Ketahanan terhadap Garam Empedu

26 Menurut Jacobsen et al. 1999, semua bakteri yang berhasil bertahan pada kondisi pH rendah dinyatakan bersifat tahanresisten terhadap asam. Namun, jumlah sel yang nantinya mampu mencapai usus harus dipertimbangkan, mengingat sel bakteri tersebut masih harus melewati rintangan yang lain setelah terpapar asam lambung, yaitu terpapar garam empedu. Pada penelitian ini, semua isolat kecuali isolat Lactobacillus R3 mengalami penurunan jumlah sel yang cukup besar setelah diberi perlakuan pH rendah. Jumlah sel bakteri yang masih hidup dikhawatirkan tidak mampu melawan patogen sehingga tidak dapat melakukan aktivitas spesifik yang dimilikinya. Agar bakteri dapat melaksanakan aktivitas fungsionalnya, jumlah sel mikroba hidup yang umumnya terdapat dalam produk probiotik adalah sebesar 10 6 -10 8 cfuml Svensson 1999. Perubahan jumlah sel yang berbeda pada semua isolat yang diuji menunjukkan bahwa kemampuan untuk bertahan pada kondisi asam berbeda untuk setiap isolat. Kemampuan ini bersifat strain dependent. Hal ini kemungkinan terjadi karena komposisi asam lemak dan protein penyusun membran sitoplasma yang berbeda pada setiap bakteri. Keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik serta permeabilitas membran. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri terhadap pH rendah Kusumawati 20002; Hartanti 2007. Penambahan HCl pada media MRSB menciptakan kondisi yang sangat asam pada media dan bersifat merusak terhadap membran sitoplasma bakteri. Membran sitoplasma merupakan pertahanan utama bagi bakteri terhadap lingkungannya. Membran ini terdiri atas struktur lemak dua lapis lipid bilayer. Terpaparnya sel pada kondisi yang sangat asam dapat mengakibatkan kerusakan membran dan lepasnya komponen intraseluler seperti Mg, K, dan lemak dari sel yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri yang tahan terhadap asam, memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kerusakan membran akibat pH rendah dibandingkan bakteri yang tidak tahan asam. Asam menghambat pertumbuhan bakteri melalui efek denaturasi enzim-enzim yang ada di permukaan sel, kerusakan lipopolisakarida dan membran luar, serta penurunan pH sitoplasma melalui peningkatan permeabilitas membran terhadap proton pada gradien pH yang sangat besar. Penelitian yang dilakukan oleh Bender et al. 1987 menunjukkan bahwa pada galur streptococci yang kurang tahan terhadap asam, ion Mg keluar dari dalam sel ketika pH ekstraselular 4.0, sedangkan pada L. casei hal tersebut terjadi pada pH eksternal di bawah 3.0. Perbedaan ketahanan terhadap kerusakan membran yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang asam tampak bervariasi untuk setiap organisme dan derajat toleransi asam.

2. Ketahanan terhadap Garam Empedu

Selain harus tahan terhadap asam pada lambung, bakteri probiotik juga harus tahan terhadap garam empedu yang disekresikan ke dalam usus. Derajat toleransi terhadap garam empedu merupakan karakteristik yang penting bagi bakteri asam laktat karena hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam saluran pencernaan. Pada penelitian ini semua isolat ditumbuhkan pada media yang mengandung 0.5 oxgall dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC untuk mengetahui tingkat ketahanannya terhadap garam empedu. Jumlah kultur yang diinokulasikan ke dalam media adalah sebanyak 1 10 6 -10 7 cfuml. 27 Gambar 8. Perubahan jumlah BAL isolat ASI setelah inkubasi pada media yang mengandung 0.5 garam empedu selama 24 jam Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf superscript yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan p0.05 Gambar 8 menunjukkan perubahan jumlah sel pada semua bakteri isolat ASI yang ditumbuhkan pada media yang mengandung garam empedu 0.5 oxgall. Perubahan jumlah sel diperoleh berdasarkan selisih antara jumlah sel bakteri yang tumbuh setelah inkubasi 24 jam dengan jumlah sel bakteri yang tumbuh setelah inkubasi 0 jam. Nilai positif menunjukkan adanya pertumbuhan terjadi penambahan jumlah sel bakteri setelah inkubasi. Sebaliknya, nilai negatif menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel bakteri setelah inkubasi. Dari 13 isolat yang diuji, sebanyak 6 isolat mengalami penambahan jumlah sel setelah inkubasi selama 24 jam dengan kisaran 0.22-0.32 log cfuml. Sebaliknya, 7 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah sel dengan kisaran 0.01-0.22 log cfuml. Lactobacillus R3, L. fermentum A20, dan Pediococcus pentosaceus2 A16 merupakan isolat yang mempunyai ketahanan paling tinggi jika dibandingkan dengan isolat lainnya berdasarkan analisis statistik. Isolat-isolat ini mampu tumbuh setelah inkubasi 24 jam dengan penambahan jumlah sel masing-masing sebesar 0.26, 0.31, dan 0.32 log cfuml. Namun, penambahan jumlah sel yang terjadi tidak berbeda nyata p0.05 dengan penambahan jumlah sel pada isolat L. fermentum2 B11, Lactobacillus B2, dan Lactobacillus B13 berdasarkan hasil analisis statistik pada Lampiran 18. Isolat Leuconostoc R9 adalah isolat yang paling tidak tahan terhadap garam empedu 0.5 jika dibandingkan dengan isolat lainnya. Meskipun selisih jumlah sel bakteri setelah inkubasi 24 dan 0 jam sangat kecil -0.01 log cfuml, namun jumlah sel bakteri setelah inkubasi 0 jam sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kultur yang ditambahkan semula hanya sekitar 3 log. Dengan kata lain, pada saat pertama kali kontak dengan medium yang mengandung garam empedu sudah banyak sel yang mati. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Pada pengujian sebelumnya Tabel 4, Leuconostoc R9 menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh pada media MRSB yang mengandung 0.2 dan 0.3 oxgall pada inkubasi 24 dan 48 jam dengan derajat pertumbuhan yang tidak berbeda dengan beberapa isolat lain. Hal ini terjadi karena pada pengujian sebelumnya Tabel 4, konsentrasi garam empedu yang digunakan lebih rendah 0.2 dan 0.3. Semakin tinggi garam empedu yang digunakan, semakin tidak tahan bakteri tersebut terhadap garam empedu. -0.04 ab -0.22 a 0.26 d 0.31 d -0.12 a -0.21 a -0.08 a 0.22 bcd 0.22 bcd 0.24 cd -0.08 a 0.32 d -0.01 abc -0,25 -0,2 -0,15 -0,1 -0,05 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 A6 A8 A16 A20 A22 A23 A38 B2 B11 B13 R1 R3 R9 P er u b ah an Σ se l l o g c fu m l Kode Isolat Pada jam ke-0 sudah terjadi penurunan yang cukup banyak sekitar 3 log 28 Perbedaan ketahanan pada isolat-isolat yang diuji menunjukkan bahwa ketahanan terhadap garam empedu bersifat strain dependent. Kimoto-Nira et al. 2007 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara komposisi asam lemak setiap bakteri dengan kemampuannya untuk dapat bertahan terhadap garam empedu. Perbedaan komposisi asam lemak pada setiap bakteri inilah yang mungkin menjadi penyebab perbedaan ketahanan pada bakteri-bakteri tersebut. Cairan empedu merupakan campuran dari asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu, dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia, kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu Hill 1995 diacu dalam Kusumawati 2002. Gilliland et al. 1984 membuktikan bahwa sel yang diinkubasi pada larutan penyangga yang mengandung oxgall mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang sangat besar, yang dapat diukur pada panjang gelombang 260 nm. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri. Cairan empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan pada struktur membran Hill 1995 diacu dalam Kusumawati 2002. Surono 2004 menyatakan bahwa beberapa strain bakteri saluran pencernaan memiliki enzim yang dapat menghidrolisis garam empedu terkonjugasi menjadi garam empedu terdekonjugasi bile salt hydrolase. De smet et al. 1995 menduga bahwa proses dekonjugasi mungkin menurunkan tingkat toksisitas dari garam empedu terkonjugasi terhadap bakteri. Enzim ini mengubah sifat fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empedu sehingga tidak bersifat racun bagi BAL. Hal inilah yang dimungkinkan menjadi penyebab beberapa isolat BAL tahan terhadap garam empedu.

C. ASIMILASI KOLESTEROL