Latar Belakang Masalah Kritik sastra feminis dalam novel Imra'ah 'inda nuqthah al-shifr karya nawal al-saadawi

17

BAB I PENDAHULUAN

8. Latar Belakang Masalah

Perempuan, di berbagai belahan dunia mana pun, ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksplorasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang, walaupun cantik tidak diakui eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, di antara para filosof pun ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki. Aristoteles 1 menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu. St. Thomas Aquinas 2 juga mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna. 3 Diskursus mengenai ketimpangan jender di kalangan masyarakat –sejak kebangkitannya pada sekitar tahun 1920-an- masih merupakan isu hangat yang tak pernah reda hingga saat ini. Apabila kita melihat kembali masa lalu kaum perempuan yang teramat kelam, kita akan memperoleh gambaran bahwa eksistensi perempuan sebagai manusia di berbagai belahan dunia manapun -baik di Timur maupun di Barat- seolah menjadi penghambat kelancaran aktivitas dunia, sehingga seringkali perempuan mengalami penindasan, kekerasan, penyiksaan bahkan pemusnahan species nya secara terang-terangan. Dan ironisnya, hal tersebut seringkali menjadi sesuatu yang sangat membanggakan bagi kaum laki-laki. 1 Raman Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Rachmat Djoko Pradopo, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 135. 2 Raman Selden, Panduan Pembaca …, hal. 135. 3 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet. Ke-1, hal. 32. 18 Penindasan-penindasan tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang, jauh sebelum kedatangan Islam. Saat itu, kaum perempuan pada berbagai peradaban dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjual belikan sebagaimana hewan ternak. Di Roma, hanya kaum laki-laki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa awal Negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya –pada masa-masa tersebut- menjadi miliknya pribadi. Apabila istrinya dituduh melakukan suatu tindak kejahatan, ia sendiri yang berhak menghakiminya. Ia berhak menjatuhkan hukuman bagi istrinya mulai dari mengutuk sampai menghukum mati bagi tindak perselingkuhan atau tindak pencurian yang dilakukan istrinya. Terhadap anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menghidupinya, atau membunuhnya, atau menjualnya sebagai budak. Proses kelahiran menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya. 4 Orang-orang Yunani memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga kasta yang paling bawah dari masyarakat. Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok masyarakat elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Mereka juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain. Orang Yunani pada umumnya menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak berarti, yang tidak dikasihi oleh para dewa. 5 Hal ini terlihat dari ungkapan kaisar Hippolytus terhadap kaum perempuan pada tragedi Euripides 6 yang terjadi pada tahun 428 SM. 7 4 Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme dan Islam. Judul Asli: Islam The Choice of Thinking Woman , penerjemah: Abu Faiz, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005, Cet. I, hal. 2. 5 http:historylink102.comgreece3women.htm 6 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 2-3. 7 http:en.wikipedia.orgwikiHippolytus_play 19 Kaum Yahudi menempatkan perempuan dalam kedudukan sebagai pelayan. Bahkan ayahnya berhak menjualnya tanpa perempuan itu mempunyai pilihan. Dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa perempuan tidak akan mewarisi selama masih ada pria dalam keluarga. Jika suaminya meninggal, maka ia akan diwariskan kepada wali suami yang terdekat. Kaum Yahudi dan Nasrani menganggap perempuan sebagai pangkal kejahatan dan sumber kesalahan dan dosa. Perempuan Hawalah yang menyebabkan laknat abadi ditimpakan kepada Adam dan seluruh keturunannya. Perempuan Hawa dipandang lebih rendah dari pada laki-laki Adam dalam hal fisik, moral, intelektual dan spiritual. 8 Sikap merendahkan kemampuan intelektual perempuan ini diperjelas lagi dengan dibangunnya ruang-ruang khusus untuk perempuan di Baitul Maqdis Ke-2 yang dibangun oleh raja Herodes, yang terpisah dari ruang untuk para lelaki. 9 Karena kesalahan dan kelemahannya itulah perempuan kemudian dihukum dengan kesakitan pada waktu melahirkan dan dikuasai laki-laki. Selama masa menstruasi, perempuan dianggap makhluk najis. Dalam ajaran dan peraturan untuk ibadah tampak bahwa perempuan tidak diberi hak bicara dalam pertemuan jemaat. Hierarki dikuasai oleh laki-laki, perempuan dilibatkan dalam pelayanan, tetapi hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 10 Selain itu, keunggulan anak laki-laki lebih jauh ditunjukkan dalam berbagai tradisi. Pada saat kelahirannya, orang tua menyelenggarakan sebuah acara yang disebut Kiddush , sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath, yang tidak diadakan pada saat kelahiran anak perempuan. Dalam bidang pendidikan, anak perempuan tidak diberi kesempatan karena dianggap tidak layak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari pada pengetahuan seputar kewajiban-kewajiban yang ditetapkan baginya dalam kitab suci. Saat seorang anak laki-laki menghadapi masa puber, orang tua mengadakan sebuah ritual bertajuk her mitzvah anak laki-laki wahyu Tuhan untuk merayakan datangnya masa dewasa, suatu hal yang tidak 8 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. I, hal. 24. 9 http:www.angelfire.comid2yakosArtikelPerempuanyudaisme.htm 10 Siti Muslikhati, Feminisme dan …, hal. 24. 20 dilakukan terhadap anak perempuan. Demikian juga, setelah dewasanya, seorang laki-laki diperhitungkan dalam suatu kuorum minyan, suatu hal yang juga tidak diberikan kepada seorang perempuan dewasa. Pada tahun 1973 11 the Committee on Jewish Law and Standards CJLS -Komite Hukum dan Standar Yahudi- memberi izin kepada kaum perempuan agar di perhitungkan dalam minyan. Hal tersebut ditentang oleh gerakan konservatif. Dan baru pada tahun 2002 CJLS menanggapi perlawanan dari gerakan konservatif ini dengan memberikan alasan yang logis tentang keputusan mereka. Dalam hal perceraian, perempuan tidak diberi hak sama sekali untuk menuntut, 12 sekalipun suaminya menghilang tanpa jejak. Tetapi laki-laki bebas menceraikan istrinya kapan saja sekehendak hatinya. 13 Demikian juga dalam tradisi agama, kepercayaan dan peradaban lainnya. Dalam agama Hindu di Hindustan, perempuan harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya. Suaminya bagaikan dewa, yang segala perintah dan keinginannya harus diikuti, sekalipun itu bertentangan dengan ajaran agama. Seorang istri akan lebih terpuji jika ia terlebih dahulu meninggal dari pada suaminya. Jika tidak demikian, maka pada saat suaminya meninggal, ia harus juga mengikuti jejaknya dengan membakar dirinya hidup-hidup. Dalam tradisi agama Nasrani juga demikian, selain kewajiban menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami, keberadaan kaum perempuan yang dianggap tidak berharga itu sudah tertanam sejak mereka dilahirkan. Perempuan digambarkan sebagai penggoda nafsu laki-laki dan oleh sebab itu selalu dikaitkan dengan seksualitas, dan dipandang sebagai makhluk yang lemah, rusak, keturunan Hawa yang jahat yang harus dijauhi dan dihindari. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekadar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir, mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki 11 http:en.wikipedia.orgwikiMinyan 12 http:www.angelfire.comca3ancientchix 13 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 3-4. 21 ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa Alaihissalam. 14 Dalam peradaban masyarakat Arab sebelum Islam, kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan bukanlah suatu hal yang mengherankan. 15 Seorang laki- laki berhak mengawini perempuan sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai budaknya yang bisa diwariskan jika suaminya telah meninggal. Para istri tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengeluarkan pendapat, mereka harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dan jika tidak dapat memiliki keturunan, seringkali hukuman mati adalah sebagai akhir hidupnya. Diskriminasi species laki-laki dan perempuan ini –seperti telah disampaikan sebelumnya- terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk juga pada bangsa Eropa. 16 Maka dari pengalaman-pengalaman pelecehan dan penindasan hak asasi inilah, kaum perempuan pada masa selanjutnya melakukan pemberontakan dengan membentuk gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia, serta menuntut kesetaraan jender. Gerakan ini mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari keterpurukannya dan meyakinkan mereka bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gerakan inilah yang pada akhirnya dikenal sebagai Gerakan Feminisme. Dengan munculnya Gerakan Feminisme dan Kaum Feminis, bukan berarti dunia kelam yang dialami kaum perempuan telah berakhir. Akan tetapi penindasan dan pelecehan hak asasi mereka itu masih terus berlanjut hingga saat ini, meski dengan wujud yang berbeda dari masa lalu. Jika pada masa itu bayi perempuan dikubur hidup-hidup, maka sebenarnya pada saat ini hal tersebut masih terus terjadi melalui praktek aborsi yang semakin marak dilakukan di masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa semakin hari praktek aborsi semakin banyak dilakukan. Selama 28 tahun terakhir ini, jumlah tindakan aborsi tersebut bahkan telah mencapai angka 14 http:www.wahdah.or.idwisindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=1878 15 http:www.wahdah.or.idwisindex2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=1878 16 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 5-15 dan Siti Muslikhati, Feminisme dan.........., hal. 22-25. 22 lebih dari 1 milyar. 17 Jika dulu kaum laki-laki pergi ke pasar untuk membeli perempuan-perempuan yang bisa memenuhi syahwatnya, maka saat ini, tak bedanya mereka juga berpetualang ke berbagai tempat prostitusi, atau bahkan melakukan tindak pemerkosaan dan pelecehan seksual. Jika dulu para suami berhak membunuh istrinya kapan saja jika mereka melakukan kesalahan ataupun tidak dapat memuaskan nafsunya, maka pada saat ini seringkali perempuan didorong untuk mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol hingga akal mereka rusak bahkan mengakibatkan kematian. Ataupun berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga, keterbatasan gerak dalam ruang publik, kebebasan berbicara dan berpendapat yang masih terabaikan, dan seterusnya. Selain di dunia empiris, diskriminasi perempuan juga dapat terjadi di dunia literer. Dalam hal ini, karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media tumbuhnya subordinasi perempuan. Dunia sastra dikuasai oleh laki-laki. Artinya, karya sastra seolah-olah hanya ditujukan untuk pembaca laki-laki. Kalau pun ada pembaca perempuan, ia dipaksa untuk membaca sebagai seorang laki-laki. 18 Bentuknya dapat berupa pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, kawin paksa, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dalam novel-novel merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif tentang perempuan, atau paling tidak karena pendefinisian perempuan dengan menggunakan standar laki-laki atau kualitas-kualitas yang dimiliki laki-laki. Hal ini berhubungan dengan konsep gender bias biasprasangka jender, yaitu anggapan yang salah kaprah tentang jender dan jenis kelamin. Jender adalah penyifatan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosio-kultural. Namun, karena adanya anggapan yang salah kaprah, jender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat dirubah. 19 Keadaan inilah yang kemudian membuat perempuan-perempuan “pemberani” masih terus berjuang mempertahankan hak-haknya. Di antara mereka adalah para 17 Lihat: Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminisme ……, hal. 19-22. 18 Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., mengutip pendapat Selden 1991: 140, hal. 32. 19 Lihat: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis ……., hal. 32-33. 23 sastrawan dan penulis, yang memperjuangkan pemikiran-pemikirannya melalui karya sastra dan tulisan. Betapa tidak, karya sastra merupakan refleksi dari keadaan masyarakat, kehidupan sosial, dan budaya manusia setempat. Eksistensinya sebagai sebuah karya imajinasi penulis tak jarang lebih berhasil dalam menghadirkan dan menghidupkan tokoh-tokoh serta melukiskan keadaan masyarakat itu sesungguhnya. Dan tak jarang pula, ide-ide serta gagasan-gagasan feminisme lebih banyak berhasil mencapai tujuannya dengan sebuah karya sastra. Keterlibatan penulis-penulis perempuan feminis berawal pada awal abad ke- 19, di mana ada tanda-tanda terang untuk pendekatan baru dan berbeda dalam hubungan penulis perempuan dengan karya sastra, yang menyebabkan lahirnya Kritik Feminis . 20 Kritik Feminis ini merupakan satu perkembangan dan gerakan dalam kritik teori dan pengkajian yang melaju pada akhir tahun 1960-an, di mana suatu survey di Amerika mengungkapkan bahwa kanon sastra di negri itu, dengan hanya beberapa perkecualian, merupakan tulisan kaum laki-laki. Elaine Showalter, pengkritik sastra feminis terkemuka, menyatakan bahwa sejumlah besar bentuk sastra dalam sejarah sastra Amerika selama berkurun-kurun waktu dan berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu pun penulis perempuan. Oleh sebab itu kegiatan awal para pengkritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji dan menilai karya penulis perempuan dari masa-masa silam. 21 Kritik Feminis adalah suatu kritik sastra yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan serta menafsirkan kembali pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra, terutama dalam novel, dan agak jarang dalam drama atau puisi. 22 Para pengkritik sastra feminis menginginkan suatu kedudukan dan pengakuan bagi penulis perempuan, karena biasanya penulis laki-laki saja yang mendapatkan kedudukan dan pengakuan dari pengkritik sastra. 23 Kritik Feminis mempermasalahkan ‘ideologi’ yang berkepanjangan yang didominasi dan 20 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, Cet. I, hal. 83. 21 Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar¸ Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 18. 22 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 83. 23 Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis…, hal. 18. 24 berpusat pada jenis kelamin laki-laki, ditambah dengan persekongkolan laki-laki dengan sikap patriarkalnya serta penafsiran laki-laki dalam sastra dan kritik sastra. Kritik Feminis menyerang catatan-catatan kaum laki-laki tentang nilai dalam sastra dengan cara menawarkan kritik terhadap pengarang laki-laki dan peran laki-laki dalam karya sastra, selain itu mengutamakan pengarang perempuan. Di samping itu, Kritik Feminis menantang dan menentang gagasan dan pandangan tradisional dan mapan kaum laki-laki terhadap sifat dasar kaum perempuan dan bagaimana kaum perempuan merasa, berpikir dan bertindak serta bagaimana kaum perempuan pada umumnya menanggapi kehidupan dan hidup ini. Dengan demikian, Kritik Feminis ini mempermasalahkan prasangka dan praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki, dan sedikit pun tidak membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan. 24 Salah satu tokoh perempuan yang “berani” mengungkapkan pemikiran- pemikirannya melalui tulisan dalam rangka memperjuangkan hak-hak kaum perempuan adalah Nawal al-Saadawi, seorang novelis Mesir yang juga seorang dokter. Kondisi sosio-kultural dan sosio-politik Mesir yang masih mendiskriminasi perempuan membawa Nawal untuk melakukan protes yang disampaikan dalam berbagai karyanya. Sebagai konsekuensinya, tak sedikit karya-karya Nawal yang dicekal oleh pemerintah karena para ulama menganggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Banyak dari karyanya yang dilarang untuk diterbitkan dan diedarkan kembali di Mesir, bahkan juga di beberapa negara Arab lainnya. Keberanian Nawal ini pun telah membuatnya diberhentikan oleh Menteri Kesehatan dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Bahkan pada tahun 1981 Nawal pun pernah dipenjara dengan tuduhan “perbuatan kriminal terhadap negara”. 25 24 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian…, hal. 83. 25 Lihat: http:www.annida-online.com; Books and Writers; Nawal el Saadawi, http:www.kirjasto.sci.fisadawi.htm; http:www.gatra.comartikel.php?id=50268; http:guntur. namecategorywawancara; http:www.arabworldbooks.comauthorsnawal_elsaadawi.html; dan http:www.webster.edu~woolflmsaadawi.html 25 Novel “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” atau “Perempuan di Titik Nol” adalah salah satu karya Nawal al-Saadawi yang dibuatnya berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus, yang dijumpainya di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika Nawal sedang melakukan penelitian terhadap gejala-gejala neurosis di kalangan narapidana wanita Mesir. Novel ini menceritakan berbagai kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami Firdaus sejak masa kecilnya. Dan secara keseluruhan, novel ini menceritakan pengalaman hidup seorang perempuan di tengah budaya patriarki dengan penderitaan sepanjang hidupnya hingga harus berakhir secara tragis di tiang gantungan. 26 Sebagai karya sastra seorang feminis, maka novel ini merupakan sebuah kritikan sosial yang keras dan pedas, hingga tak mengherankan jika banyak kalangan yang angkat bicara mengomentari novel ini. 27 Sebagai sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, maka novel ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang terstruktur dalam hal ini unsur-unsur intrinsik, sehingga membentuk sebuah totalitas dan kemenyeluruhan yang bersifat estetik. Salah satu unsur intrinsik yang paling menonjol untuk menciptakan estetika dalam sebuah novel adalah gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Akan tetapi, mengingat eksistensi pengarang sebagai pejuang kebebasan dan hak-hak perempuan, serta pesan-pesan utama yang disampaikannya dalam novel IINS ini adalah tentang nilai-nilai feminisme, maka penulis berkeinginan meneliti lebih jauh kebenaran hal itu. Bagaimana sang pengarang mengatur penggunaan gaya bahasa dalam novel ini, serta sejauh mana gaya bahasa yang digunakannya tersebut 26 Baca: Nawal al-Saadawi, Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr, Beirut: Dâr al-Adab, 1989, Cet. Ke-5; Perempuan di Titik Nol, diterjemahkan oleh Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, Cet. Ke-8; dan Women at Point Zero, trans. By Sherif Hetata, London: Zed Books Ltd., 1983 dan dicetak ulang pada tahun 2007. 27 Lihat pernyataan yang disampaikan Mochtar Lubis dalam kata pengantar Perempuan di Titik Nol 2004; lihat pula: http:www.wmich.edudialoguestextswomanatpointzero.html ; http:www.academon.comAnalytical-Essay-Women-at-Point-Zero60566; http:www.goodreads.com bookshow159604.Woman_At_Point_Zero 26 dapat membuat novel ini memiliki nilai estetika yang tinggi al-fann al-kâmil, terutama dari kaca mata para penggemar kesusasteraan Arab? Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

9. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah