Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat

Areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas juga dapat dicapai melalui jalan eks logging PT Asialog berupa jalan yang tidak diperkeras sejauh kurang dari 10 km. Namun karena sudah lama tidak digunakan, saat ini kondisi jalan sulit untuk bisa dilalui terutama setelah turun hujan REKI, 2009. Desa terdekat dari lokasi restorasi berada di bagian selatan, yaitu Desa Sako Suban, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin. Untuk mencapai Desa Sako Suban, dari arah Palembang dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu : 1. Palembang-Sekayu-Mangun Jaya-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Sekayu dan Mangun Jaya melalui jalan aspal dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum bis, travel dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Mangun Jaya ke Lubuk Bintialo melalui jalan aspal dan tanah kondisi rusak menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 1-2 jam. Selanjutnya dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahuketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam. 2. Palembang-Simpang Gas arah ke Bayung Lencir dan Jambi-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Simpang Gas melalui jalan aspal trans Sumatera dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum bis, travel dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Simpang Gas ke Lubuk Bintialo melalui jalan berbatu dan tanah sepanjang 63 km milik perusahaan minyak PT Conoco Philip menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 3 jam. Sementara itu, dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahuketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam REKI, 2009.

4.11 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat

4.11.1 Desa Bungku

Desa Bungku merupakan desa asli yang terbentuk sejak lama. Desa Bungku telah ada sejak zaman Belanda dan desa ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat. Desa Bungku memiliki 2 dua dusun, yaitu Dusun Bungku Indah dusun lama dan Dusun Johor Baru pengembangan pemukiman dusun baru karena adanya transmigrasi yang terdiri atas 13 Rukun Tetangga RT Dephut, 2007. Pola pemukiman penduduk termasuk pola pemukiman menyebar dalam bentuk kumpulan-kumpulan kecil yang kemudian dikelola dalam sebuah bentuk Rukun Tetangga RT. Tipe perumahan masyarakat saat ini telah bercampur antara tipe rumah asli rumah panggung papan dan rumah permanen dengan letak rumah yang tidak terlalu jauh. Pekerjaan utama masyarakat desa umumnya adalah petani, khususnya petani perkebunan karet Dephut, 2007. Desa ini termasuk ke dalam Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari. Secara goegrafis pusat desa terletak pada posisi 01 54 32, 5 dan 103 15 37, 6 dengan topografi relatif datar sedikit bergelombang. Perjalanan menuju Desa Bungku dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 30 Km dari pusat kecamatan, 30 Km dari pusat Kabupaten Muara Bulian dan sejauh 100 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa ini tidak terlalu sulit, apalagi kondisi jalan telah beraspal sejak dari pusat ibukota kabupaten sampai ke desa. Jalur transportasi dilayani oleh angkutan desa yang beroperasi sejak pagi hingga sore hari. Desa Bungku memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : ฀ Sebelah Utara dengan Desa Pompa Air ฀ Sebelah Selatan dengan PTP Durian Luncuk ฀ Sebelah Timur dengan Desa Markanding ฀ Sebelah Barat dengan Desa SingkawangJebak Dephut, 2007. Kelompok masyarakat Batin Sembilan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang keberadaannya secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Bungku dan juga merupakan kawasan hutan Harapan Rainforest eks PT Asialog yang ditunjuk sebagai kawasan yang akan dikelola secara restorasi ekosistem sesuai dengan Kepmenhut No. 83 tahun 2005 REKI, 2009 . Kelompok masyarakat Batin Sembilan sangat menggantungkan kehidupannya pada hutan dan sumbewrdayanya. Masyarakat memanfaatkan hutan sebagai tempat tinggal dan juga sebagai sumber penghidupan. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Batin Sembilan, yaitu tumbuhan dan satwa. Oleh karena itu, masyarakat Batin Sembilan lebih mudah dijumpai di dalam hutan Gambar 3.

4.11.2 Sako Suban

Masyarakat Desa Sako Suban adalah masyarakat yang memiliki ikatan dan keterkaitan yang sangat erat dengan sungai dan hutan. Keterkaitan masyarakat dengan sungai ini tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan akan air dan sumber makanan seperti beberapa jenis ikan untuk memenuhi gizi keluarga. Sungai sudah sejak dahulu digunakan oleh masyarakat sebagai alat transportasi dan media untuk mengangkut hasil – hasil perekonomian mereka baik secara subsistem maupun komersil mulai dari hasil pertanian hingga hasil hutan berupa kayu REKI, 2009. Gambar 4 merupakan gambaran keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai. a Sumber : Profil Desa Sako Suban REKI, 2009 Gambar 3 Masyarakat Batin Sembilan yang berada di dalam hutan. b c Gambar 4 Keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai: a Letak Desa Sako Suban di sepanjang Sungai Kapas, b Sungai sebagai media transportasi dan c Sungai untuk aktivitas rutin sehari-hari seperti mandi, mencuci, dll. Selain sungai, hutan merupakan salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Sako Suban. Hutan dianggap bukan hanya sebagai sumber untuk mendapatkan hewan – hewan buruan, namun hutan juga menyediakan beberapa jenis tumbuh – tumbuhan sebagai bahan ramuan obat-obatan hasil hutan bukan kayu dan lahan yang memadai bagi masyarakat untuk bercocok tanam. Hingga saat ini, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memanfaatkan HHBK dan hewan buruan, untuk pola hidup subsistemnya. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan kayu bebalok dan menyadap karet untuk menunjang perekonomian REKI, 2009. Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan perburuan liar, namun frekuensinya tidak terlalu tinggi. Alat yang umum digunakan adalah jerat dan senapan. Hasil buruan biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual ke tetangga. Satwa yang biasanya diburu antara lain rusa, kijang, trenggiling, labi-labi dan burung REKI, 2009. Sementara itu untuk pemanfaatan HHBK masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan subsistem saja, meskipun cukup banyak rotan dan bambu, masyarakat tidak memanfaatkan secara intensif. Sebagian ibu-ibu di desa masih memanfaatkan HHBK dari kebun mereka seperti daun nipah sejenis daun pandan untuk membuat daun tikar lapik. Mata pencaharian utama sebagian warga Sako Suban adalah petani karet. Semua rumah tangga di desa Sako Suban mempunyai kebun karet, baik yang telah disadap maupun yang belum. Rata-rata setiap rumah tangga memiliki kebun karet antara 2-10 hektar REKI, 2009. Sejarah perkembangan masyarakat Desa Sako Suban mencatat bahwa masyarakat memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan sumber daya hutan. Interaksi ini telah menciptakan sebuah pola budaya tersendiri dalam bentuk adaptasi dengan alam yang harmonis serta kearifan lokal mereka dalam mengelola hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Hasil adaptasi dengan hutan itu juga telah merasuk ke dalam struktur sosio-kultural masyarakat desa REKI, 2009. Seperti umumnya masyarakat adat yang ada di pulau Sumatera, masyarakat Desa Sako Suban memiliki latar belakang sejarah sebagai petani peladang berpindah. Hal ini merupakan hasil adaptasi paling baik dan paling rasional masyarakat dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumberdaya alam yang tersedia. Pilihan sebagai peladang adalah tindakan yang paling rasional dalam arti perilaku ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosial- ekonominya untuk kurun waktu yang cukup panjang REKI, 2009. Beberapa areal perladangan masyarakat Desa Sako Suban umumnya berada di sekitar bantaran Sungai Kapas yang membentang dari hulu ke hiir sungai. Biasanya pola perladangan dimulai dengan persiapan lahan yaitu dengan menebang dan menebas slash. Kemudian beberapa ranting dan semak belukar tersebut dibiarkan kering terlebih dahulu. Biasanya proses ini dilakukan pada musim panas sekitar bulan Maret-Juli. Semua biomassa tersebut kering, masyarakat menyiapkan sekat bakar untuk mencegah api merambat dan menjalar ke lahan sekitar, baru setelah itu dilakukan proses pembakaran burn REKI, 2009. Setelah proses pembakaran, biasanya masyarakat membiarkan lahan tersebut kosong terlebih dahulu. Hal ini dapat dipahami dalam logika pertanian , agar beberapa unsur hara yang terkandung dalam biomassa tanaman dapat diserap kembali oleh tanah untuk menambah dan meningkatkan kandungan dan kesuburan tanah. Ketika lahan dinilai sudah siap, baru dilakukan proses penanaman. Dari zaman dahulu, masyarakat biasa menanam padi darat untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Namun sejak 5 dasawarsa terakhir, masyarakat mulai menanam karet di lahan mereka. Karet yang mereka tanam adalah jenis karet alam bibit lokal REKI, 2009. Dalam interval masa menunggu panen, biasanya masyarakat mencari lahan baru untuk membuka areal perladangan kembali. Siklus areal perladangan berpindah ini antara 20-30 tahun. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dan keterbatasan lahan, pola pertanian ladang berpindah ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Desa Sako Suban, terlebih lagi sejak masuknya konsesi perusahaan besar dibidang kehutanan industrial logging REKI, 2009. Walaupun hampir sebagian besar masyarakat telah meninggalkan pola pertanian ladang berpindah, namun mereka belum meninggalkan pola pertanian tradisional slash and burn cultivation. Masyarakat hanya mengandalkan kesuburan alami tanah tanpa adanya introduksi dari pola-pola pertanian modern intensifikasi dan mekanisasi pertanian dan penggunaan pupuk dan pestisida. Hingga saat ini hampir sebagian besar masyarakat Desa Sako Suban merupakan petani karet dan sudah sedikit sekali menanam padi darat di rompok mereka. Kebutuhan akan beras biasanya diperoleh dari warung-warung yang ada di desa dari hasil penjualan karet REKI, 2009. Sejak tahun 1968 kawasan ini sudah disentuh oleh perusahaan besar kehutanan industrial logging berupa HPH. Secara lengkap beberapa HPH yang mengeksploitasi kawasan hutan di sekitar Sungai Kapas dan Sungai Meranti ini yang berdekatan dengan wilayah Desa Sako Suban sebagai berikut : HPH PT Padeco 1968 sd 1986, HPH PT Niti Remaja 1970 sd 1989, HPH Inhutani V, juga terdapat banyak HPH skala kecil IPKTM yang juga beroperasi di kawasan sekitar hutan desa, seperti PT Sengentar Alam dari Palembang dan PT Akiang dari Jambi yang merupakan bagian dari subkontrak PT Inhutani V REKI, 2009.

4.11.3 Tanjung Sari

Desa Tanjung Sari adalah salah satu desa yang paling berdekatan dengan kawasan hutan Harapan Rainforest eks HPH PT Asialog dan berada di bagian timur dari lokasi restorasi ekosistem. Desa ini berada di Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi. Untuk mencapai Desa Tanjung Sari dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 24 Km dari pusat kecamatan, 140 Km dari pusat Kabupaten dan sejauh 110 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa masih jalan tanah, apabila hujan akan sulit untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Jalur transportasi dilayani angkutan umum yang hanya beroperasi satu kali untuk setiap harinya, keluar dari desa menuju kecamatan atau Kota Jambi pada pagi hari dan kembali menuju desa pada sore hari. Desa Tanjung Sari memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: ฀ Sebelah Utara dengan Desa Tri Jaya Trans Unit 8 ฀ Sebelah Selatan dengan Desa Tanjung Lebar ฀ Sebelah Timur dengan Desa Adipura Kencana Trans Unit 20 ฀ Sebelah Barat dengan PT Asiatic Persada Kab. Batang Hari Dephut, 2007. Desa Tanjung Sari juga merupakan salah satu desa transmigrasi yang di buka pada tahun 1996, dimana awalnya penduduknya merupakan pindahan dari Pulau Jawa. Desa ini juga dikenal dengan Trans Unit 22 dengan pola perkebunan kelapa sawit. Pada perkembangannya masyarakat Desa Tanjung Sari bertambah dengan banyaknya pendatang yang berasal dari Provinsi Jambi maupun dari luar provinsi. Para pendatang pada umunya beraktifitas di bidang pertanian dan perkebunan, ada yang memulai dengan membeli lahan pertanian dan ada juga yang memulai aktifitas pertaniannya dengan membuka hutan Dephut, 2007. Desa Tanjung Sari sebagai desa transmigrasi pola perkebunan, awalnya semua mata pencaharian masyarakatnya adalah pertanian. Pada perkembangannya mata pencaharian masyarakat mulai beragam, mulai dari bidang jasa perdagangan dan juga sektor jasa seperti berdagang, sopir, tukang bangunan, buruh perkebunan, sektor industri kecil maupun sektor kehutanan Dephut, 2007. Sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama di Desa Tanjung Sari terlihat sangat menjanjikan dimana tipe atau bentuk-bentuk rumah sebagai tanda desa transmigrasi sudah mulai jarang terlihat, masyarakat sudah mulai membuat bangunan yang lebih bagus dan hampir semua keluarga di Desa Tanjung Sari memiliki kendaraan bermotor baik itu sepeda motor ataupun mobil. Peningkatan taraf kehidupan masyarakat menjadi maju seiring dengan sudah berproduksinya lahan perkebunan kelapa sawit dan pengembangan perkebunan oleh masyarakat juga sudah berproduksi Dephut, 2007. Pola pemukiman pada awalnya tertata dan tersusun rapi sebagai program transmigrasi, namun pada perkembangannya mulai menyebar dan ada juga yang membuat kumpulan-kumpulan pemukiman. Pengelompokan pemukiman di desa terbagi menjadi 4 dusun, yang dikenal dengan nama dusun I sampai dusun IV Dephut, 2007 . Bahasa dan adat istiadat yang digunakan masyarakat desa adalah adat istiadat Melayu Jambi. Agama yang dianut sebagian besar adalah agama islam REKI, 2008 . Tingkat pendidikan masyarakat desa sudah cukup baik dan sangat bervariasi. Tabel 8 menjelaskan hasil wawancara mengenai jumlah penduduk pada tahun 2010 berdasarkan tingkat pendidikannya. Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa 1. SD 1027 2. SMP 553 3. SMA 571 4. D3 15 5. S1 25 Total 2191 Tingkat perekonomian masyarakat Desa Tanjung Sari unit 22 yang sudah maju terlihat dari pembangunan-pembangunan fisik desa dengan biaya dari masyarakat, yaitu hasil dari berkebun sawit. Desa Tanjung Sari juga sudah memiliki puskesmas pembantu pustu untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat. Gambar 5 merupakan salah satu pembangunan fisik dari hasil biaya masyarakat dan pasar yang terdapat di Desa Tanjung Sari. a b Gambar 5 Desa Tanjung Sari a Mesjid dan b Pasar.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest

Restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan kondisi hutan yang saat ini sudah rusak ke kondisi ekosistem awalnya dengan tujuan memperoleh kembali keanekaragaman hayati PT REKI, 2007. Tujuan dari restorasi ekosistem tersebut dapat dicapai dengan melakukan beberapa tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem. Berikut tahapan-tahapan kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest : 1. Penataan areal kerja yang dilakukan tiga tahun sebelum penanaman. 2. Inventarisasi tumbuhan yang dilakukan dua tahun sebelum penanaman. 3. Pembukaan wilayah hutan yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman. 4. Pengadaan bibit yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman. 5. Penanaman 6. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan satu tahun, dua tahun dan tiga tahun setelah penanaman. 7. Restorasi habitat tumbuhan dan satwa liar dilakukan lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun setelah penanaman. 8. Pengamanan hutan dilakukan sepanjang tahun. 9. Penelitian dilakukan sepanjang tahun. Keberhasilan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dapat dicapai dengan adanya dukungan dan kerja sama. Salah satunya yaitu melibatkan masyarakat dalam kegiatan restorasi ekosistem. Pada dasarnya tahapan-tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI dapat dilakukan bersama masyarakat khususnya dalam hal sebagai tenaga kerja. Secara spesifik beberapa kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat sebagai berikut: 1. Penyediaan bibit tanaman hutan dalam program community nursery; 2. Penanaman dan pemeliharaan tanaman hutan dalam program community nursery; dan 3. Tata batas konsesi secara partisipatif.