Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

15

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian perilaku prososial, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP merupakan perangkat daerah yang bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Tugas tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 148 yang berbunyi ”Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja, Ayat 1 untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satpol PP, Ayat 2 Pembentukan dan susunan organisasi Satpol PP sebagaimana dimaksud ayat 1 berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Tugas-tugas Satpol PP pun terus dikembangkan, sehingga diharapkan mampu tercapai tujuan dalam pelaksanaan tugas di dalam masyarakat. Seperti yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, disebutkan dalam Pasal 6 tentang kewenangan Satpol PP adalah melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan 16 peraturan kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas diatur pada Pasal 5, Satpol PP mempunyai fungsi: penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat; pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah; pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, atau aparatur lainnya; pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. Tetapi untuk melakukannya, anggota Satpol PP diwajibkan pula untuk menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia, dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Kesuksesan pelaksanaan tugas Satpol PP sangat dipengaruhi oleh peran anggotanya. Oleh karena itu, masing-masing anggota harus mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapi dengan baik, benar, dan tepat. Anggota Satpol PP harus mampu menghadapi tekanan-tekanan yang ada dalam dirinya dan menyikapi konflik yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Namun, media massa maupun elektronik memberitakan fenomena perilaku Satpol PP yang negatif dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga saat ini Satpol PP memiliki citra negatif di masyarakat. Hal ini terlihat dalam sebuah situs 17 di internet jejaring pertemanan facebook yang membuat ”Gerakan Sejuta Facebooker Bubarkan Satpol PP” dengan jumlah link 125 Wijaya, 2010. Hal yang sama juga datang dari sejumlah massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Pemuda Indonesia berunjuk rasa menolak kekerasan oknum Satpol PP di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat, 16 April 2010. Mereka menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2004 tentang Satpol PP yang dinilai telah menjadi penyebab perilaku anarkis pada peristiwa kerusuhan di Koja, Jakarta Utara serta pemecatan Hariyanto Bajuri salah satu anggota dari Satpol PP Prambuda, 2010. Ratusan warga miskin yang terdiri dari pedagang kaki lima, pengamen, pemulung, sopir bajaj dan waria bergabung dengan ”Persatuan Rakyat Miskin” dalam protes yang dilakukan beberapa waktu lalu untuk mendesak pembubaran Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP Dwi, 2010. Sebanyak 23 LSM ANBTI, ARMP, Arus Pelangi, Bingkai Merah, Hammurabi, IKOHI Jabodetabek, Imparsial, Infid, JCSC, JRMK, Kasum, KM Raya, Kontras, KPI, KSMT, LBH Apik, LBH Jakarta, PRP Jakarta, Sebaja, Sebumi, Senja, SRMI, UPCI yang tergabung dalam Komite Pembubaran Satpol PP menuntut bubarkan Satpol PP yang dinilainya kerap melakukan kasus tindak kekerasan saat menggelar proses penggusuran rakyat miskin. Kasus terakhir yang menjadi acuan desakan itu adalah bentrokan antara Satpol PP dan warga di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara beberapa waktu yang lalu Rahmat, 2010. Pemberitaan tentang perilaku aparat keamanan daerah ini masih menjadi berita hangat. Baru-baru ini dikejutkan dengan berita dari dua anggota Satuan 18 Polisi Pamong Praja Satpol PP DKI Jakarta PAM Monas, melakukan pencabulan dan pemerasan terhadap pasangan muda-mudi di Monas yang berakibat pada pemecatan pada kedua anggota Satpol PP tersebut. Sebelumnya juga, pemberitaan Satpol PP mengenai tragedi ”Mbah Priuk” yang mengakibatkan banyaknya korban luka-luka dan yang meninggal dunia dari kalangan sipil. Dari kasus mbah priuk ini juga menewaskan beberapa personil Satpol PP, puluhan lainnya mengalami luka-luka dan membuat cidera pada sisi psikologisnya. Bahkan dari kejadian bentrokan Satpol PP dengan warga sekitar makam mbah priuk ditaksir kerugian dari pihak Satpol PP sendiri mencapai Rp. 22. 955.074.000 Yadisetia, 2010. Apalagi dengan adanya berita tentang Satpol PP yang akan dipersenjatai, hal ini mengundang kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat yang menyetujui beralasan untuk menunjang keberhasilan jalannya tugas Satpol PP. Akan tetapi, masyarakat yang tidak menyetujui dengan alasan bahwa yang dihadapi Satpol PP adalah rakyat-rakyat miskin, bukan musuh dan masyarakat juga khawatir bila Satpol PP dibekali senjata akan bertindak lebih semena-mena dan lebih arogan. Masalah yang melarbelakangi kasus-kasus itulah yang menjadi sorotan publik saat-saat ini. Seharusnya sebagai penegak keamanan dan ketertiban masyarakat memberikan contoh yang baik, tetapi mengapa dengan mudahnya melakukan hal- hal yang membuat masyarakat seakan-akan menjadi musuh dengannya. Dari contoh-contoh perilaku Satpol PP tersebut, ternyata masih ada anggota yang menunjukkan perilaku antisosial, yang diwarnai dengan tindakan agresifitas dan arogansi. 19 Dalam pengabdiannya terhadap masyarakat seorang anggota Satpol PP seharusnya memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat. Apabila dilihat dari tugasnya yang harus menjaga ketentraman dan ketertiban daerah, pekerjaan tersebut sangat mulia dimana secara tidak langsung Satpol PP menjadi sosok yang harus dapat memberikan suri tauladan bagi masyarakat setempat. Dengan adanya berita-berita perilaku negatif maka yang menjadi pertanyaan adalah dimana perilaku prososial Satpol PP? Perilaku prososial merupakan perilaku yang menguntungkan orang lain atau memiliki konsekuensi sosial yang positif. Perilaku prososial juga sudah ada di Al Qur’an, Allah berfirman:” Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa”QS: 5;2. Ayat lainnya juga, Allah berfirman ”Perumpamaan harta yang dikeluarkan di jalan Allah, serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bilir, pada setiap bulir seratus biji”QS: 2; 261. Dalam hadis Rasulullah bersabda bahwa: “Hamba yang paling dicintai Allah adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain dan amal yang paling baik adalah memasukkan rasa bahagia kepada mukmin, menutupi rasa lapar membebaskan kesulitan atau membayarkan utang.” HR Muslim. Dalam hadis lain “Sesungguhnya Allah senantiasa menolong hambanya selama hambanya menolong orang lain” HR Muslim. Perilaku prososial merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat karena manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dalam kaitannya dengan perilaku prososial ini banyak sekali penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti 20 mengenai perilaku prososial. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Dahriani 2007 tentang perilaku prososial terhadap pengguna jalan dengan sample polisi lalu lintas. Hasil penelitiannya adalah perilaku prososial memerlukan proses evaluasi, berupa pertimbangan-pertimbangan tertentu, sampai pada faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial subjek. Perilaku prososial merupakan sebuah tindakan yang secara lahiriah ada di dalam diri manusia. Hal ini karena manusia adalah mahluk sosial yang harus bersosialisasi dengan sesama dan tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain dalam arti saling membantu, menolong, melengkapi dan saling menyanyangi. Akan tetapi perilaku menolong seseorang dipengaruhi juga faktor eksternal dan faktor internal. Dimana faktor internal bisa dari pengalaman sosial individu tersebut dan kepribadian yang dimiliki orang tersebut. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan mengenai perilaku prososial pada paragraf sebelumnya, maka perilaku prososial sangat penting dimiliki oleh seorang anggota Satpol PP dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Akan lebih bagus jika anggota Satpol PP memiliki kecenderungan perilaku prososial yang tinggi karena berkaitan dengan tugasnya yang menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Akan tetapi, kejadian perilaku prososial masih sangat minim pemberitaannya di media cetak maupun elektronik bahkan banyak masyarakat yang memberikan kritikan tajam dan mengeluh atas tindakan yang dilakukan oleh anggota Satpol PP. Hal ini seakan-akan menjadi sebuah peringatan agar segera melakukan pembenahan-pembenahan managemen personilnya. 21 Walaupun banyak kritikan yang disampaikan oleh masyarakat mengenai perilaku negatif yang dilakukan anggota Satpol PP. Hal itu memunculkan gerakan-gerakan yang menginginkan Satpol PP dibubarkan Seperti disalah satu situs jejaring sosial facebook yang mengatasnamakan ”Gerakan Sejuta Facebooker Bubarkan Satpol PP”, namun ada juga pemberitan-pemberitaan yang positif tentang Satpol PP. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi personil seperti faktor kepribadian masing-masing anggota yang dapat mempengaruhi perilaku prososial. Seperti yang dikemukakan oleh Kartono dalam Jannah, 2008 kepribadian merupakan keseluruhan individu yang terorganisir dan terdiri atas disposisi-disposisi fisik serta psikis yang memberi kemungkinan untuk membedakan ciri-ciri yang umum dengan pribadi lainnya. Perilaku prososial dipengaruhi oleh beberapa aspek dalam diri individu baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal individu yang mempengaruhi perilaku prososial seseorang diantaranya adalah tipe kepribadian seseorang Staub, dikutib dari Jannah, 2008. Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial Wrightmans, 1977. Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Rahmani 2009 dengan judul tipe kepribadian lima faktor dengan perilaku prososial perawat, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian dengan perilaku prososial. Smith 2003 menyatakan bahwa kepribadian anda memiliki pengaruh pada cara anda berpikir, merasa dan berhubungan dengan orang lain. 22 David O. Sears 1994 menyatakan faktor situasional dapat meningkatkan atau menurunkan kecenderungan orang untuk melakukan tindakan prososial. Namun, apa yang juga diperlihatkan oleh Sears tentang penelitian lain bahwa beberapa orang tetap memberikan bantuan meskipun kekuatan situasional menghambat pemberian bantuan, dan yang lain tidak memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. Ada perbedaan individual dalam usaha memahami mengapa ada orang yang lebih mudah menolong dibandingkan orang lain, para peneliti menyelidiki karakteristik kepribadian yang relatif menetap maupun suasana hati dan psikologis yang lebih mudah berubah. Adapun penelitian sebelumnya tentang kepribadian dengan perilaku prososial yang dilakukan yang berjudul ”Perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari Tipe Kepribadian pada Anggota Palang Merah Remaja” menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian ekstravert memiliki kecenderungan intensi prososial yang lebih tinggi Susanto dalam Jannah, 2008. Hal ini menunjukkan bahwa kepribadian merupakan aspek psikologi yang penting dalam menentukan perilaku individu. Banyak sekali para psikolog menggunakan tes-tes kepribadian untuk memperoleh gambaran yang representatif tentang kepribadian individu. Salah satunya menggunakan kepribadian big five faktor atau five factor model untuk memperoleh gambaran individu. Kepribadian Big Five sendiri merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Menurut Five Factor Model FFM ini trait kepribadian digambarkan dalam 23 bentuk lima dimensi dasar McCrae Costa.Jr dalam Pervin, 2005. Kelima dimensi dasar tersebut adalah Openness to Experience, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism. Berbagai penelitian tentang big five personality sudah banyak dilakukan salah satunya adalah mahasiswa pascasarjana UGM yang meneliti tentang evaluasi faktor dalam big five: pendekatan analisis faktor konfirmatori studi ini bertujuan untuk melihat konsistensi lima faktor big five di Indonesia. Instrumen yang digunakan adalah Five Factor Personality Inventory. Melalui analisis faktor konfirmatori, ditemukan bahwa kelima faktor yang dikonfirmasi konsisten dengan faktor di dalam big five Widhiarso, 2004. Endah Mastuti 2005 meneliti tentang analisis faktor alat ukur kepribadian big five adaptasi dari IPIP pada mahasiswa suku Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa validitas konstrak alat ukur kepribadian big five yang diambil dari International Personality Item Pools IPIP, tidak terbukti. Hal ini karena data yang didapatkan tidak sesuai dengan teori kepribadian big five yang diteorikan. Pada penelitian ini dengan analisis faktor menunjukkan bahwa trait kepribadian terdiri dari enam faktor yaitu Opennes to Experience, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism, dan morality. Penelitian-penelitian mengenai big five personality ini banyak dilakukan di negara barat maupun timur oleh beberapa ahli dengan menggunakan tes tersebut kedalam berbagai bahasa untuk subjek pengguna bahasa tersebut. Dari penelitian- penelitian itu terbukti big five faktor merupakan satu-satunya dimensi kepribadian yang dapat direplikasi secara reliabel melalui budaya, bahasa, format penelitian 24 dan berbagai metode analisis faktor. Big five dapat digunakan lagi dengan beragam bahasa, tidak hanya dalam bahasa Inggris namun juga di seluruh ragam bahasa Costa MeCrae, 1997; DeRaad, Perugini, Hrebickova, Szarota, 1998; McCrae et al., 1998 dikutib dalam Smith, 2003. Hasil analisis dari perbedaan- perbedaan individu dalam sifat yang ditulis dalam berbagai bahasa terwakili dalam big five factor ini O Sterdorf dan Angleitner dalam Caprara, 2000. Selain tipe kepribadian big five, peneliti juga menghubungkan dengan kecerdasan emosi seperti yang dikutib dari Baron, Byrne, Branscombe dalam Sarwono, 2009 bahwa emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku menolong dan pada emosi negatif memungkinkan menolong yang lebih kecil. Kecerdasan Emosi atau Emotional Quostiont EQ adalah akumulasi kecenderungan individu yang bersifat bawaaan dengan faktor lingkungannya. Dampak yang terjadi jika pengelolaan EQ kurang salah satunya adalah tindakan anarkisme. Dewasa ini telah terjadi banyak kasus karena kurangnya kemampuan kesadaran dan pengetahuan untuk mengelola kecerdasan emosi, misalnya kasus pemukulan seorang perdana mentri disuatu negara, atau meninggalnya seorang pejabat daerah saat menghadapi massa yang sedang berdemonstrasi, atau banyaknya tayangan reality show yang justru memberikan tontonan berbagai kekerasan fisik. Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh big five dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial dan membuktikan apakah benar 25 bahwa faktor-faktor yang ada dalam kepribadian big five dan kecerdasan emosi memiliki pengaruh terhadap perilaku prososial Satpol PP. Dari fenomena-fenomena yang telah dikemukakan dan penelitian- penelitan sebelumnya yang telah diselenggarakan, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti topik tersebut. Dengan demikian penelitian ini berjudul “Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Kecerdasan Emosi terhadap Perilaku Prososial Satuan Polisi Pamong Praja ”.

1.2 Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah