BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Tujuan utama didirikan sebuah perusahaan selaku entitas bisnis adalah mendapatkan keuntungan yang digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup
perusahaan dengan demikian baik manajemen dan pemegang saham ingin dapat menikmati keuntungan yang stabil pada priode yang lama, sehingga di
era globalisasi sekarang semua pihak cenderung menilai kinerja perusahaan dari besarnnya laba yang dihasilkan oleh perusahaan.
Namun laba juga tidak dapat dijadikan ukuran kinerja yang baik karena tidak mempertimbangkan besamya modal disetor untuk mendapatkan
laba tersebut Sebagai contoh dua perusahaan yang berbeda, perusahaan X dan Y, menghasilkan laba yang sama dan mempunyai pertumbuhan laba yang
sama pula. Misalkan perusahaan X harus investasi lebih banyak modal daripada perusahaan Y untuk menjaga tingkat pertumbuhan labanya. Dalam
hal ini, perusahaan X cenderung untuk berinvestasi dalam segala bentuk asalkan pertumbuhan laba yang dihasilkan tetap. Tetapi perusahaan Y menjadi
unggul karena ditinjau dari penggunaan modalnya, perusahaan Y menggunakan modalnya untuk kegiatan operasional adalah lebih efisien.
Laba yang besar pun tidak menjamin besarnya nilai deviden kas yang diterima pemegang saham karena apabila laba yang dihasilkan perusahaan
laba yang terkandung memiliki banyak akrual ketimbang arus kas masuk dari
1
aktivitas operasi. Hal ini terjadi kemungkinan karena perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu proses manipulasi laba sedemikian rupa akan tetapi
masih tetap berada dalam Standar Akuntansi Keuangan SAK. Dengan demikian menurut Dewi 2006 laba yang dihasilkan perusahaan tidak
memiliki kualitas baik sebab didalam laba dilaporkannya terdapat lebih banyak akrual dibandingkan jumlah kas yang sebenarnya yang dilaporkan.
Kualitas laba dapat ditentukan dengan mengacu pada nilai yang menunjukan pada seberapa besar laba tersebut dapat menghasilkan uang kas. Kualitas laba
diukur dengan membandingkan aliran kas operasi dengan laba akuntansi laba agregat saat ini, seperti yang dilakukan oleh Djamitko 1999 dalam Dewi
2006. Maka dari itu, tujuan menghasilkan laba yang sebesar-besarnnya sudah
tidak relevan lagi di masa sekarang karena tanggung jawab perusahaan tidak hanya kepada pemilik saja, namun juga kepada stakeholders karena keputusan
startegi yang diambil juga berdampak pada stakeholders tersebut yang meliputi: para pelanggan, pemasok, manajer perusahaan, pegawai, pekerja,
kreditor, pemerintah dan masayarakat luas karena maksimalisasi keuntungan hanya akan menguntungkan kepada satu pihak dan cenderung tidak
memperhatikan pihak lainnya. Sudah saatnya tujuan perusahaan berubah dari maksimalisasi laba menjadi maksimalisasi nilai atau value. Adanya agency
cost yang timbul akibat hubungan principal dan agent menuntut pemilik
perusahaan untuk dapat menetapkan tujuan sehingga agency cost tersebut dapat dikurangi karena adanya sistem penilaian yang tepat terhadap kinerja
perusahaan, Dengan demikian tujuan maksimalisasi nilai lebih tepat daripada maksimalisasi laba. Value building berfokus pada jangka panjang dan profit
maximization bersifat jangka pendek.
Maka dari itu, diperlukan pengukuran kinerja yang berdampak positif bagi seluruh stakeholders yaitu yang memberikan perencanaan yang matang
terhadap penggunaan modal perusahaan, Sehingga pertumbuhan tanpa komitmen terhadap perencanaan modal yang baik adalah awal dari jatuhnya
suatu perusahaan. Stewart 1993 dalam Utomo 1999 menyatakan bahwa “In sum, rapid growth can be misleading indicator of added value because it can
be generated simply by pouring capital into a business. Earning an acceptable rate of return is essential to creating value. Growth adds to value only when it
is accompanied by an adequate rate of return”. Selama ini alat populer untuk mengukur kinerja keuangan adalah
melalui analisis rasio keuangan. Analisis rasio keuangan yaitu: rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivitas, rasio profitabilitas, rasio pertumbuhan, Namun
kemudian disadari bahwa rasio ini memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya adalah rasio tersebut mengabaikan biaya modal sehingga sulit mengetahui
apakah perusahaan telah menciptakan nilai tambah atau tidak dan adanya distorsi akuntansi dimana manajemen mempunyai kontrol penuh atas metode
penilaian yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan, menyebabkan pengukuran kinerja berdasarkan laporan keuangan tidak dapat diandalkan.
Contoh nyata adalah penggunaan metode penyusutan secara garis lurus, saldo menurun atau jumlah angka tahun. Metode saldo menurun akan menghasilkan
laba bersih lebih besar pada periode akhir usia kegunaan sebuah aktiva. Sementara penggunaan metode garis lurus untuk penyusutan aktiva
menyebabkan biaya penyusutan yang relatif stabil sepanjang usia kegunaan aktiva tersebut. Berbagai metode untuk penilaian persediaan antara lain
berdasarkan FIFO, LIFO, atau Weighted Average. Dalam kondisi ekonomi yang berkembang dimana harga-harga barang dan jasa cenderung naik,
penggunaan LIFO akan memberikan beban pokok penjualan Cost of Goods Sold
yang lebih rendah dibandingkan dengan metode lain. Jelas bahwa pajak dan laba bersih juga akan terpengaruh akibat penggunaan metode ini. Dengan
adanya distorsi akuntansi ini maka pengukuran kinerja berdasarkan laba per saham earning per share, tingkat pertumbuhan laba earnings growth dan
tingkat pengembalian rate of return tidak efektif lagi. Adanya Economic Value Added EVA menjadi relevan untuk
mengukur kinerja yang berdasarkan nilai value karena EVA adalah ukuran nilai tambah ekonomis yang dihasilkan oleh perusahaan sebagai akibat dari
aktivitas atau strategi manajemen. Dengan adanya EVA, maka pemilik perusahaan hanya akan memberi imbalan reward aktivitas yang menambah
nilai dan membuang aktivitas yang merusak atau mengurangi nilai keseluruhan suatu perusahaan. Aktivitas yang value added dapat dipisahkan
dari aktivitas nonvalue added berdasarkan proses value added assessment. Diharapkan pemilik perusahaan dapat mendorong manajemen untuk
mengambil actions atau strategi yang value added karena hal ini memungkinkan perusahaan untuk beroperasi dengan baik. Manajemen akan
digaji dalam jumlah besar, jika mereka menciptakan nilai tambah yang besar pula. Banyak hal lain dalam perusahaan dimana EVA juga berperan.
Economic Value Added membantu manajemen dalam hal menetapkan tujuan
internal perusahaan supaya tujuan berpedoman pada implikasi jangka panjang dan bukan jangka pendek saja. Dalam hal investasi EVA memberikan
pedoman untuk keputusan penerimaan suatu project capital budgeting decision
, dan dalam hal mengevaluasi kinerja rutin performance assessment manajemen, EVA membantu tercapainya aktivitas yang value added. EVA
juga membantu adanya sistem penggajian atau pemberian insentif incentive compensation
yang benar dimana manajemen didorong untuk bertindak sebagai owner.
Ada tiga hal utama yang membedakan EVA dengan tolok ukur keuangan yang lain Mc Daniel, Gadkari dan Fiksel 2000 dalam Yulius dan
Pradono 2004 yaitu: 1 EVA tidak dibatasi oleh prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pengguna EVA bisa menyesuaikan dengan kondisi spesifik,
2 EVA dapat mendukung setiap keputusan dalam sebuah perusahaan, mulai dari investasi modal, kompensasi karyawan dan kinerja unit bisnis, 3
Struktur EVA yang relatif sederhana membuatnya bisa digunakan oleh bagian engineering, environmental
dan personil lain sebagai alat yang umum untuk mengkomunikasikan aspek yang berbeda dari kinerja keuangan.
Menurut Utomo 1999 menunjukan bahwa Economic Value Added dapat menjadi pengukuran kinerja yang lebih baik karena tidak semua
perusahaan meskipun menghasilkan laba namun belum tentu menghasilkan
nilai tambah dari modal yang ditanam oleh investor, Fernandez dalam Pradhono 2004 menunjukan bahwa petumbuhan Economic Value Added
sering dengan pertumbuhan Market Value Added. Namun Sasongko dan Wulandari 2006 menunjukan bahwa Economic Value Added tidak
berpengaruh terhadap return saham yang diterima. Sedangkan menurut Dewi 2006 menunjukan bahwa manajemen laba
berdampak negatif dan signifikan terhadap kualitas laba, perusahaan yang melakukan manajemen laba akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas
laba perusahaan tersebut dan pasar bereaksi positif dan signifikan terhadap kuantitas laba ketimbang kualitas laba, sehingga laba yang tinggi tidak
menjamin memiliki rasio deviden pay out yang tinggi pula, sebab laba yang dimiliki perusahaan tersebut memiliki kandungan banyak akrual ketimbang
laba kas yang diterima dari aktivitas operasi perusahaan. Pada perusahaan publik nilai perusahaan dikaitkan dengan nilai saham
yang beredar di pasaran apakah maksimalisasi nilai yang dilakukan oleh manajemen berdampak terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut
maka penelitian ini akan menganalisis pengukuran kinerja perusahaan melalui economic value added
dan Kuanitas laba yang dihasilkan perusahaan berpengaruh terhadap nilai suatu perusahaan. dalam skripsi yang berjudul
“Analisis Pengaruh economic value added dan Kualitas laba Terhadap Price Book Value”. Dengan menggunakan objek penelitian pada semua jenis
perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia pada priode pelaporan keuangan 2005 dan 2006.
Penelitian ini merupakan replikasi dan integrasi dari beberapa penelitian yaitu: Penelitian Dewi 2006, Megawati 2007, Sasongko dan Wulandari
2006, Yulius dan Pradono 2004. Untuk membedakan dengan penelitian sebelumnya maka penelitian ini merubah beberapa faktor lainnya:
1 Variabel Penelitian Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah Economic Value Added
dan kualitas laba terhadap nilai perusahaan Price Book Value. Sedangkan dalam Penelitan Sasongko dan Wulandari 2006
menggunakan variabel Economic Value Added terhadap harga saham, Penelitian Yulius dan Pradono 2004, Megawati 2007 menggunakan
variabel Economic Value Added terhadap return saham dan penelitian Dewi 2006 menggunakan variabel Manajemen Laba terhadap Kualitas
Laba dan Return Saham. Variabel ini digunakan dalam penelitian ini dikarenakan peneliti sebelumnya belum pernah menemukan penelitian
sebelumnya yang menguji hubungan antar variabel tersebut. 2 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitan adalah Economic Value Added pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan berbagai jenis
bidang industri namun dibatasi oleh annual report perusahaan yang dapat menyediakan data untuk penelitian ini, sedangakan dalam penelitian
Sasongko dan Wulandari 2006, Yulius dan Pradono 2004, Megawati 2007 menggunakan objek penelitian terbatas pada perusahaan industri
manufaktur.
3 Periode Penelitian Periode penelitian ini meliputi periode pelaporan keuangan 2005 dan
2006, sedangakan Yulius dan Pradono 2004 menggunakan data tahun 2000 sampai dengan 2002, Dewi 2006 menggunakan data tahun 2000
sampai dengan 2003 dan penelitian Sasongko dan Wulandari 2006 menggunakan data 2001 sampai dengan 2002.
B. Perumusan Masalah