BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan industri di Indonesia khususnya dalam sektor farmasi dan obat-obatan telah menciptakan sebuah persaingan yang semakin ketat, dimana
saat ini dunia usaha kesehatan masyarakat, perusahaan farmasi atau perusahaan obat -obatan adalah perusahaan bisnis komersial yang fokus dalam meneliti,
mengembangkan, dan mendistribusikan obat terutama dalam hal kesehatan. Menurut WHO, industri farmasi merupakan industri yang berbasis riset,
yang secara berkesinambungan memerlukan inovasi, juga promosi yang mengeluarkan biaya tidak sedikit, organisasi dan sistem pemasaran yang baik,
serta produknya diatur secara ketat, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
Data Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM RI, 2005 menunjukkan, pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10
per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 5- 6 per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20
triliun untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun. Namun, jika dilihat dari omset penjualan secara global pasar farmasi
Indonesia tidak lebih dari 0,44 dari total pasar farmasi dunia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian Kemenperin, 2009 tentang
pertumbuhan industri farmasi, di Indonesia terdapat sebanyak 198 perusahaan
Universitas Sumatera Utara
farmasi, termasuk di dalamnya 4 perusahaan milik negara dan 34 perusahaan penanaman modal asing PMA, sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta
lokal. Pada saat dibukanya pasar AFTA tahun 2003 silam, tentu berpengaruh
besar pula bagi industri di Indonesia termasuk industri farmasi. Iklim kompetisi berlangsung semakin ketat. Perusahaan farmasi atau perusahaan obat-obatan
dituntut untuk lebih efektif dalam menjalankan dan mengelola usahanya agar mampu bersaing dengan perusahaan lainnya baik domestik maupun asing.
Indikator yang dapat digunakan dalam menilai perusahaan terkelola dengan baik adalah bagaimana perusahaan tersebut mengelola modal kerja.
Modal kerja sangat dibutuhkan untuk membiayai aktivitas operasi perusahaan sehari-hari serta sangat mempengaruhi kontinuitas dari perusahaan.
Modal kerja biasanya terdiri dari kas dan setara kas, piutang jangka pendek dan persediaan. Modal kerja memiliki sifat yang fleksibel sehingga harus
dimanfaatkan seefisien mungkin, karena besar kecilnya modal kerja dapat ditambah atau dikurangi sesuai kebutuhan perusahaan.
Menurut Riyanto 1984: 29, “jika pengelolaan modal kerja dilakukan dengan baik, maka perusahaan tidak akan menemukan banyak kesulitan dan
hambatan dalam menjalankan aktivitas operasi., sebaliknya pengelolaan modal kerja yang tidak tepat akan menyebabkan aktivitas operasi terganggu, dan hal ini
merupakan penyebab utama kegagalan perusahaan mempertahankan kelangsungan hidupnya”.
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan manajemen memperhitungkan tingkat perputaran modal kerja secara cermat dan memuaskan juga diperlukan dalam memperhitungkan tingkat
likuiditas perusahaan. Menurut Hanafi 2003: 77, “Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang lancarnya dengan menggunakan
aset lancar yang dimiliki oleh perusahaan”. Dapat disimpulkan, likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya atau
kemampuan seseorang atau perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya. Semakin banyak perusahaan
menahan uang kasnya, maka semakin likuid perusahaan tersebut.
Rasio likuiditas secara umum idealnya adalah 200. Likuiditas yang kurang dari 200 akan dianggap kurang baik, karena aset lancar yang rendah
tidak akan cukup untuk menutupi kewajiban jangka pendek yang akan menimbulkan illikuid. Menghadapi keadaan yang kurang atau tidak likuid ini,
perusahaan dapat mengambil keputusan untuk menarik atau mengambil pinjaman yang baru dengan tingkat bunga yang relatif tinggi. Namun, hal ini dapat
menyebabkan perusahaan tersebut menjual investasi jangka panjang atau aktiva tetapnya untuk melunasi hutang jangka pendek tersebut. Jumlah aset lancar yang
terlalu besar juga akan mengakibatkan timbulnya dana yang menganggur atau idle cash yang akan mempengaruhi jalannya operasi perusahaan.
Peningkatan jumlah hutang sebagai sumber dana akan mempengaruhi peningkatan resiko keuangan perusahaan. Jika perusahaan tidak dapat
mempergunakan sumber dana dari hutang tersebut dengan produktif, maka akan
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan dampak negatif yang dapat menyebabkan menurunnya profitabilitas perusahaan.
Brigham dan Houston 2001: 197 menyatakan bahwa, “profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan”. Sartono 2001:
119 berpendapat bahwa, “profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun
modal sendiri”. Profitabilitas atau kemampuan memperoleh laba adalah suatu ukuran dalam persentase yang digunakan untuk menilai sejauh mana perusahaan
mampu menghasilkan laba pada tingkat yang dapat diterima. Angka profitabilitas dinyatakan antara lain dalam angka laba sebelum atau sesudah pajak, laba
investasi, pendapatan per saham, dan laba penjualan. Nilai profitabilitas menjadi norma ukuran bagi kesehatan perusahaan.
Perusahaan biasanya menggunakan rasio profitabilitas untuk memperhitungkan kemampuannya dalam memperoleh laba. Rasio profitabilitas
merupakan perbandingan antara laba perusahaan dengan investasi atau ekuitas yang digunakan untuk memperoleh laba tersebut. Rasio profitabilitas
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aset, maupun modal sendiri. Semakin tinggi
profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi pula efisiensi perusahaan tersebut dalam memanfaatkan fasilitas perusahaan.
Dalam jurnal Effect Of Working Capital Management On SME Profitability, Garcia Martinez 2002: 4 meneliti pengaruh manajemen modal kerja terhadap
profitabilitas pada perusahaan European yang terdaftar, dan hasilnya
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa manajemen modal kerja berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas perusahaan kecil dan menengah di Spanyo. Penelitian ini
menyimpulkan perusahaan di Spanyol yang terdaftar dalam European Journal harus fokus terhadap manajemen modal kerja terutama dengan meminimalkan
cash conversion cycle. Dalam penelitian ini ditemukan, perputaran konversi kas dipengaruhi oleh tingkat kolektibilitas atau perputaran piutang account
receivable turnover dan tingkat perputaran persediaan inventory turnover. Semakin rendah tingkat perputaran persediaan dan piutang, maka akan semakin
rendah pula perputaran konversi kas yang mempengaruhi perputaran modal kerja.
Sonata 2009: 58 menganalisis pengaruh efektivitas modal kerja dan operating asset turnover terhadap tingkat profitabilitas pada perusahaan
manufaktur sektor industri barang konsumsi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara parsial efektifitas modal kerja tidak berpengaruh
terhadap profitabilitas, sedangkan operating asset turnover berpengaruh terhadap profitabilitas., namun secara simultan kedua variabel tersebut berpengaruh
terhadap tingkat profitabilitas. Nurhayati 2010: 56 meneliti pengaruh perputaran modal kerja terhadap profitabilitas pada perusahaan sektor industri
makanan dan minuman dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perputaran modal kerja berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas.
Berdasarkan hasil penelitian Sonata, Nurhayati, serta Garcia dan Martinez, terdapat ketidakkonsistenan pengaruh modal kerja terhadap profitabilitas.
Ketidakkonsistenan terjadi karena adanya faktor yang berbeda dalam penelitian
Universitas Sumatera Utara
tersebut, seperti kebudayaan perusahaan, jenis perusahaan yang diteliti, juga rasio profitabilitas yang digunakan.
Oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian kembali untuk mengetahui pengaruh manajemen modal kerja terhadap profitabilitas perusahaan
dengan mengangkat perusahaan industri farmasi sebagai sampel, dan menambahkan likuiditas sebagai variabel pembanding yang akan membedakan
penelitian ini dengan sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah