1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa dipisahkan dengan manusia lain. Kebutuhan manusia akan tercapai apabila manusia tersebut
mampu menyelaraskan perannya dalam bersosialisasi. Manusia yang mudah bersosialisasi adalah manusia yang dapat atau mampu menjalankan
komunikasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan berkomunikasi erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa. Bahasa
merupakan sarana untuk berkomunikasi antar manusia. Menurut Supriyadi 1992:64, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi ini, dalam rangka
memenuhi sifat manusia sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesama manusia. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, manusia dituntut untuk mempunyai kemampuan berbahasa yang baik. Seseorang yang mempunyai kemampuan berbahasa yang memadai
akan lebih mudah menyerap dan menyampaikan informasi baik secara lisan maupun tulisan.
Menurut Saleh Abbas 2006: 63, kemampuan berbahasa mencakup empat fokus meliputi kemampuan menyimak, kemampuan berbicara,
kemampuan membaca, dan kemampuan menulis. Keempat kemampuan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Salah satu kemampuan berbahasa
yang utama dalam proses komunikasi adalah keterampilan berbicara.
2 Menurut Sri Hastuti, dkk 1993: 68, keterampilan berbicara perlu
dikuasai sebab komunikasi lisan ini akan mendukung seseorang kehidupan sosialnya baik di dalam bisnis, jabatan pemerintahan, swasta, maupun
pendidikan, dengan demikian setiap siswa dituntut untuk mempunyai keterampilan berbicara yang baik. Keterampilan ini bukanlah bakat yang
diturunkan walaupun pada dasarnya secara alamiah manusia dapat berbicara, namun untuk memiliki keterampilan yang baik dan benar memerlukan latihan
dan pengarahan sejak usia SD agar keterampilan tersebut dapat berkembang sejak dini. Hal ini sejalan dengan pendapat Henry Kissinger dalam Conny R.
Semiawan 198:119 bahwa masa yang sangat peka untuk belajar dan mengembangkan fonologi adalah pada saat sebelum usia 12 tahun yaitu usia-
usia Sekolah Dasar, karena usia-usia ini adalah periode yang sangat kreatif dalam perkembangan bahasa. Penekanan perkembangan bahasa berubah dari
bentuk bahasa sampai ke isi dan penggunaan bahasa. Menurut Sabarti Akhadiah dkk 1993: 1, menjelaskan bahwa fungsi
pengajaran bahasa di Sekolah Dasar ialah sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai
dengan fungsi bahasa itu, terutama sebagai alat komunikasi. Menurut Stewart dan Kennert Zimmer dalam Haryadi dan Zamzani 1996: 56, memandang
kebutuhan akan komunikasi yang efektif dianggap sebagai suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan setiap individu maupun kelompok.
Pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar harus dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan
3 di sekolah menengah maupun untuk menyerap ilmu yang dipelajari lewat
bahasa itu. Keterampilan berbicara di Sekolah Dasar memegang peranan penting.
Keterampilan berbicara harus dikuasai oleh para siswa Sekolah Dasar karena keterampilan ini tidak pernah lepas dari proses belajar mengajar. Dalam
proses tersebut keterampilan berbicara berperan untuk mengetahui ide dan gagasan yang akan disampaikan siswa. Siswa yang kurang memiliki
keterampilan yang baik akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.
Menurut Sabarti Akhadiah, dkk 1991: 145, keterampilan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang kompleks, yang tidak hanya
mencakup persoalan ucapanlafal dan intonasi. Berbicara di dalam bahasa selalu
menyangkut pemakaian “idiom” serta berbagai unsur bahasa dan non bahasa. Unsur bahasa menyangkut ketepatan ucapan, pemilihan kata, dan
ketepatan sasaran pembicara, sedangkan unsur non bahasa menyangkut sikap, mimik, kenyaringan suara, kelancaran berbicara, dan penguasaan topik.
Semua unsur perlu mendapat perhatian dalam penguasaan keterampilan berbicara yang baik.
Menurut Ahmad Rofi’uddin Darmiyati Zuhdi 1998:4 pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar idealnya diarahkan
pada pemberian kesempatan kepada siswa untuk saling menyampaikan pendapatnya secara lisan dalam bentuk diskusi. Kesempatan ini akan
4 memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Djago Tarigan 1991:145 bahwa keterampilan berbicara distimulasi oleh pengalaman. Siswa yang kaya akan pengalaman dan
bervariasi, dengan mudah pula menampilkan dirinya melalui berbicara. Sebaliknya siswa yang kurang pengalaman, cenderung kurang dapat
mengekspresikan dirinya. Menurut teori perkembangan bahasa Vigotsky dalam teori
konstruktivisme dalam Dadan Djuanda 2006: 14, diyakini bahwa pemahaman yang terdapat pada siswa menjadi dasar dalam memahami
kenyataan dan pemecahan masalah baru. Pemahaman kenyataan dan pemecahan masalah menghasilkan pengetahuan baru dalam proses yang aktif
dan dinamis. Siswa merekonstruksi pengetahuannya oleh dirinya sendiri sehingga berimplikasi pada proses pembelajaran bahasa sebagai berikut. 1
siswa harus aktif selama pembelajaran berlangsung; 2 proses aktif ini adalah proses membuat sesuatu masuk akal, pembelajaran tidak terjadi melalui
transmisi tetapi melalui interpretasi; 3 intrerpretasi dibantu oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pikiran bertukar pikiran melalui
diskusi, tanya jawab, dan lain-lain. Pandangan humanistik sangat memperhatikan minat dan gaya belajar
siswa. Guru perlu menyiapkan proses pembelajaran yang benar-benar menarik minat siswa untuk belajar bahasa. Begitupun gaya belajar siswa,
akan lebih baik bila guru memahami gaya belajar siswanya. Menurut penelitian
Lyn O’Brien dalam Dadan Djuanda 2006: 19, ditemukan bahwa
5 kebanyakan pelajar Sekolah Dasar dan menengah paling baik belajar ketika
siswa terlibat dan bergerak. Melihat kenyataan tersebut guru perlu menyusun strategi dengan
memberikan pengalaman yang luas kepada siswanya dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Salah satunya adalah dengan menciptakan suasana
belajar yang mendorong siswa untuk aktif berpendapat, menyampaikan informasi, dan bertukar pengalaman sehingga melatih keterampilan berbicara
siswa. Salah satu pengembangan model pembelajaran yang memperhatikan keterlibatan aktif siswa adalah model pembelajaran aktif active learning.
Menurut Silberman 2013: 9. Model ini menekankan bahwa mengajar seharusnya bukan semata memberikan pengetahuan dan informasi kepada
siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar
yang bersifat memori jangka panjang. Terutama untuk keterampilan berbicara akan dikuasai siswa bila siswa aktif mempraktikkan keterampilan tersebut.
Selain itu guru perlu memfasilitasi berbagai gaya belajar siswa dalam menangkap informasi saat pembelajaran.
Peserta didik memilki bermacam cara belajar. Siswa dengan gaya belajar visual bisa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang
lain melakukannya. Siswa dengan gaya belajar auditori mengandalkan kemampuan untuk mendengar dan mengingat, sementara siswa dengan gaya
belajar kinestetik belajar dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Siswa dengan gaya ini selalu ingin bergerak dalam mengerjakan sesuatu. Menurut
6 Grinder Silberman, 2013: 28 menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22
diantaranya rata-rata dapat belajar secara efektif selama gurunya menghadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara visual, auditori, dan
kinestetik. Namun 8 siswa sisanya menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya sehingga siswa-siswa tersebut mesti berupaya keras
untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang siswa-siswa tersebut sukai. Guna
memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat multisensori dan penuh variasi.
Model pembelajaran active learning menyajikan berbagai teknik untuk melibatkan siswa dalam kegiatan belajar. Salah satunya adalah teknik
jigsaw. Menurut Silberman 2013:180 teknik ini serupa dengan pertukaran kelompok dengan kelompok, namun ada satu perbedaan penting yakni tiap
siswa mengajarkan sesuatu. Setiap siswa mempelajari sesuatu yang bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh siswa lain, membentuk
kumpulan pengetahuan atau ketrampilan yang padu. Melalui teknik ini terjadi interaksi antar siswa dalam menyampaikan pengetahuan sehingga
kemampuan berbicara siswa pun akan semakin terasah. Model pembelajaran active learning teknik jigsaw dikembangkan agar
dapat membangun kelas sebagai komunitas belajar melalui diskusi kelompok sehingga merangsang siswa untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
Model pembelajaran ini merupakan bentuk diskusi dengan sebuah kelompok- kelompok kecil yang masing-masing siswa menyampaikan pengetahuan
7 mengenai suatu materi. Menurut Sri Hastuti 1993: 69 melalui diskusi setiap
siswa bebas mengemukakan pendapat. Siswa harus memiliki semangat berinteraksi, sikap kooperatif, dan kesadaran kelompok. Proses ini menuntut
siswa memiliki kesadaran untuk memberikan pendapatnya dan kesadaran untuk memahami serta menerima pendapat orang lain dalam rangka
memperoleh kesepakatan bersama. Model active learning teknik jigsaw sesuai dengan pendapat Maslow
dalam Silbeman 2013: 30 salah satu kebutuhan manusia yaitu kebutuhan rasa aman dapat dipenuhi dengan menjalin hubungan dengan orang lain dan
menjadi bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk menghadapi tantangan. Ketika siswa belajar bersama, akan
didapatkan dukungan emosial dan intelektual yang memungkinkan siswa melampaui ambang pengetahuan dan keterampilan siswa sekarang.
Pembelajaran aktif ini tugas guru adalah lebih sebagai fasilitator yaitu melaksanakan segala sesuatu untuk membantu individu memahami konsep
yang diajarkan. Permasalahan yang terjadi di sekolah seringkali keterampilan
berbahasa masih kurang mendapat perhatian, seperti dikutip dari pendapat Haryadi dan Zamzani 1997: 1, bahwa pengajaran keterampilan berbahasa di
Sekolah Dasar kurang menekankan pada praktik berbahasa. Siswa lebih banyak menguasai pengetahuan bahasa daripada keterampilan berbahasa.
Keterampilan berbahasa yang diperoleh selama ini lebih terfokus pada penyajian teori daripada praktik. Apalagi keterampilan berbicara merupakan
8 keterampilan yang perlu dibelajarkan dengan siswa melakukan praktik secara
langsung sehingga siswa benar-benar mengasah alat ucap yang dimiliki agar dapat menyampaikan pesan dengan baik. Guru jarang menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi di kelas. Guru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berbicara dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk aktif mengungkapkan pendapat dan perasaannya, baik dalam kegiatan yang bersifat klasikal maupun dalam kegiatan kelompok, gurulah yang
menjadi pusat atau mendominasi proses belajar. Pernyataan di atas sesuai sebagaimana hasil observasi dan wawancara
yang peneliti lakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas IV SD N Gedongkiwo, kegiatan praktik dalam pembelajaran berbicara selama ini
masih kurang. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya waktu pembelajaran Bahasa Indonesia jika digunakan untuk melakukan praktik berbicara siswa
yang pada umumnya dipraktikkan secara individu. Pemahaman guru yang demikian menyebabkan metode pembelajaran yang digunakan pun kurang
menekankan keterlibatan aktif siswa karena guru hanya berpusat pada buku paket. Siswa cenderung pasif, sehingga kemampuan berbicara siswa tidak
berkembang dengan baik. Proses pembelajaran di kelas yang tidak relevan tersebut menyebabkan keterampilan berbicara siswa menjadi rendah. Hal ini
dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut: 1 Sikap dan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara rendah. Pada umumnya siswa merasa takut
dan malu saat ditugasi untuk tampil berbicara di depan teman-temannya, 2 saat siswa diberikan pertanyaan secara lisan, 20 dari 23 siswa terbata-bata
9 dalam mengemukakan pendapatnya, 20 lagi dari 23 siswa lagi
menggunakan kata yang masih campuran antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, dan sisanya siswa tidak aktif berpendapat. Saat diminta untuk
menyampaikan hasil pekerjaan, siswa malu-malu dan gugup sehingga volume suara yang dihasilkan tidak begitu keras.
Berangkat dari fakta dan kondisi yang demikian ini salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam pembelajaran keterampilan berbicara
siswa Sekolah Dasar adalah penerapan pendekatan pengalaman berbahasa dalam pembelajaran di kelas. Guru perlu mengembangkan suatu model
pembelajaran yang menekankan keterlibatan aktif siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar-mengajar dengan cara mendiskusikan masalah
dengan teman-temannya, mempunyai keberanian menyampaikan ide atau gagasan dan mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya, sehingga proses
pembelajaran yang demikian akan memotivasi siswa untuk aktif mengasah keterampilan berbicaranya tanpa harus memakan waktu yang lama seperti
jika dipraktikkan secara individu. Melihat kenyataan pembelajaran keterampilan berbicara yang kurang
efektif dan menyadari manfaat model pembelajaran active learning teknik jigsaw dalam pembelajaran keterampilan berbicara, perlu kiranya diadakan
penelitian untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengaruh penggunaan model pembelajaran active learning teknik jigsaw terhadap keterampilan
berbicara siswa kelas IV SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta.
10
B. Identifikasi Masalah