46
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan
perilaku yang diinginkan. Pendidikan merupakan proses yang sangat menentukan untuk perkembangan individu dan perkembangan masyarakat. Kemajuan suatu
masyarakat dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya Sanjaya,2005. Fungsi pendidikan menurut Hamalik 2009 adalah mempersiapkan
peserta didik, dimana peserta didik yang pada hakikatnya belum siap dan perlu untuk dipersiapkan dan sedang menyiapkan dirinya sendiri. Hal ini merujuk pada
proses yang berlangsung sebelum peserta didik siap untuk melangkah pada kehidupan yang nyata.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian fungsi pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar
berbagai macam hal. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya Slameto, 2003.
Belajar dapat dilakukan di lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non formal. Pemisahan jenjang pendidikan ada dalam Undang-undang
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas. Undang-undang ini
47
merupakan pembaruan dari undang-undang sebelumnya, yakni undang-undang No.2 tahun 1989. Sedikitnya ada tiga komponen dalam pendidikan nasional kita
meliputi jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Jalur pendidikan merupakan wahana yang dilalui peserta didik, dikenal ada jalur formal sekolah dan jalur informal
luar sekolah. Sedangkan jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan berdasarkan perkembangan peserta didik. Jenjang pendidikan formal terbagi atas
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Terakhir, jenis pendidikan merujuk pada pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus
Purnama,2010. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah
umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas SMA, madrasah aliyah MA, sekolah menengah
kejuruan SMK, dan madrasah aliyah kejuruan MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
Bagi siswa yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, Sekolah Menengah Atas SMA adalah sekolah yang dapat menjadi masa persiapan yang
baik. Hal ini disebabkan program penjurusan biasanya dimulai di bangku Sekolah Menengah Atas Purnama, 2010. Jika dilihat dari struktur kurikulumnya,
kurikulum Sekolah Menengah Atas mencakup dua jenis yaitu struktur kurikulum program studi dan struktur kurikulum program pilihan. Struktur kurikulum
program studi terdiri dari Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa. Sedangkan struktur kurikulum program pilihan adalah dimaksudkan untuk memberikan
48
kebebasan kepada peserta didik dalam memilih sejumlah mata pelajaran yang sesuai potensi, bakat, dan minat peserta didik Sanjaya,2005.
Menurut Siswoyo 2010 keunggulan Sekolah Menengah Atas SMA khususnya adalah dalam penguasaan konsep, cara berpikir, performance sebagai
bekal ke pendidikan berikutnya. Sekolah Menengah Atas SMA memang disiapkan untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu bangku
perkuliahan. Sekolah menengah kejuruan SMK adalah salah satu jenis pendidikan
menengah di Indonesia. Sekolah kejuruan statusnya sama dengan Sekolah Menengah Atas. Sekolah kejuruan memiliki jurusan yang lebih bervariasi
dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas dan pilihan jurusan itu nantinya akan berhubungan juga dengan jenis pekerjaan. Oleh karena itu, siswa yang
memilih untuk langsung bekerja, Sekolah Menengah Kejuruan adalah pilihan yang tepat. Hal ini disebabkan karena muatan materinya memang dipersiapkan
agar siswanya kelak siap memasuki dunia kerjaprofessional Purnama,2010. Sekolah Menengah Kejuruan memiliki struktur kurikulum yang dibagi
menjadi komponen normatif, adaptif, dan produktif. Komponen normatif berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik menjadi warga masyarakat dan
warga yang berperilaku sesuai nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Komponen adaptif berisi kompetensi yang bertujuan
agar peserta didik mampu beradaptasi dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta tuntutan perkembangan dunia kerja sesuai keahlian. Dan yang
49
terakhir komponen produktif berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas di dunia kerja sesuai dengan program keahlian
Sanjaya,2005. Siswoyo 2010 menambahkan bahwa siswa yang berada di bangku
Sekolah Menengah Kejuruan, bukan hanya belajar tetapi dapat menyalurkan hobi siswa. Hal ini disebabkan karena Sekolah Menengah Kejuruan memiliki
keunggulan khususnya dalam hal penguasaan skill atau keterampilan yang bisa langsung digunakan sebagai modal kerja. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan
disiapkan untuk langsung menghadapi dunia kerja. Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan bukan hanya
berbeda dari struktur kurikulumnya saja, tetapi juga berbeda dalam metode belajar yang dipengaruhi oleh struktur kurikulum. Sirodjuddin 2008 membedakan
metode belajar pada Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan yaitu diantaranya adalah pada Sekolah Menengah Atas lebih banyak diberikan
teori daripada praktek sedangkan pada Sekolah Menengah Kejuruan siswa diberikan lebih banyak praktek daripada teori. Hal lain yang membedakan dua
jenis pendidikan ini adalah lingkungan belajar. Siswa Sekolah Menengah Kejuruan belajar bukan hanya di sekolah tetapi juga dunia kerja, sedangkan siswa
Sekolah Menengah Atas tempat belajar hanya dilaksanakan di sekolah saja. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan lembaga pendidikan formal yang
diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung antara tenaga kerja siswai dengan dunia kerja.
50
Menurut Purnama 2010, Sekolah Menengah Kejuruan memiliki program magang atau praktik kerja lapangan PKL. Biasanya program semacam ini
dilakukan oleh mahasiswa menjelang akhir masa studi, dan Sekolah Menengah Kejuruan juga menerakan program magang atau praktik kerja lapangan PKL.
Tujuannya agar para siswa mengenal dunia kerja secara langsung serta dapat berlatih mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari di sekolah. Dalam praktek
ini, siswa mencari sendiri tempat magangnya atau dibantu oleh pihak sekolah. Intinya magang PKL adalah proses belajar pada perusahaan tersebut. Hal ini
didukung oleh komunikasi personal peneliti dengan seorang guru SMK yang berada di Yayasan Dharma Bhakti Medan berinisial A. Beliau mengatakan bahwa:
“….proses belajar mengajar di SMK dan di SMA secara umum sama, tapi SMK ada belajar di dalam kelas, dan ada juga praktek di luar kelas yang
tetap diawasi oleh kami guru-gurunya. Ada dua mata pelajaran untuk praktek, jadi setiap mata pelajaran itu, siswa tidak belajar di dalam kelas
tapi di luar kelas. Dan nanti ketika kelas 3, siswa ditugaskan untuk praktek kerja lapangan PKL ke perusahaan sesuai dengan jurusan yang
dipilih. Sedangkan SMA sama seperti sekolah pada umumnya, tidak ada praktek diluar kelas, jadi siswa hanya menunggu guru di dalam kelas
untuk belajar….”
Komunikasi Personal, 9 Oktober 2010 Kegiatan belajar mengajar yang diakhiri dengan praktek, dapat
menciptakan lulusan siswa yang mandiri Sirodjuddin, 2008. Donelly Fitmaurice dalam Nugraheni, 2005 menyatakan bahwa praktek dalam belajar
cenderung menekankan pada peran siswa secara langsung dibandingkan guru sehingga membutuhkan kemandirian belajar. Dalam proses belajar, perlu adanya
kemandirian dalam belajar. Dimyati dalam Indriani, 1998 mendefinisikan kemandirian belajar sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong
51
oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar. Surya dalam, Astuti, 2003 menambahkan bahwa belajar mandiri adalah proses
menggerakkan kekuatan atau dorongan dari dalam diri individu yang belajar untuk menggerakkan potensi dirinya mempelajari objek belajar tanpa ada tekanan
atau pengaruh asing di luar dirinya. Dengan demikian belajar mandiri lebih mengarah pada pembentukan kemandirian dalam cara-cara belajar.
Kemandirian belajar dapat menghasilkan self directed learning dalam belajar, karena menurut Gibbons 2002, self directed learning dapat dibentuk
melalui empat tahap yaitu, siswa berpikir secara mandiri artinya siswa yang sebelumnya tergantung pada pemikiran guru menjadi tergantung pada pemikiran
sendiri, tahap kedua adalah belajar memanejemen diri sendiri, lalu siswa belajar perencanaan diri tentang bagaimana siswa akan mencapai program belajar yang
sudah ditetapkan, lalu tahap terakhir adalah terbentuknya self directed learning dimana siswa memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari, dan bagaimana cara
siswa mempelajarinya. Menurut Gibbons 2002, self directed learning meliputi bagaimana siswa
belajar setiap harinya, bagaimana siswa dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang cepat berubah, dan bagaimana siswa dapat mengambil inisiatif sendiri ketika
suatu kesempatan tidak terjadi atau tidak muncul, sehingga diperlukan peningkatan pengetahuan, keahlian, prestasi, dan pengembangkan diri dimana
individu menggunakan beberapa metode dalam banyak situasi dalam setiap waktu. Self directed learning penting karena dapat memberikan murid
kemampuan untuk mengerjakan tugas, untuk mengkombinasikan perkembangan
52
kemampuan dengan perkembangan karakter dan mempersiapkan murid untuk mempelajari seluruh kehidupan mereka, Self directed learning juga dapat
mempersiapkan siswa menjadi pelajar yang aktif dan terbaik. Self directed learning penting dalam proses pembelajaran. Menurut
Knowles 1975 pentingnya self directed learning dalam proses pembelajaran didasarkan pada dua hal yaitu orang-orang yang memiliki inisiatif sendiri dalam
belajar akan terus belajar dan akan lebih baik dalam belajar bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki inisiatif dalam belajar, lalu mereka juga akan
belajar secara lebih mendalam dan menetap. Self directed learning juga dapat membantu siswa untuk mengerti konsep belajar dan penilaian belajar yang baik,
dan sebaliknya siswa yang memiliki self directed learning yang rendah, tidak akan mendapat manfaat dalam belajar dan memiliki kemampuan kognitif yang
lemah Bath Kamath, 2007.
Self directed learning bermanfaat bagi siswa SLTA yakni siswa SMA dan SMK yaitu dalam melatih pengembangan kemampuan belajar sendiri yang
diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran selanjutnya selepas masa pendidikan formal. Selain itu self directed juga bermanfaat dalam menggugah
motivasi belajar siswa Mudjiman, 2008. Tujuan self directed learning bagi siswa SMA maupun SMK adalah untuk membekali siswa dengan keterampilan yang
dibutuhkan agar termotivasi untuk belajar hari ini dan seterusnya disepanjang hidupnya life long learners.
Self directed learning pada siswa dapat terlihat dari kemampuan siswa dalam mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi, mengembangkan
53
keahlian, siswa mampu merubah diri pada kinerja yang paling baik, siswa mampu memanajemen diri sendiri serta siswa mampu memotivasi dan menilai apa yang
telah dikerjakan Gibbons, 2002. Pada siswa SMK, mengontrol banyaknya pengalaman belajar yang terjadi dapat terlihat ketika siswa dapat membentuk
pendapat sendiri dan bertanggungjawab dalam melaksanakan aktivitas sendiri terutama ketika memasuki dunia kerja PKL. Menurut Purnama 2010 program
ini bertujuan agar siswa mengenal dunia kerja secara langsung dan dapat berlatih menerapkan ilmu yang dipelajari di sekolah. Sedangkan pada siswa SMA
umumnya hal ini tidak dapat terlihat karena tidak adanya program PKL untuk memasuki dunia kerja sehingga siswa SMA kurang dapat mengontrol banyaknya
pengalaman belajar yang terjadi. Siswa SMK dalam proses pembelajaran dilatih untuk mengembangkan
keahlian lewat praktek belajar, karena menurut Siswoyo 2010 keunggulan SMK adalah penguasaan keahlian atau keterampilan yang bisa langsung digunakan
sebagai modal kerja. Sedangkan di SMA, kesempatan untuk praktek terbatas karena menurut Sirodjuddin 2008 metode belajar di SMA lebih banyak
diberikan teori daripada praktek belajar. Siswa SMK juga dapat merubah diri mereka pada kinerja yang paling
baik. Seperti halnya struktur kurikulum produktif SMK yang berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas di dunia kerja
sesuai dengan program keahlian Sanjaya, 2005. Struktur kurikulum inilah yang mendukung siswa SMK untuk dapat merubah diri sehingga mampu melaksanakan
tugas sesuai dengan keahlian untuk dipakai di dunia kerja. Berbeda dengan SMA,
54
menurut Sanjaya 2005, struktur kurikulum yang diterapkan berupa struktur kurikulum program studi dan program pilihan yang tidak memberikan kesempatan
bagi siswa untuk memberikan kinerja yang terbaik di dunia kerja. Self directed learning juga dapat terlihat dari siswa SMK maupun siswa
SMA yang mampu mengatur diri sendiri. Program magang PKL ke dunia kerja yang diterapkan pada siswa SMK kelas XII merupakan praktek belajar yang
membutuhkan peran siswa secara langsung sehingga siswa harus dapat mengatur diri sendiri. Menurut Donelly Fitmaurice dalam Nugraheni, 2005 praktek
belajar cenderung menekankan pada peran siswa secara langsung dibandingkan dengan guru sehingga membutuhkan kemandirian belajar. Sedangkan di SMA,
dengan tidak adanya program magang PKL tersebut membuat siswa masih tergantung pada guru dan tidak dapat berperan secara langsung dalam belajar.
Motivasi diri penting dalam belajar. Sirodjuddin 2008 membedakan siswa SMA dan siswa SMK berdasarkan lingkungan belajar. Lingkungan belajar
siswa SMK bukan hanya di sekolah melainkan juga di dunia kerja, sedangkan siswa SMA hanya di sekolah saja. Motivasi diri pada siswa SMK dapat terbentuk
pada saat siswa melakukan magang PKL di dunia kerja. Lingkungan di dunia kerja tanpa pengawasan guru dapat menyebabkan siswa SMK mau tak mau lebih
memiliki motivasi yang lebih agar berhasil. Sedangkan pada siswa SMA dengan lingkungan belajar yang masih diawasi oleh guru kurang memiliki motivasi
sendiri sehingga motivasi dan penilaian diri pada siswa SMA kurang dapat berkembang.
55
Lulusan pendidikan kejuruan akan dilatih untuk bekerja sehingga mempunyai perbedaan dengan sekolah lanjutan umum yang memberikan teori
ilmu untuk dikembangkan secara murni. Siswa SMK dengan metode belajar yang lebih menekankan praktek di dalam maupun luar sekolah dibekali keterampilan
yang nantinya setelah lulus, keterampilan tersebut akan digunakan didalam dunia kerja Siswoyo, 2010. Evans dalam Suandi, 1978 menyatakan bahwa
pendidikan kejuruan diharapkan mampu menjembatani akan kebutuhan tenaga kerja yang terampil untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki. Menurut Djojonegoro dalam Suandi, 1999 penekanan pada penyiapan
lulusan SMK untuk dapat bekerja mempunyai makna keahlian khusus yang lebih spesifik dibandingkan pendidikan menengah umum. Peserta didik dibekali
keterampilan yang sifatnya aplikatif dengan berbagai jenis pekerjaan yang ada di dunia usaha atau industri, atau bahkan kesempatan berwirausaha dengan
keterampilannya itu. Praktek yang dilakukan oleh siswa SMK menuntut siswa untuk dapat mengembangkan keahlian dengan keterampilan khusus yang
dipraktekkan, pengetahuan yang dipelajari siswa, prestasi yang dapat diraih siswa melalui skill yang didapatkan dan menuntut siswa untuk mengembangkan diri
sendiri. Hal tersebut mempengaruhi self directed learning, dimana self directed learning menurut Gibbons 2002 merupakan peningkatan pengetahuan, keahlian,
prestasi, dan pengembangkan diri individu. Lulusan pendidikan kejuruan lebih condong kepada ilmu-ilmu yang
sifatnya terapan dan beberapa program keahlian menekankan kepada aspek
56
pengetahuan psikomotorik Evans, dalam Suandi, 1978. Berbeda dengan SMK, metode belajar di SMA lebih menekankan pada teori yang diberikan oleh guru,
dan praktek yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Di SMA, siswa masih harus mencari pilihan yang akan dikembangkan dan tentunya, setelah
masuk ke Perguruan Tinggi, barulah menemukan pilihan keterampilan yang ingin dikembangkan. lulusan SMA itu memang disiapkan untuk meneruskan ke jenjang
yang lebih tinggi, yaitu bangku perkuliahan Siswoyo, 2010. Lulusan SMA juga diharapkan memiliki kompetensi yaitu menguasai konsep dan cara berpikir
tentang pelajaran, yang akan digunakan untuk jenjang perkuliahan Siswoyo, 2010. Siswa SMA ketika lulus dari pendidikannya diharapkan mampu
mengembangkan kemampuan belajar di pendidikan selanjutnya. Pengembangan kemampuan ini dapat mempengaruhi self directed learning bagi siswa SMA. Dari
uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa siswa SMA memiliki self directed learning yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa SMK.
Peneliti memilih melakukan penelitian di Yayasan Dharma Bhakti Medan karena yayasan ini merupakan sebuah yayasan sekolah yang memiliki jenis
pendidikan yaitu Sekolah Menengah Atas SMA, dan Sekolah Menengah Kejuruan SMK. Yayasan ini menerapkan kurikulum dengan metode belajar dan
cara mengajar yang sama di setiap jenis pendidikan SMA dan SMK, hanya saja pada Sekolah Menengah Kejuruan di yayasan ini terdapat praktek di dalam dan
luar sekolah. Kegiatan belajar yang diakhiri dengan praktek dapat menghasilkan self directed learning. Menurut Gibbons 2002 Self directed learning diakhiri
bukan dengan tugas tetapi dengan tindakan praktek, dan itu biasanya terjadi di
57
luar ruangan kelas. Namun, hal ini tidak sesuai dengan siswa SMK yang ada di Yayasan Dharma Bhakti Medan. Siswa SMK pada yayasan ini belum mampu
meningkatkan pengetahuan sendiri, keahlian dan prestasi sendiri, serta pengembangan diri sendiri melalui praktek yang dilakukan di sekolah yang dapat
membentuk self directed learning karena siswa SMK di yayasan Dharma Bhakti Medan masih harus diawasi oleh guru dalam belajar baik itu dalam praktek di luar
ruangan kelas maupun proses pembelajaran di dalam ruangan kelas. Sama halnya dengan siswa SMA di yayasan ini yang lebih banyak diberikan teori di dalam
ruangan kelas daripada praktek di luar ruangan kelas secara umum memang masih diawasi oleh guru dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat dikatakan
belum mampu meningkatkan pengetahuan, keahlian, prestasi, maupun pengembangan diri sendiri dalam belajar.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa proses pembelajaran di sekolah pada siswa SMK maupun siswa SMA di Yayasan Dharma Bhakti Medanmasih
harus diawasi oleh guru. Siswa SMK maupun siswa SMA di yayasan ini masih belum mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, prestasi serta
pengembangan diri secara sendiri. Hal inilah yang merupakan kesenjangan pada siswa SMK di Yayasan Dharma Bhakti Medan. Oleh karena itu, peneliti ingin
melihat fenomena self directed learning bukan hanya dari siswa SMK yang ada di Yayasan Dharma Bhakti Medan tetapi juga dari siswa SMA di yayasan ini, agar
dapat dibandingan self directed learning antara keduanya karena dua jenis pendidikan ini berada dalam satu yayasan dan memiliki kurikulum yang sama.
58
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan self directed learning siswa Sekolah
Menengah Atas dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Yayasan Dharma Bakti Medan.
B. Perumusan Masalah