Menurut Krebs 1985, hlm: 523, keanekaragaman rendah bila 0 H’ 2,30, keanekaragaman sedang bila 2,302 H’ 6,907 keanekaragaman tinggi bila H’
6,907. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa Daerah Hulu Sungai Asahan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Barus 2004, hlm:
121, suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang
relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut
mempunyai keanekaragaman yang rendah. Menurut Begon et al 1986, nilai diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat
pencemaran yaitu apabila H’1 tercemar berat, apabila nilai 1H3 tercemar sedang dan apabila nilai H’3 tidak tercemarbersih. Dari kategori diatas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa seluruh stasiun penelitian termasuk mengalami pencemaran pada tingkat tercemar sedang.
Indeks keseragaman pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 0.8627 hingga 0.9714 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing stasiun
penyebaran individu cukup merata. Menurut Krebs 1985, hlm: 523 apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan
penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka
populasi plankton menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata.
4.4 Indeks Similaritas
Nilai indeks similaritas antar stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun 5 Stasiun 1
53.061 43.137
51.162 55.319
Stasiun 2 30.434
57.894 42.857
Stasiun 3
45 45.455
Stasiun 4 44.444
Stasiun 5
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa indeks similaritas yang diperoleh pada stasiun 1dan 2, stasiun 1 dan 4, stasiun 1 dan 5, stasiun 2 dan 4 tergolong pada stasiun yang
mirip. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor fisik kimia perairan antara stasiun- stasiun tersebut cukup mirip dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda.
Indeks similaritas pada stasiun 1 dan 3, stasiun 2 dan 3, stasiun 2 dan 5, stasiun 3 dan 4, stasiun 3 dan 5, stasiun 4 dan 5 dapat digolongkan pada stasiun yang tidak mirip.
Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis limbah yang masuk ke badan perairan sehingga mengakibatkan kondisi faktor fisik kimia yang berbeda-beda pada masing-
masing stasiun. Perbedaan kondisi faktor fisik kimia tersebut mengakibatkan perbedaan jumlah dan jenis plankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun
tersebut.
4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan
Faktor fisik kimia perairan yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian seperti pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
No. Parameter
Fisik – Kimia Satuan
Stasiun 1
2 3
4 5
1 Temperatur Air
C 24
26 25
25 23,5
2 Penetrasi Cahaya
m 2,4
2,5 2,0
1,4 2,5
3 Intensitas Cahaya
Candela 448
974 710
832 756
4 pH Air
- 7,8
7,5 7,7
7,6 7,5
5 DO
MgL 7,2
6,5 6,2
5,2 5,5
6 Kejenuhan Oksigen
87,27 81,35
76,44 64,40
66,66 7
BOD
5
MgL 0,7
1,5 1,0
0,8 0,7
8 COD
MgL 5,4880
7,0506 7,2125
8,6240 7,8400
9 Kadar Nitrat
MgL 0.7222
0.3800 0.4322
0.6296 0.5000
10 Kadar Posfat
MgL 0.3083
0.3566 0.4413
0.6866 0.5270
11 Arus Permukaan Air
ms 0,4
0,4 0,4
0,4 0,3
Keterangan: a. Stasiun 1
: Kontrol b. Stasiun 2
: Pemukiman dan Pertambakan Ikan c. Stasiun 3
: Pertanian d. Stasiun 4
: Pembuangan Limbah Pabrik TPL e. Stasiun 5
: Bendungan PLTA PT. INALUM
4.5.1 Temperatur Hasil pengukuran menunjukkan bahwa temperatur air berkisar antara 23,5-26
C, dengan temperatur yang tertinggi pada stasiun 2 lokasi pertambakan ikan dan
pemukiman penduduk dan terendah pada stasiun 5 yaitu 23,5 C daerah bendungan
Siruar. Tingginya suhu pada stasiun 2 disebabkan oleh banyaknya aktivitas masyarakat dan tidak adanya naungan vegetasi kanopi di sekitar daerah aliran sungai
yang menyebabkan badan air terkena cahaya matahari secara langsung dan pada stasiun 5 temperaturnya rendah karena aktivitas di daerah tersebut sedikit, banyaknya
vegetasi yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dan bertambahnya volume air karena dibendung.
Menurut Barus 2004, hlm: 45, pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola
temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik,
penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.
4.5.2 Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terdapat di stasiun 2 daerah pemukiman dan pertambakan ikan
yaitu 974 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi disekitar daerah aliran sungai dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat
dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Terendah di stasiun 1 daerah kontrol yaitu 448 Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini
karena adanya vegetasi di sekitar daerah aliran sungai dan juga pengukuran dilakukan pada sore hari yang mendung pada daerah ini.
Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi
yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman Tarumingkeng, 2001.
4.5.3 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya terendah dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat pada stasiun 4 tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari yaitu 1,4 meter
sedangkan pada stasiun lain terdapat antara 2,4-2,5 meter. Hal ini disebabkan oleh limbah cair yang berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari berwarna kecoklatan yang
mengandung banyak bahan yang tersuspensi maupun terlarut yang pada akhirnya akan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan.
Menurut Sastrawijaya 1991, hlm: 99, padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan
hewan, dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan.
Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar 2007, hlm: 16,
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.
4.5.4 Arus Air
Arus air pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai tertinggi pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 yaitu dengan kecepatan 0,4 ms dan terendah pada stasiun 5 dengan kecepatan
0,3ms. Tingginya arus pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 ini disebabkan oleh aliran sungai yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Rendahnya arus pada
stasiun 5 diakibatkan oleh air sungai yang dibendung. Jenis substrat akan
mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.
Menurut Barus 2004, hlm: 41, sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu
ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus
mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat
berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan friction yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan
mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok meander kecepatan arus paling tinggi pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika
tentang putaran massa sentrifugal. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-
batuan di dasar perairan.
4.5.5 pH Derajat Keasaman
Pada stasiun 1 diperoleh nilai pH Derajat Keasaman yang tertinggi sekitar 7,8 dari seluruh stasiun penelitian dan terendah pada stasiun 2 sekitar 7,5. Tingginya pH pada
daerah ini disebabkan oleh belum adanya aktifitas atau belum terjadi penguraian yang menghasilkan CO
2
sedangkan rendahnya pH pada stasiun 2 karena adanya berbagai macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang
selanjutnya akan mengalami penguraian yang menurunkan pH daerah ini. Namun secara keseluruhan pH pada seluruh stasiun penelitian masih tergolong normal yang
berkisar antara 7,5-7,8.
Menurut Kristanto 2002, hlm: 73-74, nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah buangan,
berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun
menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO
2
jika mengalami proses penguraian.
4.5.6 DO Disolved Oxygen
Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut berkisar antara 5,2-7,2 mgl pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada
stasiun 1 daerah kontrol yaitu 7,2 mgl. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu
yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen terlarut yang terendah terdapat
pada stasiun 4 tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari yaitu 5,2 mgl. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan anorganik dalam limbah
cair tersebut yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan tingginya suhu serta rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.
Menurut Sastrawijaya 1991, hlm: 85, oksigen terlarut bergantung kepada: suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung
kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri.
Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan
hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.
4.5.7 Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 daerah kontrol yaitu 87,27 dan terendah pada stasiun 4 tempat pembuangan limbah cair
pabrik Toba Pulp Lestari yaitu 64,4. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat
memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan stasiun 4 yang mengandung senyawa organik dan anorganik dari limbah cair TPL.
Menurut Barus 2004, hlm: 60, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan
berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Seandainya pada pengukuran temperatur 13,9
o
C diperoleh kadar oksigen terlarut 8 mgl, maka sesuai dengan tabel pada lampiran E seharusnya kelarutan oksigen maksimum akan
mencapai 10 mgl. Disini terlihat ada selisih nilai oksigen terlarut antara yang diukur 8 mgl dengan yang seharusnya dapat larut 10 mgl yaitu sebanyak 2 mgl dengan
nilai kejenuhan sebesar 80. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut telah terdapat senyawa organik pencemar yang dapat diketahui dari defisit
oksigen sebesar 2 mgl. Oksigen tersebut digunakan dalam proses penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerobik.
4.5.8 BOD Biological Oxygen Demand
BOD Biological Oxygen Demand yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa BOD Biological Oxygen Demand yang tertinggi terdapat di stasiun 2 daerah
pemukiman dan pertambakan ikan yaitu 1,5 mgl. Hal ini disebabkan karena banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang
membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. Terendah di stasiun 1 daerah kontrol dan stasiun 5 daerah bendungan Siruar yaitu 0,7 mgl. Rendahnya BOD pada daerah
ini karena banyaknya tumbuhan air seperti Eichornia crassipes, dan Ipomea aquatica yang mampu menyerap langsung senyawa organik seperti nitrat dan posfat sehingga
tidak perlu diuraikan oleh mikroorganisme pengurai.
Menurut Kristanto 2002, hlm: 87, BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka berarti kandungan
bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar 2007,
hlm: 22, bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan- bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal
dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman yang mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan sebagainya.
4.5.9 COD Chemical Oxygen Demand
Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD Chemical Oxygen Demand tertinggi pada stasiun 4tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp
Lestari yaitu 8,6240 mgl dan terendah pada stasiun 1 daerah kontrol yaitu 5,4880 mgl. Tingginya nilai COD pada stasiun 4 menunjukkan bahwa limbah cair yang
berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari mengandung banyak senyawa organik dan anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya
secara biologis saja.
Menurut Kristanto 2002, hlm: 88, untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan,
misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis
secara cepat berdasarkan pengujian BOD
5
, tetapi senyawa organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
4.5.10 Kadar Nitrat
Dari data pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa hasil pengukuran nitrat berkisar antara 0.3800
mgl – 0.7222 mgl. Nilai kandungan nitrat tertinggi didapatkan pada stasiun 1
sebesar 0.7222 mgl. Kandungan nitrat yang tinggi pada stasiun ini berasal dari Danau
Toba dan hasil pembusukan vegetasi yang terdapat pada stasiun ini. Sedangkan kandungan nitrat terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0.3800
mgl. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk ke sungai lebih
banyak mengandung senyawa anorganik dibanding senyawa organik. Banyaknya senyawa anorganik dapat dilihat dari nilai COD yang tinggi sedangkan Nilai BOD
cukup rendah.
Menurut Barus 2004, hlm: 69, nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh
tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.
4.5.11 Kadar Posfat
Dari Tabel 4.5 diperoleh hasil pengukuran posfat
-
berkisar antara 0.3083 mgl – 0.6866 mgl. Dari data tersebut diperoleh nilai fosfat tertinggi pada stasiun 4 sebesar
0.6866 mgl. Hal ini karena pada stasiun ini merupakan lokasi pembuangan limbah cair PT. Toba Pulp Lestari yang banyak senyawa organik dan senyawa anorganik.
Kandungan posfat terendah didapatkan pada pada stasiun 1 yaitu sebesar 0.3083 mgl. Hal ini karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol tanpa aktivitas yang
berhubungan langsung dengan Danau Toba sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang dapat mempengaruhi kandungan posfat pada stasiun ini.
Untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi posfat pada kisaran 0,27 mgl - 5,51 mgl dan akan menjadi faktor pembatas apabila
kurang dari 0,02 mgl. Bila kadar posfat pada air alam sangat rendah 0,01 mg , maka pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang, keadaan inilah yang
dinamakan oligotrop. Sedangkan bila kadar posfat dan nutrien lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang
dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari Alaert Sri , 1984, hlm: 231.
4.6 Analisis Korelasi
Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan keanekaragaman plankton dengan metode komputerisasi SPSS ver. 13.00 dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut :
Tabel 4.6 Nilai Korelasi Yang Diperoleh Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh Dari Setiap
Stasiun Penelitian
Suhu Intensitas
Cahaya Penetrasi
Cahaya DO
COD BOD
5
Kejenuhan Oksigen
Kand. Posfat
Kand. Nitrat
pH Kec.
Arus -0,511
+0,851 +0,565
+0,808 -0,916 -0,355
+0,739 -0,732
+0,539 +0,665
+0,17
Keterangan: - = korelasi negatif berlawanan
+ = korelasi positif searah
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya
dengan indeks diversitas H’. Nilai + menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks diversitas H’, artinya semakin
besar nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai - menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai
faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman H’, artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga
sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H’ akan semakin besar.
Dari hasil analisis korelasi pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu, COD, BOD
5
dan kandungan posfat berkolerasi negatif berlawanan terhadap keanekaragaman plankton. Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh diketahui suhu
dan kandungan posfat memiliki korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman plankton. COD berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman plankton, dan BOD
5
berkorelasi sangat lemah terhadap keanekaragaman plankton. Nilai COD menyatakan jumlah oksigen total yang dibutuhkan dalam proses oksidasi untuk menguraikan
senyawa organik maupun senyawa anorganik baik secara kimia maupun secara biologis. Semakin tinggi nilai COD akan mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat
disamping itu proses pembentukan oksigen dari hasil fotosintesis relatif tetap. Hal ini
akan mengakibatkan kondisi perairan menjadi defisit oksigen sehingga seluruh organisme mengalami gangguan proses respirasi. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan kematian bagi orgnisme tertentu yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap kebutuhan oksigen.
Menurut Barus 2004, hlm:45, kenaikan temperatur hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir akan meningkatkan laju metabolisme sebesar 2-3 kali
lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan
kelarutan oksigen dalam air berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air kesulitan untuk melakukan respirasi yang selanjutnya akan mempengaruhi
keanekaragaman organisme.
Faktor fisik kimia yang berkorelasi searah dengan keanekaragaman plankton adalah intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kelarutan oksigen, kejenuhan oksigen,
kandungan nitrat, pH dan kecepatan arus. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh diketahui intensitas cahaya dan kelarutan oksigen berkorelasi sangat kuat
terhadap keanekaragaman plankton. Penetrasi cahaya, kejenuhan oksigen, kandungan nitrat dan pH berkorelasi kuat terhadap keanekaragaman plankton. Sedangkan
kecepatan arus berkorelasi sangat lemah terhadap keanekaragaman plankton.
Menurut Wardhana 1995, hlm: 90, kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang
tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang
tercemar kandungan oksigennya rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecahmendegradasi bahan buangan
organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap ditandai dengan bau busuk. Makin banyak bahan buangan organik dalam air, makin sedikit sisa
kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya.
Menurut Sarwono 2006, koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara
+1 sd -1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan strength hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel
mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefisien korelasi negatif, maka kedua variabel
mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan
interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria sebagai berikut:
a. Jika 0
: Tidak ada korelasi antara dua variabel b.
Jika 0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah
c. Jika 0,25 – 0,5 : Korelasi cukup
d. Jika 0,5 – 0,75 : Korelasi kuat
e. Jika 0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat
f. Jika 1
: Korelasi sempurna
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan