Teori Pendukung TINJAUAN PUSTAKA
11
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Wood 1991: 696 dalam Solihin 2011 menjelaskan bahwa pertanggungjawaban sosial perusahaan
didasari oleh adanya legitimasi dan pemberian kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pelaku bisnis untuk menjalankan operasi perusahaan,
menggunakan berbagai jenis sumber daya, serta memasarkan produk yang mereka hasilkan. Dalam jangka panjang, perusahaan yang menggunakan
kekuasaan secara tidak bertanggung jawab menurut kacamata masyarakat, akan cenderung kehilangan legitimasinya dari masyarakat.
Perusahaan dapat menggunakan komunikasi atau laporan keuangan untuk mempertahankan legitimasi di mata masyarakat danatau para
pemangku kepentingan perusahaan Tilt, 2009. Lindblom 1994; Dowling
dan Pfeffer, 1975 dalam Tilt 2009 mengidentifikasi salah satu strategi komunikasi untuk mempertahankan legitimasi adalah dengan memberi
gambaran tentang kegiatan kepedulian terhadap masyarakat yang relevan. Teori legitimasi menegaskan bahwa perusahaan dalam menjalankan
aktivitasnya harus memperhatikan norma, nilai, kepercayaan, dan ketentuan dalam sistem sosial masyarakat dan perlu melakukan pengungkapan kegiatan
kepedulian terhadap lingkungan atau dengan kata lain perusahaan dapat melakukan pengungkapan CSR dalam laporan keuangan perusahaan untuk
mempertahankan legitimasinya di mata masyarakat dan pemangku kepentingan.
12
Dalam prespektif teori legitimasi, perusahaan dan komunitas sekitarnya memiliki relasi sosial yang erat karena keduanya terikat dalam
suatu kontrak sosial. Teori kontrak sosial menyatakan bahwa keberadaan perusahaan dalam suatu area karena didukung secara politis dan dijamin oleh
regulasi pemerintah serta parlemen yang juga merupakan representasi dari masyarakat. Dengan demikian, ada kontrak sosial secara tidak langsung antara
perusahaan dan masyarakat di mana masyarakat memberi costs dan benefits untuk keberlanjutan suatu korporasi. Karena itu, CSR merupakan suatu
kewajiban asasi perusahaan yang tidak bersifat suka rela. 3.
Stakeholder Theory Teori stakeholder pertama kali dipopulerkan oleh R. Edward Freeman pada
tahun 1984 Rudito dan Melia, 2013. Freeman dan Reed 1983: 91 dalam Tilt 2009 mendefinisikan stakeholder sebagai:
kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi, atau yang terpengaruh oleh pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Ogan dan Ziebart 1991; Tilt 1997, 2007 dalam Tilt 2009, para
stakeholder utama dari sebuah perusahaan termasuk pemegang saham, karyawan, para kreditur, pemasok, pelanggan, bank, pemerintah, masyarakat,
kepentingan masyarakat dan kelompok masyarakat umum. Tanpa partisipasi stakeholder, perusahaan sulit untuk dapat bertahan hidup. Menurut Deegan
2006 dalam Tilt 2009, karena partisipasinya dalam perusahaan,
13
stakeholder akan meminta informasi yang berbeda-beda dari perusahaan dan perusahaan akan menanggapi tuntutan tersebut dalam berbagai cara.
Stakeholder theory sangat mendasari praktik Corporate Social Responsibility dan kinerja lingkungan karena terdapat hubungan antara
perusahaan dengan stakeholder, dimana stakeholder memiliki peran yang sangat penting bagi keberlangsungan perusahaan.
Menurut stakeholder theory, kesuksesan atau hidup-matinya suatu korporasi sangat tergantung pada kemampuannya untuk menyeimbangkan
beragam kepentingan dari para stakeholdernya. Bila mampu melakukan hal tersebut, korporasi akan meraih dukungan stakeholder dan harapannya pangsa
pasar, penjualan, dan laba akan meningkat. Selain itu, praktik CSR akan meningkatkan reputasi baik goodwill perusahaan di mata calon investor,
kreditur, pelanggan, konsumen, atau pelaku pasar potensial. Reputasi yang baik pada akhirnya akan membawa sejumlah implikasi ekonomi bagi
perusahaan berupa peningkatan intangible asset dan tangible asset secara terus menerus Lako, 2011.
Dalam pemenuhan kepuasan kepada stakeholder maka pihak manajemen membuat pengungkapan sukarela diantaranya yaitu Corporate
Social Responsibility, dimana dari pengungkapan inilah para stakeholder dapat mengendalikan pemakaian sumber daya untuk efisiensi dan efektifitas
perusahaan.
14
4. Teori Efficient Market Hypothesis EMH
Kepedulian perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial CSR secara berkelanjutan akan mendapat respon positif dari para investor pasar
modal terhadap nilai pasar ekuitas perusahaan. Pelaku pasar menilai bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki
kepedulian sosial secara berkelanjutan memiliki reputasi baik dan peluang bertumbuh atau investment opportunity set yang lebih baik dibanding
perusahaan-perusahaan lain yang tidak memilikinya. Perusahaan-perusahaan tersebut diekspektasi memiliki intangible assets masa depan yang lebih
prospektif dibandingkan perusahaan-perusahaan yang tidak memilikinya sehingga layak dijadikan objek investasi Lako, 2011.
5. Produk Hukum yang Mengatur CSR
Di Indonesia, CSR diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Untung 2014, latar belakang
dimaksudkannya ketentuan ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial perseroan terhadap lingkungan dan keadaan masyarakat di sekitar
tempat usaha perseroan. Ketentuan ini tidak bersifat menyeluruh, tetapi memiliki
batasan dan
keadaan-keadaan tertentu
yang peraturan
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang danatau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban
15
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Jika perseroan tidak melaksanakan kewajiban tersebut, maka akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
pasal 74. 6.
Kinerja Lingkungan Environmental Performance Suratno et al. 2006 berpendapat bahwa environmental performance adalah
kinerja perusahaan dalam menciptakan lingkungan yang baik green. Untuk mengukur kinerja lingkungan suatu perusahaan, pemerintah melalui
Kementrian Lingkungan Hidup membentuk suatu platform yang dipakai untuk menilai kepatutan operasi industri terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat lewat program pemeringkatan yang bernama Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan PROPER Reliantoro, 2012.
Dasar hukum pelaksanaan PROPER adalah keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 127 Tahun 2002 tentang Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan PROPER. PROPER diumumkan secara rutin kepada masyarakat, sehingga perusahaan
yang dinilai akan memperoleh insentif maupun disinsentif reputasi, tergantung kepada tingkat ketaatannya Rakhiemah dan Agustia, 2009.
Penggunaan warna di dalam penilaian PROPER merupakan bentuk komunikatif penyampaian kinerja kepada masyarakat, mulai dari terbaik,
emas, hijau, biru, merah, sampai ke yang terburuk, hitam. Secara sederhana
16
masyarakat dapat mengetahui tingkat penaatan pengelolaan lingkungan pada perusahaan dengan hanya melihat peringkat warna yang ada.
Tabel 2.1. Kriteria Peringkat PROPER
Peringkat Keterangan
Emas Diberikan kepada penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang
telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan environmental excellency dalam proses produksi danatau jasa,
melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
Hijau Diberikan kepada penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang
telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan beyond compliance melalui
pelaksanaan
sistem manajemen
lingkungan, pemanfaatan
sumberdaya secara efisien dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dengan baik.
Biru Diberikan kepada penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang
telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Merah Diberikan kepada penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang
upaya pengelolaan lingkungan hidup dilakukannya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Hitam Diberikan kepada penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang
sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran danatau kerusakan lingkungan serta
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.
Sumber: KLH, 2013 7.
Kinerja Finansial Fahmi 2011 mendefinisikan kinerja keuangan atau yang dikenal dalam
penelitian ini sebagai kinerja finansial adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan
17
menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar, seperti dengan membuat suatu laporan keuangan yang telah memenuhi standar
dan ketentuan dalam SAK Standar Akuntansi Keuangan atau GAAP General Accepted Accounting Principle.
Penilaian kinerja keuangan setiap perusahaan berbeda-beda tergantung pada ruang lingkup bisnis yang dijalani. Penilaian ini menjadi sangat penting
karena menggambarkan bagaimana sebenarnya kondisi pengelolaan organisasi secara keseluruhan Fahmi, 2011:4. Untuk melakukan penilaian
kinerja keuangan atau finansial, dibutuhkan data-data keuangan perusahaan. Data-data keuangan merupakan data-data masa lalu, namun dari data-data
tersebut dapat melakukan peramalan mengenai kondisi perusahaan di masa mendatang. Fahmi 2011 menyebutkan bahwa data-data keuangan tersebut
sebenarnya telah menggambarkan atau setidaknya telah mampu memberikan suatu rekomendasi yang menyangkut dengan financial performance dari
perusahaan.