Analisis Perbandingan Kinerja Teknik Pengkodean Hamming Dan BCH Pada Sistem Komunikasi Digital

(1)

TUGAS AKHIR

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

Diajukan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada

Departemen Teknik Elektro Sub konsentrasi Teknik Telekomunikasi

Oleh

DIAN SYAHPUTRA

070402010

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

OLEH :

NAMA : DIAN SYAHPUTRA NIM : 070402010

Tugas Akhir ini ditujukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Sidang pada tanggal 29 Oktober 2011 di depan Penguji: 1. Ir. Arman Sani, MT : ………. 2. Naemah mubarakah ST, MT : ………. 3. Ali Hanafiah Rambe ST, MT : ………..

Disetujui oleh : Pembimbing,

MAKSUM PINEM ST,MT NIP :19681004200012 1 001

Diketahui oleh :

Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU,

Ir. SURYA TARMIZI KASIM, MSi NIP: 19540531 198601 1002


(3)

ABSTRAK

Permasalahan kerap sekali muncul dalam setiap sistem komunikasi digital, terutama yang berkaitan dengan masalah pengkodean data dalam hal meminimalisasikan bentuk kesalahan atau bit error yang sering terjadi. Adapun kendala yang berkaitan dengan error tersebut selalu diakibatkan oleh salah satu faktor,contohnya dengan adanya noise yang timbul di sepanjang saluran transmisi. Untuk itu diperlukannya suatu sistem komunikasi yang handal yang dapat menngurangi dampak dari kesalahan data yang selalu ada dalam proses pentransmisian data tersebut. Hal ini menuntut untuk diperlukannya suatu teknik pengkodean yang baik pula.

Pada tulisan ini, dibandingkan kinerja teknik pengkodean yang dianalisis yaitu Hamming dan BCH untuk mengetahui teknik pengkodean yang paling handal dalam mengurangi dampak kesalahan data dengan memanfaatkan Pemodelan dengan Program Simulink Matlab 2007a.

Dari hasil analisis diperoleh bahwa kinerja suatu sistem komunikasi dengan menggunakan teknik pengkodean BCH lebih baik daripada menggunakan teknik pengkodean Hamming. Dimana dalam hal ini, analisis terhadap BER data cendrung bernilai nol pada saat Eb/No bernilai 10 dB, sedangkan pada sistem pengkodean Hamming bernilai nol pada saat Eb/No bernilai 12 dB.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur penulis haturkan Kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan kemampuan dan ketabahan dalam menghadapi segala cobaan, halangan dan rintangan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, serta shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW.

Tugas Akhir ini penulis persembahkan kepada yang teristimewa yaitu ayahanda dan ibunda, serta adinda-adinda tercinta yang merupakan bagian dari hidup penulis yang senantiasa mendukung dan mendoakan dari sejak penulis lahir hingga sekarang.

Tugas Akhir ini merupakan bagian dari kurikulum yang harus diselesaikan utnuk memenuhi oersyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Tugas Akhir ini adalah:

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

Selama penulis menjalani pendidikan di kampus hingga diselesaikannya Tugas Akhir ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Maksum Pinem,ST,MT, selaku dosen Pembimbing Tugas Akhir, atas nasehat, bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

2. Bapak Ali Hanafiah,ST,MT, selaku Penasehat Akademis penulis, atas bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan perkuliahan selama ini.

3. Bapak Tarmidzi Kasim, selaku Ketua Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Rahmad Fauzi, ST, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar yang telah member bekal ilmu kepada penulisa dan seluruh pegawai Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara atas segala bantuannya.

6. Kedua orang tuaku tercinta, Papa ( Abdul Haris Rashadi Yahya ) dan Mama ( Suryati Dewi/ Megumi Okazaki ) yang selalu tiada henti terus memberikan sumbangsih yang sangat berharga dan tentunya sangat dibutuhkan

7. Adinda – adinda tersayang dan tercinta, Dina Rashadi Yahya Chairuna dan Dini Rashadi Yahya Chairuni yang telah membantu doa dan semangat terlebih tenaga dan waktu untuk membantu penulisan tugas akhir ini. Sayangku untuk kalian berdua.

8. Kharisma Vidya Putri, atas motivasi dan doanya yang terus mewarnai semangat penulis untuk terus melanjutkan penyelesaian tugas akhir ini. Semoga tetap terus menjadi rekan hidup selamanya.

9. Sahabat terbaik Nia Rahmanita yang telah sedianya membantu proses penyelesaian pencetakan skripsi ini.

10. Sahabat – sahabat terbaik di Elektro: Alm.Faishal Mahfudz, Recky, Roy Fadli, Nikmansyah, Arief, Aprial, Shobirin, Fajar, Selvila, dan seluruh angkatan ’07, semoga silaturahmi kita tetap terjaga.

11. Keluarga Besar IMTE Teknik Elektro USU atas semangat kebersamaan yang telah terbina dan semoga menjadi teman – teman terbaik selamanya.

12. Keluarga Besar MMEGS Teknik Elektro USU atas pembelajaran berharga yang diberikan selama ini.


(6)

13. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun penyajiannya. Oleh karena itu saran dan kritik dengan tujuan untuk menyempurnakan dan mengembangkan kajian dalam bidang ini sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis berserah diri kepada Allah SWT, semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi pembaca sekalian terutama bagi penulis sendiri.

Medan, Agustus 2011 Penulis

Dian Syahputra


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….. i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR GAMBAR……….. viii

DAFTAR TABEL………... x

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

I.2 Rumusan Masalah………. 2

I.3 Tujuan Penulisan……… 3

I.4 Manfaat Penulisan……….. 3

I.5 Batasan Masalah………. 3

I.6 Metode Penulisan……….. 4

I.7 Sistematika Penulisan……… 4

BAB II PENGKODEAN ……….… 6

2.1 Sistem Komunikasi Digital……….. 6

2.1.1 Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital………… 9

2.2 Komunikasi Data……… 11

2.2.1 Pengertian Komunikasi Data……… 11

2.2.2 Komponen Komunikasi Data………... 13

2.2.3 Noise Transmisi……… 14


(8)

2.2.5 Distorsi……… 15

2.2.6 Attenuasi………. 15

2.3 Konsep Dasar Teori Pengkodean……… 15

2.4 Teknik Pengkodean Hamming………. 18

2.5 Pengdekodean pada Sistem Pengkodean Hamming……… 21

2.6 Teknik Pengkodean BCH……….. 23

2.7 Proses Enkoding Sistem Pengkodean BCH………..` 23

2.8 Pengdekodean pada Sistem Pengkodean BCH……….. 24

BAB III KONSEP PEMODELAN DAN SIMULASI PENGKODEAN ……… 28

3.1 Umum ……… 28

3.2 Pengklasifikasian Model ………... 31

3.3 Bilangan Acak ………. 34

3.3.1 Bilangan Acak Normal ………. 34

3.3.2 Bilangan Acak Poisson ……… 35

3.3.3 Bilangan Acak Bernoulli ………. 35

3.4 Perancangan Pemodelan Simulasi Teknik Pengkodean Hamming dan BCH………... 36

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL... 48

4.1 Umum ………... 48

4.2 Model Sistem ……… 48

4.3 Flow Chart Simulasi ……… 49


(9)

4.4 Parameter Simulasi ……… 55

4.5 Hasil Simulasi dan Analisis ……….. 55

4.6 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean Hamming ………. 56

4.7 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH ………... 60

4.7.1 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH dengan kanal 1E-1…. 60

4.7.2 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH dengan kanal 1E-2… 61

4.7.3 Hasil Simulasi Sistem pengkodean BCH dengan Kanal 1E-3…. 62 4.8 Grafik Hasil Simulasi Sistem Pengkodean Hamming dan BCH …. 64 4.8.1 Grafik Sistem Pengkodean Hamming ……… 64

4.8.2 Grafik Perbandingan Eb/No vs BER Sistem Pengkodean Hamming ……… 65

4.8.3 Grafik Perbandingan Eb/No terhadap BER pada sistem Pengkodean BCH ……….. 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 69

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sinyal Digital ……….. 7

Gambar 2.2 Bagan Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital ………….. 9

Gambar 2.3 Blok Sederhana Komunikasi Data ………... 13

Gambar 2.4 Gambaran Umum Model Komunikasi ……… 15

Gambar 3.1 Blok Fungsi Bernoulli ……… 39

Gambar 3.2 Blok Fungsi Bernoulli dan Hamming Encoder ………... 40

Gambar 3.3 Blok fungsi Bernoulli dan BCH Encoder ……….. 40

Gambar 3.4 Model Simulink sistem pengkodean Hamming dengan kanal BSC… 41 Gambar 3.5 Model Simulink sistem Pengkodean BCH dengan Kanal AWGN …. 42 Gambar 3.6 Model Simulink Pengkodean Hamming dengan hamming decoder… 43 Gambar 3.7 Model Simulink SistemPengkodean BCh dengan BCH Decoder…... 44

Gambar 3.8 Model Simulink Sistem Pengkodean Hamming ………. 45

Gambar 3.9 Model Simulink Sistem Pengkodean BCH ………. 46

Gambar 4.1 Flowchart Proses Enkoding pada Sistem Pengkodean Hamming…… 50

Gambar 4.2 Flowchart Proses Dekoding pada Sistem Pengkodean Hamming…… 52

Gambar 4.3 Flowchart Proses Enkoding pada Sistem Pengkodean BCH………… 53

Gambar 4.4 Flowchart Proses Dekoding pada Sistem Pengkodean BCH…………. 54

Gambar 4.5 (a) Grafik Eb/No vs BER secara Analisis (Hamming)... 65

Gambar 4.5 (b) Grafik Eb/No vs BER secara teori (Hamming)………..….. 66

Gambar 4.6 (a) Grafik Eb/No vs BER secara Analisis (BCH) ………... 67

Gambar 4.6 (b) Grafik Eb/No vs BER secara Teori (BCH) ……… 67


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.4 Tabel Polynomials Galois Field (GF) 2 ……….. 18

Tabel 2.5 Tabel GF ( ) ……… 22

Tabel 3.1 Blok-blok Fungsi Simulink pada Sistem Pengkodean Hamming…... 37 Tabel 3.2 Blok-blok Fungsi Simulink pada Sistem Pengkodean BCH………… 38 Tabel 4.1 Parameter yang digunakan dalam Simulasi Model Simulink Sistem

Pengkodean ……… 55 Tabel 4.2 Hasil Simulasi untuk BER kanal 1e1 pada sistem pengkodean

Hamming ……… 57

Tabel 4.3 Hasil Simulasi BER Kanal 1e2 pada sistem pengkodean Hamming…. 58 Tabel 4.4 Hasil Simulasi sistem pengkodean Hamming untuk Kanal 1E3……… 59 Tabel 4.5 Hasil Simulasi Kanal 1E-1 Sistem Pengkodean BCH……… 61 Tabel 4.6 Hasil Simulasi untuk Kanal 1E-2 Sistem Pengkodean BCH ………… 62 Tabel 4.7 Hasil Simulasi dengan Kanal 1E-3 pada Sistem Pengkodean BCH…. 63


(12)

ABSTRAK

Permasalahan kerap sekali muncul dalam setiap sistem komunikasi digital, terutama yang berkaitan dengan masalah pengkodean data dalam hal meminimalisasikan bentuk kesalahan atau bit error yang sering terjadi. Adapun kendala yang berkaitan dengan error tersebut selalu diakibatkan oleh salah satu faktor,contohnya dengan adanya noise yang timbul di sepanjang saluran transmisi. Untuk itu diperlukannya suatu sistem komunikasi yang handal yang dapat menngurangi dampak dari kesalahan data yang selalu ada dalam proses pentransmisian data tersebut. Hal ini menuntut untuk diperlukannya suatu teknik pengkodean yang baik pula.

Pada tulisan ini, dibandingkan kinerja teknik pengkodean yang dianalisis yaitu Hamming dan BCH untuk mengetahui teknik pengkodean yang paling handal dalam mengurangi dampak kesalahan data dengan memanfaatkan Pemodelan dengan Program Simulink Matlab 2007a.

Dari hasil analisis diperoleh bahwa kinerja suatu sistem komunikasi dengan menggunakan teknik pengkodean BCH lebih baik daripada menggunakan teknik pengkodean Hamming. Dimana dalam hal ini, analisis terhadap BER data cendrung bernilai nol pada saat Eb/No bernilai 10 dB, sedangkan pada sistem pengkodean Hamming bernilai nol pada saat Eb/No bernilai 12 dB.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemajuan kehidupan manusia dalam berbagai aspek kehidupan, telah memaksa mereka untuk senantiasa terus melakukan transformasi menciptakan suatu tatanan kehidupan modern yang baru, sehingga dapat mempermudah melakukan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Hal inilah yang juga turut mempengaruhi perkembangan bidang teknologi informasi dan komunikasi yang juga mengalami dinamika perubahan yang sangat cepat. Setiap saat selalu saja bermunculan teknologi baru yang memberikan konstribusi nilai tambah pada teknologi yang sudah ada. Hal ini menjadi tantangan bagi orang – orang yang bergerak dalam dunia perangkat keras maupun perangkat lunak untuk terus berupaya menciptakan kreasi dan inovasi yang berguna bagi kemajuan teknologi sinformasi dan komunikasi, begitu halnya pada jaringan telekomunikasi.

Untuk turut membantu kelancaran sistem komunikasi yang baik, diharapkan suatu sistem yang dirancang tersebut dapat melewatkan sejumlah data yang berisikan informasi yang ingin disampaikan dari pihak source kepada destination yang dituju melalui media transmisi yang digunakan. Namun, hal – hal yang berkaitan dengan proses penghantaran informasi data yang dalam bentuk bit – bit data tersebut sering sekali mengalami kendala, diantaranya terjadinya error pada bit – bit informasinya.

Kendala error pada bit informasi layaknya sebuah mata rantai yang tidak dapat diputuskan, dan selalu muncul dalam perangkat penghantaran media transmisi hingga pada


(14)

perangkat penerimaannya. Untuk itu diperlukan adanya metode yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang muncul pada sistem pengkodean bit – bit informasi tersebut.

Suatu sistem pengkodean yang baik, tidak hanya menawarkan koreksi error yang handal, tapi juga turut menawarkan encoding dan decoding dengan memanfaatkan algoritma pengkodean dan pengdekodean disertai dengan visibilitas dan endurabilitas metode pengendalian error.

Pada Tugas Akhir ini, sistem pengkodean yang berbeda algoritmanya melibatkan dua metode yang berbeda pula dalam menangani error yaitu, ,menggunakan algoritma dan penanganan forward error control untuk selanjutnya akan dianalisis metode yang paling baik, untuk diperoleh karakteristiknya tentunya dengan menyertakan parameter – parameter sistemkomunikasi digital sebagai bahan perbandingan dari data yang diperoleh

.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:

1. Bagaimana cara mendapatkan performansi masing – masing teknik pengkodean Hamming dan BCH pada sistem komunikasi digital.

2. Bagaimana mendapatkan teknik pengkodean yang lebih efisien dari teknik pengkodean tersebut dalam sistem komunikasi digital.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan Tugas Akhir ini adalah untuk mendapatkan kinerja yang lebih efisien pada teknik pengkodean Hamming dan BCH pada sistem komunikasi digital.


(15)

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan tugas akhir ini bagi penulis adalah mendapatkan pengertian dan penjelasan tentang karakteristik metode penanganan error yang baik dalam suatu sistem pengkodean sehingga diperoleh suatu langkah yang tepat untuk mengurangi kesalahan bit informasi.

1.5 Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan menjadi terlalu luas, maka penulis perlu membatasinya. Adapun batasan masalah dalam Tugas Akhir ini adalah:

1. Hanya membahas kode Hamming (7,4) dan algoritma pengkodean dan pengdekodean BCH (15,7).

2. Tidak membahas tentang teknik modulasi dan filter,probabilitas error pada kanal dan analisa bit error rate pengkodean Hamming.

3. Tidak membahas tentang kode BCH non binary dan penggunaan daya transmisi untuk transmisi bit datanya.

4. Program dibuat dengan menggunakan aplikasi Simulink Matlab 7.0

1.6 Metode Penulisan

Untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis menyajikannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


(16)

1. Studi literatur yaitu, dengan membaca teori – teori yang berkaitan dengan topik Tugas Akhir ini dari buku – buku referensi baik yang dimiliki oleh penulis atau perpustakaan dan juga dari artikel – artikel, jurnal, internet dan lainnya.

2. Studi bimbingan yaitu, dengan melakukan diskusi tentang topik Tugas Akhir ini dengan dosen Pembimbing yang telah ditunjuk oleh pihak Departemen Teknik Elektro.

3. Studi simulasi yaitu, dengan melakukan simulasi pemodelan sistem komunikasi dengan memaanipulasi data pengkodean diterapkan pada program Matlab.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap Tugas Akhir ini maka penulis menyajikannya dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berkaitan tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGKODEAN

Bab ini mencakup pembahasan teori – teori yang berkaitan dengan sistem komunikasi, sistem komunikasi digital, komponen dasar sistem komunikasi, dan hal – hal yang berkaitan dengan gangguan pada sistem komunikasi dan attenuasi.

BAB III KONSEP PEMODELAN DAN SIMULASI PENGKODEAN


(17)

Pada bab ini menjelaskan tentang bentuk model simulasi yang akan dirancang disertai dengan algoritma pengkodeannya agar memudahkan dalam membuat pemrogramannya, fungsi model sistem, asumsi model sistem, dan klasifikasi model tersebut.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

Bab ini menjelaskan tentang implementasi program modulasi, contoh perhitungan dengan teknik pengkodean BCH dan Hamming, evaluasi performansi untuk menganalisis data perhitungan tersebut, analisa perhitungan BER dengan program simulasi dan analisis.

BAB V PENUTUP


(18)

BAB II PENGKODEAN

2.1 Sistem Komunikasi Digital

Dalam sistem telekomunikasi digital tedapat dua jenis sistem telekomunikasi, yaitu sistem komunikasi analog dan sistem komunikasi digital. Perbedaan keduanya adalah pada sinyal yang digunakan untuk melakukan hubungan komunikasi. Pada sistem komunikasi analog, sinyal yang dikirimkan berupa sinyal yang bervariasi dan tidak tetap, sedangkan pada sistem komunikasi digital, sinyal yang dikirimkan adalah sinyal tertentu yang sudah tetap bentuknya.

Sinyal digital merupakan sinyal data dalam bentuk pulsa yang dapat mengalami perubahan yang tiba–tiba dan mempunyai besaran 0 dan 1. Sinyal digital, seperti Gambar 2.1 hanya memiliki dua keadaan, yaitu 0 dan 1, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh derau, tetapi transmisi dengan sinyal digital hanya mencapai jarak jangkau pengiriman data yang relatif dekat. Biasanya sinyal ini juga dikenal dengan sinyal diskret. Sinyal yang mempunyai keadaan ini biasa disebut dengan bit. Bit merupakan istilah khas pada sinyal digital. Sebuah bit dapat berupa no; ( 0 ) atau ( 1 ), sehingga kemungkinan nilai untuk sebuah bit adalah 2 buah ( ). Kemungkinan nilai untuk 2 bit adalah sebanyak 4 , berupa 00, 01, 10, 11. Secara umum, jumlah kemungkinan nilai yang terbentuk oleh kombinasi n bit adalah sebesar buah.


(19)

Gambar 2.1 Sinyal Digital

Secara universal, sistem komunikasi digital yang baik adalah memiliki standar khusus yang seyogianya mengatur hubungan inter-koneksi antar entitas, dimana kaidah tersebut dinamakan protokol. Protokol adalah sebuah aturan yang mendefinisikan beberapa fungsi yang ada dalam sebuah jaringan komputer, misalnya mengirim pesan, data, informasi dan fungsi lain yang harus dipenuhi oleh si pengirim dan si penerima agar komunikasi dapat berlangsung benar, walaupun sistem yang ada dalam jaringan tersebut berbeda sama sekali. Protokol ini mengurusi perbedaan format data pada kedua sistem hingga pada masalah koneksi listrik. Untuk ini, terdapat standar protokol yang terkenal yaitu OSI ( Open System Interconnecting ) yang ditentukan oleh ISO ( International Standard Organization ) [1].

Sistem komunikasi digital yang baik adalah suatu sistem yang mampu mengantisipasi nilai kerusakan yang memungkinkan terjadi dalam proses pengiriman bit informasi, kemampuan penanganan sedini mungkin, dan dapat mengurangi dampak kesalahan bias yang dapat saja muncul seperti gangguan yang ada (noise). Meskipun demikian ada beberapa hal yang masih menerapkan sejumlah metode dari sistem komunikasi analog, karena sebelum perkembangannya yang begitu pesat, sistem komunikasi digital masih memerlukan metode yang memang harus mengadopsi sedikit perancangannya dari teknologi analog.


(20)

Pada kenyataannya, kita dapat melihat bahwa perkembangan teknologi sistem komunikasi digital lebih banyak mengalami kemajuan bila dibandingkan dengan teknologi analog, hal ini jelas saja terjadi karena kebanyakan dari perangkat sistem komunikasi digital lebih menggunakan teknologi yang lebih maju dan banyak melibatkan kinerja dari mikroprosessor dan mikrokontroller, sehingga akan lebih efisien dalam pengoperasiannya. Seiring dengan semakin cepatnya kebutuhan akan kecepatan pengiriman data dan kebutuhan sarana dan prasarana yang dapat menunjang aktivitas dan kinerja sistem yang baik.

Untuk itu ada beberapa pertimbangan yang tentang teknologi digital dibandingkan dengan analog, antara lain:

1. Sinyal digital mudah untuk dilakukan rekonstruksi menjadi bentuk yang semula, dibandingkan dengan sinyal analog.

2. Tingkat distorsi dan interferensi pada sistem komunikasi digital lebih rendah dibandingkan dengan teknologi analog.

3. Dari segi ekonomis, rangkaian digital lebih murah dan gampang untuk dijumpai di pasaran, karena ketersediaan supply alat–alat maupun perangkat digital yang memadai. 4. Perangkat digital lebih mudah untuk dilakukan reassembly dengan perangkat lain bila

dibandingkan dengan perangkat analog.

2.1.1 Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital

Kinerja suatu sistem akan berjalan dengan baik jika didukung oleh beberapa elemen– elemen yang dapat bekerja sama satu dengan yang lain dan melakukan tugasnya masing–masing, sehingga membentuk satu blok diagram sistem komunikasi yang konkret dan memiliki nilai utilitas yang baik dan performansi yang handal pula. Untuk itu ada baiknya kita harus mengetahui terlebih dahulu komponen apa saja yang berkaitan dengan sistem komunikasi digital

Kanal enkoding

Digital modulator Sumber

enkoder Pusat informasi

dan perangkat


(21)

yang sederhana, dan dapat dilihat dari blok diagram sistem komunikasi digital ( Gambar 2.2 ) [2].

[ 1 ] [ 2 ] [ 3 ] [ 4 ]

[ 5 ]

[ 9 ] [ 8 ] [ 7 ] [ 6 ]

Gambar 2.2 Bagan Komponen Dasar Sistem Komunikasi Digital

Komponen dasar sistem komunikasi dapat dillihat dari blok Gambar 2.2 diatas, dimana blok tersebut diatas memperlihatkan proses transmisi data yang terjadi dalam suatu sistem komunikasi digital. Blok diagram yang pertama [ 1 ] adalah dapur untuk proses inputan (masukan) data yang akan dikirimkan, dimana data tersebut berisikan pesan yang ingin disampaikan oleh si pengirim. Inputan dari sistem tersebut adalah berupa sinyal analog maupun sinyal digital. Untuk ini, dalam sistem komunikasi digital, maka yang digunakan adalah sinyal digital. Adapun sinyal inputan yang masih berupa bentuk sinyal masukan analog, harus terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk sinyal digital, tentunya dengan menggunakan perangkat tambahan yang disebut dengan ADC ( Analog to Digital Converter). Selain itu, sinyal digital juga perlu untuk dikompresi atau diminimalisasikan ukuran bit informasinya. Hal ini dilakukan untuk melakukan penyesuaian dengan Bandwidth transmisi yang tersedia. Proses konversi dan

Digital demodulator Digital

decoder Digital

encoder Destinasi (

tujuan)


(22)

kompresi ini disebut juga source coding atau data compression, pada blok diatas terlihat pada blok [2] dimana terdapat perangkat source encoder.

Segera setelah diproses pada blok kedua tersebut, akan dihasilkan suatu deretan digit biner yang disebut sebagai deretan bit informasi. Deretan inilah yang selanjutnya kemudian diarahkan menuju blok [3] yaitu channel encoder, dimana di blok ini akan terjadi proses mengkodekan sinyal agar pada sisi penerima dapat melakukan penterjemahan kembali atau

decoding untuk melakukan pendeteksian terhadap error dan meminimalisasikan kemungkinan

adanya error yang muncul. Selanjutnya, sinyal yang telah dikodekan tersebut dimodulasi pada blok [4] dengan menggunakan sebuah perangkat digital modulator, yaitu sebuah perangkat yang berfungsi untuk mengubah bentuk sinyal informasi dalam bentuk analog menjadi bentuk sinyal digital, didalamnya termasuk proses kuantisasi sinyal. Adapun tujuan dari fungsi modulasi digital tersebut adalah untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi dari kanal yang digunakan.

Dapat kita lihat pada kanal transmisi yang ditunjukkan pada blok [5], sinyal yang dikirimkan akan dipengaruhi oleh adanya kehadiran beberapa gangguan ( noise) ataupun interferensi. Kemudian pada sisi pengirim sinyal akan terjadi proses untuk memodulasikan kembali (demodulasi) oleh digital demodulator, seperti yang ditampilkan pada blok [6]. Selanjutnya, setelah sinyal tersebut didemodulasikan, sinyal tersebut mengalami proses didekodekan sesuai dengan teknik yang dipakai ataupun diaplikasikan pada encoder pada sisi pengirim untuk dilakukan pemeriksaan dan dideteksi error yang kemungkinan muncul. Kemudian sinyal didekodekan kembali oleh source decoder yang disesuaikan dengan teknik yang diaplikasikan oleh source encoder pada sisi pengirim untuk mendapatkan sinyal informasi yang asli dan sesuai yang diinginkan oleh perangkat receiver.


(23)

2.2 Komunikasi Data

Proses komunikasi pada jaringan yang telah memiliki bentuk topologi yang saling bersesuaian antara pihak – pihak yang terlibat dalam proses pentransmisian data memiliki sifat fleksibilitas dan visibilitas yang sangat baik didalam melakukan fungsi dan tugas yang seharusnya dilakukan. Dalam hal ini, komunikasi data adalah suatu pemrosesan dalam pentransmisian data yang telah di-encode dengan perantaraan melalui media transmisi, baik bersifat media fisik, seperti kabel twisted pair, kabel opened wire, fiber optik ataupun media non fisik seperti gelombang elektromagnetik, radio, satelit dan sebagainya [3].

Utamanya, komunikasi adalah merupakan bagian dari telekomunikasi yang secara khusus berkenaan dengan transmisi atau pemindahan data dan informasi diantara komputer–komputer dan piranti–piranti yang lain dalam bentuk digital yang dikirimkan melalui media komunikasi data [4]. Data berarti informasi yang disajikan oleh isyarat digital. Komunikasi data merupakan bagian virtual dari suatu masyarakat informasi karena sistem ini menyediakan infrastruktur yang memungkinkan komputer–komputer dapat berkomunikasi satu sama lain.

Pada komunikasi data, kita mengenal adanya suatu protokol yang bertindak sebagai

glandmaster yang bertanggung jawab untuk memberlakukan suatu aturan agar sistem

komunikasi yang terjalin dapat berjalan sebagaimana baiknya dan memiliki relibilitas yang mencakup [1]:

1. Tingkat kemudahan untuk melakukan konfigurasi ( kompatibilitas ) dengan peralatan lain yang setara.

2. Kemampuan untuk memberikan pelayanan dengan akurasi kemampuan yang berbeda pula.


(24)

3. Kemudahan untuk diteliti, dipelajari, dan diamati lebih lanjut untuk pengkajian yang lebih baik lagi dalam memecahkan masalah komunikasi.

4. Kemampuan dalam memberikan alternatif pilihan kepada para user yang ingin melakukan koneksi yang kompeherensif dan progresif yang handal.

2.2.1 Komponen Komunikasi Data

Seperti yang terlihat pada Gambar 2.3, adapun beberapa entitas yang tergolong sebagai komponen komunikasi data dan harus ada dalam suatu kesatuan sistem yang membentuk suatu hubungan jaringan komunikasi yang baik antara lain [1]:

1.Media Pengirim, adalah piranti yang berkenaan dengan proses pengiriman data yang dikirimkan oleh si pengirim ( user ).

2. Media Penerima, adalah piranti yang berkenaan dengan proses penerimaan data yang akan diterima oleh user receiver.

3. Data, adalah paket informasi baik berupa data, suara ataupun gambar yang akan dipindahkan.

4. Media Pengiriman, adalah piranti atau saluran yang dijadikan sebagai media saluran pengiriman data.

5. Protokol, adalah suatu aturan atau kaidah yang berfungsi utnuk menyelaraskan hubungan antar entitas.


(25)

Gambar 2.3 Gambar Blok Sederhana Komunikasi Data

2.2.2 Noise transmisi.

Pada tingkat komunikasi data yang baik, kadangkala permasalahan yang paling riskan yang sering dihadapi adalah Noise pada proses transmisi, terutama dalam lalu lintas komunikasi data antara perangkat fisik pada transmitter, media transmisi atau biasanya pada perangkat

receiver. Adapun noise atau kendala dalam sistem transmisi data yang sering dialami antara lain

interferensi, derau, distorsi, atenuasi dan sebagainya.

2.2.3 Derau

Dalam suatu proses transmisi data, adapun sinyal yang diterima oleh perangkat receiver

memungkinkan telah mengalami penambahan sejumlah sinyal-sinyal tambahan yang tidak dikehendaki keberadaannya, namun hal tersebut justru selalu terjadi. Baik yang telah mengalami sedikit perubahan pada susunan bit informasinya akibat pengaruh distorsi ataupun berkat pengaruh yang lain.

2.2.4 Distorsi

Pada sistem transmisi media guided yang memiliki daerah spektrum frekuensi tersendiri, terkadang dipandang tidak selalu seimbang dengan kecepatan transmisi sinyal yang berjalan dalam media transmisi tersebut. Pada kenyataannya, signal band terbatasi, kecepatannya sangat


(26)

tinggi mendekati pusat frekuensi dan akan turun mengarah pada kedua sisi band. Pada saat frekuensi sinyal yang berlainan terhadap konstanta waktu, hal ini mengakibatkan fasenya akan berubah diantara daerah frekuensi yang berbeda–beda pula.

2.2.5 Atenuasi

Masalah atenuasi atau penyimpangan akibat berbagai faktor yang menghalangi proses pengiriman dalam media transmisi sebenarnya dapat diatasi dengan pemilihan metode yang tepat untuk mengatasinya. Biasanya dalam perhitungannya dapat dinyatakan dalam jumlah desibel konstan per satuan unit jarak. Fungsi yang lebih kompleks dari jarak inilah yang seharusnya mendapat perhatian yang serius untuk memperoleh pertimbangan yang baik dalam membangun suatu sistem transmisi.

2.3 Konsep Dasar Teori Pengkodean

Konsep dari sebuah teori dasar pengkodean adalah untuk mengurangi dampak kesalahan ( error ) yang bisa diakibatkan oleh masalah pengamanan dari informasi digital terhadap kesalahan yang kerap muncul karena pada saat proses transmisi tersebut, justru mengakibatkan sistem menjadi salah pengertian dalam melakukan interpretasi tehadap simbol data–data yang akan diterjemahkan untuk kemudian diproses menjadi sebuah pesan. Hal ini merupakan kendala yang serius terutama dalam proses penyimpanan data. Perlu mendapat perhatian yang serius pula dari seorang insinyur telekomunikasi agar pengontrolan terhadap kesalahan sehingga dapat dilakukan rekonstruksi informasi dan data yang diterima akan memiliki kehandalan dan aktual.


(27)

Untuk itu, dalam mengatasi masalah kesalahan yang tentunya tidak diinginkan tersebut, diperlukanlah suatu sistem pengkodean. Secara sederhana dapat kita lihat pada blok diagram pada Gambar 2.4:

pesan

sinyal Tx sinyal Rx

Gambar 2.4 Gambaran Umum Model Komunikasi

Gambar 2.4 diatas mendeskripsikan bahwa kesatuan sistem komunikasi yang baik adalah suatu sistem yang mampu melakukan tingkat akurasi penyampaian sinyal informasi, dengan meminimalisasikan tingkat kesalahan ( error) data yang dikirimkan oleh si pengirim data melalui perangkat Transmitter, dan dalam proses transmisi data melalui media baik fisik maupun non fisik adalah sangat dijaga kompleksitas kebenaran pengkodean datanya [3].

Kesalahan ( error ) adalah masalah yang paling sering dihadapi dalam sistem komunikasi, sebab selain dapat mengurangi kinerja dari suatu sistem, juga dapat mengakibatkan kehandalan suatu sistem dalam enkripsi data menjadi berkurang. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan suatu sistem yang dapat mengoreksi error, dimana solusinya adalah dengan metode penanganan error dalam pemeriksaan bit. Adapun metode yang dapat dilakukan ada dua, yaitu [4]:

1.Backward Error Control ( BEC )

Sumber Informasi

Transmiter ( Pengirim ) (P i i )

Receiver ( Penerima )

Sumber Noise


(28)

Yaitu metode dimana perangkat pada sisi penerima akan segera mengirimkan sinyal kepada perangkat pengirim untuk melakukan pengiriman ulang jika pada data yang diterima terjadi kesalahan.

2. Forward Error Control ( FEC )

Yaitu metode dimana sebelum proses pengiriman data dilakukan, data tersebut terlebih dahulu dikodekan dengan suatu pembangkit kode ( encoder ), kemudian dikirimkan ke perangkat penerima. Pada sisi penerima tersebut, telah tersedia sebuah penerjemah kode (

decoder ) yang mengkodekan data tersebut, dan apabila terjadi error pada data akan dilakukan

pengkoreksian data. Selanjutnya, bit dari sumber data akan masuk ke encoder untuk dikodekan, selanjutnya bit yang telah dikodekan tesebut dikirimkan melalui kanal, langkah akhirnya akan kembali dikodekan oleh decoder dan data tersebut dikirimkan ke user.

2.4 Teknik Pengkodean Hamming

Teknik pengkodean Hamming memiliki beberapa keunggulan dimana dapat tepat mengoreksi satu kesalahan bit yang timbul. Selain itu masih memiliki keunggulan lainnya yaitu sebagai berikut[5]:

1. Mendeteksi semua kesalahan bit tunggal dan ganda yang dilakukan dengan membandingkan codeword hasil enkoding dengan codeword hasil deteksi decoding, dimana kemampuan untuk mendeteksi error pada kode Hamming dapat dinyatakan dengan rumus = - 1.

2. Mengoreksi semua kesalahan bit tunggal. Jika terdeteksi adanya kesalahan bit dalam blok

codeword pada proses decoding, maka dengan operasi XOR akan diperbaiki sebanyak 1


(29)

bit error yang terdeteksi. Kemampuan koreksi error Hamming dinyatakan dengan rumus : =

Untuk menentukan matriks generator dari kode Hamming yaitu pertama dengan menentukan nilai jumlah bit blok codeword ( anggap sebagai variabel n ) dan Jumlah bit informasinya ( misalkan sebagai variabel k ).

Setelah diperoleh nilai (n) dan (k) tersebut, selanjutnya menentukan nilai polinomials sesuai dengan Tabel 2.1 Polinomial Galois Field GF (2) :

Tabel 2.1 Tabel Polinomial Galois Field (GF) 2

Jumlah Bit Parity ( m ) Polynomials

3 1 1 0 1

4 1 1 0 0 1

5 1 0 1 0 0 1

6 1 1 0 0 0 0 1

7 1 0 0 1 0 0 0 1

Setelah diketahui nilai dari polynomial sesuai dengan Tabel 2.1 diatas lalu disusun matriksnya dengan susunan sebagai berikut, misalkan generator Hamming dengan parity (m) = 3

N = - 1 = 7 K = - 1 – m = 4 Maka langkah pengerjaannya adalah sebagai berikut :

1. Gunakan polinomials dalam Tabel 2.1 diatas sebagai baris pertama dan menambahkan nilai 0 hingga n dengan nama g(x), dimana nilai g (x) = 1 1 0 1 0 0 0


(30)

2. Membuat baris kedua dengan menggeser baris pertama ke kanan, prosesnya x.g(x), dimana nilai x.g(x) = 0 1 1 0 1 0 0.

3. Membuat baris ketiga dengan menggeser baris kedua ke kanan dengan proses .g(x), dan baris tersebut diteruskan selanjutnya hingga sejumlah nilai k. Setelah meneruskannya hingga mencapai nilai k tertentu,maka akan terbentuk matriks generator seperti berikut

g (x) 1 1 0 1 0 0 0 x.g(x) 0 1 1 0 1 0 0 .g(x) = 0 0 1 1 0 1 0 .g(x) 0 0 0 1 1 0 1

Terlihat pada matriks generator diatas, generator yang terbentuk adalah generator non sistematik. Maka untuk mengubahnya menjadi sistematik diperlukan teknik tertentu yang baik dan efisien dilakukan adalah dengan operasi baris elementer. Matriks dari G sistematik merupakan generator dari kode Hamming (7,4).

Adapun laju aliran data bit dari sumber data yang masuk ke encoder akan dikodekan dengan menggunakan suatu generator. Oleh karena itu dalam proses pengkodean Kode Hamming diperlukan suatu generator matriks untuk mengubah sejumlah susunan bit stream data yang diterima sebelum dilakukan pengkodean kembali untuk kemudian dikirimkan ke sisi penerima.

Generator matriks dari Kode Hamming yang dipilih adalah generator matriks Kode hamming yang sistematik, dimana hal ini diperoleh dari hasil multiplikasi antara bit stream

dengan generator matriks Kode Hamming. Kode Hamming hasil perkalian tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk matriks array 2 dimensi. Sebagai contoh kode Hamming (7,4) yang mengkodekan 4 bit stream menjadi 7 bit kode yang akan dikirimkan menjadi sebagai berikut:


(31)

G =

Matriks dari generator diatas dapat diperoleh dari operasi sebagai berikut:

Jika kita misalkan bahwa n1, n2, n3 adalah bit parity dari Kode Hamming dan m1, m2, m3 dan m4 adalah bit data yang akan ditransmisikan maka akan diperoleh suatu hubungan antara bit pariti dan bit datanya. Secara eksplisit dapat diterangkan bahwa bit pariti n1 melakukan suatu pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m2, m3, m4, bit pariti n2 melakukan pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m1, m3, m4 dan bit parity n3 juga melakukan demikian pengoperasian dan pengecekan terhadap bit data m1, m2, m4, sehingga proses operasi bitnya sebagai berikut :

n1 = m2 + m3 + m4 n2 = m1 + m3 + m4 n3 = m1 + m2 + m4

untuk mencari bit–bit pariti dari data tersebut, maka dapat dilakukan dengan memisalkan data yang dikirimkan adalah

m1 = m2 = m3 = m4 =

Maka dapat diperoleh nilai matriks untuk masing–masing nilai n1, n2, dan n3 adalah sebagai berikut:


(32)

n3 = =

Sehingga dari pariti diatas dapat kita bentuk suatu matriks generator yang sistematis dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

G = [ N | M ] ……….. 2.1 )

Dimana G adalah matriks generator, N adalah matriks kolom pariti yang sudah dibuat diatas, dan M adalah matriks identitas.

2.5 Pengdekodean pada Sistem Pengkodean Hamming

Pengdekodean pada sistem pengkodean Hamming dapat dilakukan dengan cara menghitung sindrom yang dihasilkan dengan cara melakukan perkalian antara bit Kode Hamming yang diterima dengan matriks cek pariti yang disesuaikan dengan generator Kode Hamming yang digunakan pada sisi penerima. Contohnya, jika matriks cek pariti yang bersesuaian dengan contoh generator matriks untuk Kode hamming (7,4) diatas adalah sebagai berikut :

H =

Matriks untuk cek pariti diatas dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut :

H = [ M | ……… 2.2 )

Dimana H merupakan matriks cek parity, M merupakan matriks identitas dan merupakan hasil transpose dari matriks pariti N. Dari matriks pariti diatas dapat dihitung sindrom dengan rumus :

S = r . ……… 2.3)


(33)

Dimana : S = sindrom

r = bit kode hamming yang diterima = transposisi dari matriks cek pariti

Adapun untuk metode dan langkah tertentu dalam pengoperasian dengan menggunakan Kode Hamming ini, khususnya untuk operasi penjumlahan maka gunakanlah Tabel 2.2 GF ( )

Tabel 2.2 Tabel Galois Field ( ) untuk Generator Polinomial Hamming

Setelah diperoleh sindromnya, maka dapat diketahui apakah kode yang diterima terdapat kesalahan ( error ) atau tidak dan dicari dimana letak kesalahan yang terjadi bila ada. Jika sindrom yang dihasilkan adalah bernilai 0, artinya tidak terjadi kesalahan, selain itu, berarti ada terjadi kesalahan, sehingga metode yang dipakai untuk mengetahui letak kesalahan tersebut harus disesuaikan dengan matriks , dan bila sindrom tersebut sesuai dengan salah satu kode pada matriks maka dapat disimpulkan bahwa pada posisi tesebut terjadi kesalahan. Kemudian


(34)

ubahlah posisi yang salah tesebut dengan melakukan invertasi dari kode yang diterima, dan mengambil 4 bit dari susunan kode yang terakhir sebagai bit data.

2.6 Teknik Pengkodean BCH

Metode pengkodean BCH merupakan salah satu dari sekian cara yang digunakan untuk mendeteksi dan mengoreksi kesalahan yang terjadi secara random yang mampu untuk mengoreksi beberapa kesalahan ( multiple error ) sekaligus merupakan pengembangan dari metode Hamming Code. Metode ini sendiri ditemukan oleh Bose dan Ray-Chaudhuri pada tahun 1960 dan secara terpisah juga mengalami invensi yang mendalam oleh Hocquenghem pada 1959. Pada awalnya, metode ini diterapkan untuk beberapa nilai m pada kode biner dengan panjang - 1. Kemudian metode ini dikembangkan lebih modern lagi oleh Gorenstein dan Zierler pada tahun 1961 dengan menggunakan simbol dari Galois Field ( GF ) [6].

Adapun metode ini dapat diimplementasikan untuk nilai m ≥ 3 dan t < dan memiliki keterangan sebagai berikut :

Panjang blok yang dikirimkan : n = – 1 ……… 2.4)

Bit informasi : k Jumlah error maksimal : t

Checkbit : c = mt dengan ketentuan n – k ≤ mt

2.7Proses Enkoding Sistem Pengkodean BCH

Merupakan proses pembentukan kumpulan checkbit yang akan dikirimkan bersama informasi yang diproses. Langkah – langkahnya sebagai berikut :

i. Bentuk Galois Field, GF ( )


(35)

ii. Tentukan nilai 2t – 1 buah minimal Polinomial, karena bilangan polinomial pangkat genap adalah penggandaan dari polinomial pangkat ganjil, maka polinomial pangkat ganjil saja yang diambil.

iii. Bentuk generator polinomial yang merupakan kelipatan persekutuan terkecil ( KPK ) dari hasil multiplikasi semua minimal Polinomial yang dipilih.

iv. Bubuhkan bit 0 pada belakang bit biner dari pesan dengan panjang sebesar derajat dari generator polinomial.

v. Lakukan operasi pembagian biner terhadap gabungan dari pesan dan bit 0 dengan generator polinomial.

vi. Sisa bagi dari operasi pembagian biner tersebut diatas merupakan checkbit. vii. Bit informasi + checkbit dikirimkan.

2.8 Proses Pengdekodean pada teknik pengkodean BCH

Sedikit memiliki perbedaan dengan pengdekodean pada teknik pengkodean Hamming, pada metode BCH yaitu proses pendeteksian dan pengoreksian kesalahan apabila ditemukan kesalahan. Adapun prosedur pendeteksian kesalahan pada proses dekoding adalah sebagai berikut [10] :

a. Prosedur pendeteksian kesalahan ( error detection ).

i. Lakukan operasi pembagian tehadap gabungan dari bit informasi dan checkbit

dengan generator polinomial.

ii. Jika sisa pembagian = 0, berarti tidak dideteksi adanya kesalahan. iii. Jika tidak, berarti ditemukan adanya kesalahan.


(36)

i. Tentukan 2t buah minimal polinomial.

ii. Hitung sindrom ( …. ) dari codeword ( bit informasi + checkbit) yang diterima. Dalam hal ini, terdapat 2t komponen dalam vektor.

iii. Bentuk tabel BCH dengan menggunakan algoritma Peterson-berlekamp berikut :

1. Set nilai awal dari beberapa variabel berikut:

= 0

2. jika , maka

…….. 2.5)

3. Jika , maka carilah sebelum sedemikian rupa sehingga , 1 ≤ m ≤ n, dan nilai m - akan mempunyai nilai yagn maksimum, dimana kemudian dapat digunakan untuk menghitung nilai berikut:

= max [ , .

iv. Untuk setiap atau , maka variansi dari berikutnya menjadi:


(37)

……….. 2.6)

Dimana adalah koefisien ke-I dari dan memenuhi syarat 1 ≤ I ≤ .

v. Hasil akhir merupakan polynomial pendeteksi lokasi ditemukannya kesalahan.

vi. Setelah proses tersebut diatas selesai lalu akan dicari akar dari persamaan polynomial tersebut dengan metode trial and error, yaitu dengan mencoba semua nilai elemen dari GF (2m). Nilai tersebut merupakan akar apabila hasil proses perhitungan polynomial = 0.

vii. Kemudian carilah nilai kebalikan dari akar – akar tersebut. Nilai ini merupakan posisi bit error.

Untuk menghitung nilai probabilitas kesalahan yang dinilai pada Error Rate

Calculation setelah melewati kanal noise, maka secara matematis dapat dihitung sebagai berikut

:

= erfc ………2.7)

Dimana : = Probabilitas kesalahan bit tidak dikode

,tidak dikode = 1- = 4 dimana << 1

Untuk nilai perbandingan dari Eb/No berdasarkan blok kode [7,4] tidak efektif memperbaiki kesalahan hingga = atau kurang, maka digunakanlah kode yang panjang untuk memperbaiki kesalahan cukup besar.


(38)

BAB III

KONSEP PEMODELAN DAN SIMULASI PENGKODEAN

3.1 Umum

Suatu sistem perlu diterapkan sejumlah asumsi tentang bagaimana sistem tersebut bekerja untuk dipelajari perilaku dan sikap dari sistem terrsebut didalam melakukan suatu pekerjaan yang berkaitan dengan proses pengolahan dan pentransmisian data, dalam hal ini berupa pengkodean dan pengdekodean. Asumsi-asumsi tersebut nantinya akan membentuk model sistem yang bisa dimanfaatkan guna mempelajari perilaku suatu sistem yang dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan matematis dan logis. Jika hubungan yang terdapat pada hubungan tersebut dirasakan membentuk pola yang sederhana, maka dimungkinkan untuk si pengolah data untuk menerapkan suatu metode matematis terhadap pernyataan dan permasalahan yang ingin diketahui kepastian jawabannya dengan cara mendapatkan informasi yang akurat atau jawaban pendukung yang eksak, dimana informasi semacam itu disebut sebagai langkah konkret untuk menyelesaikan secara analitik [7].

Metode simulasi merupakan pendekatan yang dipakai untuk memecahkan pelbagai permasalahan yang terjadi di dalam bidang pengerjaan berkaitan dengan dunia nyata yang mengandung ketidakpastian dan kemungkinan terjadi dalam jangka waktu yang lama dan tidak dapat diperkirakan secara pasti. Dengan melakukan pengerjaan metode simulasi, seorang analisis akan dimudahkan dalam pengambilan suatu keputusan tentang sistem yang akan dibangun tersebut tanpa harus membangunnya terlebih dahulu seperti melakukan rekonstruksi sistem tanpa melibatkan kegiatan yang sedang dilakukan dan berjalan.


(39)

Untuk itu perlu kita mengetahui kemudahan yang akan diperoleh jika kita menggunakan simulasi, diantaranya [9] :

1. Perancangan perangkat, tampilan fisik, sistem transportasi dan lainnya dapat dilakukan dan dicoba tanpa memerlukan objek yang nyata dan asli.

2. Dapat menerapkan peraturan, proses operasi aliran data, dan hal baru yang lainnya tanpa mengganggu operasional sistem yang nyata.

3. Hipotesis tentang terjadinya suatu fenomena dapat diketahui kebenarannya.

4. Dapat mengamati pentingnya peran dari suatu variabel dalam performansi sebuah sistem. 5. Dapat mengamati interaksi antar variabel dengan jelas.

6. Dapat membantu memahami bagaimana suatu sistem berjalan sebenarnya, bukan berdasarkan pemikiran perorangan.

Permasalahan yang sering dihadapi dalam membuat suatu model simulasi bukan tidak mungkin tanpa halangan. Model simulasi yang diterapkan juga memiliki kecendrungan yang berarti dalam kesulitan mengerjakannya. Salah satunya dalam melakukan perancangan model yang merupakan seni yang dipelajari melalui pengalaman seseorang. Oleh karena itu, perancangan antara dua individu dapat saja memiliki kemiripan, Namun satu sisi dapat terlihat perbedaannya dengan yang lainnya. Selain itu, kesulitan yang kerap dijumpai dalam hal melakukan interpretasi hasil keluaran simulasi yang banyak mengandung variabel acak. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam menentukan hasil simulasi apakah berdasarkan hubungan antar komponen sistem ataupun hanya berupa randomatif sistem tersebut. Namun dalam beberapa kasus, solusi analisis dapat dimungkinkan atau mungkin juga lebih disukai. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum dapat mensimulasikan sistem, maka terlebih dahulu harus dikembangkan model dari sistem yang bersangkutan [8].


(40)

Adapun tujuan dari studi pemodelan adalah untuk menentukan informasi ( variabel dan parameter ) yang dianggap penting untuk dikumpulkan, sehingga tidak ada model yang unik. Karena keunikan yang terdapat pada suatu sistem tersebut tidak menghasilkan suatu metode yang bersifat menutupi kompleksnya suatu sistem yang sulit, namun menambah tingkat kesulitan tersebut. Satu sistem dapat memiliki pelbagai model, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan si pembuat model itu sendiri.

Suatu model yang baik menjadi pertimbangan yang sangat penting yang harus dilakukan oleh si pembuat model sebelum memulai untuk perancangan model tersebut. Untuk menilai apakah model tersebut dapat dianggap baik cukup sulit, tetapi garis besarnya dapat disebutkan kriteria suatu model yang baik antara lain :

1. Mudah dimengerti pemakainya 2. Harus mempunyai tujuan yang jelas 3. Dinyatakan secara jelas dan lengkap

4. Mudah dikontrol dan dimanipulasikan oleh pemakai 5. Mengandung pemecahan masalah yang penting dan jelas 6. Mudah diubah, mempunyai prosedur modifikasi

7. Dapat berkembang dari sederhana menuju kompleks

3.2 Pengklasifikasian Model

Model adalah suatu tiruan yang diciptakan dengan melakukan pendekatan terhadap objek–objek nyata, dimana memiliki sifat seperti beberapa objek yang nyata tersebut, disamping memiliki fungsi yang sama dengan objek–objek yang nyata. Adapun klasifikasi model akan mempermudah usaha kita dalam memahami setiap langkah yang dilakukan dan makna serta


(41)

kepentingan dari pemodelan yang dirancang. Jenis–jenis model dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Struktur Model, a. Model Ikonik

Model ikonik adalah perwakilan dari tiruan fisik dari beberapa hal, baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda pula. Model ini mempunyai karakteristik yang sama dengan yang direpresentasikannya, terutama yang bersesuaian dengan menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. Adapun model dapat berdimensi dua ( foto, peta ) ataupun tiga dimensi ( prototype mesin, alat dan lainnya ). Pengecualian pada model yang berdimensi lebih dari tiga dimana tidak mungkin lagi dikonstruksi secara fisik sehingga diperlukan kategori model simbolik untuk penyelesainnya.

b. Model Analog ( model diagramatik)

Model ini adalah suatu tiruan yang dapat digunakan untuk mewakili situasi dinamik, yaitu keadaan yang berubah menurut waktu. Perlu diketahui bahwa model ini lebih sering digunakan daripada model ikonik karena kemampuannya untuk memebrikan separasi dari kejadian yang sedang dikaji. Disamping itu, model analog juga sesuai dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara sifat dari berbagai komponen. Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya, maka kemampuan untuk membuat setiap langkah perubahan dapat ditingkatkan. Contoh dari model ini salah satunya kurva permintaan pada ekonomi, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir. Model ini lebih banyak digunakan karena kesederhanaannya, namun sangat efektif pada situasi yang khas.


(42)

c. Model Simbolik ( Model matematik )

Yaitu jenis model yang umumnya dipakai pada suatu persamaan, dimana dituliskan dalam bentuk angka, simbol, dan rumus ditandai dengan persamaan yang tepat, singkat, dan mudah untuk dimengerti. Simbol persamaan tidak saja mudah untuk dilakukan manipulasi dibangingkan dengan kata – kata, namun juga lebih cepat untuk ditanggapi maksudnya. Suatu logika simbolis digunakan dengan melengkapinya melalui bahasa yang universal pada penelitian operasional dan ilmu sistem.

2. Berdasarkan fungsinya, a. Model deskriptif

Yaitu model yang hanya menggambarkan situasi sistem tanpa gambaran tentang miniatur objek yang diteliti.

b. Model Prediktif

Yaitu model yang menjelaskan gambaran tentang situasi yang akan terjadi dan bila suatu terjadi.

c. Model Normatif

Yaitu model yang membrikan gambaran terhadap permasalahan yang dihadapi. Model ini disebut juga model simulasi.

3. Berdasarkan referensi waktu, yaitu a. Model Statis (Model Diskrit)

Yaitu model yang tidak memasukkan faktor waktu dalam perumusannya, dimana definisi waktu hanya dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat (integer), dan umumnya dalam bentuk simbolis dinyatakan dengan k. Contoh model sistem ekonomi makro suatu Negara dengan variabel integer waktu diskrit bulan atau tahun.


(43)

b. Model Dinamis (Model waktu Kontinu)

Yaitu model yang mempunyai unsur waktu dalam perumusannya dan menunjukkan perubahan setiap saat akibat aktivitasnya terhadap waktu tersebut. Sebagai contohnya, model sistem persamaan gerak dinamis pesawat terbang dengan variabel real waktu kontinu dalam detik.

4. Berdasarkan peristiwa yang terjadi dalam sistem, model sistem terbagi menjadi: a. Model Sistem Kejadian Kontinu

Yaitu model sistem dimana peristiwa masukan, keluaran, dan keadaan (state) terjadi secara terus–menerus. Contoh model ini adalah sistem persamaan gerak mobil dimana seorang supir memberikan perintah kontinu kepada mobil, agar kecepatan konstan sesuai yang diinginkan.

b. Model Sistem Kejadian Diskrit

Yaitu model sistem dimana peristiwa masukan, keluaran dan keadaan terjadi tidak terus–menerus tetapi kadang saja. Contoh dalam model permainan catur atau model permainan perang ( war game) dimana pemain atau komandan memberikan perintah ke sistem tidak terus–menerus.

3.3 Bilangan Acak

Sekumpulan bilangan yang dihasilkan dari sebuah pembangkit ( generator) dan memiliki bentuk yang secara acak dengan urutan random tertentu dikatakan sebagai bilangan acak. Bilangan acak digunakan untuk memodelkan sebuah objek dalam sistem yang dalam bentuk matematisnya tidak diketahui secara pasti namun dapat berupa sebuah probabilitas.


(44)

3.3.1 Bilangan Acak Normal.

Suatu bilangan acak yang tedistribusi normal dapat dibangkitkan dengan beberapa cara, dimana salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan polar method. Adapun langkah – langkah dilakukan untuk membangkitkan bilangan acak yang tedistribusi secara normal adalah sebagai berikut:

1. Bangkitkan dan sebagai IID U (0,1) lalu hitunglah nilai = 2 - 1 dimana untuk nilai i = 1, 2 dan persamaan W = + .

2. Jika W > 1, maka kembali ke langkah pertama. Jika tidak, hitung nilai Y = , = = . Maka dan tersebut adalah bilangan acak berdistribusi normal.

3.3.2 Bilangan Acak Poisson

Bilangan acak yang terdistribusi secara Poisson didapat dari hubungan antara Poisson (λ)

dan eksponensial ( 1/ λ) dimana algoritmanya adalah sebagai berikut:

1. Hitung nilai a = , b = 1, dan nilai I = 0.

2. Bangkitkan U (0,1) dan ubah nilai b menjadi b . Jika b > a, maka balikkan nilai X = i. Selain daripada itu maka lanjutlah ke langkah 3.

3. Ubahlah I menjadi i+1 dan kembali ke langkah 2.

3.3.3 Bilangan acak Bernoulli

Bilangan acak yang terdistribusi secara Bernoullli sendiri, diperoleh dari suatu pembangkitan bilangan acak yang menggunakan distribusi Bernoulli, dimana dalam hal ini menggunakan asumsi bahwa parameter yang terlibat disimbolkan dengan p ( probabilitas nol ) dan yang lain ( probabilitas bukan nol dimana nilai probabilitasnya 1 – p ). Distribusi Bernoulli


(45)

memiliki nilai rataan bernilai 1 – p dan variansi p ( 1 – p). dalam hal ini, probabilitras nol diwakili oleh p dan nilai bilangan sembarang real antara 1 dan 0.

3.4 Perancangan Pemodelan Simulasi Teknik Pengkodean Hamming dan BCH

Untuk melakukan perancangan model dengan simulasi Simulink, yang harus diperhatikan adalah availibilitas dan kesesuaian blok–blok fungsi yang akan digunakan dalam membuat rancangan model sistem komunikasi. Kesemua unsur blok–blok fungsi tersebut memiliki kegunaan tersendiri, baik pada Model Simulink Sistem Pengkodean Hamming dan Sistem Pengkodean BCH.

Berikut adalah langkah–langkah yang dilakukan dalam membuat model Simulink dengan Teknik Pengkodean Hamming dan BCH :

1. Melakukan pemanggilan terhadap Simulink pada Matlab Window, setelah itu akan ditampilkan sebuah Simulink Window kosong yang bernama “ untitled* “ . Kita dapat menggantikan langsung nama file simulink model ini secara langsung. Ada baiknya, sebelum memulai melakukan import sejumlah blok fungsi yang akan digunakan, kita pastikan terlebih dahulu dengan membuat suatu sketsa sistem yang akan dirancang. Dalam pembuatan model ini, penulis menggunakan beberapa blok fungsi yang ditampilkan pada Tabel 3.1 untuk Sistem Pengkodean Hamming dan Tabel 3.2 untuk Sistem Pengkodean BCH


(46)

Tabel 3.1Blok-blok Fungsi Simulink pada Sistem Pengkodean Hamming

No Blok Fungsi Fungsi

1 Untuk melakukan proses multiplikasi antara

kode bit informasi yang diterima dengan Generator Matriks Hamming [7,4]

2 Untuk melakukan proses pengdekodean

kembali dimana terdapat proses deteksi error dan invertasi kode bit yang terkena error

3 Untuk membangkitkan/menambah noise pada

kanal dimana untuk mengetahui kestabilan sistem tersebut.

4 Untuk membangkitkan bilangan acak dengan

urutan random (vektor)

5 Untuk melakukan perhitungan terhadap laju

kesalahan dimana juga terdapat proses pendeteksian kesalahan

6 Untuk menampilkan hasil keluaran (dalam hal

ini hasil dari Error Rate calculation)

7 Untuk memperlihatkan bentuk sinyal selama

proses pada suatu sistem berlangsung

8 Untuk mengubah nilai input yang masuk

dalam bentuk skalar menjadi vektor matriks

9 Untuk mengubah nilai vektor matriks menjadi

keluaran dalam bentuk skalar

10 Untuk menampilkan bentuk sinyal selama

proses dalam suatu sistem berlangsung

Hamming Encoder Hamming Encoder Hamming Decoder Hamming Decoder Binary Symmetric Channel BSC Err Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary Error Rate Calculation Error Rate Calculation Tx Rx Display Scope Buffer Unbuffer Vector Scope Time


(47)

Tabel 3.2 Blok- blok Fungsi pada Pemodelan Simulink Sistem Pengkodean BCH

No Blok Fungsi Fungsi

1 Untuk melakukan proses multiplikasi

antara kode bit informasi yang diterima dengan Generator Matriks BCH [15,7]

2 Untuk melakukan proses pengdekodean

kembali dimana terdapat proses deteksi error dan invertasi kode bit yang terkena error

3 Untuk membangkitkan/menambah noise

pada kanal dimana untuk mengetahui kestabilan sistem tersebut.

4 Untuk membangkitkan bilangan acak

dengan urutan random (vector)

5 Untuk melakukan perhitungan terhadap

laju kesalahan dimana juga terdapat proses pendeteksian kesalahan

6 Untuk menampilkan hasil keluaran (dalam

hal ini hasil dari Error Rate calculation)

7 Untuk memperlihatkan bentuk sinyal

selama proses pada suatu sistem berlangsung

8 Untuk mengubah nilai input yang masuk

dalam bentuk skalar menjadi vektor matriks

9 Untuk mengubah nilai vektor matriks

menjadi keluaran dalam bentuk skalar

10 Untuk menampilkan bentuk sinyal selama

proses dalam suatu sistem berlangsung

11 Menampilkan hasil pemrosesan sistem

dengan tampilan array pada matlab window BCH Encoder BCH Encoder BCH Decoder BCH Decoder Binary Symmetric Channel BSC Err Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary Error Rate Calculation Error Rate Calculation Tx Rx Display Scope Buffer Unbuffer Vector Scope Time Signal To Workspace yout


(48)

2. Membangkitkan Sumber Data

Setelah simulink model window terlihat, dilakukan import blok fungsi yang diinginkan dimana dapat diambil dari Simulink Library yang memuat semua blok -blok. Carilah blok Bernoulli, kemudian tambahkan pada model simulink yang telah kita beri nama, seperti yang terlihat pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Blok Fungsi Bernoulli

3. Seperti langkah nomor 2 diatas, lakukan pula import untuk blok fungsi Encoder-nya pada Simulink Library untuk “ Hamming Encoder “ dan “ BCH Encoder “ pada masing– masing sistem komunikasi yang menggunakan teknik pengkodean Hamming dan BCH. Kemudian ditarik garis penghubung antara encoder tersebut ke Bernoulli generator sehingga terhubung seperti Gambar 3.2

Gambar 3.2 Blok Fungsi Bernoulli dan Hamming Encoder Vector

Scope Time

Buffer Bernoulli Binary

Generator Bernoulli

Binary

Vector Scope Time

Hamming Encoder Hamming Encoder Buffer

Bernoulli Binary Generator

Bernoulli Binary


(49)

Terlihat pada Gambar 3.2 diatas, ada beberapa penambahan blok fungsi lain pada model sistem yang dirancang, yaitu Buffer yang berfungsi untuk mengkonversi besaran skalar menjadi bentuk biner yang telah di- frame dan vector scope, dimana blok parameternya dapat dilihat pada Lampiran1. Sedangkan untuk model simulink dengan Pengkodean BCH dapat dilihat pada Gambar 3.3

Gambar 3.3 Blok fungsi Bernoulli dan BCH Encoder

4. Selanjutnya menambahkan kanal Noise pada model simulink dimana urutannya setelah Encoder-nya sedemikian rupa. Untuk menguji perbandingan kinerja sebenarnya, maka kanal noise yang digunakan pada masing–masing sistem simulink untuk teknik pengkodean yang berbeda, maka digunakan pula kanal yang berbeda. Pada model sistem dengan teknik pengkodean Hamming, kanal yang digunakan adalah BSC ( Binary

Symmetric Channel ) dimana fungsinya untuk memproses sejumlah inputan vektor secara

independen dari sejumlah frame data yang masuk seperti pada Gambar 3.4

Buffer

Bernoulli Binary Generator

Bernoulli Binary

BCH Encoder BCH Encoder


(50)

Gambar 3.4 Model Simulink sistem pengkodean Hamming dengan kanal BSC

Sementara itu, pada model simulink sistem dengan teknik pengkodean BCH, kanal noise yang digunakan adalah sama seperti pada teknik pengkodean Hamming yaitu kanal BSC dimana untuk setiap input yang masuk akan keluar sesuai dengan bentuk masukannya, contohnya untuk nilai inputan dalam bentuk skalar maka akan dikeluarkan bentuk sinyal yang sama dengan penambahan noise yang telah disesuaikan pula. Bentuk model dapat dilihat pada Gambar 3.5

Gambar 3.5 Model Simulink sistem Pengkodean BCH dengan Kanal BSC

Vector Scope 1 Time Vector Scope Time Hamming Encoder Hamming Encoder

Buffer Binary Symmetric

Channel BSC Err Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary Vector Scope Time Buffer Binary Symmetric Channel BSC Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary BCH Encoder BCH Encoder


(51)

5. Setelah penambahan kanal Noise pada masing–masing model simulink kedua sistem dengan Teknik Pengkodean Hamming dan BCH dilakukan pada proses modulasinya, selanjutnya dilakukan teknik dekoding. Pada model simulink dengan pengkodean Hamming, teknik dekoding terlihat sanagat sederhana dengan menambahkan “ Hamming

Decoder” pada simulink window dari Simulink Library. Namun yang membedakannya

dengan sistem pengkodean BCH adalah penambahan beberapa komponen lain yang turut serta dalam proses dekoding data hingga memasuki bagian Error rate Calculator Block. Diantaranya terdapat Unbuffer dan Relational Operator yang dimana parameter bloknya dapat dilihat pada Lampiran 2. Disini juga ditambahkan komponen Scope untuk melihat bentuk bit yang telah di dekoding-kan dalam bentuk sinyal digital yang akan dibandingkan dengan sinyal yang keluar dari relation operator dan unbuffer dari

Hamming Decoder. Bentuk simulink dengan penambahan komponen tesebut pada model

sistem pengkodean Hamming telihat pada Gambar 3.6

Gambar 3.6 Model Simulink Pengkodean Hamming dengan Hamming Decoder

Sementara itu, pada sistem pengkodean BCH, turut dilakukan import terhadap kanal noise BSC, kemudian diikuti dengan penambahan BCH Decoder dari Simulink Library. Sedemikian rupa, untuk menyamakan bentuk keluaran sinyal informasi dari input yang

Vector Scope 1 Time Vector Scope Time Hamming Encoder Hamming Encoder Hamming Decoder Hamming Decoder Buffer Binary Symmetric Channel BSC Err Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary


(52)

melalui proses Buffer maka dipakai pula Unbuffer pada bagian dekoding, sehingga bentuk model simulink terlihat pada Gambar 3.7

Gambar 3.7 Model Simulink Sistem Pengkodean BCH dengan BCH Decoder

6. Selanjutnya proses akhir dari model Simulink Sistem Pengkodean akan ditambahkan blok fungsi Error Rate Calculation pada masing–masing model sistem pengkodean, dimana posisinya setelah blok fungsi dekoding. Tidak ada perbedaan dalam penambahan komponen blok fungsi untuk kedua model sistem pengkodean. Baik dalam model simulink sistem pengkodean Hamming maupun BCH, cukup mengimpor blok fungsi

Error Rate Calculation pada Simulink Library dan ditambahkan ke simulink window,

namun hal yang perlu diperhatikan, ketika proses penambahan tersebut kita terlebih dahulu harus membuka Simulink Window sistem pengkodean yang akan kita tambahkan komponennya. Sebagai pembanding bentuk sinyal outputnya, maka akan ditambahkan pula Scope. Setelah susunan error rate calculation ditambahkan, maka segera import pula blok Display dari Simulink Library untuk menampilkan hasil nominal dari bit

Vector Scope Time

Buffer

Binary Symmetric Channel

BSC

Bernoulli Binary Generator

Bernoulli Binary

BCH Encoder BCH Encoder

BCH Decoder BCH Decoder


(53)

keluaran, dimana sesuai dengan keterangan pada Lampiran 3 terlihat beberapa parameter nominal berupa biner, heksa ataupun bentuk bilangan lainnya.

Pada model simulink sistem pengkodean Hamming penambahan Error Rate Calculation

akan menampilkan bentuk akhir dari sistemnya seperti pada Gambar 3.8

Gambar 3.8 Model Simulink Sistem Pengkodean Hamming

Seperti halnya pada bagian akhir sistem pengkodean Hamming diatas, demikian pula halnya pada sistem pengkodean BCH dengan menambahkan blok fungsi Error Rate

Calculation dan Display pada simulink window yang diimpor dari Simulink Library

sehingga akan terlihar seperti pada Gambar 3.9

Vector Scope 1 Time Vector Scope Time Unbuffer 1 Unbuffer Signal To Workspace BER Scope 2 Scope Relational Operator <= Hamming Encoder Hamming Encoder Hamming Decoder Hamming Decoder Error Rate Calculation Tx Rx Rst Display Buffer Binary Symmetric Channel BSC Err Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary


(54)

Gambar 3.9 Model Simulink Sistem Pengkodean BCH

7. Perancangan model simulink sistem pengkodean akan terlihat baik jika seluruh hubungan antara blok fungsi–blok fungsi tersebut, kesemuanya telah terhubung dan pastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan. Setelah itu, masing-masing model simulink sistem tersebut disimpan agar mempermudah untuk dilihat kembali dan dilakukan analisis sistemnya. 8. Untuk memastikan bahwa model simulink tersebut dapat berjalan dengan baik, dapat

dilakukan dengan melakukan uji operasi model dengan menlakukan “ Run file” pada simulink window. Jika sistem dapat berjalan dengan baik, maka akan telihat pada blok display yang menampilkan hasil perhitungan oleh Error Rate Calculation dan pada blok

scope akan menampilkan bentuk bit informasi yang tengah diproses. Dengan demikian

model simulink tersebut dapat dikatakan berjalan dengan baik. Jika model simulink tesebut ketika dijalankan menampilkan comment window yang berisi informasi error, kita dapat memeriksa kembali susunan blok fungsi pada model simulink yang dibuat dengan

Vector Scope 1 Time Vector Scope Time Unbuffer Signal To Workspace BER Scope 1 Error Rate Calculation Tx Rx Rst Buffer Binary Symmetric Channel BSC Bernoulli Binary Generator Bernoulli Binary BCH Encoder BCH Encoder BCH Decoder BCH Decoder


(55)

mengikuti prosedur informasi kesalahan yang ditampilkan pada comment window

tersebut. Setelah dilakukan perbaikan pada blok fungsi ataupun penetapan parameter pada blok fungsi yang harus dikoreksi, model simulink terebut disimpan dan diuji kembali kelayakannya.


(56)

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA TEKNIK PENGKODEAN HAMMING DAN BCH PADA SISTEM KOMUNIKASI DIGITAL

4.1 Umum

Pada sistem komunikasi digital, masalah yang kerap sekali muncul pada umumnya adalah

bit error rate dari data yang diterima dari sisi pengirim, yang biasanya diakibatkan oleh adanya

noise dan interferensi yang terdapat pada sepanjang kanal transmisi. Untuk itu, diperlukanlah teknik pengkodean yang dapat meminimalisasi terjadinya bit error rate tersebut dalam hal penanganan terjadinya bit yang timbul.

Ada pelbagai pola metode yang digunakan dalam sistem komunikasi digital, salah satunya adalah dengan menerapkan teknik pengkodean tertentu, seperti Kode Hamming dan Kode BCH.

4.2 Model Sistem

Pada proses pengujian model yang akan disimulasikan, dimana baik sistem pengkodean Hamming maupun BCH menggunakan pembangkit generator bilangan acak yang sama yaitu terdistribusi secara Bernoulli dan menggunakan beberapa blok fungsi yang turut melengkapi efektifitas dari sistem pengkodean tersebut, sehingga terbentuklah model sistem komunikasi seperti pada Gambar 3.8 dan Gambar 3.9 Proses simulasi dimulai dengan menekan tombol bertanda “ ► “ pada simulink window sistem pengkodean yang diuji, yang artinya simulasi segera dilakukan. Selanjutnya sejumlah bit dibangkitkan dari generator bilangan acak, dimana bit informasi yang dibangkitkan dalam bentuk 7 bit dan segera dilakukan buffer sebelum diteruskan


(57)

ke bagian enkoding. Pada unit enkoding, masing–masing bit informasi yang telah dibuffer akan dikalikan dengan Generator matriks teknik pengkodean pada masing–masing sistem tersebut. Pada sistem pengkodean Hamming, bit informasi akan dikalikan dengan generator matriks Hamming [ 7,4], sementara pada sistem pengkodean BCH akan dikalikan dengan Generator matriks BCH [ 15,7].

Setelah melalui proses enkoding tersebut, maka akan dihasilkan bit Hamming dan bit BCH yang akan melalui proses pentransmisian melewati kanal Noise yang telah dimodelkan pada masing-masing sistem pengkodean tersebut. Selanjutnya bit informasi ini akan didekodekan kembali sebelum akhirnya akan dibandingkan hasil kesalahannya oleh Error Rate Calculation

yang ditampilkan oleh display. Dalam hasil akhirmya akan dilihat bentuk bit informasi yang diterima oleh tampilan pada scope.

4.3 Flow Chart Simulasi

Susunan proses simulasi yang dijalankan pada masing–masing sistem pengkodean mengacu kepada flowchart yang telah ditetapkan. Diawali oleh proses enkoding pada sistem pengkodean Hamming hingga proses dekoding pada bit informasi yang diterima oleh receiver, dan penyimpanan data pada array seperti pada Gambar 4.1 (untuk proses enkoding) dan Gambar 4.2 (untuk proses dekoding). Sementara hal yang sama juga diterapkan pada sistem pengkodean BCH, dimana proses enkoding juga turut disertakan hingga proses akhir penyusunan kembali struktur bit informasi yang ditransmisikan seperti pada Gambar 4.3 (untuk proses enkoding) dan Gambar 4.4 (untuk proses dekoding)


(58)

Gambar 4.1 Flowchart Proses Enkoding pada Teknik Pengkodean Hamming

Proses enkoding dimulai dengan proses inisialisasi dari sejumlah data masukan yang dibangkitkan oleh Generator bilangan acak, kemudian setiap data yang diterima oleh enkoder akan langsung dilakukan operasi multiplikasi dengan generator matriks Hamming, inilah yang disebut kode Hamming. Selanjutnya jika data yang diterima oleh enkoder tidak ada kesalahan


(59)

maka akan disimpan ke dalam array. Baik proses enkoding pada BCH juga memiliki alur yang sama dengan kode Hamming seperti pada Gambar 4.3

Pada proses penerimaan data masukan dari enkoder yang menghasilkan kode Hamming,akan dilakukan proses yang sama dengan proses enkoding yakni melakukan inisialisasi terlebih dahulu untuk bit tersebut untuk selanjutnya akan dilakukan kalkulasi pengecekan terhadap kesalahan yang timbul yang dinamakan Syndrome Error dimana disini dilakukan 2 kali perbandingan yaitu terhadap nilai Syndrome 1 dan Syndrome 2. Jika dekoder mendeteksi nol, artinya tidak terdapat kesalahan, dan proses dekoding dihentikan. Namun jika tidak, proses akan berlangsung kembali untuk menentukan posisi kesalahan dan error locator

polynomial. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 4.2. Serupa dengan proses dekoding

Hamming, pada BCH juga akan mengalami perhitungan terhadap error locator, namun pada posisi kesalahan yang terdeteksi dilakukan dengan cara invers dari akar-akar polinomialnya, kemudian disesuaikan terhadap urutan dari frame data yang dideteksi kesalahannya. Selanjutnya setelah diperbaiki posisi kesalahan, dikeluarkan bit parity dan diambil data yang dihitung mulai dari urutan ke 8. Hal ini seperti yang dijelaskan pada Gambar 4.4


(60)

Gambar 4.2 Flowchart Proses Dekoding pada Sistem Pengkodean Hamming


(61)

Ya

Tidak

Gambar 4.3 Flowchart Proses Enkoding pada BCH

Mulai

Ambil k bit data

Ambil k bit berikutnya inisialisasi

Simpan kode pada Array Markdata <

nbit - k

Kalikan k bit dengan Generator Matriks


(62)

Tidak

Ya

Ya

Tidak Ya

Tidak

Gambar 4.4 Flowchart Dekoding Sistem Pengkodean BCH

Mulai

inisialisasi

Markdata < nbit - k

Ambil k bit data

= 0

0

Hitung error locator polinomial

Cari akar-akar error locator polinomial

Ambil n bit berikutnya

Simpan pada array

Keluarkan bit pariti

Perbaiki bit yang error

Cari posisi error Selesai


(63)

4.4 Parameter Simulasi

Pada simulasi model simulink sistem pengkodean Haming dan BCH ini melibatkan beberapa parameter pengukuran yang digunakan sebagai perbandingan untuk menentukan kinerja sistem pengkodean manakah yang paling baik dan optimal dalam meminimalisasikan tingkat kesalahan data selama dalam proses transmisi sehingga menghasilkan bit informasi yang mendekati kebenaran.

Tabel 4.1 Parameter yang digunakan dalam Simulasi Model Simulink Sistem

Parameter Keterangan

Probabilitas error kanal Bilangan real < dari nol atau 0

Kanal transmisi BSC ( Binary Symmetric Channel) pada sistem Hamming dan BCH

Jumlah bit informasi 7 bit

Signal to Noise Ratio dB

Adapun beberapa parameter lainnya seperti nilai BER ( Bit Error Rate ) dapat ditentukan selanjutnya dimana hal tersebut dapat divariasikan sesuai dengan nilai parameter lainnya yang akan diubah – ubah dalam simulasi.

4.5 Hasil Simulasi dan Analisis

Simulasi sistem ini dilakukan dengan menggunakan Simulink Matlab R2007a dengan cara melakukan input data maksimum sebanyak 1e8 dimana oleh pembangkit bilangan acak akan secara random mengambil sembarang data masukan untuk segera diolah di dalam model


(64)

simulink tersebut untuk dilihat analisis perbandingan kinerjanya berupa perhitungan terhadap kesalahan data yang muncul selama proses pengiriman pesan tersebut, baik oleh Model Kode Hamming maupun BCH. Pada simulasinya, akan diamati kesalahan yang timbul untuk masing – masing nilai Eb/No yang berubah–ubah dan laju kesalahan datanya yang dihasilkan mengikuti perubahan harga Eb/No tersebut.

Setelah simulasi tersebut berjalan, maka akan terlihat pada kondisi BERtool untuk kinerja masing–masing model simulink dimana akan ditampilkan dalam bentuk grafik, pada akhirnya kedua grafik yang muncul tersebut akan terlihat perbandingan kinerja sistem pengkodean mana yang baik diterapkan dalam sistem komunikasi digital.

4.6 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean Hamming

Berikut adalah data yang diperoleh dari simulasi sistem pengkodean Hamming, dimana untuk setiap nilai Eb/No yang berubah dengan selisih 1 dB selama 30 kali percobaan, dimana hal ini terdistribusi secara Normal, sehingga hasil simulasi untuk masing–masing percobaan pada sistem pengkodean Hamming dapat dilihat pada Tabel 4.2


(65)

Tabel 4.2 Hasil Simulasi untuk BER kanal 1e1 pada sistem pengkodean Hamming

No Eb/No ( dB ) Jumlah Error BER Kanal BER Data

1 1 dB 137 0.000345 4.30E-03

2 2 dB 117 0.00324 3.28E-03

3 3 dB 96 0.000023 6.33E-03

4 4 dB 72 0.0023 2.43E-03

5 5 dB 61 0.01983 1.11E-03

6 6 dB 42 0.003728 1.24E-03

7 7 dB 37 0.028373 6.273-4

8 8 dB 21 0.00328 3.28E-04

9 9 dB 21 0.03427 3.67E-04

10 10 dB 21 0.04429 2.76E-05

11 11 dB 16 0.003289 4.28E-05

12 12 dB 10 0.003278 6.37E-05

13 13 dB 9 0.002827 3.28E-05

14 14 dB 9 0.003276 3.27E-06

15 15 dB 5 0.0028739 3.33E-04

16 16 dB 5 0.0032038 3.29E-05

17 17 dB 5 0.0038276 8.33E-06

18 18 dB 5 0.003482 2.78E-07

19 19 dB 5 0.00321 7.79E-07

20 20 dB 5 0.00037 0

21 21 dB 5 0.0000345 0

22 22 dB 5 0.00000032 0

23 23 dB 5 0.000043 0

24 24 dB 0 0.00004 0

25 25 dB 0 0.0003564 0

26 26 dB 0 0.00049383 0

27 27 dB 0 0.000453 0

28 28 dB 0 0.000000032 0

29 29 dB 0 0.00000345 0

30 30 dB 0 0.0000326 0

Untuk menghitung simulasi BER Kanal 1e2 dengan melakukan jumlah percobaan yang sama sebanyak 30 kali, maka akan diperoleh hasilnya pada Tabel 4.3


(66)

Tabel 4.3 Hasil Simulasi BER Kanal 1e2 pada sistem pengkodean Hamming No Eb / No ( dB ) Jumlah Error BER Kanal BER Data

1 1 dB 133 0.0171855 4.35E-03

2 2 dB 109 0.01714453 4.48E-03

3 3 dB 65 0.00173 3.66E-03

4 4 dB 46 0.001723 3.98E-04

5 5 dB 18 0.001723 2.34E-04

6 6 dB 11 0.00173 4.00E-04

7 7 dB 10 0.0018 4.12E-05

8 8 dB 6 0.00045 9.43E-05

9 9 dB 5 0.0036542 3.33E-05

10 10 dB 5 0.001213 1.13E-07

11 11 dB 5 0.003125 2.21E-07

12 12 dB 5 0.001713 3.20E-07

13 13 dB 5 0.0001734 3.32E-07

14 14 dB 5 0.0017142 4.41E-08

15 15 dB 5 0.001712 4.41E-08

16 16 dB 5 0.000234 4.42E-08

17 17 dB 5 0.000287 0

18 18 dB 5 0.0003214 0

19 19 dB 5 0.000625 0

20 20 dB 2 0.000053 0

21 21 dB 2 4.5E-09 0

22 22 dB 2 0.00000034 0

23 23 dB 2 0.000025 0

24 24 dB 0 0.0000032 0

25 25 dB 0 0.00000367 0

26 26 dB 0 0.0000098 0

27 27 dB 0 0.0000467 0

28 28 dB 0 0.0000974 0

29 29 dB 0 0.0000392 0

30 30 dB 0 0.0000846 0

Sementara itu, hasil simulasi dari sistem pengkodean Hamming untuk Kanal 1E3 dengan parameter probabilitas kanal yang tetap dan uji percobaan sebanyak 30 kali akan diperoleh data seperti pada Tabel 4.4


(67)

Tabel 4.4 Hasil Simulasi sistem pengkodean Hamming untuk Kanal 1E3

No Eb / No ( dB ) Jumlah Error BER Kanal BER Data

1 1 dB 100 0.0023 4.29E-04

2 2 dB 83 0.0134 5.03E-05

3 3 dB 76 0.00342 2.13E-06

4 4 dB 62 0.015239 3.00E-07

5 5 dB 60 0.023198 5.34E-07

6 6 dB 53 0.032865 3.42E-07

7 7 dB 42 0.0018723 8.43E-08

8 8 dB 35 0.042986 5.44E-07

9 9 dB 19 0.0002318 1.03E-06

10 10 dB 14 0.0018723 8.44E-07

11 11 dB 5 0.023198 4.43E-07

12 12 dB 5 0.00342 0

13 13dB 5 0.00087329 0

14 14 dB 5 0.000782786 0

15 15 dB 5 0.00072893 0

16 16 dB 5 0.00069273 0

17 17 dB 5 0.0004329 0

18 18 dB 5 0.000027817 0

19 19 dB 4 0.0007823 0

20 20 dB 4 0.0002942 0

21 21 dB 4 0.000007836 0

22 22 dB 3 0.0000876 0

23 23 dB 3 0.0000872 0

24 24 dB 3 0.00328 0

25 25 dB 0 0.003829 0

26 26 dB 0 0.000000367 0

27 27 dB 0 0.0000872 0

28 28 dB 0 0.0003287 0

29 29 dB 0 0.000000036 0

30 30 dB 0 0.00000034 0

Dari data hasil simulasi sistem pengkodean Hamming diatas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah nilai perubahan Energy of bit signal power Noise ( Eb/No ) yang terjadi pada sistem pengkodean tersebut, maka semakin mempengaruhi nilai laju kesalahan bit informasi yang diterima pada sisi penerima dimana diukur oleh Blok Eror Rate Calculation. Nilai laju kesalahan untuk perubahan harga probabilitas kanal yang semakin kecil akan mempengaruhi nilai BER Kanal yang menurun hampir sama mendekati nilai BER Data pula. Namun nilai laju


(68)

BER Data yang terhitung akan semakin mendekati nol, bahkan nol untuk nilai pengukuran BER Kanal yang semakin kecil pula. Hal ini menunjukkan bahwa BER Kanal turut mempengaruhi nilai BER Data dimana semakin mendekati nol berarti kesalahan dalam penerimaan bit informasi akan semakin mendekati harga kebenarannya ( memiliki selang kepercayaan yang tinggi pula ).

4.7 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH

Seperti halnya proses simulasi sistem pengkodean BCH, maka dilakukan pula terhadap pengujian Sistem Pengkodean BCH dimana dilakukan 30 kali percobaan dengan nilai Eb/No yang sama dengan nilai percobaan yang dilakukan, nilai probabilitas kanal yang berturut – turut 1E-1 , 1E-2, dan 1E-3 sehingga diamati nilai akhir dari BER data dan BER Kanalnya untuk mengetahui kinerja sistem tersebut.

4.7.1 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH dengan kanal 1E-1

Dengan melakukan 30 kali percobaan dan nilai Error bit to Noise yang sesuai sebanyak nilai percobaan dilakukan untuk nilai probabilitas kanal sebesar 1E-1 diperoleh data yang ditampilkan pada Tabel 4.5


(69)

Tabel 4.5 Hasil Simulasi Kanal 1E-1 Sistem Pengkodean BCH No Eb / No ( dB ) Jumlah Error BER Kanal BER Data

1 1 dB 132 0.11298733 3.33E-05

2 2 dB 122 0.98328473 7.38E-06

3 3 dB 102 0.02783627 2.34E-06

4 4 dB 93 0.003627 3.78E-06

5 5 dB 86 0.0362192 6.75E-07

6 6 dB 82 0.000027862 3.76E-07

7 7 dB 75 0.362983 4.87E-07

8 8 dB 45 0.002312 2.83E-07

9 9 dB 42 0.021354 0

10 10 dB 38 0.0439748 0

11 11 dB 30 0.000321 0

12 12 dB 26 0.00432 0

13 13 dB 14 0 0

14 14 dB 5 0.0175632 0

15 15 dB 5 0.0235643 0

16 16 dB 5 0 0

17 17 dB 3 0 0

18 18 dB 3 0 0

19 19 dB 3 0 0

20 20 dB 3 0 0

21 21 dB 3 0 0

22 22 db 3 0 0

23 23 dB 0 0 0

24 24 dB 0 0 0

25 25 dB 0 0 0

26 26 dB 0 0 0

27 27 dB 0 0 0

28 28 dB 0 0 0

29 29 dB 0 0 0

30 30 dB 0 0 0

4.7.2 Hasil Simulasi Sistem Pengkodean BCH dengan kanal 1E-2

Untuk pengujian kanal 1E-2 dimana dengan menggunakan nilai parameter yang sama seperti pengujian pertama diatas, dengan mengamati nilai perhitungan oleh Error Rate

calculation maka diperoleh hasil simulasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.6


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari analisis perbandingan teknik pengkodean ini dengan simulink adalah:

1. Program simulink ini dapat digunakan untuk mensimulasikan suatu sistem teknik pengkodean Hamming ( 7,4 ) dan BCH disertai menghitung nilai bit error rate dari masing – masing teknik pengkodean yang dipakai pada sistem tersebut,

2. Pada analisis sistem dengan teknik pengkodean BCH diperoleh nilai BER akan cepat mendekati nol pada saat nilai Eb/No yang diperoleh bernilai 10 dB, sedangkan pada sistem pengkodean Hamming nilai BER mendekati nol pada saat Eb/No yang diperoleh bernilai 12 dB.

5.2Saran

Adapun yang menjadi saran oleh penulis terhadap tugas akhir ini antara lain :

1. Simulasi dengan program Simulink ini dapat dikembangkan dengan menyertakan beberapa parameter komunikasi lainnya.

2. Pada teknik pengkodean Hamming maupun BCH yang diuji dapat menggunakan generator matriks lainnya.

3. Analisis lebih lanjut dapat dilakukan dengan membandingkan teknik pengkodean Hamming maupun BCH terhadap teknik pengkodean lainnya untuk diketahui mana yang lebih andal dalam memeriksa kesalahan.


(2)

4. Pemodelan simulasi sistem pengkodean dapat dilakukan dengan menggantikan kanal noise yang lain pada Simulink Library.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaki Riyanto,Muhammad.2004.Komunikasi Data. Jurnal UGM: Yogyakarta 2. Juhana,Tutun.2005.Sinyal dan Sistem Digital.Jurnal STTE ITB Bandung 3. http:/ / www. elektroindonesia. com/ elektro/ no5a. html

4. Zulfin,M.Ir, MT,.diktat kuliah “ Protokol Jaringan “….. 2008

5. Sukadarmika,Gede.Jurnal “Perbandingan Kinerja Kode Hamming pada Kanal AWGN”. Departemen Teknik Elektro,Universitas Udayana

6. Man Young Rhee.1989.Error Correctting Coding Theory.McGraw Hill Inc : Singapore 7. Gallager,Robert G.1968. “Information Theory and Reliable Communication”, John Willey

and Sons Inc:Massachusset

8. Jeruchim dkk, Simulation of Communication System. USA,Plenum Press, hal 192-202 ddan 275-282.

9. Law, Avenill M and W.David Kelton.2000.Simulation, Modelling and Analysis.McGraw Hill Book: Singapore hal.403-413

10.Panjaitan, Sihar,Ir.MT, Jurnal “ Analisis Algoritma Kode Konvolusi dan Kode BCH”.2006 11.Opperstein,Michael.2008.Code Hamming (7,4) discussion and Implementation.Prentice hall:

New York

12.Proakis,John G.2001.Digital Communication.McGraw Hill: Singapore.hal 1-3 dan hal 416-425


(4)

LAMPIRAN 1

(a) Blok Fungsi Simulink Buffer


(5)

LAMPIRAN 2


(6)

(b) Blok Fungsi Simulink untuk Unbuffer

LAMPIRAN 3