Pengaruh tipe kepribadian big five dan self-control terhadap agresivitas satuan polisi Pamong Praja Kota Tangerang
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA
TANGERANG
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh:
Al-
ahmatillah
NIM: 106070002189
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
iv
“Allah SWT Mengikuti Prasangka Hambanya”
“Kehidupan ini ibarat jalan satu arah, seberapa bannyakpun perubahan rute yang anda tempuh, tidak satupun membawa anda kembali. Begitu anda mengetahui dan menerima hal itu, kehidupan akan tampak jauh lebih sederhana.”
(Isabel Moore)
“Jika semua yang kita inginkan harus kita miliki, lantas darimana kita bisa belajar ikhlas? Jika semua yang kita mau harus terpenuhi, lantas darimana kita bisa belajar sabar? Jika doa kita langsung dikabulkan, bagaimana kita memaksimalkan kemampuan yang diberikan pada kita? Jika kehidupan kita selalu bahagia, darimana kita dapat mengenal Allah dekat? Yakinlah bahwa segala kektentuan-Nya adalah yang TERBAIK untuk kita..”
PERSEMBAHAN: Skripsi ini aku persembahkan untuk Ayah, Ibu, Kekasih dan Sahabatku.
(6)
v
(C).Al-Jum’atu Rahmatillah
(D).Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self-Control Terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang
(E).110 hal, 38 tabel, 10 gambar, lampiran
(F).Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis. Perilaku tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP, karena tugas utama Satpol PP yaitu melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun mengapa agresivitas masih sering terjadi. Faktor yang mungkin menjadi penyebabnya adalah kepribadian masing-masing individu. Dimana individu yang memiliki kepribadian agresif akan lebih mudah memunculkannya dalam banyak situasi dibanding individu yang memiliki sifat agresif yang rendah. Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yaitu neuoriticism, extraversion,
openness to experiences, agreeableness, conscientiousneess. Selain itu, self control juga
dapat mempengaruhi agresivitas seseorang. Self-control adalah kemampuan dalam mengatur tingkah laku, mengatur kognisi, dan membuat keputusan. Jika self control
tinggi, maka kemungkinan individu itu mampu dalam mengendalikan emosi dan mampu menciptakan pola tingkah laku yang positif bagi lingkungannya juga dirinya, dan sebaliknya. Faktor usia, etnis juga dapat mempengaruhi munculnya agresivitas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh trait big five, dimensi self
control, usia, etnis terhadap agresivitas satpol pp Kota Tangerang.
Penelitian kuantitatif ini melibatkan 168 anggota satpol pp yang bertugas di Kota Tangerang. Instrument pengumpulan data dengan menggunakan skala Likert. Alat ukur agresivitas diadaptasi dari skala agresivitas oleh Buss dan Perry (1992), alat ukur big five didapat dengan menggunakan skala baku Costa & McCrae (1997), alat ukur self control
dikembangkan berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Averill (1973). Analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik Multiple Regression Analysis. Secara umum tipe kepribadian big five, self control memiliki pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas satpol pp Kota Tangerang. Berdasarkan koefisien regresi menunjukkan ada enam variabel yang signifikan berpengaruh terhadap agresivitas yaitu
neuroticism, agreeableness, conscientiousneess, cognitif control, decisional control, dan
etnis. Selanjutnya berdasarkan proporsi varian dari masing-masing IV menunjukkan tujuh variabel yang signifikan pengaruhnya terhadap agresivitas, yaitu extraversion
sebesar 19,2 %, agreeableness sebesar 3,7 %, conscientiousneess sebesar 15,8 %,
(7)
vi
berbagai pelatihan seperti pelatihan peningkatan diri dan meminimalisir dalam merekruit anggota dengan kepribadian extraversion.
(8)
vii
segala rahmat dan karunia yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five dan Self Control
terhadap Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang.” Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rosul tauladan, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.
Penulisan laporan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama pengerjaan skripsi ini, penulis dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan, dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi penulis. Penulis menyadari tidaklah mudah untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan, bimbingan, masukan, dorongan dan do’a dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi. Untuk itu dengan segala ketulusan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Jahja Umar, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan nasehat-nasehatnya.
2. Dra. Hj. Fadhilah Suralaga, M.Si, selaku Pembantu Dekan bagian Akademik, yang telah memberikan semangat dan masukan guna menyelesaikan skripsi ini.
3. Bambang Suryadi, Ph.D sebagai dosen penguji I, Ikhwan Luthfi, M.Psi sebagai dosen pembimbing I dan penguji II, atas motivasi, arahan, bimbingan dan masukan yang sangat membangun. Bapak Gazi Saloom, M.Si sebagai pembimbing II, yang dengan sabar dan kebesaran hati dalam membimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu Bapak berdua untuk penulis agar dapat mewujudkan skripsi ini.
4. H. Alwani sebagai Kepala Bagian Perencanaan Operasi di Kantor Satpol PP Kota Tangerang dan para Stafnya yang telah memberikan informasi dan data yang dibutuhkan oleh penulis serta kesediaan waktunya untuk mendampingi penulis dalam menyebarkan kuesioner.
5. Ibunda dan Ayahanda tercinta, terimakasih atas doa yang tak henti-hentinya di panjatkan untuk penulis agar dapat menjadi yang terbaik. Terimakasih atas motivasi, nasehat dan dukungan materil, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Mas To dan Mas
(9)
viii
6. Teman-teman Kelompok Pencinta Alam (KPA) Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan inspirasi, pengalaman yang berharga dan berbagai cerita seru yang unik dan lucu. Kebersamaan seperti awan yang berarak. Setiyawan, kekasihku tercinta, terimakasih atas motivasi dan dukungan yang selalu diberikan agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga atas kebersamaan yang takkan pernah dilupakan.
7. Sahabatku, Rikha, Ana, terimakasih atas dukungan, motivasi dan tumpangannya selama ini. Tanpamu skripsi ini tidak akan selesai dengan cepat. Mas Zaman, Zulfa, Baiti, Erlinda, ka Ega, Eja, Nur’aini, Kartika, Qiki terimakasih untuk motivasi, dan dukungannya. 8. Adiyo, ka Via, terimakasih telah banyak membantu penulis dalam menganalisa data.
Teman-teman Psikologi UIN Jakarta khususnya kelas A angkatan 2006 dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih telah memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.
Hanya doa dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya yang dapat penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu ataupun terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak ada manusia yang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jakarta, 10 Juni 2011
(10)
ix
Lembar Pengesahan ... ii
Lembar Pernyataan Orisinalitas... iii
Motto dan Persembahan ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantarv ... ii
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiv
BAB I Pendahuluan ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 9
1.2.1 Perumusan Masalah ... 9
1.2.2 Pembatasan Masalah ... 10
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.3.1 Tujuan ... 11
1.3.2 Manfaat ... 11
1.4 Sistematika Penulisan... 12
BAB II Landasan Teori ... 13
2.1 Agresivitas ... 13
2.1.1 Pengertian Agresivitas ... 13
2.1.2 Teori Agresi ... 14
2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas ... 19
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas ... 22
2.2 Kepribadian Big Five ... 25
2.2.1 Pengertian Kepribadian Big Five ... 25
(11)
x
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri ... 37
2.4 Kerangka Berfikir ... 38
2.5 Hipotesis Penelitian... 44
BAB III Metode Penelitian ... 46
3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46
3.1.1 Populasi ... 46
3.1.2 Sampel Penelitian ... 46
3.2 Variabel Penelitian ... 47
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48
3.4 Instrumen Pengumpulan Data ... 49
3.5 Uji Validitas ... 54
3.5.1 Variabel Konstruk Agresivitas ... 56
3.5.2 Validitas Konstruk Kepribadian Big Five ... 58
3.5.3 Validitas Konstruk Self Control ... 69
3.6 Prosedur Penelitian ... 75
3.7 Metode Analisis Data ... 75
BAB IV Hasil Penelitian ... 79
4.1 Gambaran Umum Responden ... 79
4.1.1 Responden Berdasarkan Usia ... 79
4.1.2 Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 80
4.1.3 Responden Berdasarkan Etnis... 81
4.1.4 Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 81
4.2 Analisis Deskriptif ... 82
4.2.1 Kategori Tipe Kepribadian ... 82
4.2.2 Kategori Self Control... 83
4.2.3 Kategori Agresivitas ... 85
(12)
xi
5.1 Kesimpulan ... 98
5.2 Diskusi ... 99
5.3 Saran ... 105
5.3.1 Saran Teoritis ... 105
5.3.2 Saran Praktis ... 106
Daftar Pustaka ... 107
(13)
xii
Tabel 3.3 Blue Print Skala Self Control
Tabel 3.4 Item Valid Agresivitas
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Neuroticism
Tabel 3.6 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Neuroticism
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Extraversion
Tabel 3.8 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Extraversion
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Openness
Tabel 3.10 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Openness
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Agreeableness
Tabel 3.12 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Agreeableness
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Conscientiousness
Tabel 3.14 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Conscientiousness
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Behavior Control
Tabel 3.16 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Behavior Control
Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Cognitve Control
Tabel 3.18 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Cognitive Control
Tabel 3.19 Muatan Faktor Item Decisional Control
Tabel 3.20 Matriks Korelasi antar Kesalahan Pengukuran dari Item Decisional Control
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Usia Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir xiii
(14)
xiii
Tabel 4.6 Kategori Self Control
Tabel 4.7 Self Control
Tabel 4.8 Kategori Agresivitas Tabel 4.9 Anova
Tabel 4.10 Model Summary Tabel 4.11 Koefisien Regresi Tabel 4.12 Variabel Etnis Tabel 4.13 Model Summary Tabel 4.14 Uji Beda Variabel Etnis Tabel 4.15 Uji Beda Big Five
(15)
xiv
Gambar 3.1 Analisis Faktor Konfirmatori dari Agresivitas
Gambar 3.2 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Neuroticism
Gambar 3.3 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Extraversion
Gambar 3.4 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Openness
Gambar 3.5 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Agreeableness
Gambar 3.6 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Conscientiousness
Gambar 3.7 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Behavior Control
Gambar 3.8 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Cognitive Control
Gambar 3.9 Analisis Faktor Konfirmatori dari Faktor Decisional Control
(16)
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
1. 1. Latar Belakang Masalah
Agresivitas bukanlah masalah yang sederhana, bukan juga masalah yang baru karena agresi merupakan tema yang kompleks dan mempunyai sejarah panjang. Kekerasan yang meningkat baik pada skala nasional maupun internasional, telah menarik kaum professional dan masyarakat ramai untuk mengajukan pertanyaan umum mengenai sifat dan penyebab agresi. Tercatat (dalam http://www.who.int), lebih dari 1,6 juta orang diseluruh dunia dengan rentang usia 15-44 tahun meninggal akibat kekerasan, setiap tahunnya. Di Indonesia, peningkatan perilaku agresif dapat terlihat dibeberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan beberapa kota besar lainnya.
Aksi kekerasan ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya masyarakat sipil biasa, bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Hal ini terlihat dari beberapa pemberitaan tentang Satpol PP yang kerap kali berlaku anarkis pada saat menjalankan tugasnya. Menurut data Institute for Ecosoc Rights (solocybercity.com), pada tahun 2006 terjadi 146 kasus penggusuran yang dilakukan oleh satpol pp dengan korban
(17)
42.498 warga. Pada tahun 2007 terjadi 99 penggusuran dengan 45.345 korban. Hingga Februari 2008 terjadi 17 penggusuran dengan 5.704 korban. Tahun 2009, Kontras mencatat kekerasan yang dilakukan Satpol PP sebanyak 9 kasus dengan obyek penggusuran rumah 620 unit dan korban luka 2 orang. Dalam tindakan penggusuran PKL, terjadi 11 kali. Sekitar 62 unit kios yang menjadi sasaran dan 11 orang luka-luka (www.solocybercity.com).
bentrok terjadi antara Satpol PP, TNI dan warga sipil menyebabkan 134 korban luka-luka dan 2 orang tewas (http://rumahabi.info), belum lagi pemberitaan PKL (Pedagang Kaki Lima) yang merugi hingga Rp 5 Juta dikarenakan ulah Satpol PP yang mengambil paksa barang dagangannya dalam penggusuran PKL di Kawasan Stadiun Teladan Medan, Sumatra Utara (http://www.waspada.co.id). Kemudian, sebanyak lima warga Cina Benteng melaporkan oknum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang yang melakukan pengeroyokan saat penggusuran yang terjadi senin 12 April 2010 (www.tempointeraktif.com).
Ditambah lagi dengan pemberitaan pencabulan remaja yang dilakukan Satpol PP di kawasan Monas pada bulan Juli 2010 (http://rumahabi.info/satpol-pp-cabuli-gadis-di-bawah-umur.html). Pemberitaan tertangkapnya oknum Satpol PP yang sedang menghisap ganja di sebuah warung kopi Dusun Brenggolo, Desa Dawuhan,
Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri pada bulan Juli 2010
(18)
keributan dengan salah satu satpam kantor Pikiran Rakyat pada malam tahun baru di Bandung, Jawa Barat (http://bandung.detik.com) menambah panjang catatan buruk Satpol PP.
Perilaku negatif diatas tidak seharusnya dilakukan oleh Satpol PP. Tentunya bukan secara intitusional Satpol PP bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencemarkan nama baik institusi. Karena tugas utama Satpol PP yang adalah melindungi dan mengayomi masyarakat.
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang bertugas dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan peraturan daerah (id.wikipedia.org/wiki/ Polisi_Pamong_Praja). Menurut Peraturan Pemerintah RI no.32 tahun 2004, Satpol PP dapat berkedudukan di daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota. Standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan ketentraman, pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan penindakan, pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran, penghentian dan penutupan.
Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi agresivitas Satpol PP?
(19)
Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu : frustasi, deindividualisasi, stress, hormon, gender, dan kepribadian (personality). Faktor eksternal yaitu : kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi udara, media, dan budaya (Luthfi, 2009).
Penelitian-penelitian tentang perilaku agresif yang terkait dengan kepribadian telah banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif. Menurut Glass, kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.
Penelitian lain dilakukan Furnham dan Saipe (1993; dalam Tremblay, 2002) mengenai hubungan antara agresi pengemudi dengan tiga model faktor (three factor
model) dari Eysenck (1990; dalam Trembley, 2002), menyimpulkan bahwa perilaku
agresif berkorelasi positif dengan tipe Extraversion dan Neuroticism dalam tiga model faktor kepribadian dari Eysenck. Penelitian yang dilakukan oleh Juan J. Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan kepribadian big five yang dihubungkan dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five dengan prestasi belajar pada siswa tingkat delapan (setara dengan SMP).
(20)
Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa kepribadian itu terdiri dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.
Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan pikiran, agresi, emosi dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Anderson & Bushman, 2002). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang. Kepribadian juga dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan
(21)
agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arrousal
yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer (dalam Luthfi, 2009) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang yang agresivitasnya rendah.
Dalam Anderson & Bushman (2002), Bushman menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulasi agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresi yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu dengan sifat agresif yang lebih tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresi tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang dipunyainya.
Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang
(22)
tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.
Selain tipe kepribadian, variabel lain yang juga mempengaruhi agresivitas seorang individu adalah self control yang dimilikinya. Self-control bisa muncul karena adanya perbedaan dalam pengelolaan emosi, cara mengatasi masalah, tinggi rendahnya motivasi dan kemampuan mengolah segala potensi dan pengembangan kompetensinya. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 2000).
Sel-Control dapat diartikan sebagai pengatur proses fisik, psikologis dan perilaku
seseorang. Self-Control juga berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Dengan adanya kontrol diri yang baik, akibat yang tidak menyenangkan dari suatu situasi dapat diantisipasi (Luthfi, 2009).
Ketika seseorang memiliki self-control yang tinggi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akan peran, nilai dan pola hidup yang baru, maka kemungkinan ia berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola tingkah laku yang positif bagi lingkungan sekitar dan mengembalikan kebermaknaan hidup pada diri individu tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki self-control yang rendah, kemungkinan ia tidak akan berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola
(23)
tingkah laku yang negatif bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki self-control rendah akan cenderung untuk melakuakan agresivitas.
Selain tipe kepribadian dan self-control, faktor usia, dan etnis/suku bangsa juga mempengaruhi agresivitas. Penelitian Parry (1968; dalam Tremblay, 2002) yang mengkaitkan usia dengan agresivitas menemukan, pengemudi yang lebih muda mempunyai dorongan untuk melakukan agresi lebih besar dibandingkan pengemudi yang lebih tua. Wiesenthal, dkk (2000; dalam Tremblay, 2002) juga menemukan bahwa pengemudi yang lebih muda (usia 18-23) memiliki skor signifikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang lebih tua (usia 24-66) pada the Driving
Vengeance Questionnaire.
Pendapat ahli dari ilmu antropologi dan psikologi seperti Segall, Dasen, Berry dan Poortinga, 1999; dalam Sarwono, 2009) menyebutkan bahwa lingkungan geografis mempengaruhi agresivitas. Masyarakat yang hidup di pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman. Dalam penelitian di Amerika Serikat, diketahui bahwa masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat mempunyai Agresivitas lebih tinggi. Hal ini diketahui melalui angka pembunuhan yang tinggi (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Penelitian Dewi Suryani Ekawati (2007; dalam Nashori, 2008) juga menyatakan ada perbedaan perilaku agresif antara mahasiswa etnis Jawa dan mahasiswa etnis Batak yang tinggal di Yogyakarta. Dimana mahasiswa etnis Batak memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibanding mahasiswa etnis Jawa.
(24)
Dari uraian diatas, faktor kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku bangsa dinilai dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan estimasi efektivitas sikap dan perilaku Satpol PP saat sekarang dan akan datang. Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema permasalahan agresivitas Satpol PP yang dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut belum banyak diteliti. Atas dasar inilah penulis dengan segala keterbatasan yang ada mencoba mengungkap pengaruh kepribadian big five, self-control, usia, dan etnis/ suku bangsa terhadap agresivitas pada Satpol PP.
Dari fenomena-fenomena yang ada dan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, maka peneliti sangat tertarik untuk meneliti topik agresivitas. Dengan
demikian penelitian ini berjudul Big Five dan
Self-Control terhadap Agresivitas Satuan Polisis Pamong Praja Kota Tangerang
1.2.Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah 1.2.1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Variabel apa sajakah yang mempengaruhi agresivitas satpol pp Kota Tangerang? 2. Dari variabel-variabel yang dianalisis, manakah yang memiliki pengaruh paling
(25)
3. Bagaimanakah model persamaan regresi yang dapat dipakai untuk memprediksi agresivitas satpol pp Kota Tanngerang?
1.2.2.Pembatasan Masalah
Untuk menghindari peninjauan yang terlalu luas terhadap masalah yang akan diteliti, maka penulis melakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
- Agresivitas merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif. Sedangkan perilaku agresif adalah sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain (Baron, 2003).
- Big Five Personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi
untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuoriticism, dan openness to experiences.
- Self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri (behavior
control), kemampuan untuk mengolah informasi (cognitive control), dan
kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya (decisional control).
(26)
- Etnis/suku bangsa merupakan suku bangsa dari mana partisipan berasal. Data ini diperoleh melalui identitas partisipan yang diisikan pada lembar kuesioner.
- Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan perangkat daerah yang bertugas dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah di Kota Tangerang.
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe kepribadian, dan self control terhadap agresivitas Satpol PP.
1.3.2. Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya pada ranah psikologi sosial. Yang mana hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber data tambahan bagi pengembangan studi tentang agresivitas, self-control dan kepribadian Big Five mana yang lebih kuat mempengaruhinya.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, para pendidik ataupun bagi instansi pemerintah dalam mengetahui kepribadian yang semestinya dimiliki oleh petugas Satpol PP agar lebih dapat selektif dalam melakukan rekruitmen.
(27)
1.4. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, beserta kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
BAB III : Metodelogi Penelitian
Bab ini meliputi, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrument pengumpulan data, uji validitas, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
BAB IV : Analisis Hasil Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian meliputi, gambran umum responden, analisis deskriptif, dan uji hipotesis.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dimuat diskusi dan saran.
(28)
BAB II LANDASAN TEORI
Pada bab ini, akan dibahas mengenai agresivitas, kepribadian big five, self
control, satpol pp, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
2. 1. Agresivitas
2. 1. 1. Pengertian Agresivitas
Buss dan Perry (1992; juga lihat Anderson & Bushman, 2002; Berkowitz, 1995) mendefinisikan agresivitas sebagai kecenderungan untuk terlibat dalam agresi fisik dan verbal, permusuhan (Hostility), dan kemarahan (Anger). Dalam kamus Psikologi, agresivitas adalah kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif (J.P. Chaplin, 2000).
Definisi agresif yang paling sederhana diungkapkan oleh Geen (1998; dalam Taylor, 2009), agresif adalah setiap tindakan yang menyakiti atau melukai orang lain. Definisi ini mengabaikan niat orang yang melakukan tindakan. Pendekatan ini didukung oleh pendekatan behavioris atau belajar.
Hal berbeda ditunjukkan oleh David O. Sears (1985; dalam Taylor, 2009), menurutnya perilaku agresif adalah setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain, dapat juga ditujukan kepada perasaan ingin menyakiti orang lain dalam diri seseorang. Agresif menurut Baron & Richardson (1994; dalam Krahe, 2005) adalah
(29)
tingkah laku yang diarahkan kepada tunjuan untuk menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu.
Aggressive behavior is relatively stable as an individual characteristic, and because stable aggression predicts antisocial behavior during adolescence and adulthood for males at least (Hartup, 2005).
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan kecenderungan individu untuk berperilaku agresif, yaitu perilaku yang dimunculkan seseorang yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis, dengan rasa permusuhan (hostility), dan kemarahan (anger) dengan disertai tujuan maupun tanpa tujuan.
2. 1. 2. Teori Agresi
Teori agresi memberi gambaran bagaimana perilaku agresi itu muncul. Pendekatan untuk memberikan penjelasan kemunculan agresi terdiri dari 4 (empat), yaitu sebagai berikut (Baron & Byrne, 2005):
1. Teori Bawaan
Teori bawaaan menekan pada kemunculan agresi sebagai sesuatu yang inheren/ terberi dalam setiap orang.
(30)
a. Agresi sebagai instink
Kelompok ini beranggapan bahwa agresi sebagai dorongan naluriah/instingtif yang dimiliki seseorang. Setiap orang memilki insting/naluri untuk agresi. Perbedaan kemunculan agresivitas antar individu dipengaruhi dari control individu tersebut.
Agresi sebagai insting merujuk pada teori psikoanalisa dengan tokoh utama Sigmund Freud. Dalam teorinya, Freud berpendapat bahwa setiap manusia memiliki insting hidup dan insting mati. Agresi adalah bentuk dari insting mati (dalam Brehm & Kassin, 1993).
Tokoh kedua adalah Koward Lorens (1966; dalam Luthfi, 2009) yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki survivial insting, yaitu dorongan/insting untuk mempertahankan hidup dengan beradaptasi dengan lingkungan.
b. Genetis
Kelompok ini menganggap bahwa agresi adalah sesuatu yang terdapat dalam biologis seseorang. Ada 2 tokoh yang mengembangkan pandangan ini. Yang pertama adalah Moyer (dalam Davidoff, 1991) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang yang agresivitasnya rendah.pokok pikiran lainnya adalah bahwa agresi terkait dengan hormon testosteron. Semakin tinggi hormone testosterone yang dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut cenderung untuk menjadi agresif.
(31)
Tokoh kedua adalah Lagerspetz (1979, dalam Luthfi, 2009) berpandangan bahwa agresi adalah karakter atau sifat yang diturunkan dari orang tua ke anak dan seterusnya. Orang tua yang agresif, maka anaknya akan agresif pula. Dasar pikiran Lagerspetz adalah teori Mendell.
2. Teori Lingkungan
Agresi merukan perilaku yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Agresi adalah reaksi terhadap stimulus lingkungan.
a. Frustasi Agresi Klasik
Frustasi agresi klasik menekankan pada munculnya perilaku agresi disebabkan karena rasa frustasi yang dialami oleh seseorang. Rasa frustasi muncul bila seseorang tidak
dapat mencapai/mendapatkan apa yang didinginkannya. Ketidakberhasilan
mendatangkan frustasi yang kemudian memunculkan agresi. Dollard (1939) dan Miller (1941) sebagai tokoh utamanya (Luthfi, 2009).
b. Neo Frustasi Agresi
Teori ini muncul sebagai usaha untuk mengevaluasi teori frustasi klasik. Burstein & Worchel (1962; dalam Luthfi, 2009) menganggap bahwa frustasi mendapatkan sesuatu tidaklah seta merta memunculkan agresi. Tetapi frustasi yang dimiliki seseorang akan memicu kemarahannya. Dan kemarahan inilah yang akan memunculkan agresi. Jadi antara frustasi dan agresi memiliki variabel antara yaitu
(32)
marah. Dan frustasi baru akan memunculkan marah bila ternyata tidak ada perilaku lain yang dapat dijadikan alternative.
c. Deprivasi
Berkowitz (1995) memberikan istilah untuk kondisi kekurangan untuk deprivasi. Keadaan kurang ini bersifat subjektif. Seseorang akan merasa kurang atau merasa cukup dengan membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain. Kondisi kekurangan yang bersifat objektif (benar-benar kekurangan) disebut deprivasi absolute, sedangkan deprivasi relative adalah perasaan kurang yang dimiliki oleh seseorang. Kondisi yang dianggap tidak sebandingkan atau tidak sama dengan yang dimiliki oleh orang lain. Dan deprivasi relative lebih berpeluang memunculkan agresi dibandingkan dengan deprivasi absolute (Myers, 2009). Tetapi yang perlu dicatat adalah kondisi deprivasi tidak serta merta mendatangkan agresi. Tetapi masih -hal yang dapat memicu adalah peluang, kesempatan dan media massa.
d. Belajar Sosial
Teori belajar sosial menekankan pada faktor yang menimbulkan agresi berasal dari luar. Tokoh utama teori belajar sosial tentang agresi adalah Albert Bandura (1979; dalam Brehm & Kassin, 1993) yaitu perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat di lingkungan sosial, baik dalam keluarga, maupun media massa.
(33)
Selain belajar sosial dengan modeling, reward dan punishment adalah faktor yang juga memperkuat munculnya agresi. Seseorang yang merasa mendapatkan imbalan/ reward dengan agresi, tentunya dia akan mengulanginya lagi dikesempatan lain.
3. Teori Kognitif
Agresi menurut pendekatan kognisi adalah hasil penggolahan inform di level/ranah kognisi. Proses kognisi menimbulkan agresi adanya kesalahan dalam melakukan kategorisasi dan atribusi.
Teori kognitif yang lebih memberikan gambaran munculnya agresi adalah teori excitation transfer. Teori ini menjelaskan bahwa agresi muncul karena interpretasi terhadap stimulus atau kejadian. Kejadian yang akan memunculkan agresi adalah kejadian yang interpretasi/atribusi sebagai awal dari sebuah kecelakaan atau kerugian. Sebaliknya, kalau suatu kejadian yang menimpa seseorang diinterpretasi sebagai hal
4. Teori Afektif (GAAM; General Affective Aggression Model)
Dikemukakan oleh Anderson dkk (2002). Teori GAAM (General Affective Aggression Model) adalah teori yang mencoba menjelaskan agresi dari sisi internal maupun eksternal. Agresi akan muncul bila kondisi-kondisi yang berperan muncul secara bersamaan. Faktor-faktor/kondisi tersebut adalah faktor internal sebagai individual differences, yang meliputi trait, attitude, dan belief tentang kekerasan, nilai-nilai kekerasan, skill atau pengetahuan dan kemampuan berkelahi dan senjata.
(34)
Sedangkan faktor eksternal meliputi situasi-situasi yang mendatangkan frustasi seperti serangan dari pihak lain, munculnya model/provokator, keberadaan cue/pencetus (seperti keberadaan senjata) dan ketidaknyamanan yang dirasakan secara subjektif.
Agresi baru akan muncul bila seluruh faktor-faktor diatan muncul secara bersamaan. Bila salah satu faktor ternyata tidak hadir, besar kemungkinan agresi tidak akan dimunculkan seseorang.
Gambar 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002)
2. 1. 3. Bentuk-bentuk Agresivitas
Bentuk agresivitas mengacu pada perilaku agresi. Buss dan Perry (1992) mengelompokkan bentuk agresi tersebut kedalam empat bentuk agresi, yaitu agresi fisik, agresi verbal, agresi dalam bentuk kemarahan (anger) dan agresi dalam bentuk
(35)
kebencian (hostility). Keempat bentuk agresivitas ini mewakili komponen perilaku manusia, yaitu komponen motorik, afektif dan kognitif.
a. Agresi Fisik, merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan menyakiti orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang dan memukul.
b. Agresi Verbal, merupakan komponen motorik seperti melukai dan menyakiti orang lain, hanya saja melalui verbalisasi, misalnya berdebat, menunjukkan ketidaksukaan dari ketidaksetujuan pada orang lain, kadang kala sering menyebarkan gossip.
c. Sikap Permusuhan, merupakan perwakilan dari komponen kognitif seperti perasaan benci dan curiga pada orang lain, merasa kehidupan yang dialami tidak adil dan iri hati.
d. Rasa Marah, merupakan emosi atau afektif seperti keterbangkitan dan kesiapan psikologis untuk bersikap agresif, misalkan mudah kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah.
Taylor & Peplau (2009) membagi agresi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Prosoial Aggression (Agresi Prososial)
Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau disetujui oleh norma social, seperti polisi memukul penjahat.
(36)
2. Antisocial Aggression (Agresi Antisosial)
Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain dimana tindakan itu secara normative dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang mempunyai kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak berdaya.
3. Sanctioned Aggression (Agresi yang disetujui)
Jenis agresi ini termasuk tindakan yang tidak diharuskan oleh norma sosial tetapi ada di dalam batas-batasnya. Tindakan ini tidak melanggar standar moral yang diterima luas. Misalnya, pelatih yang menghukum pemain tim dengan menyuruhnya push-up biasanya dianggap bertindak sesuai dengan haknya dan masih dalam batas yang diterima. Demikian juga wanita yang menyerang pemerkosa.
Bond, dkk (1997) membagi agresi menjadi :
1. Affective Aggression atau Hostile Aggression (rasa benci), yaitu keungkapan
kemarahan yang ditandai dengan emosi yang tinggi. Agresi ini disebut juga dengan agresi jenis panas.
2. Instrumental Aggression (agresi sebagai sarana mencapai tujuan), yaitu jenis
agresi ini tidak disertai emosi, misalnya polisi yang menembak kaki tahanan yang kabur.
(37)
2. 1. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas
Taylor, Peplau, dan Sears (1997) menyebutkan bahwa perilaku agresif disebabkan oleh dua faktor utama yaitu adanya serangan serta frustasi. Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab agresif dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan fisik. Faktor penyebab agresi selanjutnya adalah frustasi. Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau tindakan tertentu.
Koeswara (1988; dalam Luthfi, 2009) menyebutkan bahwa faktor penyebab seseorang berperilaku agresif bermacam-macam, sehingga dapat dikelompokkan menjadi faktor internal (frustasi, deindividuasi, stres, dan kepribadian) dan faktor eksternal (kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, suhu udara, media massa, budaya), yaitu:
1. Faktor Internal
a. Frustasi yakni suatu situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka akan timbul perasaan-perasaan agresif
b. Deindividuasi adalah suatu keadaan dimana individu kehilangan kesadaran atas dirinya (self awareness) yang diakibatkan oleh situasi yang merasa tertekan. Anonymity memperbesar deindividuasi (Wiggins & Zanden, 1994).
(38)
c. Stress, dalam istilah psikologi stress dikatakan sebagai stimulus, seperti ketakutan, kesakitan, yang mengganggu atau menghambat mekanisme-mekanisme fisiologis yang normal dari organisme.
d. Kepribadian. Orang dengan kepribadian otoriter memiliki kecenderungan agresi yang lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang bertemperamen pemarah, memiliki kecenderungan agresi lebih tinggi dibandingkan temperamen bukan pemarah.
2. Faktor Eksternal
a. Kekuasaan dan kepatuhan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang cenderung disalahgunakan dan penyalahgunaan tersebut merubah kekuasaan menjadi kekuasaan yang memaksa, yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku agresif, seperti yang ditunjukkan oleh Hitler, Mussolini, Stalin dan sejumlah besar manipulator kekuasaan lainnya.
b. Efek senjata. Dalam penelitian Berkowitz dan Lepage (1967; dalam Berkowitz, 1995) yang menguji tentang efek senjata api terhadap kecenderungan perilaku agresi pada individu akan menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang berhubungan dengan senjata api cenderung menjadi lebih agresif dari pada individu yang tidak berhubungan dengan senjata api.
c. Provokasi yaitu oleh pelaku agresi provokasi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agersif untuk meniadakan bahaya yang diisaratkan oleh ancaman tersebut.
(39)
d. Akohol dan obat-obatan. Ada petunjuk bahwa agresi berhubungan dengan kadar alkhohol dan obat-obatan. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran-takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak menerima alkhohol atau menerima alkhohol dalam taraf yang rendah. Alkhohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi (Myers, 2009).
e. Suhu, polusi udara, bau busuk dan kebisingan dilaporkan dapat menimbulkan perilaku agresi. Clarsmith dan Anderson (1979; dalam Iska, 2008), menyimpulkan bahwa musim panas terjadi lebih banyak tingkah laku agresif karena musim panas hari-hari lebih panjang serta individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih besar ketimbang pada musim-musim yang lain.
f. Media massa. Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkjan agresi pada seorang anak, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka menonton, makin kuat hubungannya tersebut.
g. Budaya. Beberapa daerah mengembangkan budaya kekerasan/agresi. Orang yang lebih agresif mendapatkan penghargaan sosial yang lebih tinggi dalam suatu masyarakat.
(40)
2. 2. Kepribadian Big Five
2. 2. 1. Pengertian Kepribadian Big Five
Allport (1937; dalam Ghufron 2010) mendefinisikan kepribadian sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya. Allport menemukan ribuan kata sifat yang bisa menggambarkan kepribadian dalam bahasa Inggris, tetapi ia mengasumsikan daftar tersebut harus dikurangi dengan menghilangkan istilah yang memmilki arti yang sama. Cattell kemudian mengembangkan metode leksikal (berdasarkan bahasa). Sejumlah trait yang Allport temukan dikelompokkan, dinilai, dan dihitung berdasarkan metode analisis faktor oleh Cattell (1966; dalam Friedman 2008), yang mengemukakan adanya 16 trait kepribadian dasar. Dari analisis inilah mulai muncul berbagai penelitian mengenai trait, dan kebanyakan penelitian menyimpulkan bahwa pendekatan trait terhadap kepribadian dapat dilihat melalui lima dimensi, yang biasa disebut big five personality (Friedman, 2008).
Secara modern bentuk dari taksonomi big five, diukur dengan dua pendekatan utama. Cara pertama dengan berdasar pada self rating pada trait kata sifat tunggal, seperti
talkactive, warm, moody, dsb. Pendekatan lain dengan self rating pada item-item
(41)
2. 2. 2. Trait-Trait dalam Big Five Personality
Trait-trait dalam domain-domain dari Big Five Personality Costa & McCrae (1997; dalam McCrae & John, tanpa tahun) :
1. Neuroticism (N)
Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self
esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi di
neuroticism adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive. Facet yang terdapat dalam
Neuroticism adalah sebagai berikut:
Anxiety ; Kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan, merasa kuatir, gugup
dan tegang
Hostility ; Kecenderungan untuk mengalami amarah, frustasi dan penuh kebencian
Depression ; Kecenderungan untuk mengalami depresi pada individu normal
Self-consciousness ; Individu yang menunjukkan emosi malu, merasa tidak
(42)
Impulsiveness ; Tidak mampu mengotrol keinginan yang berlebihan atau dorongan untuk melakukan sesuatu
Vulnerability ; Kecenderungan untuk tidak mampu menghadapi stress, bergantung
pada orang lain, mudah menyerah dan panik bila menghadapi sesuatu yang datang mendadak.
2. Extraversion (E)
Faktor kedua adalah extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh
(dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam
kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman.
Peergroup mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving,
affectionate, dan talkative.
Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat
(43)
lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat ekstraversion rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet yang terdapat dalam extraversion adalah sebagai berikut:
Warmth ; Kecenderungan untuk mudah bergaul dan membagi kasih sayang
Gregariousness ; Kecenderungan untuk banyak berteman dan berinteraksi dengan
orang banyak
Activity ; Individu yang sering mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan
semangat yang tinggi
Assertiveness ; Individu yang cenderung tegas
Excitement-seeking ; Individu yang suka mencari sensasi dan suka mengambil
resiko
Positive emotion ; Kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi yang positif
seperti bahagia, cinta, dan kegembiraan.
3. Openness to Experience (O)
Faktor openness terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru.
(44)
Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of
beauty. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki
nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openess yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
Openness dapat membangun pertumbuhan pribadi. Pencapaian kreatifitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness yang tinggi dan tingkat agreeableness yang rendah. Seseorang yang kreatif, memiliki rasa ingin tahu, atau terbuka terhadap pengalaman lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Facet yang terdapat dalam Opennes to Experience adalah sebagai berikut:
Fantasy ; Individu yang memiliki imajinasi yang tinggi dan aktif
Aesthetic ; Individu yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni dan
keindahan
Feelings ; Individu yang menyadari dan menyelami emosi dan perasannya sendiri
Action ; Individu yang berkeinginan untuk mencoba hal-hal baru
Ideas ; Berpikiran terbuka dan mau menyadari ide baru dan tidak konvensional
Values ; Kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai social politik dan
(45)
4. Agreeableness (A)
Agreebleness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang
mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, forgiving, dan penyayang. Sedangkan orang-orang dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif.
Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat aggreeableness yang tinggi. Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika dibandingkan dengan wanita. Facet agreeableness adalah sebagai berikut:
Trust ; Tingkat kepercayaan individu terhadap orang lain
Straight-forwardness ; Individu yang terus terang, sungguh-sungguh dalam
menyatakan sesuatu
Altruism ; Individu yang murah hati dan memiliki keinginan untuk membantu
(46)
Compliance ; Karakteristik dari reaksi terhadap konflik interpersonal
Modesty ; Individu yang sederhana dan rendah hati
Tender-mindedness ; Simpatik dan peduli terhadap orang lain.
5. Conscientiousness (C)
Conscientiousness dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to
achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang.
Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang
well-organize, tepat waktu, dan ambisius.
Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir
sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Disisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya. Facet conscientiousness adalah sebagai berikut:
Competence ; Kesanggupan, efektifitas dan kebijaksanaan dalam melakukan
sesuatu
Order ; Kemampuan mengorganisasi
Dutifulness ; Memegang erat prinsip hidup
(47)
Self-discipline ; Mampu mengatur diri sendiri
Deliberation ; Selalu berpikir dahulu sebelum bertindak
Berikut ini merupakan gambaran karakteristik individu ketika diukur dengan skor tinggi rendah (Pervin, 2005):
Skala Trait Karakteristik Skor
Tinggi Rendah
Neuroticism (N)
Menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan
nervous tension.
Cemas, gugup, emosional, merasa tidak aman, merasa tidak mampu, mudah panik
Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah.
Ekstraversion (E) Mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal, tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.
Agreeableness (A) Mengukur kualitas dari apa yang
dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain.
Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama, optimis, fun-loving,
affectionate. Lembut
hati, dapat dipercaya, suka menolong, pemaaf, penurut.
Tidak ramah, bersahaja, suka menyendiri, orientasi pada tugas, pendiam. Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, pendendam, kejam, manipulatif.
Openness (O) Gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental individu dan pengalamannya.
Ingin tahu, minat luas, kreatif, original, imajinatif,
untraditional.
Konvensional, sederhana, minat sempit, tidak artistik, tidak analitis.
Conscientiousness(C) Mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan dan kontrol dorongan secara sosial.
Teratur, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, hati-hati.
Tanpa tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai, mudah
(48)
2. 3. Self-Control
2. 3. 1. Definisi Self-Control
Averill (1973) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri (behavior control), kemampuan untuk mengolah informasi
(cognitive control), dan kemampuan untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya
(decisional control).
Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain serangkaian proses yang mebentuk dirinya sendiri. Golfried dan Merbaum (dalam Lazaruz, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. Kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan.
Dalam Chaplin (2000), self-control diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsive.
Synder dan Ganested (1986; dalam Ghufron, 2010) mengatakan bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara
(49)
pribadi dengan lingkungan masyarakat dalam mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam bersikap dan berpendirian yang efektif.
Hurlock (2000) menyebutkan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energy emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara social. Konsep ilmiah menitikberatkan pada pengendalian. Tetapi, tidak sama artinya dengan penekanan. Ada dua criteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara social atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun, reaksi positif saja tidaklah cukup karenanya perlu diperhatihkan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak membahyakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan psikis individu harus membaik.
Hurlock (2000) menyebutkan tiga kriteria emosi, yaitu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial, dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarkat, dan dapat menilai secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut.
(50)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku, kemampuan untuk mengolah informasi, dan kemampuan untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
2. 3. 2. Aspek-Aspek Self-control
Averill (1973) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol personal, yaitu : 1. Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu:
a. Mengatur pelaksanaan (regulated administration), merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan. Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakn sumber eksternal.
b. Kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability), merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggangbwaktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya.
(51)
2. Kontrol kognitif (cognitive control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu:
a. Memperoleh informasi (information gain), maksudnya dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. b. Melakukan penilaian (appraisal), berarti individu berusaha menilai dan
menafsirkan suatu keadaaan atau peristiwa dengan cara memerhatikan segi-segi positif secara subjektif.
3. Mengontrol keputusan (decisional control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi, baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih kemungkinan berbagai tindakan.
(52)
Menurut Block dan Block (1952; dalam Lazarus, 1991) ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu:
1. Over Control, merupakan kontrol diri yang dilakuakan oleh individu secara
berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus.
2. Under Control, merupakan suatu kecenderuangan individu untuk melepaskan
impulsivitas dengan bebas tapa perhitungan yang masak.
3. Appropriate Control, merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan
impuls secara tepat.
2. 3. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Sebagaimana faktor psikologis lainnya, kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal (dari diri individu) dan faktor ekternal (lingkungan individu).
1. Faktor Internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrool diri seseorang itu. 2. Faktor Ekternal
Faktor ekternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga, terutama orang tua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Hasil penelitian Nasichah (2000; dalam Ghufron, 2010) menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua yang semakin demokratis cenderung diikuti
(53)
tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Oleh sebab itu, bila orang tua menerapkan sikap disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini, dan orang tua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap kekonsistenan ini akan didinternalisasi anak. Di kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.
2.4. Kerangka Berfikir
Agresivitas dapat dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya masyarakat sipil biasa. Bahkan pegawai pemerintah penegak hukum (seperti Satpol PP) sekalipun berkecenderungan melakukan perilaku agresif. Tindakan ini biasanya dilakukan satpol pp saat menjalankan tugasnya. Padahal, menurut Peraturan Pemerintah RI no.32 tahun 2004, standar pelayanan Satpol PP meliputi: pelaksanaan ketentraman, pelaksanaan ketertiban, pelaksanaan penyidikan, pelaksanaan penindakan, pengawasan pelaksanaan perda, pelaksanaan operasi pembongkaran, penghentian dan penutupan. Namun, tampaknya standar pelayanan ini belum dipahami betul sehingga perilaku agresi masih sering dilakukan oleh oknum satpol pp.
Karena itu, menjadi aneh bila Satpol PP yang sudah memiliki peraturan tetap namun masih terjadi tindakan agesif. Hal ini memunculkan pertanyaan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi agresivitas Satpol PP?
Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya agresivitas, antara lain faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu: frustasi, deindividualisasi, stress, hormon,
(54)
gender, dan kepribadian. Faktor eksternal yaitu: kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alcohol dan obat-obatan, suhu udara, polusi udara, media, dan budaya (Luthfi, 2009; Baron&Byrne, 2005; Krahe, 2005).
Penelitian-penelitian tentang penyebab munculnya perilaku agresif telah banyak dilakukan, diantaranya adalah penelitian Glass (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang memilki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi daripada individu dengan kepribadian tipe B.
Penelitian yang dilakukan oleh Juan J. Bartemi (2005) mengenai agresivitas dan kepribadian big five yang dihubungkan dengan prestasi belajar siswa, menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara agresivitas dan kepribadian big five
dengan prestasi belajar pada siswa tingkat delapan (setara dengan SMP).
Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya (Allport, 1937; dalam Ghufron, 2010). Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam beraksi, berpikir, merasa, berinteraksi, dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam bentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Mischel (1968; dalam Friedman, 2008) menyimpulkan bahwa kepribadian itu terdiri dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait
(55)
adalah konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar dibandingkan trait.
Faktor kepribadian adalah faktor manusia yang dianggap cukup berperan dalam perilaku agresif, karena kepribadian merupakan salah satu variabel person yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Kepribadian dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di dalam memori (Anderson & Bushman, 2002). Individu yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain. Kepribadian juga dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori yang dapat mempengaruhi cognition,
affect, dan arrousal yang dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Moyer
(dalam Luthfi, 2009) beranggapan bahwa agresivitas merupakan suatu proses yang ada didalam otak dan saraf pusat. Orang-orang yang memiliki kecenderungan agresivitas tinggi memiliki struktur dan komponen otak yang berbeda dengan orang yang agresivitasnya rendah.
Salah satu tipe kepribadian adalah big five personality, yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan
(56)
menggunakan analisis faktor. Lima traits kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuoriticism, openness to experiences.
Neuroticism menggambarkan stabilitas emosional dengan cakupan-cakupan perasaan
negatif yang kuat termasuk kecemasan, kesedihan, irritability dan nervous tension.
Ekstraversion mengukur kuantitas dan intensitas dari interaksi interpersonal,
tingkatan aktivitas, kebutuhan akan dorongan, dan kapasitas dan kesenangan.
Openness mengukur gambaran keluasan, kedalaman, dan kompleksitas mental
individu dan pengalamannya. Agreeableness mengukur kualitas dari apa yang dilakukan dengan orang lain dan apa yang dilakukan terhadap orang lain.
Conscientiousness mendeskripsikan perilaku yang diarahkan pada tugas dan tujuan
dan kontrol dorongan secara sosial. Dengan demikian, neuroticism memiliki hubungan positif dengan agresivitas. Sedangkan trait yang lain tidak memiliki hubungan yang positif (Mastuti, 2005).
Self-control juga mempengaruhi agresivitas seseorang. Sel-Control dapat diartikan
sebagai pengatur proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang. Self-Control juga berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Dengan adanya kontrol diri yang baik, akibat yang tidak menyenangkan dari suatu situasi dapat diantisipasi (Luthfi, 2009).
Ketika seseorang memiliki self-control yang tinggi, maka kemungkinan ia berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola tingkah laku yang positif bagi
(57)
lingkungan sekitar. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki self-control yang rendah, kemungkinan ia tidak akan berhasil dalam mengolah emosinya dan menciptakan pola tingkah laku yang negatif bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki self-control rendah akan cenderung untuk melakukan agresivitas.
Selain tipe kepribadian dan self-control, faktor usia, dan etnis/suku bangsa juga mempengaruhi agresivitas. Penelitian Parry (1968; dalam Tremblay, 2002) yang mengkaitkan usia dengan agresivitas menemukan, pengemudi yang lebih muda mempunyai dorongan untuk melakukan agresi lebih besar dibandingkan pengemudi yang lebih tua. Wiesenthal, dkk (2000; dalam Tremblay, 2002) juga menemukan bahwa pengemudi yang lebih muda (usia 18-23) memiliki skor signifikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang lebih tua (usia 24-66) pada the Driving
Vengeance Questionnaire.
Pendapat ahli dari ilmu antropologi dan psikologi seperti Segall, Dasen, Berry dan Poortinga (1999; dalam Sarwono, 2009) menyebutkan bahwa lingkungan geografis mempengaruhi agresivitas. Masyarakat yang hidup di pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman. Dalam penelitian di Amerika Serikat, diketahui bahwa masyarakat di bagian selatan Amerika Serikat mempunyai Agresivitas lebih tinggi. Hal ini diketahui melalui angka pembunuhan yang tinggi (Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Penelitian Dewi Suryani Ekawati (2007; dalam Nashori, 2008) juga menyatakan ada perbedaan perilaku agresif antara
(58)
mahasiswa etnis Jawa dan mahasiswa etnis Batak yang tinggal di Yogyakarta. Dimana mahasiswa etnis Batak memiliki perilaku agresif yang lebih tinggi dibanding mahasiswa etnis Jawa.
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berfikir
Kepribadian big five
Self control
Etnis Usia
Decisional control Cognitif control Behavior control
(59)
2. 6. Hipotesis Penelitian
A. Hipotesa Mayor : Ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian big five
(neuroticism, extraversion, openness, agreeableness, conscientiousness), self
control (behavior control, cognitive control, decisional control), usia dan etnis terhadap agresivitas.
B. Hipotesa Minor :
1. Ada pengaruh yang signifikan neuroticism dalam kepribadian Big five
terhadap agresivitas
2. Ada pengaruh yang signifikan extraversion dalam kepribadian Big five
terhadap agresivitas
3. Ada pengaruh yang signifikan openness dalam kepribadian Big five terhadap agresivitas.
4. Ada pengaruh yang signifikan agreeableness dalam kepribadian Big five
terhadap agresivitas.
5. Ada pengaruh yang signifikan conscientiousness dalam kepribadian Big five
terhadap agresivitas.
6. Ada pengaruh yang signifikan antara behavior control dalam self-control
terhadap agresivitas.
7. Ada pengaruh yang signifikan antara cognitif control dalam self-control
(60)
8. Ada pengaruh yang signifikan antara decisional control dalam self-control
terhadap agresivitas.
9. Ada pengaruh yang signifikan tingkat usia dengan agresivitas.
10.Ada pengaruh yang signifikan antara etnis/ suku bangsa dengan agresivitas. 11.Ada pengaruh yang signifikan variabel dominan dengan agresivitas.
(61)
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini akan membahas populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, variabel penelitian, devinisi operasional variabel, instrument pengumpulan data, uji validitas, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
3. 1. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3. 1. 1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah anggota Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) di wilayah Kota Tangerang yang berjumlah 259 orang.
3. 1. 2. Sampel Penelitian
Penentuan sampel penelitian dengan dasar rumus dari Slovin (1960; dalam Sevilla,
1993) yaitu sebagai berikut:
n
=
n = ukuran sampel N = ukuran populasi
e = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian pengambilan sampel populasi).
Dari rumus tersebut didapat ukuran sampel yang disyaratkan adalah sebanyak 157,2 (dibulatkan menjadi 158 orang). Untuk meminimalisir kesalahan, maka peneliti mengambil sampel sebanyak mungkin hingga mendekati populasi. Namun dari 170
(62)
kuesioner yang disebar, hanya 168 kuesioner yang kembali. Jadi, sampel yang digunakan peneliti sebanyak 168 orang.
Metode pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah non-acak atau non-probability sampling dimana semua anggota atau subjek penelitian tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, dimana pengambilan sampel didasarkan pada hal-hal tertentu yang dikenakan ke dalam sub kelompok (Sevilla, 1993). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel purposive yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang digunakan oleh seorang peneliti jika peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalam pengambilan sampelnya, dimana sampel diasumsikan sesuai dengan karakteristik populasi yang telah ditetapkan (Sevilla, 1993).
Karakteristik sampel yang akan diambil adalah :
1. Satuan Polisi Pamong Praja di wilayah Kota Tangerang yang bekerja di lapangan maupun staff kantor.
2. Masih aktif bertugas saat pengambilan sampel berlangsung. 3. Telah bekerja sebagai Satpol PP minimal satu tahun.
3. 2. Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu :
(1)
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 651
Minimum Fit Function Chi-Square = 1222.44 (P = 0.0)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 1145.64 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 494.64
90 Percent Confidence Interval for NCP = (404.32 ; 592.81) Minimum Fit Function Value = 7.32
Population Discrepancy Function Value (F0) = 2.96 90 Percent Confidence Interval for F0 = (2.42 ; 3.55) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.067
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.061 ; 0.074) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 8.88 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (8.34 ; 9.47)
ECVI for Saturated Model = 9.82 ECVI for Independence Model = 36.82
Chi-Square for Independence Model with 780 Degrees of Freedom = 6068.86 Independence AIC = 6148.86
Model AIC = 1483.64 Saturated AIC = 1640.00 Independence CAIC = 6313.82
Model CAIC = 2180.59 Saturated CAIC = 5021.65 Normed Fit Index (NFI) = 0.80 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.87 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.67
Comparative Fit Index (CFI) = 0.89 Incremental Fit Index (IFI) = 0.89
Relative Fit Index (RFI) = 0.76 Critical N (CN) = 101.80
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.11 Standardized RMR = 0.10
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.74 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.68 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.59
(2)
Output CFA Big Five trait Agreeableness
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 20
Minimum Fit Function Chi-Square = 31.04 (P = 0.055)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 29.88 (P = 0.072) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 9.88
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 28.66) Minimum Fit Function Value = 0.19
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.059 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.17) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.054
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.093) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.39
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.60 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.54 ; 0.71)
ECVI for Saturated Model = 0.66 ECVI for Independence Model = 2.14
Chi-Square for Independence Model with 45 Degrees of Freedom = 337.18 Independence AIC = 357.18
Model AIC = 99.88 Saturated AIC = 110.00 Independence CAIC = 398.42
Model CAIC = 244.22 Saturated CAIC = 336.82 Normed Fit Index (NFI) = 0.91 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.91 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.40
Comparative Fit Index (CFI) = 0.96 Incremental Fit Index (IFI) = 0.97
Relative Fit Index (RFI) = 0.79 Critical N (CN) = 203.11
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.060 Standardized RMR = 0.060
(3)
Output CFA Big Five trait Conscientiousness
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 22
Minimum Fit Function Chi-Square = 33.29 (P = 0.058)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 32.83 (P = 0.064) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 10.83
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 30.30) Minimum Fit Function Value = 0.20
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.065 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.18) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.054
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.091) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.39
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.59 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.53 ; 0.71)
ECVI for Saturated Model = 0.66 ECVI for Independence Model = 2.72
Chi-Square for Independence Model with 45 Degrees of Freedom = 433.85 Independence AIC = 453.85
Model AIC = 98.83 Saturated AIC = 110.00 Independence CAIC = 495.09
Model CAIC = 234.92 Saturated CAIC = 336.82 Normed Fit Index (NFI) = 0.92 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.94 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.45
Comparative Fit Index (CFI) = 0.97 Incremental Fit Index (IFI) = 0.97
Relative Fit Index (RFI) = 0.84 Critical N (CN) = 203.12
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.071 Standardized RMR = 0.071
(4)
Output CFA Big Five trait Ekstraversion
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 27
Minimum Fit Function Chi-Square = 34.68 (P = 0.15)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 34.93 (P = 0.14) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 7.93
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 27.32) Minimum Fit Function Value = 0.21
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.047 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.16) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.042
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.078) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.60
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.54 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.50 ; 0.66)
ECVI for Saturated Model = 0.66 ECVI for Independence Model = 1.75
Chi-Square for Independence Model with 45 Degrees of Freedom = 272.28 Independence AIC = 292.28
Model AIC = 90.93 Saturated AIC = 110.00 Independence CAIC = 333.52
Model CAIC = 206.40 Saturated CAIC = 336.82 Normed Fit Index (NFI) = 0.87 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.94 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.52
Comparative Fit Index (CFI) = 0.97 Incremental Fit Index (IFI) = 0.97
Relative Fit Index (RFI) = 0.79 Critical N (CN) = 227.13
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.064 Standardized RMR = 0.064
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.96 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.92
(5)
Output CFA Big Five trait Neuroticsm
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 19
Minimum Fit Function Chi-Square = 19.33 (P = 0.44) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 18.45 (P = 0.49)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 13.68)
Minimum Fit Function Value = 0.12 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.082) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.066) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.85
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.54 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.54 ; 0.63)
ECVI for Saturated Model = 0.66 ECVI for Independence Model = 4.98
Chi-Square for Independence Model with 45 Degrees of Freedom = 810.95 Independence AIC = 830.95
Model AIC = 90.45 Saturated AIC = 110.00 Independence CAIC = 872.19
Model CAIC = 238.91 Saturated CAIC = 336.82
Normed Fit Index (NFI) = 0.98 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.00 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.41
Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.00
Relative Fit Index (RFI) = 0.94
Critical N (CN) = 313.71
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.040 Standardized RMR = 0.040 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.98
(6)
Output CFA Big Five trait Openness
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 23
Minimum Fit Function Chi-Square = 36.21 (P = 0.039) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 35.03 (P = 0.052)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 12.03 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 32.08)
Minimum Fit Function Value = 0.22 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.072
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.19) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.056
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.091) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.36
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.59 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.52 ; 0.71)
ECVI for Saturated Model = 0.66 ECVI for Independence Model = 2.83
Chi-Square for Independence Model with 45 Degrees of Freedom = 452.01 Independence AIC = 472.01
Model AIC = 99.03 Saturated AIC = 110.00 Independence CAIC = 513.25
Model CAIC = 230.99 Saturated CAIC = 336.82
Normed Fit Index (NFI) = 0.92 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.94 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.47
Comparative Fit Index (CFI) = 0.97 Incremental Fit Index (IFI) = 0.97
Relative Fit Index (RFI) = 0.84
Critical N (CN) = 193.06
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.061 Standardized RMR = 0.062 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.96