasarkan SPOP itu bisa dihitung PBB-nya. Itu pun kalau ada perubahan atau mutasi data. Biasanya bila tidak ada perubahan atau mutasi data Kepala Kantor Pelayanan PBB menghitung langsung PBB terutang berdasarkan data yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB (Bab VII pasal 9 s/d pasal 10 UU PBB).
Perhitungan PBB terutang oleh Kantor Pelayanan PBB dilakukan dalam formulir yang dinamakan SPPT PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan). SPPT dihitung dan diterbitkan atas dasar SPOP yang diisi oleh WP, namun untuk membantu WP, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Kantor Pelayanan PBB Direktorat Jenderal Pajak. Setelah melakukan perhitungan PBB terutang dalam SPPT dan setelah ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB, SPPT tersebut dikirim ke Kelurahan yang wilayah
(38)
kerjanya meliputi letak objek Pajak Bumi dan Bangunan. Biasanya sekitar akhir bulan Februari SPPT PBB tersebut telah dikirim ke Kelurahan masing-masing. WP tinggal mengambil SPPT-nya di Kelurahannya lalu membayarnya ke tempat pembayaran yang telah ditentukan di SPPT paling lambat pada tanggal jatuh tempo pembayarannya yaitu enam bulan setelah SPPT PBB diterima di Kelurahan.
2.2.1.8 Sistem Tempat Pembayaran (SISTEP)
Pasal 11 UU PBB menentukan bahwa tanggal jatuh tempo pembayaran PBB adalah enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh WP dan tempat pembayarannya adalah bank, kantor pos dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan tetapi mengingat kondisi dan situasi masing-masing wilayah berbeda-beda, jumlah WP PBB sangat besar, terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di masing-masing Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), luas wilayah dan keadaan geografis Indonesia yang begitu luas, tingkat pendidikan dan pengetahuan WP yang sangat heterogen, khususnya di masyarakat pedesaan, maka untuk pembayaran PBB dilakukan melalui apa yang dinamakan SISTEP (Sistem Tempat Pembayaran). Adapun pokok-pokok ketentuan SISTEP menurut Markus (2005: 426-427) adalah :
1. Tempat pembayaran PBB di Bank yang telah ditunjuk untuk menerima pembayaran PBB. Saat ini pembayaran PBB terutang di Bank yang ditunjuk bisa dilakukan secara on line bahkan bisa dibayar melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri).
(39)
2. Pembayaran PBB hanya dapat dilakukan dalam satu kali pembayaran atau sekaligus dalam arti jumlah pajak terutang tidak dapat diangsur atau dicicil.
3. Penyampaian SPPT untuk satu wilayah pemerintahan tertentu kepada WP dilakukan secara serentak atau dalam periode tertentu sehingga tanggal jatuh tempo pembayaran PBB untuk satu wilayah pemerintah seragam yaitu satu tanggal jatuh tempo.
4. Dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota hanya ada satu Bank atau Kantor Pos operasional.
5. Jika ada satu Kabupaten atau Kota terdapat lebih dari satu Bank atau Kantor persepsi maka jumlah Bank persepsi dibatasi sebanyak-banyaknya tiga jenis Bank sedangkan Bank atau Kantor Pos operasionalnya tetap satu.
2.2.1.9 Tata Cara Pembayaran
Salah satu ketentuan pada SISTEP ini adalah WP harus melunasi PBBnya sekaligus. Apabila WP membayar langsung PBB ke tempat pembayaran yang ditunjuk, pada saat membayar cukup menunjukkan SPPT PBB dan memberikan uangnya dan sebagai bukti pembayarannya WP akan menerima STTS dari Kantor penerima pembayaran PBB. Apabila SPPT belum diterima WP, maka sepanjang STTS sudah tersedia di tempat pembayaran, WP dapat membayar PBB dengan menunjukkan SPPT tahun sebelumnya. Di samping itu, WP dalam melaksanakan
(40)
kewajiban pembayaran PBB-nya bisa melalui prosedur pemindahbukuan atau transfer, kiriman uang lewat Bank atau Kantor Pos.
Namun, untuk WP sektor pedesaan dan sektor perkotaan terutama yang tercantum pada buku I, II dan III masih dapat membayar PBB melalui petugas pemungut dengan catatan tempat tinggal WP jauh atau sulit sarana dan prasarananya dari tempat pembayaran yang ditunjuk. Apabila WP membayar PBB melalui petugas pemungut maka petugas pemungut mendaftarkannya dalam daftar penerimaan harian PBB dengan memberikan kepada WP bukti penerimaan sementara PBB yang disebut TTS (Tanda Terima Sementara). Uang PBB disetorkan oleh petugas pemungut ke tempat pembayaran yang sudah ditentukan (Bank atau Kantor Pos) dengan menggunakan DPH (Daftar Penyetoran Harian) rangkap. Untuk daerah yang tidak sulit sarana dan prasarananya, tetapi berdasarkan pertimbangan perlu ditunjuk petugas pemungut, penyetoran dilakukan setiap hari. Sedangkan untuk daerah yang sulit sarana dan prasarananya penyetoran dapat dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari sekali. WP kemudian menerima STTS sebagai tanda bukti pembayaran PBB yang sah dari tempat pembayaran melalui petugas pemungut sebagai pengganti TTS. (Markus, 2005:428).
2.2.1.10 Prosedur Pengajuan Keberatan dan Banding Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Keberatan atas PBB diajukan oleh wajib pajak atas SPPT atau SKPKB. Keberatan dapat diajukan wajib pajak dalam jangka waktu 3
(41)
(tiga) bulan setelah SKPKB diterima wajib pajak. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak keberatan diterima DJP maka DJP akan memberikan keputusan berupa ditolak, diterima, diterima sebagian dan bila DJP tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 12 bulan, maka keberatan dianggap diterima/dikabulkan. Jika keberatan ditolak/diterima sebagian maka wajib pajak masih punya hak mengajukan banding ke BPSP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah keputusan keberatan diterima wajib pajak (Sambodo, 1999:125).
2.3 Kepatuhan Wajib Pajak
2.3.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut kamus umum bahasa Indonesia (1995:1013), istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan, dapat diartikan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kepatuhan mengandung unsur sebagai berikut:
1.Adanya pengetahuan dan pengertian dari subjek pajak terhadap objek pajak.
2.Adanya sikap setuju dari subjek pajak.
3.Adanya tindakan perbuatan yang konsisten dengan pengetahuan dan sikap yang telah dimilikinya (Kurniawan, 2006).
(42)
Nurmantu (2003:148) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada dua macam kepatuhan, yaitu;
1.Kepatuhan formal, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2.Kepatuhan material, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Alm (1991) dalam Ali Roshidi bin Ahmad dkk. (2007:4) menggambarkan kepatuhan pajak sebagai pelaporan dari semua pembayaran dan penghasilan dari semua pajak oleh pelaksanaan ketentuan hukum, peraturan dan penghakiman lapangan. Definisi kepatuhan pajak yang lain adalah tindakan seseorang mengisi format pajak penghasilan, melaporkan semua penghasilan kena pajak dengan teliti, dan membayar semua pajak terutangnya sesuai jangka waktu yang ditetapkan tanpa harus menunggu untuk ditindak oleh yang berwenang, yaitu aparat pajak (Singh, 2003). Roth, Scholz dan Witten (1989) dalam Kassipillai dkk, (2003:136) mengidentifikasi dua faktor utama yang mempunyai dampak penting pada kepatuhan wajib pajak yaitu kepentingan diri dan moral yang berhubungan dengan keuangan. Asumsi kepentingan diri terhadap keuangan bahwa seseorang mengharapkan dapat memaksimalkan
(43)
keperluannya dengan melaporkan penghasilan yang seimbang dengan keuntungan-keuntungan dari keberhasilan mengelak dari pajak. Jadi, sanksi dan pendeteksian yang penting adalah alat-alat yang utama untuk meningkatkan kepatuhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak yaitu:
a.Faktor pendidikan wajib pajak, yang meliputi pendidikan formal dan pengetahuan wajib pajak.
b.Faktor penghasilan wajib pajak, yang meliputi besarnya penghasilan bersih wajib pajak dari pekerjaan pokok dan sampingannya, serta jumlah anggota keluarga yang masih harus dibiayai.
c.Faktor pelayanan aparatur pajak, disaat pelayanan penyampaian informasi, pelayanan pembayaran, maupun pelayanan keberatan dan penyaranan.
d.Faktor penegakan hukum pajak, yang terdiri dari sanksi-sanksi, keadilan dalam penentuan jumlah pajak yang dipungut, pengawasan dan pemeriksaan.
e.Faktor sosialisasi, diantaranya pelaksanaan sosialisasi dan media sosialisasi (Kusumawati, 2006:40).
Menurut OECD (Organization for Economic Co-operation Development) dalam Forum Kepatuhan Administrasi Pajak (Forum on Tax Administration compliance Sub-group, 2004:37) yang telah
(44)
menganalisa perilaku kepatuhan, memaparkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wajib pajak antara lain:
1. Faktor Ekonomi
a. Beban keuangan, dimana terdapat hubungan antara jumlah pajak terhutang dan perilaku kepatuhan. sebagai contoh, jika pemilik bisnis yang mempunyai kepatuhan pajak dapat secara mudah membayar pajak mereka secara penuh. Akan tetapi, jika kewajiban tersebut besar, secara potensial akan mengancam kelangsungan hidup pemilik bisnis sehingga mereka akan menghindari membayar pajak sama sekali atau mengusahakan memanipulasi data dengan melaporkan pajaknya supaya menjadi lebih kecil tanggungan.
b. Biaya kepatuhan. Masalah wajib pajak yang biasa muncul adalah membayarkan pajak mereka diatas jumlah yang sebenarnya pajak yang seharusnya mereka bayar. Hal ini belum termasuk ongkos untuk membayar seorang akuntan yang telah menghitungkan pajak mereka dan biaya tidak langsung yang harus dihadapi jika berurusan dengan keruwetan perundang-undangan pajak. Hal ini termasuk biaya psikologi seperti tekanan yang mereka hadapi dalam berurusan dengan semua aturan pajak itu atau bahkan tentang aturan tersebut. Selain itu, perusahaan kecil sering kesal terhadap cara petugas pemungut pajak dalam menagih pajak mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.
(45)
c. Kurangnya dukungan. Menurut penelitian yang menjadi penghalang, seperti ancaman dan tuntutan hukuman, akan berefek pada perilaku kepatuhan wajib pajak. Bagaimanapun, penelitian sudah menunjukkan bahwa alasan wajib pajak kurang atau tidak patuh karena masalah hukuman.
d. Dorongan. Memberi wajib pajak dorongan mempunyai suatu efek positif terhadap kepatuhan pajak, yaitu meningkatnya wajib pajak yang patuh dalam membayar pajak, meskipun ini akan memerlukan explorasi lebih lanjut.
2. Faktor Perilaku
a. Perbedaan individu. Ada wajib pajak yang memenuhi kewajibannya dan ada beberapa yang tidak. Faktor individu yang mempengaruhi perilaku meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, tingkat moral, industri, kepribadian, keadaan, dan penilaian resiko pribadi. b. Persepsi tidak layak. Wajib pajak yang mempercayai system secara
tak wajar atau yang mempunyai pengalaman pribadi ‘secara tak wajar’ dalam urusan kepatuhan akan kurang dalam mematuhi pajak. c. Persepsi tentang resiko minimal. Jika wajib pajak mempunyai
kesempatan untuk tidak mematuhi dan berpikir bahwa hal itu mempunyai resiko yang kecil, maka ia akan mengambil resiko itu. d. Resiko yang diambil. Sebagian orang memandang penghindaran
(46)
suka menguji ketrampilan mereka dengan menghindarkan kewajiban mereka dan menghindarkan diri dari tangkapan.
Dari keseluruhan teori di atas yang digunakan dalam penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak yaitu:
1. Faktor pendidikan wajib pajak 2. Faktor penghasilan wajib pajak 3. Faktor pelayanan aparatur pajak 4. Faktor penegakan hukum pajak 5. Faktor sosialisasi
Kriteria Wajib Pajak Patuh
Menurut Keputusan Menteri Keuangan nomor 544/KMK.04/2000, kriteria wajib pajak patuh adalah:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. 4. Dalam dua tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam
(47)
pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal (Devano dan Siti Kurnia R., 2006:111).
2.3.2 Faktor Penyebab Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Menurut Ritsema (2003:9), alasan ketidakpatuhan para wajib pajak: 6. Ketidakadaan uang
Wajib pajak mungkin lalai untuk melaporkan pajak ketika jatuh tempo karena mereka kekurangan dana untuk membayar hutang pada waktunya. Survei menjawab pertanyaan ini adalah tercakup dalam model.
7. Ketidakwajaran
Persepsi wajib pajak menyangkut kewajaran dari sistem perpajakan yang mempengaruhi kemauan mereka untuk menghindar dari pembayaran. Riset sebelumnya atas pengaruh persepsi kewajaran pada kepatuhan pajak menghasilkan perbedaan. Mcewen dan Maiman (1986) menemukan bahwa persepsi kewajaran secara langsung berhubungan dengan kepatuhan, sedangkan Porcano (1988) dan Yankeloich et al. (1984) menemukan tidak ada hubungan antara persepsi kewajaran dan kepatuhan.
(48)
8. Kompleksitas (kerumitan)
Riset yang memusatkan pada persepsi tentang kerumitan menunjukkan bahwa kompleksitas dihubungkan dengan kepatuhan, tetapi dampaknya belum jelas. Clotfelter (1983) menemukan bahwa ada hubungan antara kompleksitas dengan ketidakpatuhan. Westat (1980), Wittedan Woodbury (1985) dan Slemrod (1989) menemukan bahwa dampak kompleksitas atas kepatuhan bervariasi dengan karakteristik individu wajib pajak seperti persepsi kewajaran, kesempatan untuk menghindar dari pajak dan pendidikan.
9. Ketidaktahuan
Kantor Pelayanan Pajak (IRS/Internal Revenue Service, 1994) telah menyatakan ketidaksengajaan ketidakpatuhan mungkin penting untuk mewakili jumlah total ketidakpatuhan. Survei responden memberitahu kami, mereka lalai membayar pajak mereka sebab mereka tidak sadar bahwa pajak terutang.
Salah satu penelitian di Chile, Amerika Latin menunjukkan delapan sebab mengapa seseorang tidak mau membayar pajak di bawah judul: “Why I don’t want to pay my tax,” atau Mengapa saya tidak ingin membayar pajak saya, yakni:
1 Karena saya tidak menerima manfaat.
2 Karena tetangga saya juga tidak membayar pajak. 3 Karena jumlah pajaknya terlalu besar.
(49)
5 Karena saya tidak tahu bagaimana melaksanakannya 6 Karena saya telah mencoba tapi saya tidak mampu.
7 Karena jika mereka menangkap saya, maka saya akan dapat menyelesaikannya.
8 Walaupun saya tidak bayar, tidak akan terjadi apa-apa (Nurmantu, 2003:154).
Menurut Paul Webley, seorang psikolog ekonomi dalam Forum Kepatuhan Administrasi Pajak (Forum on Tax Administration compliance Sub-group, 2004:38), alasan utama perilaku ketidakpatuhan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1 Keadilan
Persepsi keadilan dalam sistem pajak sangat penting, perilaku wajib pajak dipengaruhi oleh dua persepsi yaitu bahwa sistem keadilan yang memperlakukan wajib pajak tanpa membandingkan dengan yang lain, dan usaha pemerintah yang terlalu kecil dalam mengumpulkan pajak. 2 Peluang ketidakpatuhan
Beberapa studi melaporkan faktor penting yang menjelaskan perilaku ketidakpatuhan. Bagaimanapun hal itu belum jelas apakah mereka yang cenderung tidak patuh dengan mencari peluang, sebagai contoh tenaga kerja yang menyampaikan gajinya tidak sesuai dengan Upah ketenagakerjaan.
(50)
3 Perbedaan individu
Mereka yang tidak mematuhi cenderung tertuju pada pria, para pemuda, yang egois, mempunyai sikap positif ke arah pengelakan pajak dan sikap negatif ke arah otoritas perpajakan. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa pendidikan tentang sistem perpajakan mempunyai suatu dampak langsung atas berkurangnya kecenderungan untuk penghindaran pajak.
4 Norma sosial
Jika seseorang percaya bahwa banyak orang yang melakukan ketidakpatuhan yang lebih dari yang ia telah lakukan. Studi menunjukkan bahwa mengurangi perilaku ketidakpatuhan yang efektif yaitu dengan memastikan bahwa wajib pajak mempunyai suatu pemahaman yang akurat mengenai perilaku kepatuhan seperti yang lainnya.
5 Ketidakpuasan pada otoritas pajak
Ada suatu korelasi positif antara kepercayaan wajib pajak dengan otoritas penghasilan yang tidak menolong atau tidak efisien dan kemungkinan mereka yang tidak patuh. Bagaimanapun, hal itu belum jelas tentang pengaruhnya dibandingkan faktor lain.
2.3.3 Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
(51)
1. Meningkatkan penyuluhan dan informasi tentang perpajakan. 2. Menciptakan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
3. Melakukan pembaharuan dan perombakan pajak-pajak yang masih berbau kolonial (Suryarini dan Tarsis T., 2007:10).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat tercermin dari sikap dan perilaku sebagai berikut:
1. Ketaatan
Sejauh mana wajib pajak mampu mentaati segala peraturan tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya tentang pelaksanaan sistem pengenaan PBB, yaitu pendaftaran wajib pajak dengan mengisi SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) dengan jelas dan benar, serta tepat waktu. SPOP tersebut disampaikan pada Dirjen Pajak melalui Kelurahan. Jika wajib pajak tidak mengembalikan SPOP dan tidak mengisinya dengan benar, maka Dirjen Pajak akan menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) sebagai teguran bagi wajib pajak. Setelah Wajib pajak menyampaikan SPOP, Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT tersebut digunakan untuk membayar pajak (PBB) selambatnya enam bulan sejak tanggal penerbitan SPPT (Mardiasmo, 2004:277).
2. Persepsi pajak
Sejauh mana persepsi (penilaian) wajib pajak mengenai pajak, apakah persepsi positif, yaitu wajib pajak dapat menilai pajak dapat
(52)
memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat dan wajib pajak sendiri, atau persepsi negatif, dimana wajib pajak menilai bahwa pajak tidak bermanfaat dan hanya membebani kehidupan wajib pajak. Erard dan Feinstin menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan wajib pajak, salah satunya persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung (Chaizi nasucha dalam Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006:111). Persepsi wajib pajak akan positif jika mereka menilai bahwa besarnya beban pajak yang mereka bayarkan, akhirnya dampaknya bisa mereka rasakan, seperti adanya pembangunan dan perbaikan fasilitas umum dan sebagainya.
3. Ketepatan waktu
Sejauh mana wajib pajak melaksanakan kewajiban Perpajakan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Sepeti dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK. 04/2000 mengenai kriteia kepatuhan wajib pajak, yang salah satu isinya antara lain tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir (Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006:111). Disamping itu, wajib pajak juga harus tepat waktu dalam membayarkan pajak terutangnya.
2.4 Penghasilan Wajib Pajak
Pengertian penghasilan menurut undang-undang PPh (Pajak Penghasilan) pasal 4 ayat (1) adalah setiap tambahan kemampuan
(53)
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honororarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
2. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. Dalam pengertian hadiah, termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olah raga dll sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungandengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala (www.pajakonline.com).
Salah satu penyebab utama wajib pajak tidak patuh adalah faktor penghasilan wajib pajak (Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006:120). Penghasilan yang telah diperoleh wajib pajak pada umumnya hanya
(54)
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat muncul kewajiban pajak terhadap wajib pajak tersebut, maka akan timbul masalah antara pemenuhan kepentingan pribadi dengan kepentingan sebagai warga Negara, atau lebih tepatnya kepentingan Negara dan sering kali kepentingan pribadilah yang akan didahulukan. Asumsinya seseorang yang berpenghasilan besar akan lebih patuh dalam membayar pajak karena dianggap mampu secara finansial, dengan tidak meninggalkan faktor kesadaran wajib pajak didalamnya. Di sini juga dapat dilihat seberapa besar kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak terhadap orang yang berpenghasilan lebih, karena secara teori, orang yang berpenghasilan lebih telah mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya sehingga seharusnya bisa menyisihkan sedikit dari penghasilannya untuk membayar pajak. Wajib pajak harus mengorbankan sebagian penghasilan atau harta/uangnya (Sacrifice of income) untuk membayar pajak.
Teori ekonomi mengatakan bahwa I atau Income (penghasilan/penghasilan) = C atau Consumtion (konsumsi), dimana besarnya penghasilan akan sama dengan besarnya konsumsi. Konsumsi disini termasuk juga pengeluaran untuk membayar pajak karena wajib pajak dianggap melakukan tindakan konsumsi yaitu menghabiskan nilai guna dari suatu barang, dalam hal ini yang dimaksud adalah nilai guna atas tanah dan bangunan. Asumsinya ialah jika penghasilan seseorang besar, maka konsumsinya untuk membayar pajak akan besar juga. Hal itulah
(55)
yang menjadi pertimbangan bahwa penghasilan dapat berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
Faktor yang mempengaruhi penghasilan menurut Safir Senduk dalam detik.com (2000) antara lain:
1. Pendidikan
Statistik menunjukkan, orang yang menempuh pendidikan lebih tinggi cenderung menghasilkan lebih banyak uang daripada mereka yang tidak. Ini seringkali ‘membutakan’ mata masyarakat yang akhirnya cenderung menganggap bahwa seseorang tidak akan mendapatkan penghasilan tinggi sebelum mereka menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Ini tentu saja merupakan mitos yang salah. Yang benar adalah pendidikan yang tinggi bisa membantu seseorang untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, meski hal itu bukan satu-satunya jaminan.
2. Pekerjaan
Penghasilan seseorang juga berkait erat dengan pekerjaan yang dia lakukan, dengan istilah white collar worker dengan blue collar worker. Pekerja kerah putih (mereka yang lebih banyak menggunakan pikirannya dalam bekerja) biasanya menghasilkan lebih banyak uang daripada mereka yang berkerah biru (mereka yang lebih banyak menggunakan tenaganya).
(56)
3. Umur
Penghasilan seseorang juga berkait erat dengan umurnya. Mereka yang masih berumur 25 tahun ke bawah cenderung berpenghasilan lebih rendah daripada mereka yang sudah berumur di atas 25 tahun, bahkan di atas 35 tahun. Semakin tua umur seseorang, biasanya penghasilannya akan menjadi lebih tinggi. Ini masuk akal mengingat pengalaman seseorang dalam satu bidang, apabila ditekuni dari tahun ke tahun akan membuat pengalamannya bertambah, sehingga penghasilannya juga akan semakin bertambah.
4. Harta
Penghasilan seseorang pada dasarnya didapat dari upah dan juga hasil investasi. Upah terdiri atas honor dan gaji, yang didapat seseorang karena jasa atau pekerjaan yang dia lakukan. Tetapi penghasilan yang kedua, adalah penghasilan yang didapat dari hasil investasi. Misal, seseorang memiliki harta berupa uang tunai Rp 100 juta. Bila uang ini diinvestasikan, akan memberikan penghasilan bunga yang rutin setiap bulannya. Semakin besar harta yang dia miliki, semakin besar pula penghasilan bunganya atau hasil investasinya. Jadi, semakin besar harta, biasanya akan semakin besar pula penghasilan yang diterima. Selanjutnya penghasilan tersebut bisa digunakan untuk memperbesar harta, yang pada akhirnya bisa digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar, begitu seterusnya.
(57)
5. Tempat Tinggal
Tempat tinggal juga berpengaruh pada penghasilan seseorang. Dua orang manajer yang sama, misalnya, baik umur maupun jenis pekerjaannya, bisa saja berbeda penghasilannya bila mereka tinggal di dua kota yang berbeda.
Menurut Soemitro (1987:26) dalam pemungutan pajak perlu diperhatikan kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak, kemampuan membayar pajakmitu sendiri dipengaruhi oleh tingkat penghasilan, oleh karena itu pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang.
Penghasilan menurut Lumbatoruan (1990:423) adalah tanggungan jumlah uang atau nilai yang selama tahun takwim diperoleh seseorang dari:
b. Usaha dan tenaga, c. Barang tak bergerak, d. Harta bergerak,
e. Hak atas pembayaran berkala dan,
f. Tambahan harta yang ternyata dalam tahun takwin kecuali jika hal sebaliknya dibuktikan oleh wajib pajak.
Menurut Winardi (1993:245) penghasilan adalah hasil yang berupa uang atau hasil materi lainya yang dicapai dari penggunaan kekayaan jasa manusia bebas sedangkan menurut Gilarso (1994:40) penghasilan keluarga
(58)
adalah segala balas karyayang diperoleh sebagai imbalan atau bals jasa atas sumbangan seseorang terhadap proses produksi.
berdasarkan definisi singkat diatas, maka dapat dapat diambil kesimpulan bahwa penghasilan adalah semua penghasilan yang diterima oleh sesorangyang berupa uang atau barang sebagai balas jasa dari faktor-faktor produksi.
2.4.1 Jenis-Jenis Sumber Penghasilan
Menurut Gilarso (1994:40) jenis penghasilan yang diperoleh sesorang dikategorikan menjadi:
1. Penghasilan pokok yaitu penghasilan yang diperoleh dari upah sebagai kerja pokok.
2. Penghasilan tambahan yaitu penghasilan yang diperoleh dari luar penghasilan pokok.
3. Penghasilan lain-lain yaitu penghasilan yang diperoleh diluar penghasilan pokok dan tambahan.
Sedangkan sumber penghasilan keluarga berasal dari:
1. Penghasilan dari pekerjaan yaitu penghasilan yang diperoleh dari suatu pekerjaan misalnya guru, dokter,notaris, akuntan dan sebagainya. 2. Penghasilan dari modal yaitu pendapan yang diperoleh dari harta yang
dikerjakan sendiri.
3. Penghasilan dari kegiatan usaha yaitu penghasilan penghasilan yang diperoleh dari hadiah, pembebasan utang.
(59)
2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penghasilan
Menurut Kam, 1995 dalam Chariri (2001:254) faktor-faktor yang mempengaruhi penghasilan adalah:
a. Kegiatan menghasilkan dan menjual output, b. Obyek kegiatan yang berupa produk itu sendiri.
Sedangkan menurut Suwardjono, 1994 dalam Chariri (2001:257) penghasilan dipengaruhi oleh:
a. Modal atau pendanaan (financing) yang mengakibatkan adanya tambahan dana,
b. Untung dari penjualan aktiva yang yang berupa produk perusahaan seperti aktiva tetap,
c. Hadiah sumbangan atau temuan,
d. Penyerahan produk perusahaan berupa hasil penjualan produk atau penyerahan jasa.
Penghasilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penghasilan bersih yang diterima oleh wajib pajak dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dengan perhitungan penghasilan satu bulan.
2.5 Kesadaran Wajib Pajak
Kesadaran perpajakan adalah kerelaan memenuhi kewajibannya, termasuk rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pemerintah dengan cara membayar kewajiban pajaknya (Suhardito, B. & Sudibyo, B. 1999). Tingkat kesadaran yang dimiliki oleh Wajib Pajak juga berpengaruh terhadap kepatuhan dalam membayar pajak karena pada
(60)
Kenyataanya tidak banyak orang yang secara sadar akan kewajiban perpajakannya dan mengerti essensi dari pajak itu sendiri melainkan hampir sebagian besar orang melaksanakan kewajiban perpajakannya hanya memenuhi ketentuan yang sudah ada” (Bradoks, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa budaya kurangnya kesadaran (lack of awareness) sangat berpotensi mengurangi tingkat kepatuhan. Sebagai warga negara (yang baik), kewajibannya adalah memenuhi kewajiban perpajakan.
Ada banyak hal yang menjadi penyebab mengapa tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih rendah, diantaranya adalah: 1. Sebab kultural dan historis.
Rakyat Indonesia yang mengalami panjajahan selama kurang lebih tiga setengah abad, baik di zaman kolonial maupun dimasa pendudukan Jepang, masih belum lupa kepahitan dimasa penjajahan tersebut, khususnya di bidang perpajakan, rakyat mengenal pajak hanya sebagai alat pemeras dari kaum penjajah, dan oleh sebab itu, rakyat benci terhadap pajak. Kebencian itu dikarenakan pajak dirasakan sebagai beban yang memberatkan hidupnya. Walaupun Indonesia sudah merdeka bukan berarti lagi Negara jajahan, rakyat masih tidak mengerti dan masih beranggapan bahwa pajak memberatkan mereka.
2. Kurangnya informasi dari pihak pemerintah kepada rakyat.
Pada umumnya, rakyat tidak mengetahui tentang informasi perpajakan, contohnya tentang perubahan undang-undang atau kebijakan lain.
(61)
3. Adanya kebocoran pada penarikan pajak.
Kebocoran dalam penarikan pajak dapat berupa tambahan uang yang harus dibayar wajib pajak dalam membayar pajak sehingga uang yang dibayarkan tidak sama dengan jumlah yang tertera di SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang). Contoh lainnya ialah jumlah uang hasil penerimaan pajak yang disetorkan tidak sesuai atau kurang dari jumlah yang seharusnya disetor.
4. Suasana individu, seperti belum punya uang, malas, dan tidak ada imbalan langsung dari pemerintah (Suryarini dan Tarsis T, 2006:10).
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1 Meningkatkan penyuluhan dan informasi tentang perpajakan. 2 Menciptakan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa.
3 Melakukan pembaharuan dan perombakan pajak-pajak yang masih berbau kolonial (Suryarini dan Tarsis T, 2006:10).
2.6 Kerangka Berpikir
Penerimaan pajak dianggap penting bagi kelangsungan hidup suatu Negara. Hal ini terbukti dengan sebagian besar dana pembangunan yang berasal dari penerimaan pajak. Salah satu penerimaan pajak yang perlu diperhatikan ialah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang manfaatnya atau hasil penerimaan pajaknya sebagian besar masuk ke kas daerah yang bersangkutan, sehingga bisa langsung digunakan oleh pemerintah daerah setempat, tanpa harus meminta dahulu pada pemerintah pusat.
(62)
Penerimaan pajak yang belum optimal yang dikarenakan kepatuhan wajib pajak yang kurang merupakan masalah sebagian besar Negara-negara di dunia. Masalah kepatuhan dalam membayar pajak merupakan masalah yang penting karena hal itu akan mempengaruhi besarnya penerimaan pajak yang akan diterima oleh Negara. Kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bisa diketahui dan diperbaiki guna meningkatkan penerimaan pajak, dimana kepatuhan tersebut dapat tercipta dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya penghasilan dan kesadaran wajib pajak.
Penghasilan merupakan tambahan kekayaan atau harta yang diperoleh baik dari dalam maupun dari luar Negara yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Wajib pajak akan lebih memilih menggunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dari pada menggunakannya untuk membayar pajak. Asumsinya seseorang yang berpenghasilan besar yang telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, seharusnya akan dapat membayar pajak, termasuk didalamnya harus ada kesadaran diri untuk membayar pajak.
Selain itu dalam teori ekonomi dikatakan bahwa I atau Income (penghasilan/penghasilan) = C atau Consumtion (konsumsi), dimana besarnya penghasilan akan sama dengan besarnya konsumsi. Konsumsi disini termasuk juga pengeluaran untuk membayar pajak karena wajib pajak dianggap melakukan tindakan konsumsi yaitu menghabiskan nilai guna dari suatu barang, dalam hal ini yang dimaksud adalah nilai guna atas
(63)
tanah dan bangunan. Asumsinya ialah jika penghasilan seseorang besar, maka konsumsinya untuk membayar pajak akan besar juga. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang dijadikan dasar mengapa penghasilan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
Selain faktor penghasilan, kesadaran wajib pajak dapat menjadi tolak ukur bagi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Tanpa adanya kesadaran tentang membayar pajak, wajib pajak akan sulit memahami arti penting pajak, tujuan pajak yang sebenarnya, dan bagaimana dampaknya jika wajib pajak tidak membayar pajak. Wajib pajak akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak jika ia sendiri tidak mempunyai kesadaran tentang pembayaran pajak. Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan bahwa faktor kesadaran sangat penting bagi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
Pada umumnya seseorang yang memiliki pendidikan, akan sadar dan patuh terhadap hak dan kewajibannya, tanpa harus dipaksakan dan diancam oleh beberapa sanksi dan hukuman. Wajib pajak yang mempunyai kesadaran akan membayar pajak maka secara sadar diri juga akan patuh membayar pajak. Mereka telah mengetahui bagaimana alur penerimaan pajak tersebut akan berjalan, hingga akhirnya manfaat membayar pajak tersebut dapat dirasakannya, sebagai contoh, jalanan yang selalu diaspal jika rusak dan dalam keadaan baik, yang setiap hari dapat dilalui semua orang dengan nyaman. Itu salah satu manfaat kecil dari pajak yang seharusnya diketahui seluruh masyarakat, khususnya wajib
(64)
pajak. Oleh karena itu, kesadaran wajib pajak akan membayar pajak dianggap penting dalam mewujudkan kepatuhan membayar PBB.
Secara sistematis pengaruh penghasilan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Penghasilan (X1)
1 Pekerjaan Pokok 2 Pekerjaan
Sampingan
Kesadaran Wajib Pajak (X2)
1. Sebab Kultural dan Historis 2. Kurangnya Informasi
3. Adanya Kebocoran Pada Penarikan Pajak
4. Suasana individu
Kepatuhan Wajib Pajak
(Y)
1. Ketaatan 2. Persepsi
Pajak 3. Ketepatan
(65)
2.7 HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara dari permasalahan penelitian yang biasa dirumuskan dalam bentuk yang dapat diuji secara empirik (Hasan, 2002:50). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1= Ada pengaruh yang signifikan antara penghasilan dan kesadaran wajib pajak
terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. H2= Ada pengaruh yang signifikan antara penghasilan terhadap kepatuhan wajib
pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
H3= Ada pengaruh yang signifikan antara kesadaran wajib pajak terhadap
(66)
51
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel Penelitian 3.1.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006:130). Menurut Sugiyono (2007:61) populasi adalah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wajib pajak yang berada di Kelurahan Tembalang Semarang pada tahun 2009 adalah sebesar 2.011 wajib pajak.
3.1.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2007:62). Sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin, hal ini dikarenakan ukuran populasi diketahui dan asumsi bahwa populasi berdistribusi normal. Ukuran sampel dengan rumus:
2 1 Ne
N n
+ = Dimana:
n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi
e = Batas kesalahan maksimal yang ditolerir dalam sampel (10%) (Umar,2005:78).
(67)
Pengambilan sampel tergantung pada:
1. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.
2. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap objek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.
3. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti (Arikunto, 2006:134).
Jumlah populasi berdasarkan data dari KPP Pratama Candisari Semarang yang menyebutkan bahwa jumlah wajib pajak (WP) pada tahun 2009 berjumlah 2.011 orang, maka batas minimal pengambilan sampel berdasarkan rumus diatas adalah:
= 95,26 (dibulatkan 95)
Berdasarkan perhitungan di atas, maka sampel dalam penelitian ini adalah 333,7 dibulatkan 334 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling, pengambilan sampel yang dilakukan secara acak dimana setiap populasi memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel (Arikunto,2006:134). Pengambilan sampel tersebut diberikan kepada wajib pajak PBB kelurahan Tembalang Semarang.
(68)
3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007:2). Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu :
3.2.1 Variabel bebas atau independent variable
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi terhadap segala sesuatu gejala. Komponen variabel bebas dalam penelitian ini adalah : 1Penghasilan (X1)
Salah satu variabel bebas dalam penelitian ini adalah Penghasilan wajib pajak. panghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan dalam penelitian ini menggunakan indikator besarnya penghasilan pokok dan sampingan wajib pajak yaitu besarnya penghasilan bersih dari pekerjaan pokok dan sampingan yang dihasilkan oleh seluruh anggota keluarga yaitu bapak, istri, anak laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga dengan perhitungan penghasilan satu bulan.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur penghasilan terdiri dari satu item pertanyaan dengan menggunakan pertanyaan terbuka yaitu responden mengisi sendiri jawaban berdasarkan pertanyaan yang diajukan mengenai penghasilan wajib pajak. Variabel penghasilan diukur dengan instrumen
(69)
yang diadopsi dari Noviani (2005) dan Wulandari (2007) yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Dimana tiap jawaban wajib pajak tentang jumlah pengetahuan dikelompokkan dan diukur dengan skala Likert yang menggunakan lima poin, dimana semakin tinggi poin akan menunjukkan semakin tingginya kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB.
2Kesadaran wajib pajak (X2)
Variabel ini diukur dengan menggunakan indikator menurut Suryarini dan Tarsis T (2006:10) sebagai berikut:
1. Sebab Kultural dan Historis 2. Kurangnya Informasi
3. Adanya Kebocoran Pada Penarikan Pajak 4. Suasana individu
Masing-masing item pertanyaan tersebut diukur dengan menggunakan skala Likert 5 poin, dimana semakin mengarah ke poin 1 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak rendah. Sedangkan semakin mengarah ke poin 5 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak tinggi. Adapun kategori jawabannya untuk indikator ketepatan waktu menggunakan alternatif jawaban a, b, c, d, dan e, serta kategori jawaban sangat tidak setuju, tidak setuju, kurang setuju, setuju dan sangat setuju.
3.2.2 Variabel terikat atau dependent variable
Yaitu Kepatuhan Wajib Pajak (Y). Instrumen yang digunakan dengan pertanyaan tertutup yaitu responden memberikan jawaban yang telah
(1)
.122 .050 -.122 1.184 .121 Absolute
Positive Negative Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Test distribution is Normal. a.
Calculated from data. b.
(2)
Analisis Regresi Berganda Uji t
Coefficientsa
6.561 3.338 1.966 .052
.382 .220 .156 1.735 .086
.576 .106 .491 5.453 .000
(Constant) X1 X2 Model 1
B Std. Error Unstandardized
Coefficients
Beta Standardized
Coefficients
t Sig.
Dependent Variable: Y a.
(3)
Predictors: (Constant), X2, X1 a.
Dependent Variable: Y b.
Koefisien Determinasi Uji Parsial
Coefficientsa
.286 .178 .151 .930 1.075
.532 .494 .474 .930 1.075
X1 X2 Model 1
Zero-order Partial Part
Correlations
Tolerance VIF
Collinearity Statistics
Dependent Variable: Y a.
Uji Simultan
Model Summaryb
.553a .306 .291 2.77031 2.212
Model 1
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Durbin-Watson Predictors: (Constant), X2, X1
a.
Dependent Variable: Y b.
(4)
Daftar Skripsi Terdahulu dan Jurnal
Nama Judul Variabel Hasil
Kusumawati, Atika. 2006 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sumurrejo Kecamatan
Gunung Pati Kota Semarang. 2. Faktor pendidikan wajib pajak 3. Faktor penghasilan wajib pajak 4. Faktor pelayanan aparatur pajak 5. Faktor penegakan hukum pajak 6. Faktor sosialisasi Y :Kepatuhan Secara simultan dan parsial berpengaruh Noviani, Elly. 2005 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sunggingan Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. 1 Faktor pendidikan wajib pajak 2 Faktor penghasilan wajib pajak 3 Faktor pelayanan aparatur pajak 4 Faktor penegakan hukum pajak 5 Faktor sosialisasi Y :Kepatuhan Secara simultan dan parsial berpengaruh
(5)
Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan
Bangunan
Y :Kepatuhan
Kasipillai, Jeyapalan, Norhani, Aripin and Noor Afza Amran. 2003
The Influence of education on tax avoidance and tax evasion
Siti Noormala Sheikh Obid. 2009
Voluntary compliance : tax education
(6)
Ali Roshidi, Mohamad bin Ahmad, Hajah Mustafa bin Mohd Hanefah, and Mohd
Asri bin Mohd Noor. 2007
The Effects of Knowledge on tax compliance
behaviors among Malaysian Taxpayers ARIEF RACHMAN RINDAH FEBRIANA SURYAWATI, SE., M.Acc., Ak. GITA ARASY HARWIDA, SE., M.Tax., Ak PENGARUH PEMAHAMAN, KESADARAN, SERTA KEPATUHAN WAJIB PAJAK PBB TERHADAP KEBERHASILAN PENERIMAAN PBB DI KECAMATAN KOTA SUMENEP KABUPATEN SUMENEP 1. Pemahaman 2. Kesadaran 3. Kepatuhan Y: Keberhasilan Penerimaan PBB
4. Faktor yang telah terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Kecamatan Kota Sumenep Kabupaten Sumenep adalah kesadaran WP PBB 5. Faktor pemahaman WP PBB dan kepatuhan WP PBB tidak terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan penerimaan PBB