Hubungan Kebiasaan Semasa Melihat Dengan Miopia Pada Mahasiswa FK USU Angkatan 2007-2009

(1)

HUBUNGAN KEBIASAAN SEMASA MELIHAT DENGAN

MIOPIA PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2007-2009

Oleh:

MOHD REDZUAN BIN NORAZLAN 070100305

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN KEBIASAAN SEMASA MELIHAT DENGAN

MIOPIA PADA MAHASISWA FK USU ANGKATAN 2007-2009

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

MOHD REDZUAN BIN NORAZLAN NIM: 070100305

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

ABSTRAK

Latar belakang: Miopia atau rabun jauh dapat disebabkan oleh pelbagai faktor

antaranya faktor kebiasaan. Miopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang dijangkakan paling umum dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i karena pada usia persekolahan seseorang itu lebih cenderung untuk melakukan pekerjaan dekat dengan lebih kerap.

Tujuan: Mengetahui bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan

miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

Metode: Penelitian ini menggunaan teknik Proporsive Sampling dimana populasi

sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia. Hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 (7,12 %) orang mahasiswa dijadikan responden dalam penelitian ini.

Hasil: Responden terdiri dari 42,7 % laki-laki dan 57,3 % responden perempuan.

Miopia lebih sering dijumpai pada jenis kelamin perempuan (52,7% dari keseluruhan responden perempuan) berbanding responden laki-laki (46,3 % dari keseluruhan responden laki-laki). Responden miopia yang mempunyai tingkat keparahan miopia ringan mempunyai persentase tertinggi yaitu 72,9 % (35 dari 48 responden miopia). Juga didapatkan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 93,7 % dan didapatkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia secara perlahan mempunyai persentase tertinggi yaitu 81,2 % di kalangan responden miopia.

Kesimpulan: Berdasarkan Fisher’s Exact Test dengan menggunakan nilai

pembatasan (α = 0,10), hasil penelitian ini menunjukkan tiada terdapat pengaruh yang signifikan pada kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

Saran: Peneliti lain diharap dapat meneruskan penelitian ini dengan menambah

jumlah sampel meliputi anak di bawah usia persekolahan, anak dalam usia persekolahan, golongan usia diatas 40 dan 60 tahun. Peneliti lain juga dapat menambah variabel-variabel lain seperti faktor genetik, penyakit, penggunaan obat, dan sebagainya.

Kata kunci: Faktor kebiasaan, miopia, mahasiswa/i FK USU tahun angkatan 2007-2009


(5)

ABSTRACT

Background: Myopia or nearsightedness may be caused by various factors including

habit factor. Myopia is a refractive disorder of the eye are most common founds in younger age groups, including students and the university students because at the age of schooling a person is more likely to do close work with more often.

Objective: To know how the relationship between habits during seeing something

with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.

Methods: This technique uses proporsive sampling where the sample population was

taken from the sample population who had previously been known characteristics or properties. Traits that are intended student group that myopia and non myopia. The result of calculation to determine the required minimum number of respondents with 90% confidence interval fulfilled as much as 96 (7.12%) respondents in this study.

Results: The respondents consist of 42.7% men and 57.3% female respondents.

Myopia is more often found in the female sex (52.7% of the total female respondents) compared to male respondents (46.3% of total male respondents). Respondents who have myopia severity of mild myopia have the highest percentage, 72.9% (35 of 48 myopic respondents). Also obtained the first occurrence of myopia at the age between 5-20 years had the highest percentage, 93.7% and obtained a history of gradually increasing severity of myopia has the highest percentage, 81.2% among respondents myopia.

Conclusion: Based on Fisher's Exact Test using restriction value (α = 0.10), the

results of this study indicate there is no relationship between habits during seeing something with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.

Recommendation: Other researchers are encouraged to continue this research by

increasing the number of samples included children under the age of schooling, children in school age, the age group above 40 and 60 years. Other researchers can also add other variables such as genetic factors, diseases, medications, and so forth.


(6)

KATA PENGHANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum w.b.t. dan selamat sejahtera

Segala puji dan syukur di panjatkan ke hadirat Allah S.W.T. yang telah memberi petunjuk, bimbingan, dan kekuatan kepada diri penulis, akhirnya karya tulis ilmiah ini berjaya disiapkan dengan jayanya dan disusun sebagaimana yang diharuskan. Selawat dan salam ditujukan kepada junjungan kita penghulu segala nabi, nabi Muhammad S.A.W., para sahabat, dan pengikut setianya sehingga hari kiamat.

Tujuan dibuat karya tulis ilmiah adalah untuk memenuhi salah satu bentuk pembelajaran mahasiswa FK USU S-1 Pendidikan Dokter sebagai mana yang telah ditetapkan oleh pihak fakultas. Pada karya tulis ini dibahaskan teori habituasi, teori miopia, rancangan penelitian dan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengkaji bagaimanakah hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

Segulung ucapan jutaan terima kasih diucapkan kepada ibu bapa dan keluarga diri penulis kerana telah memberi sokongan yang padu kepada diri penulis sepanjang proses penyusunan karya tulis ilmiah ini. Ucapan jutaan terima kasih yang tidak terhingga diucapkan kepada dosen pembimbing, dr. Zulkifli dan dosen-dosen penguji karena sangat membantu dalam membimbing, memberi tunjuk ajar, teguran, dan saranan sepanjang penyusunan karya tulis ilmiah ini dilakukan sehingga karya tulis ilmiah ini menjadi lebih terarah dan layak disahkan. Juga tidak lupa diucapkan ucapan terima kasih kepada responden-responden, sahabat-sahabat, dan semua pihak yang telah membantu diri penulis dalam menjayakan penulisan karya tulis ilmiah ini. Wabillahi taufik wal hidayah, assalamualaikum w.b.t dan selamat sejahtera.

Medan, Disember 2010 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN………... i

ABSTRAK………. ii

ABSTRACT……….. iii

KATA PENGHANTAR………... iv

DAFTAR ISI………. v

DAFTAR TABEL………. vii

DAFTAR GAMBAR……… viii

DAFTAR LAMPIRAN……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang……….. 1

1.2. Rumusan Masalah……… 2

1.3. Tujuan Penelitian……….. 1.3.1. Tujuan Umum………... 1.3.2. Tujuan Khusus……… 2 2 3 1.4. Manfaat Penelitian……… 1.4.1. Manfaat Kepada Responden dan Masyarakat………. 1.4.2. Manfaat Kepada Instansi Kesehatan dan Pemerintah………. 1.4.3. Manfaat Kepada Penelitian………. 1.4.4. Manfaat Kepada Peneliti………. 3 3 4 4 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 5

2.1. Habituasi………... 2.1.1. Definisi……….. 2.1.2. Mekanisme Terjadinya Habituasi……….………. 2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Habituasi………... 2.1.4. Klasifikasi Habituasi Berdasarkan Akibat……… 2.1.5. Habituasi yang Dapat Meningkatkan Risiko Terjadinya Miopia………... 5 5 6 6 7 7


(8)

2.2. Miopia………. 2.3.1. Definisi……… 2.3.2. Epidemiologi………... 2.3.3. Klasifikasi……… 2.3.4. Etiologi……… 2.3.5. Faktor Risiko………... 2.3.6. Gejala dan Tanda………. 2.3.7. Pemeriksaan dan Diagnosis………. 2.3.8. Diagnosis Banding……….. 2.3.9. Penatalaksanaan……….. 2.3.10. Pencegahan……….. 2.3.11. Komplikasi……….. 2.3.12. Prognosis dan Tindak Lanjutan (Follow up)………..

8 8 8 10 13 15 15 16 18 18 21 22 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL………….

26

3.1. Kerangka Konsep Penelitian……….. 3.2. Defenisi Operasional……….. 3.3. Hipotesis……….

26 27 31

BAB 4 METODE PENELITIAN………

32

4.1. Rancangan Penelitian……….. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian……….. 4.4. Metode Pengumpulan Data………. 4.5. Metode Analisis Data………..

32 32 33 35 35

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 36

5.1. Hasil Penelitian……….. 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden………... 5.1.3. Hasil Analisa Data…..……….. 5.2. Pembahasan……… 36 36 37 43 45


(9)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……….. 48

6.1. Kesimpulan………. 6.2. Saran………...

48 49

DAFTAR PUSTAKA……….. 50

LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya…..……… 14

Tabel 5.1 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia………..….... 37 Tabel 5.2 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Jenis

Kelamin………. 38

Tabel 5.3 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun

Angkatan Responden…...………. 39

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur………... 39 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Tingkat

Keparahan Miopia……… 40

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Pertama

Terjadinya Miopia……….………...…………. 41

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Riwayat

Terjadinya Peningkatan Keparahan Miopia……….………….. 42

Tabel 5.8 Distribusi Tingkat Perilaku/ Kebiasaan Responden Berdasarkan Jumlah

Kebiasaan Seharian yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya Miopia….. 43 Tabel 5.9 Distribusi Responden yang Memiliki Perilaku Seharian yang Berisiko

Miopia dan yang Tidak Mempunyai Perilaku Seharian yang Berisiko


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Miopia……… 8


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup………..………. 55

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian………. 56

Lampiran 3. Lembar Penjelasan……… 59

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)……... 61

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian (Ethical Clearance)………. 62

Lampiran 6. Data Induk………. 63

Lampiran 7. Uji Validitas Kuesioner……… 67

Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kuesioner………. 70

Lampiran 9. Frekuensi dan Deskriptif Responden……… 72

Lampiran 10. Statistika Soal……… 74

Lampiran 11. Statistika Responden Miopia………. 78

Lampiran 12. Perbandingan Nilai Skor Responden Berdasarkan Perilaku yang Berisiko Miopia dengan Kejadian Miopia……… 82

Lampiran 13. Perbandingan Miopia dan Kelompok Skor Serta Uji Hipotesis (Fisher's Exact Test)……….. 83


(13)

ABSTRAK

Latar belakang: Miopia atau rabun jauh dapat disebabkan oleh pelbagai faktor

antaranya faktor kebiasaan. Miopia merupakan kelainan refraksi pada mata yang dijangkakan paling umum dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i karena pada usia persekolahan seseorang itu lebih cenderung untuk melakukan pekerjaan dekat dengan lebih kerap.

Tujuan: Mengetahui bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan

miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

Metode: Penelitian ini menggunaan teknik Proporsive Sampling dimana populasi

sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia. Hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 (7,12 %) orang mahasiswa dijadikan responden dalam penelitian ini.

Hasil: Responden terdiri dari 42,7 % laki-laki dan 57,3 % responden perempuan.

Miopia lebih sering dijumpai pada jenis kelamin perempuan (52,7% dari keseluruhan responden perempuan) berbanding responden laki-laki (46,3 % dari keseluruhan responden laki-laki). Responden miopia yang mempunyai tingkat keparahan miopia ringan mempunyai persentase tertinggi yaitu 72,9 % (35 dari 48 responden miopia). Juga didapatkan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 93,7 % dan didapatkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia secara perlahan mempunyai persentase tertinggi yaitu 81,2 % di kalangan responden miopia.

Kesimpulan: Berdasarkan Fisher’s Exact Test dengan menggunakan nilai

pembatasan (α = 0,10), hasil penelitian ini menunjukkan tiada terdapat pengaruh yang signifikan pada kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

Saran: Peneliti lain diharap dapat meneruskan penelitian ini dengan menambah

jumlah sampel meliputi anak di bawah usia persekolahan, anak dalam usia persekolahan, golongan usia diatas 40 dan 60 tahun. Peneliti lain juga dapat menambah variabel-variabel lain seperti faktor genetik, penyakit, penggunaan obat, dan sebagainya.

Kata kunci: Faktor kebiasaan, miopia, mahasiswa/i FK USU tahun angkatan 2007-2009


(14)

ABSTRACT

Background: Myopia or nearsightedness may be caused by various factors including

habit factor. Myopia is a refractive disorder of the eye are most common founds in younger age groups, including students and the university students because at the age of schooling a person is more likely to do close work with more often.

Objective: To know how the relationship between habits during seeing something

with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.

Methods: This technique uses proporsive sampling where the sample population was

taken from the sample population who had previously been known characteristics or properties. Traits that are intended student group that myopia and non myopia. The result of calculation to determine the required minimum number of respondents with 90% confidence interval fulfilled as much as 96 (7.12%) respondents in this study.

Results: The respondents consist of 42.7% men and 57.3% female respondents.

Myopia is more often found in the female sex (52.7% of the total female respondents) compared to male respondents (46.3% of total male respondents). Respondents who have myopia severity of mild myopia have the highest percentage, 72.9% (35 of 48 myopic respondents). Also obtained the first occurrence of myopia at the age between 5-20 years had the highest percentage, 93.7% and obtained a history of gradually increasing severity of myopia has the highest percentage, 81.2% among respondents myopia.

Conclusion: Based on Fisher's Exact Test using restriction value (α = 0.10), the

results of this study indicate there is no relationship between habits during seeing something with myopia among FK USU university students class year 2007-2009.

Recommendation: Other researchers are encouraged to continue this research by

increasing the number of samples included children under the age of schooling, children in school age, the age group above 40 and 60 years. Other researchers can also add other variables such as genetic factors, diseases, medications, and so forth.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penglihatan merupakan salah satu dari panca indera kita selain pendengaran, penciuman, sentuhan, dan pengecapan. Penglihatan sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa penglihatan manusia akan mengalami kesulitan dan tidak dapat menikmati kehidupannya dengan sempurna.

Sepanjang tempoh kehidupan manusia, ternyata kebanyakan manusia menderita penyakit dan/ atau kelainan pada organ penglihatannya setidaknya sekali sepanjang hidupnya. Penyakit-penyakit dan kelainan-kelainan yang melibatkan sistem penglihatan sangat banyak sehingga dapat dikelompokkan secara umum kepada beberapa kelompok.

Penyakit-penyakit dan kelainan-kelainan mata dapat dibagi kepada beberapa kelompok seperti mata merah dengan visus normal, mata merah dengan visus menurun, mata tenang dengan visus menurun perlahan, mata tenang dengan visus menurun mendadak, trauma pada mata, penyakit kelopak mata, kelainan refraksi, dan tumor pada mata (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001).

Dari sekian banyaknya penyakit mata, ternyata kelainan refraksi pada mata merupakan salah satu kelainan mata yang sangat umum dijumpai di seluruh dunia. Kelainan refraksi pada mata pula terdiri daripada beberapa jenis seperti presbiopia, miopia, hiperopia, hiperopia laten, dan astigmatisme (WHO, 2003).

Di antara jenis-jenis kelainan refraksi pada mata, miopia atau dikenali sebagai rabun jauh merupakan kelainan refraksi pada mata yang dijangkakan paling umum


(16)

dideritai oleh golongan usia muda termasuk siswa/i dan mahasiswa/i (American Optometric Association ®, 2010).

Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan miopia (rabun jauh) pada diri seseorang diantaranya adanya hubungan keluarga (genetik), asupan nutrisi yang tidak adekuat, dan habituasi (kebiasaan) seseorang dalam menggunakan organ penglihatannya (George, 2010).

Dari riset-riset yang dilakukan sebelumnya di seluruh dunia termasuk di Amerika Serikat, Singapura, China, dan Taiwan menunjukkan bahwa kebanyakan golongan usia muda seperti siswa/i dan mahasiswa/i menderita miopia dikarenakan oleh faktor lingkungan seperti habituasi/ kebiasaan disamping terdapatnya faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang itu menderita miopia seperti faktor genetik.

Oleh itu, penelitian ini dirasakan penting dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan tahun 2007-2009 untuk menilai ada tidaknya hubungan yang bermakna di antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada Mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, secara garis besar dapat dirumuskan satu masalah:

1. Bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009?


(17)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini adalah:

1. Mencari bagaimana hubungan antara kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui jenis kelamin yang paling banyak menderita miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

2. Untuk mengetahui tingkat keparahan miopia yang paling banyak dijumpai pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita miopia. 3. Untuk mengetahui kejadian pertama miopia yang paling banyak dijumpai

pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita miopia. 4. Untuk mengetahui tingkat peningkatan keparahan miopia yang paling banyak

dijumpai pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009 yang menderita miopia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada responden, masyarakat, instansi kesehatan, pemerintah, penelitian, dan peneliti.

1.4.1 Manfaat Kepada Responden dan Masyarakat


(18)

langkah pencegahan miopia serta langkah-langkah untuk mengelakkan peningkatan keparahan miopia.

2. Menunjukkan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara miopia dengan kebiasaan yang dapat mempengaruhinya.

1.4.2 Manfaat Kepada Instansi Kesehatan dan Pemerintah

1. Menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan promosi terhadap pentingnya melakukan mencegah miopia melalui perilaku terutama dalam usaha pencegahan miopia.

1.4.3 Manfaat Kepada Penelitian

1. Menjadi dasar untuk penelitian yang berikutnya agar lebih baik.

1.4.4 Manfaat Kepada Peneliti

1. Memberikan pengetahuan tentang kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia, langkah pencegahan miopia, dan langkah yang perlu diambil agar tingkat miopia yang dideritai kini tidak menjadi semakin parah. 2. Membiasakan diri dalam melakukan penelitian, dan menulis karya tulis


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habituasi 2.1.1 Definisi

Istilah habituasi atau kebiasaan sering digunakan di kalangan masyarakat untuk menunjukkan perilaku yang sering dilakukan oleh seseorang. Istilah habituasi ini sering diberi definisi oleh banyak pihak. Namun, menurut James W. (2009), seorang psikolog atau ahli psikologi di dalam bukunya, Biological Psychology, menulis bahwa habituasi merupakan penurunan respon/ tanggapan terhadap rangsangan/ stimulus yang diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang diberikan.

Sedangkan menurut Ganong W. (2006) pula, habituasi merupakan pengurangan respon dari respon sebelumnya yang ditampilkan pada saat tidak ada diberikan ganjaran atau hukuman setelah rangsangan diberikan.

Misalnya, jika diberikan makanan yang pedas pada seseorang, pada awalnya seseorang itu tidak dapat menahan pedas yang dirasakannya. Jika stimulus diberikan berulang-ulang tanpa diikuti pemberian hadiah atau hukuman setelah diberikan stimulus (pedas), lama kelamaan rasa pedas yang dirasakan oleh seseorang itu akan semakin berkurang dan akhirnya tidak terasa pedas sama sekali apabila tahap kepedasan (stimulus) yang sama diberikan seperti sebelumnya.

Kurangnya tanggapan (rasa pedas) ini tidak berasal dari hasil kelelahan atau pun adaptasi indera, dan bertahan lama; ketika sepenuhnya terbiasa, seseorang tidak akan


(20)

menanggapi rangsangan/stimulus walaupun stimulus tersebut tidak diberikan selama beberapa minggu atau bulan sejak stimulus terakhir diberikan.

2.1.2 Mekanisme Terjadinya Habituasi

Menurut Ganong W.F. juga, apabila sesuatu rangsangan fisik atau kimia diberikan pada hujung presenaptik yang berperan dalam ingatan tanpa merangsang ujung presenaptik yang berperan dalam sistem pensensitisasi (ganjaran atau hukuman), didapati sinyal yang dihantar begitu besar untuk rangsangan kali pertama. Namun apabila rangsangan yang sama diberikan secara berterusan pada hujung presenaptik yang sama (presinaptik yang berperan dalam ingatan), didapati transmisi sinyal semakin berkurang sehingga pada satu tahap transmisi sinyal hampir berhenti. Habituasi terjadi apabila hal seperti ini terjadi.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Habituasi

Habituasi secara umumnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang di dalam kegiatannya sehari-hari. Apabila kita menelusuri tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan / habituasi, kita dapati ada pelbagai pendapat di kalangan masyarakat termasuk pendapat dari kalangan ahli, guru, maupun dari tokoh agama mengatakan bahwa kebiasaan seseorang itu dapat dipengaruhi melalui oleh beberapa faktor seperti faktor agama/ kepercayaan, budaya, lingkungan, keluarga, rakan-rakan seusia, dan sebagainya.


(21)

2.1.4 Klasifikasi Habituasi Berdasarkan Akibat

Masyarakat juga sering membagikan kebiasaan kepada dua jenis kebiasaan berdasarkan akibat yang dapat terjadi dari kebiasaan seseorang, yaitu kebiasaan yang membawa kebaikan/ manfaat dan kebiasaan yang dapat merugikan seseorang.

Antara contoh kebiasaan yang merugikan adalah seperti kebiasaan merokok, kebiasaan meminum minuman keras, dan kebiasaan melihat sesuatu benda dengan jarak yang dekat pada waktu lebih 30-40 menit tanpa diselangi dengan istirahat sehingga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Kebiasaan yang bersifat negatif harus diubah meskipun dampaknya mungkin sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap kehidupan seseorang individu maupun terhadap masyarakat sekitarnya.

2.1.5 Habituasi yang Dapat Meningkatkan Risiko Terjadinya Miopia

Seperti yang tertulis sebelumnya, selain faktor yang dapat menyebabkan miopia (rabun jauh) pada diri seseorang seperti genetik, dan asupan nutrisi yang tidak adekuat, habituasi (kebiasaan) seseorang dalam menggunakan organ penglihatannya juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia.

Diantara kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia:

1. Menghabiskan banyak waktu untuk membaca (melihat dengan jarak yang dekat) tanpa diselangi dengan istirahat setelah 30-40 menit membaca.

2. Sering bekerja di hadapan komputer, atau

3. Sering melakukan pekerjaan lain di hadapan objek yang memiliki intensitas visual dengan jarak yang dekat.


(22)

Pada kebanyakan kasus, bekerja dengan menumpukan fokus terhadap sesuatu objek pada jarak yang dekat seperti membaca, dan menggunakan komputer untuk waktu yang lama (melebihi 30-40 menit) dapat menyebabkan miopia. Akomodasi yang berlebihan terjadi karena upaya pemfokusan diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang melibatkan pemfokusan objek pada jarak yang dekat. Hal ini dapat menghasilkan perpanjangan progresif dan ireversibel pada struktur mata.

2.2 Miopia 2.2.1 Definisi

Gambar 2.1: Miopia

Miopia merupakan salah satu dari kelainan refraksi. Kelainan refraksi terjadi apabila mata tidak sanggup untuk memfokuskan imej tepat pada retina. Miopia adalah kesulitan dalam melihat objek yang jauh dengan jelas. Ini terjadi apabila imej dari objek yang terletak jauh terbentuk berada di hadapan retina dan bukan terletak tepat pada retina. Seseorang yang mengalami miopia dapat melihat objek yang terletak dekat dengan jelas tetapi kabur apabila melihat objek yang terletak jauh.


(23)

2.2.2 Epidemiologi

Prevalensi miopia sangat bervariasi, ini karena prevalensi miopia tergantung kepada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan miopia seperti faktor usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan pencapaian pendidikan seseorang. Miopia biasanya dimulai di masa anak-anak.

Dari hasil penelitian dengan tidak menggunakan agen sikloplegik (agen yang dapat melumpuhkan otot silia sehingga fokus terhadap objek dekat tidak akan terjadi) yang telah dilakukan oleh ahli penelitian terdahulu, dijumpai beberapa derajat miopia dapat terjadi pada sejumlah besar bayi. Miopia yang dimiliki bayi didapati cenderung menurun sejalan dengan peningkatan usianya, dan sebagian besar bayi tersebut mencapai penglihatan yang normal (emmetropia) setelah mencapai usia 2-3 tahun.

Selain daripada itu, didapati bayi-bayi prematur dapat memiliki prevalensi miopia yang tinggi. Untuk anak-anak yang berusia 5 tahun, prevalensi miopia dengan minimal 0,50 D memiliki prevalensi yang lebih rendah (< 5%) berbanding kelompok usia yang lain. Penelitian secara kohort pada kelompok anak yang berada dalam usia persekolahan dan remaja, di dapati prevalensi miopia mereka mencapai sehingga 20-25 persen pada usia pertengahan hingga akhir usia remaja.

Untuk negeri-negeri maju dan Amerika Serikat, didapati remaja di negeri-negeri tersebut memiliki prevalensi miopia sekitar 25-35 persen. Manakala di beberapa daerah di Asia mempunyai prevalensi miopia yang lebih tinggi seperti di Republik China.

Prevalensi miopia pada populasi di atas usia 45 tahun di dapati agak menurun, yaitu mencapai sekitar 20 persen dalam usia 65 tahun. Pada populasi di atas usia 70 tahun, didapati prevalensi miopia semakin menurun sehingga serendah 14 persen.


(24)

Berdasarkan jenis kelamin pula, beberapa penelitian menemukan perempuan mempunyai prevalensi miopia yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Tingkat pendapatan dan pencapaian pendidikan mempunyai hubungan langsung dengan peningkatan prevalensi miopia. Ini berarti, semakin tinggi tingkat pendapatan dan pencapaian pendidikan, semakin tinggi prevalensi miopia.

Selain dari itu, jenis pekerjaan juga dapat memainkan peran dalam prevalensi miopia. Dari penelitian terdahulu, didapati seseorang yang bekerja dengan pekerjaan yang memerlukan untuk melihat objek dengan jarak yang dekat mempunyai prevalensi miopia yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerjaan lain.

2.2.3 Klasifikasi

Penyebab terjadinya miopia itu sangat banyak, dan kejadian miopia di dalam populasi dunia sangat bervariasi dan dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok. Menurut pembahagian miopia yang dilakukan oleh American Optometric

Association (2006), miopia dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tipe

klasifikasi miopia seperti:

1. Miopia Sederhana

Miopia sederhana dapat terjadi pada individu yang mempunyai kelainan pada kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya, serta panjang aksial matanya.

Pengaruh kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada miopia sederhana:

Seseorang individu dapat menjadi miopia sederhana jika kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih besar dari kekuatan optik yang normal/ rata-rata.


(25)

Apabila ini terjadi, imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina sehingga objek yang terletak jauh terlihat kabur walaupun panjang aksial matanya normal/ seperti panjang aksial mata yang rata-rata.

Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih besar dari kekuatan optik yang normal/ rata-rata, dapat menjadi emmetropia (penglihatan normal) jika panjang aksial matanya lebih pendek dari panjang aksial mata normal/ rata-rata dan cukup pendek untuk imej dari objek yang terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya.

Pengaruh panjang aksial mata pada miopia sederhana:

Seseorang individu dapat menderita miopia sederhana jika panjang aksial mata lebih panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata. Apabila ini terjadi, imej objek yang terletak jauh akan terbentuk di hadapan retina sehingga objek yang terletak jauh terlihat kabur walaupun kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya memiliki kekuatan yang normal/ seperti kekuatan rata-rata.

Akan tetapi, meskipun seseorang yang mempunyai panjang aksial matanya lebih panjang dari panjang aksial mata yang normal/ rata-rata, dapat menjadi emmetropia (penglihatan normal) jika kekuatan optik kornea dan lensa kristalinnya lebih lemah dari kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada mata normal/ rata-rata dan cukup lemah untuk imej dari objek yang terletak jauh dapat terbentuk tepat pada retinanya walaupun panjang aksial matanya lebih panjang dari normal/ rata-rata.

Dari fenomena yang ditulis diatas, dapat dibuat kesimpulan bahwa panjang aksial mata berhubungan secara terbalik dengan kekuatan optik kornea dan lensa kristalin pada mata dengan penglihatan normal (emmetropia).

Dari sekian banyak jenis-jenis miopia, didapati miopia sederhana merupakan jenis miopia yang paling umum dijumpai dikalangan masyarakat. Secara umumnya, pasien


(26)

dengan kelainan refraksi kurang dari 0 D hingga -6 dioptri (D); dan kebanyakannya kurang dari 0 D hingga -4 atau -5 D merupakan penderita miopia sederhana.

Astigmatisma dapat terjadi bersamaan pada miopia sederhana, misalnya:

1. Astigmatik miopik sederhana (simple myopic astigmatism): Kondisi di mana sebahagian sinar cahaya yang masuk ke dalam mata ada yang dapat difokuskan tepat pada retina sedangkan (emmetropik) dan ada sebahagian yang lain terbentuk di hadapan retina (miopik).

2. Campuran miopik astigmatisme (compound myopic astigmatism): Kondisi dimana semua sinar cahaya yang masuk hanya terlalu sedikit sahaja yang dapat menyentuh retina, sedangkan yang lainnya berada dihadapan retina.

Di dalam kasus miopia, dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai miopia anisometropik (anisomiopia) yaitu apabila derajat miopia satu mata tidak sama dengan derajat miopia mata yang satu lagi.

Sedangkan anisometropia miopik sederhana (simple myopic anisometropia) dapat terjadi apabilasatu mata adalah normal (emmetropik), manakala mata yang satu lagi miopik.

Menurut American Optometric Association (1997), anisometropia mungkin tidak membawa arti klinis yang signifikan selagi perbedaan antara derajat miopia kedua belah mata tidak menghampiri 1D.


(27)

3. Miopia Nokturnal

Miopia nokturnal adalah kondisi di mana seseorang itu mengalami rabun jauh hanya pada kondisi lingkungan yang malap/ redup/ tidak terang, seperti pada malam hari.

Miopia dipercayai dapat disebabkan oleh akibat dilatasi pupil. Dilatasi pupil merupakan refleks pupil ketika mata berada pada lingkungan gelap/ kurang intensitas cahaya agar lebih banyak cahaya dapat masuk ke dalam mata, yang akhirnya dapat menyebabkan rabun jauh disebabkan terjadinya penambahan penyimpangan cahaya dalam mata. Berdasarkan kadar prevalensi, didapati orang muda mempunyai prevalensi yang lebih banyak berbanding pada orang tua.

4. Pseudomiopia

Pseudomiopia terjadi akibat dari spasme silia atau stimulasi yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi mata sehingga terjadinya peningkatan pada kekuatan refraksi okular (mata). Keadaan seperti ini dinamakan pseudomiopia karena miopia hanya muncul pada pasien apabila respons akomodsi yang tidak memadai terjadi. 5. Miopia Degeneratif

Miopia degeneratif atau miopia patologis adalah suatu kondisi di mana terjadinya perubahan akibat kerusakan pada segmen posterior mata. Biasanya penderita miopia degeneratif memiliki derajat miopia tahap tinggi (-6 D, -6,1 D dan seterusnya).

Fungsi visual yang abnormal seperti penurunan ketajaman visus/ visual atau lapangan pandang mengalami perubahan abnormal dapat terjadi akibat daripada kerusakan (degeneratif) pada segmen posterior mata. Gejala sisa (sequelae) yang relatif umum terjadi pada miopia degeneratif adalah seperti perlepasan retina dan glauko ma.


(28)

6. Miopia didapat

Miopia didapat sering bersifat sementara dan dapat menjadi normal/ emmetropia. Antara penyebab yang dapat menyebabkan miopia didapat adalah seperti terpaparnya terhadap berbagai agen farmasi, kadar gula darah pada tahap tertentu, terjadinya sklerosis pada inti lensa kristal, atau kondisi anomali yang lainnya.

2.2.4 Etiologi

Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia diduga berasal dari faktor genetik dan faktor lingkungan. American Optometric Association (1997) menulis etiologi yang diduga menyebabkan miopia berdasarkan jenis-jenis miopia:

Tabel 2.1: Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya

Jenis-jenis miopia Etiologi-etiologi

Miopia Sederhana Keturunan/ Warisan

Sering bekerja dengan melihat sesuatu objek dengan jarak yang

dekat

Idiopatik

Miopia Nokturnal Akomodasi untuk fokus gelap pada tahap yang signifikan

Pseudomiopia Kelainan akomodasi


(29)

Agen kolinergik agonis

Miopia Degeneratif Keturunan/ Warisan

Retinopati akibat prematuritas

Gangguan pada hantaran cahaya melalui media okular

Idiopatik

Miopia Didapat Katarak nuclear akibat peningkatan usia

Terpapar kepada sulfonamid dan agen farmaseutikal yang lain

2.2.5 Faktor Risiko

Meskipun etiologi pasti miopia masih belum diketahui, namun terdapat beberapa faktor risiko yang diduga dapat meningkatkan kemungkinan seseorang itu mengalami miopia.

Faktor risiko yang dapat menyebabkan miopia antaranya adalah faktor genetik, jika terdapat salah seorang dari orang tua atau keduanya menderita miopia, maka kemungkinan anak untuk menderita miopia akan menjadi lebih tinggi.

Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi kejadian miopia pada diri seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi kemungkinan seseorang itu mengalami miopia. Begitu juga halnya dengan pekerjaan seseorang, seseorang yang


(30)

sering bekerja dengan melihat sesuatu pada jarak yang dekat dapat meningkatkan terjadinya miopia.

Selain dari faktor risiko di atas, seseorang yang tidak memakai cermin mata hitam (sunglasses) ketika berada ditempat/ melihat sesuatu yang terang/ sangat terang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia, selain faktor risiko yang lain seperti status gizi, penyakit tertentu, kelainan genetik, dan seseorang yang lahir prematur.

2.2.6 Gejala dan Tanda

Seseorang yang miopia sering mengeluhkan gejala-gejala tertentu dan terdapat tanda-tanda klinis yang dapat menunjukkan seseorang itu mengalami miopia.

Gejala miopia adalah seperti sering mengatakan bahwa dia nyeri kepala, matanya kelelahan, mengecilkan bukaan kelopak mata untuk melihat sesuatu yang terletak agak jauh seperti melihat tulisan di papan tulis, kelelahan mata saat mengemudi, berolahraga, atau ketika melihat sesuatu yang jauhnya lebih dari beberapa meter/kaki. Manakala tanda seseorang itu miopia adalah seseorang yang memiliki nilai kekuatan visus kurang dari 6/6 atau 5/5 tergantung kartu snellen yang digunakan untuk pemeriksaan.

2.2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis

Untuk mengetahui seseorang itu mendapat miopia, harus ditanyakan kepada pasien berkaitan dengan gejala yang dihadapinya secara mendalam serta dikenal pasti ada tidaknya pasien memiliki faktor risiko miopia, riwayat penyakit yang dialami dan


(31)

obat yang diambil pasien sebelumnya. Terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukuan seperti dengan menggunakan phoropter dan retinoskop.

Beberapa prosedur dalam pengujian miopia bertujuan untuk mengukur fokus mata terhadap cahaya dan untuk memperbaiki kekurangan visus/ penglihatan dengan menentukan kekuatan lensa optik yang diperlukan.

Phoropter dan retinoskop

Phoropter dan retinoskop sering digunakan selama pemeriksaan mata yang

dilakukan secara menyeluruh untuk menentukan lensa yang memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas.

Kartu Carta Snellen (Snellen’s Chart merupakan sebahagian dari alat yang digunakan untuk mendiagnosis miopia dengan pasien disuruh untuk mengidentifikasi huruf-huruf yang terdapat pada kartu tersebut. Di setiap baris terdapat pecahan-pecahan tertentu seperti 20/24 dan sebagainya. Tujian tes ini adalah untuk mengukur ketajaman visus.

Ketika tes dilakukan, pasien diminta untuk mengidentifikasi huruf-huruf bermula dari baris yang paling atas dan diikuti dengan baris-baris huruf dibawahnya. Tes dihentikan apabila pasien sudah tidak mampu mengidentifikasi sebagian besar dari huruf-huruf yang terdapat pada sesuatu baris. Bacaan visus pasien adalah pecahan yang terdapat pada baris yang terakhir dimana huruf pada baris tersebut dapat diidentifikasi semuanya/ sebagian besarnya oleh pasien dengan tanpa menggunakan bantuan sebarang alat maupun lensa kontak. Jarak antara pasien dan kartu tes adalah 5 atau 6 meter tergantung kepada kartu snellen yang digunakan, dan pasien diposisikan bertentangan tepat dengan kartu tes.


(32)

Seseorang dengan ketajaman visus 20/40 hanya dapat melihat sesuatu huruf/ objek yang jaraknya 40 meter dari pasien apabila dia berada pada jarak 20 meter dari huruf/objek tersebut. Normal jarak ketajaman visus adalah 20/20, namun kebanyakan orang juga mempunyai ketajaman visus 20/15 (lebih baik dari visus normal).

Dengan menggunakan phoropter, di depan mata pasien akan diletakkan serangkaian lensa dan dokter akan mengukur nilai fokus cahaya pasien dengan menggunakan retinoskop yang dipegang oleh dokter. Selain dari cara manual tadi, dokter juga dapat memilih untuk menggunakan mesin yang dapat mengevaluasi kekuatan fokus mata pasien secara otomatis.

Setelah kekuatan fokus telah berhasil dievaluasi, daya kekuatan fokus yang telah diditeksi oleh mesin akan disempurnakan oleh pasien, yaitu lensa yang memungkinkan penglihatan kembali menjadi jelas akan ditentukan berdasarkan respon pasien terhadap lensa yang diletakkan dihadapan matanya.

Dengan menggunakan pemeriksaan ini, tetes mata tidak perlu digunakan untuk menentukan respon mata pasien pada kondisi normal. Tetes mata dapat digunakan jika terdapat beberapa kesulitan ketika pemeriksaan penglihatan dilakukan, antaranya jika pasien tidak dapat merespons secara verbal, atau jika terdapat kemungkinan tersembunyinya beberapa kekuatan fokus mata. Tetes mata untuk kasus-kasus seperti ini diberikan agar perubahan fokus mata dapat dielakkan untuk sementara waktu yaitu pada saat uji coba dilakukan.

Informasi yang diperoleh dari tes ini, bersama dengan hasil tes lainnya, dapat digunakan untuk menentukan seseorang pasien itu miopia atau tidak. Selain itu, apapun kekuatan lensa yang diperlukan untuk mengoreksi agar penglihatan pasien kembali jelas dapat ditentukan dengan menggunakan informasi ini, sehingga pilihan untuk pengobatan miopia juga dapat disarankan kepada pasien.


(33)

2.2.8 Diagnosis banding

Dalam menegakkan diagnosis miopia, terdapat beberapa penyakit yang mempunyai gejala dan tanda mirip seperti pada miopia. Maka, seseorang dokter harus berhati-hati dalam menegakkan diagnosis karena jika diagnosisnya tidak benar, maka pengobatan yang diberikan terhadap pasien tidak tepat dan seterusnya dapat merugikan pasien. Antara penyakit-penyakit yang mirip dengan miopia seperti diplopia, dan degenerasi makula (macular degeneration).

2.2.9 Penatalaksanaan

Pada masa ini, terdapat beberapa pilihan yang tersedia agar pasien miopia dapat kembali melihat dengan jelas apabila melihat sesuatu yang jauh seperti orang normal. Antara pilihan penatalaksanaan miopia adalah seperti pemakaian kacamata, lensa kontak, ortokeratologi, laser dan prosedur operasi refraktif lainnya, serta terapi visus/ penglihatan untuk pasien yang mengalami miopia akibat stress penglihatan.

Pilihan utama untuk mengkoreksi miopia adalah kacamata dengan lensa sferis negatif. Umumnya, diresepkan sebuah lensa tunggal agar pasien dapat memiliki penglihatan yang jelas pada setiap jarak.

Namun, terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan pasien miopia perlu menggunakan lensa bifokal atau lensa tambahan yang progresif, antaranya seperti pada pasien yang usianya sekitar lebih dari 40 tahun, atau anak-anak, dan orang dewasa yang miopia akibat stres kerja karena sering melihat sesuatu pada jarak dekat. Untuk memungkinkan penglihatan yang jelas ketika melihat sesuatu yang jauh maupun yang dekat dapat diberikan lensa-lensa multifokal karena lensa-lensa ini


(34)

dapat memberikan kekuatan yang berbeda atau kekuatan seluruh lensa yang diperlukan oleh pasien.

Pada masa ini, selain alatan medis yang digunakan untuk memperbaiki penglihatan, kacamata juga dapat digunakan untuk menunjukkan penampilan (fashion) seseorang karena pada masa ini sudah tersedia pelbagai jenis lensa dan desain bingkai yang berbeda dari segi ukuran, bentuk, warna dan bahan yang dapat dipilih oleh pasien dari segala usia.

Lensa kontak dapat memberikan penglihatan yang lebih baik dan mungkin memberikan visi yang lebih jelas dan lapangan pandang yang lebih luas berbanding kacamata pada beberapa individu. Namun, lensa kontak perlu dilakukan pembersihan dan perawatan rutin agar kesehatan mata dapat dijaga karena lensa kontak dipakai langsung pada mata.

Terapi refraksi kornea atau juga dikenal sebagai ortokeratologi (Ortho-k) adalah terapi yang melibatkan pemasangan dari serangkaian lensa kontak kaku agar kornea yaitu permukaan luar depan mata dapat dibentuk kembali.

Jangka waktu pemakaian lensa kontak adalah terbatas, karena lensa kontak harus dikeluarkan dari mata seperti pada malam hari. Penglihatan yang jelas yang bersifat sementara untuk sebahagian besar kegiatan sehari-hari pada pasien miopia tahap

moderate mungkin dapat diperolehi apabila menggunakan lensa kontak ini.

Dengan menggunakan sinar cahaya laser juga dapat membentuk kembali kornea dan seterusnya dapat membaiki miopia. Keratectomy photorefractive (PRK) dan laser keratomileusis in situ (LASIK) merupakan dua prosedur yang umum dilakukan. Lapisan tipis jaringan dari permukaan kornea dihilangkan dengan menggunakan laser dalam prosedur PRK bertujuan untuk mengubah bentuk jaringan tipis dari kornea dan memfokuskan cahaya yang masuk ke dalam mata. Meskipun begitu,


(35)

jumlah pembuangan jaringan tipis ini terdapat batas amannya. Apabila sebagian jaringan kornea ini dibuang, maka sejumlah kasus miopia dapat diatasi.

PRK membuang lapisan tipis dari permukaan kornea sedangkan LASIK tidak. LASIK membuang sebagian lapisan jaringan dari lapisan dalamnya. Untuk melakukan hal ini, bagian dari permukaan luar kornea dipotong dan dilipat agar jaringan lapisan dalam terdedah. Kemudian sebagian jaringan lapisan dalam yang diperlukan untuk membentuk kembali kornea dibuang pada jumlah yang tepat dengan menggunakan laser, dan kemudian jaringan luar ditutup dan ditempatkan semula dalam posisi untuk menyembuhkan. Jumlah miopia yang dapat dikoreksi LASIK dibatasi oleh jumlah jaringan kornea yang dapat dihapus dengan cara yang aman. Pada masa ini, orang yang sangat rabun dekat atau korneanya terlalu tipis sehingga tidak memungkinkan penggunaan prosedur laser sudah memiliki pilihan lain selain untuk memperbaiki rabun jauhnya. Dengan melakukan prosedur penanaman lensa kecil di dalam mata mereka, rabun jauh yang mereka miliki mungkin dapat dikoreksi. Lensa intraokular ini dapat memberikan koreksi optik yang diperlukan secara langsung di dalam mata dan lensa intraokular ini terlihat seperti lensa kontak kecil. Dari segi pengobatan secara farmakologi, berdasarkan laporan dari dua hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Association for Research in Vision and

Ophthalmology menunjukkan bahawa pirenzepin berpotensi dalam mengurangkan

perkembangan miopia pada anak-anak. Pirenzepin (PIR), merupakan satu zat yang relatif selektif M1-muskarinik antagonis, zat tersebut dapat mengurangkan perkembangan miopia pada anak karena pirenzepin dapat mengawal perpanjangan aksis (axis) bola mata. Dosis yang didapati aman untuk anak terhadap gel ophtalmik 2% (2% ophthalmic gel) adalah penggunaan dengan 2 kali/ hari selama 28 hari. Selain itu, menurut laporan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh the Atropine

in the Treatment Of Myopia (ATOM) menunjukkan bukti yang jelas bahwa


(36)

setiap malam) dapat mengawal perpanjangan aksis (axis) bola mata sehingga perkembangan miopia pada anak dapat dikurangkan.

Selain dari terapi yang ditulis sebelumnya, terdapat suatu pilihan terapi lain yang dapat dipilih bagi orang-orang yang miopia yang disebabkan oleh kejangnya otot-otot yang mengendalikan fokus mata yaitu terapi penglihatan (vision therapy).

Vision therapy merupakan terapi perilaku. Antara yang dapat dilakukan pasien dari

segi terapi perilaku adalah dengan melakukan berbagai senam mata dan mengelakkan dari terjadinya kelelahan mata yang berpanjangan agar pasien dapat meningkatkan kemampuan fokus mata yang lemah dan mengembalikan penglihatan yang jelas. Penjagaan gizi juga memberikan peranan dalam mengatasi miopia. Semua anak miopia harus diberikan makanan tambahan berupa kalsium dan vitamin D yang boleh didapati dari beberapa jenis makanan seperti produk susu, sayuran hijau, ikan dan telur. Sebuah diet seimbang akan memperlambatkan kenaikan tahap miopia meskipun tidak mampu menghentikan peningkatan tingkat miopia.

Berbagai pilihan yang dapat diambil oleh pasien miopia untuk memperbaiki masalah penglihatan mereka dan setiap pilihan itu tergantung kepada kondisi dan penyebab miopianya.

2.2.10 Pencegahan

Terdapat pelbagai cara yang dapat dilakukan untuk mencegah miopia sejak dari anak-anak. Selain faktor keturunan yang tidak dapat diubah, setidaknya ada dua faktor miopia lain yang dapat dimodifikasi yaitu faktor lingkungan dan faktor gizi. Selain dari mencegah faktor-faktor risiko miopia, faktor lingkungan seperti stress visual harus dikurangkan, antara yang dapat dilakukan adalah sering meregangkan


(37)

menanggalkan kacamata dan lensa kontak atau menggunakan kacamata baca ketika membaca tanpa menggunakan lensa kontak.

Selain faktor lingkungan, penjagaan gizi juga dapat membantu mencegah miopia karena mata memiliki struktur kolagen, dan mengkonsumsi zat-zat yang dapat memperkuat kolagen juga mungkin dapat membantu mencegah bola mata menjadi memanjang. Zat-zat yang dapat digunakan untuk mencegah miopia adalah seperti kalsium, magnesium, boron, silika, selenium, mangan dan vitamin D, vitamin C dan bioflavonoid.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Daubs (1984), rendahnya tingkat kalsium, fluorida dan selenium dapat meningkatkan risiko miopia progresif. Menurut Politzer(1977) pula, perkembangan miopia pada anak-anak dapat diperlambat dengan vitamin E. Selain itu, konsumsi rendah protein, lemak, vitamin B1, B2 dan C, fosfor, besi, dan kolesterol, serta kurang paparan sinar matahari, menurut Edwards (1996) kekurangan zat-zat ini juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan miopia pada anak-anak.

Selain daripada penjagaan gizi anak, ibu-ibu disarankan agar mengambil beberapa vitamin/ mineral yang dapat mencegah miopia selama beberapa bulan sebelum terjadinya kehamilan karena diet ibu sebelum dan selama kehamilan juga mungkin memainkan peran dalam kekuatan struktural mata si anak.

2.2.11 Komplikasi

Terdapat banyak komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miopia. Diantara komplikasi miopia itu dapat menyebabkan kebutaan dan perubahan degeneratif yang


(38)

dapat terjadi dalam kehidupan seorang dewasa setelah menderita miopia sepenuhnya sejak bertahun-tahun lamanya.

Selain itu, perdarahan dan thrombosis khoroid dapat terjadi. Perdarahan berulang mungkin saja dapat terjadi. Apabila perdarahan di daerah tengah yaitu tempat sering terjadinya perdarahan berulang berlaku, pembentukan atau perluasan daerah atropik bekas luka dapat terjadi. Efek kumulatif dari peristiwa ini sering membawa bencana kepada penglihatan pasien walaupun daerah atropik itu kecil dan tunggal. Apabila perdarahan besar terjadi, semakin tragislah efek yang terjadi kepada pasien.

Selain dari thrombosis dan perdarahan koroid, kekeruhan vitreous dapat juga terjadi. Kekeruhan vitreous sering terjadi pada beberapa derajat miopia tinggi. Kekeruhan vitreous dapat meningkat secara tiba-tiba dan komplikasi serius dapat terjadi akibat kejadian seperti ini. Perlu juga diketahui bahwa kekeruhan vitreous kadang-kadang dapat disertai dengan pengisian darah di dalamnya.

Perlepasan retina merupakan salah satu komplikasi yang paling umum dari miopia, dan inilah komplikasi yang paling ditakuti terjadi. Sir Stewart Duke-Elder menyatakan bahwa 5% dari miopia dapat terjadi perlepasan retina. Glaukoma sederhana juga boleh terjadi, dan ini adalah komplikasi lebih lanjut dari miopia tinggi. Glaukoma sederhana terjadi dalam derajat yang lebih tinggi setelah pertengahan usia.

Sebenarnya risiko kebutaan di usia tua pada pasien-pasien ini sangat sedikit. Perlu disadari bahwa masalah sebenar mereka dimulai pada masa anak-anak yaitu ketika kali pertama mereka dipakaikan dengan sepasang lensa korektif (negatif) oleh seseorang yang mungkin tidak peduli tentang tragis yang akan terjadi akibat dampak jangka panjang pemberian lensa korektif tersebut. Setiap kali lensa pasien diperkuat, semakin buruk keadaan mata pasien. Kondisi ini sering tidak disadari pasien, jarang sekali hal ini diberitahukan kepada pasien, dan pencegahan agar mata tidak


(39)

Apabila tingkat keparahan miopia semakin meningkat dan sudah terlambat untuk melakukan pencegahan, pasien sering dijumpai di kamar bedah untuk memperbaiki penglihatannya. Hal ini sering merupakan akibat dari kesalahan orang lain yang mencoba untuk terus menambah pemburukan pada retina pasien. Akhirnya pasien telah menjadi korban seumur hidupnya akibat ketidaktahuannya dan menjadi korban eksploitasi dari orang yang tidak peduli tentang tragis yang akan menimpa dirinya (diri pasien).

2.2.12 Prognosis dan Tindak lanjutan (Follow up)

Prognosis miopia sederhana adalah sangat baik. Pasien miopia sederhana yang telah dikoreksi miopianya selalunya dapat melihat objek jauh dengan lebih baik. Prognosis bagi pasien miopia, astimatigma, anisometropia, dan akomodasi pasien serta fungsi

vergence (gerakan satu mata dalam kaitannya dengan mata yang lain) berdasarkan

derajat keparahannya, mungkin atau mungkin tidak melihat dengan lebih baik apabila melihat benda dekat selepas koreksi dilakukan koreksi.

Setiap tahun sekali, anak-anak dengan miopia sederhana harus diperiksa. Namun, tindak lanjut yang mungkin sesuai untuk anak-anak yang mengalami perkembangan miopia tingkat tinggi secara luar biasa adalah setiap 6 bulan. Setidaknya pemeriksaan harus dilakukan setiap 2 tahun bagi orang dewasa dengan miopia sederhana. Bagi pasien yang memakai lensa kontak, agar evaluasi lensa cocok dan fisiologi kornea dapat dilakukan, umumnya mereka lebih sering memerlukan tindak lanjut. Pasien miopia sederhana dari tingkat rendah yang dijangkakan miopianya akan meningkat (misalnya, anak muda miopia dengan -0,50 -0,75 D), pada interval sekitar 6 bulan tindak lanjut dapat dijadwalkan apabila pasien tidak diberikan resep.

Untuk menentukan apakah koreksi telah menghilangkan gejala penglihatan lemah dalam kondisi gelap dan/ atau kesulitan mengemudi di malam hari, setelah menerima


(40)

koreksi untuk melihat jelas pada malam hari, pasien dengan miopia malam harus dievaluasi 3-4 minggu. Kemudian pasien harus diperiksa setiap tahun setelah gejala miopia mereda. Prognosis miopia pada malam hari adalah baik selepas dikoreksi. Pseudomiopia biasanya dapat diobati dengan sukses, namun pasien mungkin memerlukan beberapa minggu untuk sembuh karena perjalanan pengobatan mungkin lambat. Sebelum komodatif berlebihan dan gejala dieliminasi, tindak lanjut harus dilakukan pada interval yang sering (misalnya, setiap 1-4 minggu). Pemeriksaan harus dilakukan secara tahunan setelah akomodasi telah membaik (relax).

Pada pasien miopia degeneratif, prognosisnya bervariasi dengan perubahan yang terjadi pada retina dan mata. Tergantung kepada sifat dan keparahan perubahan retina dan mata, pemeriksaan harus dilakukan setiap tahun atau lebih sering. Aspek penting dalam tindak lanjut adalah seperti pemeriksaan retina secara regular, bidang pengujian visual, dan pengukuran tekanan intraokular. Dalam kasus miopia yang didapat, prognosisnya baik dan kekerapan tindak lanjut yang direkomendasikan tergantung pada kondisi atau agen penyebabnya.


(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1: Kerangka Konsep Penelitian Faktor kebiasaan yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya miopia: 1. Melihat pada keadaan cahaya yang suram/ itensitas cahaya tidak memadai.

2. Melihat pada keadaan cahaya yang terlalu terang.

3. Melihat sesuatu dengan jarak yang terlalu dekat.

4. Melakukan pekerjaan dekat (close work) melebihi 30-40 menit tanpa diselangi rehat. 5. Sering melihat objek yang terletak lebih

tinggi dari tingkat mata.


(42)

3.2. Definisi Operasional Definisi variabel:

1. Habituasi/ kebiasaan adalah penurunan respon terhadap rangsangan yang diberikan, dan tidak dijumpai perubahan pada rangsangan lain selain dari rangsangan yang diberikan (James W., 2009). Habituasi juga bermaksud terjadinya pengurangan respon dari respon sebelumnya terjadi pada saat tidak diberikan sebarang bentuk ganjaran atau hukuman sesudah pemberian sesuatu rangsangan itu dilakukan (Ganong W., 2006).

Kebiasaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kebiasaan semasa melihat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia.

2. Miopia adalah kesulitan dalam melihat objek yang jauh dengan jelas. Seseorang yang mengalami miopia dapat melihat objek yang terletak dekat dengan jelas tetapi kabur apabila melihat objek yang terletak jauh.

Jenis miopia yang ingin dinilai dalam penelitia ini adalah miopia yang tidak disertai kelainan refraksi mata lainnya seperti astigmatisme dan sebagainya.

3. Mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009 adalah semua mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang masih aktif dalam kegiatan akademik di Fakultas Kedokteran mulai dari tahun 2007 (bagi mahasiswa FK-USU tahun angkatan 2007), 2008 (bagi mahasiswa FK-USU tahun angkatan 2008), atau 2009 (bagi mahasiswa FK-USU tahun angkatan 2009).

Setiap tahun angkatan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden karena jumlah responden dibataskan sebanyak 32 orang bagi setiap tahun angkatan.


(43)

16 orang dari 32 orang responden tadi diambil dari responden yang miopia murni, manakala 16 orang lagi diambil dari responden yang tidak mengalami miopia.

Meskipun penelitian ini meneliti responden yang miopia, akan tetapi sangat diperlukan juga responden yang tidak mengalami miopia karena kelompok responden yang tidak miopia akan berfungsi sebagai kelompok kontrol dan akan menjadi kelompok pembanding kepada kelompok penelitian.

Alat Pengukuran:

Alat pengukuran untuk megukur seberapa banyak jumlah kebiasaan semasa melihat yang dapat meningkatkan risiko miopia yang dilakukan oleh seseorang responden adalah dengan menggunakan sebuah lembar soal yang telah dikonsultasi kepada dokter spesialis mata di RSUP H Adam Malik, Medan.

Sebelum lembar soal digunakan untuk penelitian, lembar soal ini terlebih dahulu diuji validitas dan realibilitasnya dengan menggunakan program statistik berkomputer yaitu dengan menggunakan program SPSS for windows versi 17.0

Hasil uji validitas dan realibilitas lembar soal penelitian ini dapat dilihat di bagian lampiran.

Cara pengukuran:

Jika responden itu mempunyai kebiasaan semasa melihat yang berisiko miopia

seperti yang terdapat pada sesuatu soalan, nilai 1 akan diberikan untuk soalan tersebut dan nilai 0 diberikan jika responden tidak mempunyai kebiasaan semasa melihat yang


(44)

Untuk mengetahui seseorang itu miopia murni (hanya memiliki kelainan refraksi

miopia dan tidak disertai kelainan refraksi lainnya) atau tidak adalah dengan menanyakan kepada responden “jika dia seorang yang rabun jauh (miopia), adakah dia juga memiliki kelainan refraksi lainnya seperti astigmatisme dan sebagainya?” Jika seseorang responden miopia yang memiliki kelainan refraksi mata yang lain, maka responden ini tidak akan diambil datanya meskipun datanya lengkap dan diganti dengan responden lain yang mengalami miopia murni.

Cara untuk menentukan tahun angkatan responden adalah dengan meminta responden menulis Nomor Induk Mahasiswanya (NIM).

Hasil Pengukuran:

Setelah responden menjawab setiap soalan, jumlah total skor akan dihitung. Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh oleh responden berarti semakin banyak kebiasaan semasa melihat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya miopia yang dimiliki oleh responden tersebut.

Dari jumlah skor total yang diperoleh, seseorang responden itu dikategorikan ke dalam salah satu dari 3 kategori berikut:

1. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 0-3. 2. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 3-6. 3. Nilai skor rendah: Jika nilai skor total yang diperoleh responden adalah 7-9.

Data dari lembar soal ini akan diambil dan akan dipresentasikan secara deskriptif dan dikaji secara analitik.


(45)

Data yang bersifat deskriptif (soal 1-5) akan dianalisa dengan statistic frekuensi dan distribusi, manakala data yang bersifat analitik akan dianalisa dengan tabel 2x2, dan uji hipotesa.

3.3. Hipotesis

Terdapat dua hipotesis yang dapat diperoleh:

1. Ho: Terdapat hubungan antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.

2. Ha: Tiada hubungan antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009.


(46)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian survei, dimana penelitian ini dilakukan terhadap populasi sampel. Populasi sampel ini dianggap dapat mewakili keseluruhan populasinya dan hasil dari penelitian ini digeneralisasikan sebagai hasil keseluruhan populasi tersebut.

Penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian servei yang bersifat deskriptif-analitik karena penelitian ini akan menggambarkan gambaran miopia secara umum di kalangan mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisa data untuk menentukan ada tidaknya hubungan yang bermakna di antara faktor habituasi/kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK-USU angkatan 2007-2009.

Pendekatan lain yang akan digunakan pada penelitian ini adalah studi retrospektif, dimana penelitian dilakukan bermula dari efek yang sudah terjadi pada masa ini (miopia) kemudian dicari penyebab/ variabel-variabel yang mempengaruhi efek tersebut yang mungkin wujud pada saat sebelumnya terjadinya efek yang sudah terjadi pada masa ini.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dilakukan penelitian ini adalah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk melakukan pengambilan dan pengumpulan data, waktu yang


(47)

2010, sebanyak 34 orang responden sebagai kelompok percobaan telah diambil untuk menjawab lembar kuesioner. Data dari 34 orang responden ini kemudian diproses dan diuji dengan tes validitas dan reliabilitas dengan menggunakan program berkomputer

SPSS for windows versi 17.0

Dari hasil uji validitas dan reliabilitas, sebanyak 3 soal yang terdapat dalam lembar soal yang asli adalah tidak valid. Setelah soal yang tidak valid ini dibuang dari lembar soal, lembar soal ini menjalani uji berikutnya yaitu uji reliabilitas. Dari uji reliabilitas, didapati semua soalan terdapat dalam lembar soal yang telah melalui proses perbaikan adalah valid adalah reliabel.

Setelah semua soal telah dipastikan valid dan reliabel, pada bulan September 2010, penelitian diteruskan dengan memberikan lembar soal yang baru kepada para responden sehingga jumlah responden minimum tercapai.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, populasi yang menjadi target penelitian adalah mahasiswa FK

USU tahun angkatan 2007-2009 yang mengalami miopia murni dan juga yang tidak mengalami miopia sama sekali.

Penelitian ini menggunakan teknik Proporsive Sampling dimana populasi sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia.


(48)

Terdapat kriteria yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu: A. Kriteria inklusi:

1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) tahun angkatan 2007-2009.

B. Kriteria eksklusi:

1. Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 yang memiliki miopia campuran (miopia yang disertai dengan kelainan refraksi lainnya seperti astigmatisme).

2. Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 yang menolak untuk dijadikan responden penelitian atau yang tidak menjawab lembar soal dengan sempurna.

Untuk menetukan jumlah sampel yang mencukupi (populasi kurang dari 10 000), formula yang digunakan adalah seperti berikut:

n = N / [1 + N (d2)]

Keterangan: n = Besar sampel N = Besar Populasi


(49)

Populasi penelitian:

Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007: 456 orang Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2008: 428 orang Mahasiswa FK USU tahun angkatan 2009: 465 orang

Jumlah keseluruhan populasi penelitian: 1349 orang (Sumber: Subbag Pendidikan FK USU)

Maka jumlah minimum yang perlu diambil sebagai sampel:

n = 1349 / [1 + 1349(0.12)] = 93.0987

Maka sampel minimum digenapkan menjadi 96 orang. Dari 96 orang ini, 48 orang akan diambil dari orang yang mengalami rabun jauh murni sebagai kelompok penelitian/ eksperimental, dan 48 orang lagi diambil dari orang yang tidak mengalami rabun jauh sebagai kelompok kontrol.

4.4 Metode Pengumpulan Data:

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan lembar soal kepada populasi sampel secara acak. Walaupun begitu kelompok populasi sampel akan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok miopia (hanya miopia murni- tidak termasuk mahasiswa miopia yang disertai oleh kelainan refraksi yang lain) sebagai kelompok studi dan kelompok tidak miopia sebagai kelompok kontrol. Lembar soal (seperti yang terlampir di dalam lampiran) yang telah diresponsi kemudiannya di

cross-check oleh peneliti sebelum lembar soal dikumpulkan semula untuk dilakukan


(50)

4.5 Metode Analisis Data:

Data dari setiap lembar soal yang telah diresponsi akan dicatat dan dianalisa dengan menggunakan program statistik berkomputer yaitu dengan menggunakan program

SPSS for windows versi 17.0

Data bersifat diskriptif (soal 1-5) akan dianalisa dengan statistik frekuensi dan distribusi, manakala data yang bersifat analitik akan dianalisa dengan tabel 2x2, dan uji hipotesa.


(51)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran USU yang terletak di Jalan Dr. T. Mansur 5.Kampus USU. Medan 20155Medan. Fakultas Kedokteran ini merupakan sebuah Perguruan Tinggi Kedokteran negeri untuk wilayah Sumatera Utara dan juga berperan sebagai pusat pembelajaran dan kegiatan pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Fakultas kedokteran ini telah ditubuhkan secara resminya pada tanggal 20 Agustus1952 dan merupakan Fakultas Kedokteran yang tertua di kepulauan Sumatera.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini terdiri dari sebagian mahasiswa angkatan tahun 2007-2009 Fakultas Kedokteran USU. Penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan teknik Proporsive Sampling dimana populasi sampel diambil dari populasi sampel yang sebelumnya sudah diketahui ciri atau sifat-sifatnya. Ciri yang dimaksudkan itu adalah kelompok mahasiswa yang miopia dan tidak miopia dan dari hasil pengiraan untuk menentukan jumlah responden minimal yang diperlukan dengan tingkat kepercayaan 90% digenapkan sebanyak 96 orang mahasiswa dijadikan responden dalam penelitian ini.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menilai ada tidaknya hubungan antara perilaku/ kebiasaan seseorang dalam kejadian miopia. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka diperlukan


(52)

kontrol, manakala kelompok responden yang miopia bertindak sebagai kelompok penelitian. Dalam penelitian ini data responden yang menderita dan tidak menderita miopia diambil dari lembar soal (angket) yang telah diisi lengkap oleh para responden.

Khusus untuk responden yang mengalami miopia, responden-responden ini diamati dalam beberapa gambaran karakteristik yaitu kejadian pertama responden itu mengalami miopia, tingkat keparahan miopia, dan ada tidak terjadinya peningkatan tahap miopia yang dihadapi oleh responden.

Manakala bagi keseluruhan responden yang ada dapat diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi: jenis kelamin responden, usia responden, dan tahun angkatan seseorang responden yang secara tidak langsung dapat menggambarkan tingkat pembelajaran yang telah dilalui oleh responden tersebut di Fakultas Kedokteran USU.

Pada penelitian ini peneliti hanya ingin melihat gambaran perilaku responden tentang penggunaan mata semasa melakukan aktivitas seharian yang terkait dengan sistem penglihatan, peneliti juga tidak membandingkan perilaku responden berdasarkan jenis kelamin. Maka jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang menjadi responden tidak di batasi.


(53)

5.1.2.1. Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia

No. Miopia atau Tidak miopia

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

1. Miopia 48 50,0

2. Tidak Miopia 48 50,0

Jumlah 96 100

Tabel 5.1 menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, jumlah responden yang miopia dan tidak miopia adalah sama. Dalam penelitian ini jumlah responden miopia dan tidak miopia di batasi.

5.1.2.2. Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia

Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

Miopia 19 46,3 29 52,7

Tidak Miopia 22 53,7 26 47,3


(54)

Hasil penelitian menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, didapati jumlah responden jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu seramai 55 orang responden (57,3 %) dibandingkan jumlah responden jenis kelamin laki-laki yaitu seramai 41 orang responden (42,7 %) .

Hasil penelitian menunjukkan juga dari 41 responden jenis kelamin laki-laki, responden yang tidak mengalami miopia lebih tinggi yaitu seramai 22 orang (53,7 %), manakala responden yang mengalami miopia seramai 19 orang (46,3 %).

Hail penelitian juga menunjukkan bahwa dari 55 responden jenis kelamin perempuan, responden yang mengalami miopia lebih tinggi yaitu seramai 29 orang (52,7 %), manakala responden yang tidak mengalami miopia seramai 26 orang (47,3 %).

5.1.2.3. Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun Angkatan Respoden

Tabel 5.3 Distribusi Responden Miopia dan Tidak Miopia Berdasarkan Tahun Angkatan Respoden

Miopia Tidak Miopia

Angkatan Frekuensi (orang)

Persentase (%)

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

2007 16 33,3 16 33,3

2008 16 33,3 16 33,3

2009 16 33,3 16 33,3


(55)

Tabel 5.3 menunjukkan daripada 96 orang yang menjadi responden, jumlah responden yang miopia dan tidak miopia dibagi setiap angkatan adalah sama. Dalam penelitian ini jumlah responden miopia dan tidak miopia bagi setiap angkatan adalah di batasi.

5.1.2.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Umur sampel yang paling muda adalah 18 tahun dan sampel yang tertua adalah 23 tahun. Jumlah responden yang paling banyak didapatkan pada kelompok umur 19-20 tahun yaitu seramai 49 orang (51,0 %) responden. Manakala untuk responden yang paling sedikit didapatkan pada kelompok umur <18 tahun yaitu 3 orang (3,1 %) responden. Dalam penelitian ini jumlah responden berdasarkan umur tidak di batasi.

No. Kelompok Umur Frekuensi

(orang)

Persentase (%)

1 < 18 tahun 3 3,1

2 19-20 tahun 49 51,0

3 21-22 tahun 35 36,5

4 > 23 tahun 9 9,4


(56)

5.1.2.5. Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Tingkat Keparahan Miopia

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Tingkat Keparahan Miopia

Dari tabel 5.5 didapatkan 3 kelompok responden berdasarkan tingkat keparahan miopia. Jumlah responden dengan miopia tingkat keparahan ringan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan jumlah responden dengan tingkat keparahan miopia yang lain, yaitu terdapat seramai 35 orang (72,9 %) responden. Manakala jumlah responden dengan miopia tingkat keparahan berat merupakan yang terendah dibandingkan dengan jumlah responden dengan tingkat keparahan miopia yang lain, yaitu hanya terdapat seramai 4 orang (8,3 %) responden. Penelitian ini dilakukan dengan tidak membatasi jumlah responden berdasarkan tingkat keparahan miopia yang dihadapi oleh seseorang responden tersebut.

No. Tingkat Keparahan Miopia Frekuensi (orang)

Persentase (%)

1

Ringan/ Rendah

(Antara 0 D dan -3 D) 35 72,9

2

Sederhana

(Antara -3 D dan -6 D) 9 18,8

3 Berat/ Tinggi

(-6 D dan Seterusnya) 4 8,3


(57)

5.1.2.6. Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Pertama Terjadinya Miopia

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Pertama Terjadinya Miopia

Dari tabel 5.6 diatas ini didapatkan 3 kelompok responden berdasarkan usia pertama kali responden mengalami miopia. Jumlah responden dengan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun adalah yang tertinggi dibanding dengan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia yang lain, yaitu terdapat seramai 45 orang (93,7 %) responden. Manakala jumlah responden dengan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia dibawah 5 tahun tidak dijumpai dalam penelitian ini.

No. Kejadian Pertama Terjadinya Miopia

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

1 Kurang dari usia 5 tahun 0 0,0

2 Antara usia 5-20 tahun 45 93,7

3 Diatas usia 20 tahun 3 6,3


(58)

5.1.2.7. Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Riwayat Terjadinya Peningkatan Keparahan Miopia

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Miopia Berdasarkan Kejadian Riwayat Terjadinya Peningkatan Keparahan Miopia

Dari tabel 5.7 diatas ini didapatkan 3 kelompok responden berdasarkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia. Jumlah responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia pada kelompok responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia secara perlahan adalah yang tertinggi dibanding dengan jumlah responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia pada kelompok responden yang lain, yaitu terdapat seramai 39 orang (81,2 %) responden. Manakala jumlah responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia pada kelompok responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia secara cepat dalam setahun adalah yang terendah dibanding dengan jumlah responden dengan riwayat terjadi peningkatan keparahan miopia pada kelompok responden yang lain, yaitu terdapat seramai 3 orang (6,3 %) responden.

No. Riwayat Terjadinya Peningkatan Keparahan Miopia

Frekuensi (orang)

Persentase (%)

1 Terjadi peningkatan keparahan

miopia secara perlahan 39 81,2

2 Terjadi peningkatan keparahan

miopia secara cepat dalam setahun 3 6,3

3 Tidak terjadi peningkatan

keparahan miopia 6 12,5


(59)

5.1.3. Hasil Analisa Data

Distribusi tingkat perilaku/ kebiasaan responden berdasarkan jumlah kebiasaan seharian yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 5.8 Distribusi Tingkat Perilaku/ Kebiasaan Responden Berdasarkan Jumlah Kebiasaan Seharian yang Dapat Mempengaruhi Terjadinya Miopia.

No. Jumlah kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia Frekuensi (orang) Persentase (%)

1 Rendah

(Skor: 0-3) - Non-Miopia - Miopia 44 24 20 45,8 54,5% 45,5%

2 Sederhana

(Skor: 4-6) - Non-Miopia - Miopia 47 22 25 49,0 46,8% 53,2%

3 Tinggi

(Skor: 7-9) - Non-Miopia - Miopia 5 2 3 5,2 40% 60%


(60)

Tabel 5.8 menunjukkan tingkat perilaku/ kebiasaan responden berdasarkan jumlah kebiasaan seharian yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia pada responden penelitian. Kelompok skor kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia pada tahap skor sederhana mencatatkan jumlah sampel teramai yaitu sebanyak 47 orang responden (49,0 %) diikuti kelompok skor kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia pada tahap skor rendah yaitu sebanyak 44 orang responden (45,8 %). Didapatkan 5 sampel (5,2 %) dari responden termasuk dalam kelompok skor kebiasaan yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia pada tahap skor tinggi. Dari tabel, didapati pola persentase pada responden non-miopia semakin berkurang apabila menuju dari kelompok skor rendah ke kelompok skor tinggi. Untuk responden miopia pula didapati pola persentase semakin meningkat apabila menuju dari kelompok skor rendah ke kelompok skor tinggi. Semakin tinggi skor berarti semakin tinggi jumlah kebiasaan yang dapat menyebabkan miopia yang dilakukan oleh responden pada setiap hari.

Tabel 5.9 Distribusi Responden yang Memiliki Perilaku Seharian yang Berisiko Miopia dan yang Tidak Mempunyai Perilaku Seharian yang Berisiko Miopia.

Miopia Non Miopia Jumlah Mempunyai Perilaku

Seharian yang Berisiko Miopia

46 45 91

Tidak Mempunyai Perilaku Seharian yang

Berisiko Miopia

2 3 5


(61)

Di dalam penelitian ini, telah ditetapkan dua hipotesis:

Ho = Tidak ada hubungan kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009

Ha = Ada hubungan kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009

Menguji hipotesis:

a. Uji statistik: Fisher Exact Test

Dalam penelitian ini tidak dipakai uji Chi Square (tipe independency) karena: 1. Terdapat >20% sel harapan yang mempunyai nilai frekuensi ekspektasi

kurang dari 5

Ho diterima dan Ha ditolak pada uji dua pihak (two tailed test) dan uji satu pihak (one tailed test) apabila nilai p (probabilitas) yang dihitung > nilai α yang telah ditentukan

b. Nilai α atau nilai kemaknaan dalam penelitian ini adalah 10% seperti yang telah ditetapkan sebelumnya

p hitung untuk uji two tailed test = 1,000

p hitung untuk uji one tailed test = 0,500

α = 0,100

Keputusan: Kedua hasil test ini mempunyai nilai p > α→ Ha ditolak

Kesimpulan: Tidak ada hubungan kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009


(62)

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan tahun 2007-2009 . Penelitian dilakukan secara deskriptif-retrospektif dan mendapatkan maklumat penderita secara langsung dari angket.

1. Didapatkan jumlah sampel perempuan lebih tinggi (57,3 %) berbanding laki-laki, ini disebabkan oleh terdapat sebanyak 22 angket yang tidak memenuhi kriteria. Di dalam 22 angket tersebut didapati sebanyak 19 daripada nya terdiri dari jenis kelamin laki-laki sehingga jumlah responden laki-laki dalam penelitian ini menjadi sedikit karena responden ini diganti dengan responden lain yang kebayakannya adalah perempuan.

2. Didapatkan bahwa kelompok umur responden yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah kelompok umur 19-20 tahun (51,0 %), diikuti oleh kelompok umur 21-22 tahun (36,5 %). Menurut pendapat peneliti, kondisi ini adalah wajar karena rata-rata umur mahasiswa yang masih belajar di kampus FK-USU adalah 19-22 tahun.

3. Didapatkan bahwa perempuan lebih banyak menderita miopia (60.4 %). Hasil ini sesuai dengan teori kedokteran. Perempuan lebih banyak menderita miopia karena perempuan relatif lebih banyak melakukan pekerjaan dekat selain dari membaca. Namun, menurut pendapat penulis perempuan lebih banyak menderita miopia dalam penelitian ini, boleh juga disebabkan responden perempuan lebih tinggi daripada responden laki-laki sehingga dapat mempengaruhi persentase yang diperoleh.

4. Didapatkan bahwa miopia yang paling sering terjadi adalah tipe miopia pada tahap keparahan ringan (72,9 %). Hasil ini sesuai dengan teori kedokteran yang mengatakan


(63)

bahwa miopia pada tahap ringan adalah yang paling sering dijumpai, dan diikuti dengan miopia peringkat keparahan menengah. Miopia pada peringkat keparahan berat sering terjadi pada orang yang mempunyai penyakit.

5. Didapatkan bahwa kejadian pertama seseorang itu mendapat miopia pada umur 5-20 tahun (93, 7%). Umur ini dipanggil umur persekolahan. Hasil ini juga sesuai dengan teori kedokteran yang menyatakan bahwa seseorang itu lebih sering menderita miopia apabila menginjak ke usia persekolahan karena pada usia ini, seseorang relatif akan lebih banyak menggunakan matanya untuk melakukan pekerjaan dekat seperti menulis, membaca, dan sebagainya berbanding pada usia sebelum usia persekolahan.

6. Didapatkan bahwa lebih ramai responden miopia mengalami peningkatan keparahan miopia secara perlahan yaitu sebanyak (81,2 %). Menurut teori kedokteran, miopia dapat terjadi peningkatan secara bertahap dari segi keparahan jika seseorang itu tidak menjaga kesehatan matanya, tidak menjaga kebutuhan gizi seharian, dan sering/ berterusan menyalami stress penglihatan. Stress penglihatan terjadi apabila seseorang itu tidak melakukan istirahat setelah 30-40 menit melakukan pekerjaan dekat, pencahayaan tempat melakukan kerja tidak memadai, atau terlalu banyak cahaya masuk ke dalam mata. Peningkatan keparahan miopia secara mendadak sering dikaitan dengan penyakit menurut teori kedokteran.

8. Dari analisa data didapati terdapat pola persentase yang semakin meningkat apabila menuju dari kelompok yang mempunyai skor kebiasaan yang berisiko miopia rendah ke kelompok yang mempunyai skor kebiasaan yang berisiko miopia tinggi pada responden miopia sedangkan pada responden non miopia didapati terdapat pola persentase yang semakin menurun apabila menuju dari kelompok yang mempunyai skor kebiasaan yang berisiko miopia rendah ke kelompok yang mempunyai skor


(64)

Meskipun terlihat adanya sedikit pengaruh kebiasaan seseorang terhadap kejadian miopia, namun setelah diuji dengan uji hipotesa didapati tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara faktor kebiasaan semasa melihat dengan miopia pada mahasiswa FK USU angkatan 2007-2009. Menurut pendapat peneliti, hasil ini wajar meskipun teori mengatakan kebiasaan dapat mempengaruhi terjadinya miopia karena selain dari faktor kebiasaan, terdapat faktor lain yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam kejadian miopia seperti faktor keturunan, ras, status gizi, kelainan anatomis mata, akibat lahir prematur, status sosial, penyakit dan penggunaan obat-obat tertentu, dan lain-lain.


(65)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan:

1. Responden miopia dikalangan mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan (52,7% dari keseluruhan responden perempuan) berbanding responden laki-laki (46,3 % dari keseluruhan

responden laki-laki).

2. Responden miopia dikalangan mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007-2009 mempunyai tingkat keparahan miopia ringan mempunyai persentase tertinggi yaitu 72,9 % (35 dari 48 responden miopia).

3. Dari responden miopia dikalangan mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007- 2009 didapatkan kejadian pertama terjadinya miopia pada usia antara 5-20 tahun mempunyai persentase tertinggi yaitu 93,7 %.

4. Dari responden miopia dikalangan mahasiswa FK USU tahun angkatan 2007- 2009 didapatkan riwayat terjadinya peningkatan keparahan miopia secara perlahan mempunyai persentase tertinggi yaitu 81,2 %.

5. Hasil penelitian diuji dengan menggunakan uji Fisher Exact Test dengan menggunakan nilai pembatasan (α = 0,1). Dari uji ini penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan antara kebiasaan yang dapat mempengaruhi miopia terhadap kejadian miopia.


(66)

6.2. Saran:

1. Bagi semua responden dan pembaca agar sentiasa menjaga kesehatan mata supaya dapat mengurangi risiko terjadi miopia atau mengurangi risiko terjadi peningkatan keparahan miopia dengan mencegah faktor-faktor risiko miopia dan faktor-faktor risiko yang dapat memperparah miopia.

2. Bagi semua instansi kesehatan dan institusi pendidikan agar lebih sering melakukan upaya promotif agar masyarakat terutama usia persekolahan dapat mengetahui kaidah menjaga kesehatan mata mereka supaya dapat mengurangi risiko terjadi miopia atau mengurangi risiko terjadi peningkatan keparahan miopia.

3. Bagi semua ibu bapa dan penjaga agar sentiasa menjaga kesehatan mata anak supaya dapat mengurangi risiko terjadi miopia atau mengurangi risiko terjadi peningkatan keparahan miopia dengan mencegah faktor-faktor risiko miopia dan faktor-faktor risiko yang dapat memperparah miopia.

4. Bagi semua peneliti yang lain agar dapat meneruskan penelitian ini dengan memperbanyak jumlah responden yang meliputi usia sebelum usia

persekolahan, usia persekolahan, usia 30 tahun ke atas, 45 tahun ke atas, dan usia 60 tahun ke atas. Peneliti lain juga dapat menambah variabel-variabel lain seperti faktor keturunan, ras, status gizi, kelainan anatomis mata, akibat lahir prematur, status sosial, penyakit dan penggunaan obat-obat tertentu, dan lain- lain.


(1)

(2)

(3)

Lampiran 12:

PERBANDINGAN NILAI SKOR RESPONDEN BERDASARKAN PERILAKU

YANG

BERISIKO MIOPIA DENGAN KEJADIAN MIOPIA

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kelompok Nilai Skor * Miopia 96 100.0% 0 .0% 96 100.0%

Kelompok Nilai Skor * Miopia Crosstabulation

Count

Miopia

Total

Tidak Ya

Kelompok Nilai Skor Menengah 21 25 46

Rendah 25 20 45

Tinggi 2 3 5


(4)

Lampiran 13:

PERBANDINGAN MIOPIA DAN ADA TIDAKNYA KEBIASAAN YANG

DAPAT MEMPENGARUHI TERJADINYA MIOPIA SERTA UJI HIPOTESIS

(FISHER’S EXACT TEST)

Frequencies

Statistics

Kebiasaan

N Valid 96

Missing 0

Kebiasaan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 5 5.2 5.2 5.2

Ya 91 94.8 94.8 100.0


(5)

(6)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Miopia * Kebiasaan 96 100.0% 0 .0% 96 100.0%

Miopia * Kebiasaan Crosstabulation

Count

Kebiasaan

Total

Tidak Ya

Miopia Tidak 3 45 48

Ya 2 46 48

Total 5 91 96

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .211a 1 .646

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .212 1 .645

Fisher's Exact Test 1.000 .500

N of Valid Cases 96

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.50. b. Computed only for a 2x2 table