Kemampuan Sosialisasi Hasil Penelitian
kekerasan sebanyak 87 93,5 responden, mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan sebanyak 85 91,4 responden. Secara
fisik, pasien skizofrenia dikatakan mampu dikarenakan pasien mampu dalam mempertahankan kontak mata saat berbicara dengan orang lain sebanyak 75
80,6 responden, mampu dalam mengontrol volume suara sebanyak 56 60,2 responden, mampu dalam mengontrol nada suara sebanyak 54 58,1 responden,
mampu dalam tempo berbicara yang normal sebanyak 64 68,8 responden, mampu dalam mengatur jarak saat berbicara sebanyak 78 83,9 responden, dan
mampu dalam bersikap rileks sebanyak 76 81,7 responden. Perbedaan kemampuan sosialisasi pasien skizofrenia berpengaruh dalam
fungsi sosial, dapat dilihat dari epidemiologi responden seperti umur, pendidikan, jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSJD Provsu
Medan mayoritas pasien antara umur 31-40 tahun yaitu sebanyak 54 58,1 responden. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Surtiningrum 2011 yang
menunjukkan antara usia dan kemampuan sosial, afektif, psikomotor, dan kognitif setelah kelompok intervensi mendapat terapi suportif menunjukkan lemah dan
berpola positif, yang mempunyai arti semakin bertambah usia klien, maka kemampuan sosialisasi semakin tinggi.
Stuart 2005 menyatakan bahwa usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor, kemampuan
memanfaatkan sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Prawirohadikusumo 2003 yaitu
pada klien skizofrenia sebagian besar pada rentang usia 21-35 tahun dan termasuk
kelompok dewasa muda, sedangkan skizofrenia umumnya terdiagnosis pada masa remaja akhir dan dewasa awal.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan dan mencerna informasi. Dari hasil penelitian yang
dilakukan di RSJD Provsu Medan mayoritas pasien berpendidikan SMA 44 44,1 responden. Hasil penelitian ini sesuai yang diungkapkan oleh Johanes
2008 yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi daya tahan terhadap stress. Orang yang pendidikannya tinggi lebih mampu
mengatasi masalah daripada orang yang pendidikannya rendah. Pendidikan bagi seseorang merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jasmani, perasaan,
sehingga tingkat pendidikan yang berbeda akan memberi jenis pengalaman yang berbeda juga.
Perbedaan kemampuan sosialisasi yang diperoleh tiap responden diakibatkan karena kemampuan kognitif masing-masing responden yang berbeda-
beda sehingga menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Teori kognitif menjelaskan bahwa pemikiran dan tindakan manusia sebagai proses dari ‘tiga
penyebab timbal balik’ triadic reciprocal causation yang berarti bahwa pemikiran dan perilaku ditentukan oleh tiga faktor berbeda yang saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya dengan berbagai variasi kekuatannya, baik pada waktu bersamaan maupun waktu yang berbeda. Ketiga
penyebab timbal balik itu adalah perilaku, karakteristik personal seperti kualitas kognitif dan biologis misal tingkat kecerdasan atau IQ, jenis kelamin, tinggi
badan, umur atau ras, dan faktor lingkungan atau peristiwa Morissan, 2010.