PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI SISWA KELAS IV SD NEGERI 3 KALIORI BANYUMAS.

(1)

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI SISWA KELAS IV

SD NEGERI 3 KALIORI BANYUMAS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nirmala Ratna Sari NIM 12108241039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI SISWA KELAS IV

SD NEGERI 3 KALIORI BANYUMAS

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nirmala Ratna Sari NIM 12108241039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

MOTTO

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan atau diperbuatnya (Ali Bin Abi Thalib, 2001: 115)


(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan penulis untuk mereka yang telah banyak memberikan banyak inspirasi.

1. Kedua orangtuaku, yang senantiasa selalu memberikan yang terbaik untuk penulis dengan segenap kasih sayang, pengorbanan, dan doa dalam

penulisan skripsi ini.

2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Nusa, bangsa, dan agamaku.


(8)

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI SISWA KELAS IV

SD NEGERI 3 KALIORI BANYUMAS Oleh

Nirmala Ratna Sari NIM 12108241039

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil peningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik cerita berantai siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya keterampilan berbicara siswa. Selain itu, siswa kurang dibiasakan berbicara di depan kelas.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori yang berjumlah 20 siswa. Objek penelitian adalah keterampilan berbicara. Desain penelitian menggunakan model penelitian Kemmis dan McTaggart. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif.

Tindakan pembelajaran siklus I dilakukan dengan cerita berantai berdasarkan cerita yang dibuat oleh guru. Siswa tidak mengalami kendala dalam aspek kebahasaan (kosakata/ungkapan dan struktur kalimat yang digunakan) dan aspek nonkebahasaan (keberanian, keramahan, dan sikap). Tindakan cerita berantai siklus II berdasarkan cerita yang dibuat oleh siswa. Tindakan Siklus II difokuskan pada aspek kebahasaan (tekanan, ucapan, nada dan irama) dan aspek nonkebahasaan (kelancaran dan penguasaan materi) yang masih kurang. Pembelajaran keterampilan berbicara melalui teknik cerita berantai berdasarkan cerita yang dibuat siswa menunjukkan peningkatan keterampilan berbicara siswa. Peningkatan ditunjukkan dengan hasil nilai keterampilan berbicara siswa. Peningkatan yang terjadi yaitu rata-rata kelas yang diperoleh adalah 63,15 dengan persentase pencapaian nilai ≥75 sebesar 15%,. Setelah dilakukan tindakan teknik cerita berantai berdasarkan cerita yang dibuat guru pada siklus I nilai rata-rata meningkat 13,4 menjadi 77,05 dengan persentase pencapaian meningkat 50% menjadi 65%. Sedangkan tindakan cerita berantai berdasarkan cerita yang dibuat siswa pada siklus II nilai rata-rata meningkat 4,2 menjadi 81,25 dengan persentase pencapaian meningkat 20% menjadi 85%.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tugas Akhir Skripsi, sekaligus diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi PGSD Universitas Negeri Yogyakarta untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sekolah Dasar.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya keridhloan dari Allah Swt dan juga bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat.

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kebijakan kepada peneliti untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kemudahan peneliti untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan PGSD Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan studi.

4. Ibu Murtiningsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan.

5. Seluruh Dosen Pembina Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang telah memberikan wawasan, ilmu, dan pengalamannya selama di bangku perkuliahan.


(10)

6. Kepala SD Negeri 3 Kaliori Banyumas yang telah memberikan ijin penelitian. 7. Ibu Suniwati, S.Pd. SD., selaku guru kelas IV SD Negeri 3 Kaliori yang telah

banyak membantu dalam proses penelitian.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penelitian selama ini.

Penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 21 Oktober 2016 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatas Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9


(12)

G. Definisi Operasional ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Berbicara ... 12

1. Pengertian Keterampilan ... 12

2. Pengertian Berbicara ... 12

3. Pengertian Keterampilan Berbicara ... 13

4. Hakikat Berbicara ... 14

5. Tujuan Berbicara ... 17

6. Jenis-jenis Berbicara ... 19

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi Berbicara ... 21

8. Langkah-langkah Berbicara ... 22

9. Proses Pembelajaran Berbicara ... 24

10.Aspek Penilaian Berbicara ... 25

B. Karakteristik Anak Sekolah Dasar ... 28

C. Teknik Cerita Berantai ... 30

1. Pengertian Teknik Cerita Berantai ... 30

2. Kelebihan Teknik Cerita Berantai... 31

3. Langkah-langkah Teknik Cerita Berantai ... 32

D. Penelitian Relevan... 33

E. Kerangka Pikir ... 34

F. Hipotesis Tindakan ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 40

C. Setting dan Waktu Penelitian ... 41

D. Desain Penelitian... 41

E. Prosedur Penelitian ... 46

F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data ... 50


(13)

H. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 64

1. Deskripsi Hasil Pengamatan Kondisi Awal ... 64

2. Deskripsi Tindakan pada Siklus I ... 66

3. Deskripsi Tindakan pada Siklus II ... 84

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 102

C. Keterbatasan Penelitian ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 107

B. Saran... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(14)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Waktu Kegiatan Penelitian... 41

Tabel 2. Kisi-kisi Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran Guru ... 54

Tabel 3. Kisi-kisi Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 55

Tabel 4. Kisi-kisi Penilaian Keterampilan Berbicara Siswa (Modifikasi) ... 57

Tabel 5. Rangkuman Hasil Observasi Kegiatan Guru Siklus I ... 73

Tabel 6. Rekapitulasi Observasi Kegiatan Siswa pada Siklus I ... 76

Tabel 7. Nilai Keterampilan Berbicara pada Siklus I ... 78

Tabel 8. Peningkatan Nilai dari Pratindakan ke Siklus I ... 79

Tabel 9. Rangkuman Hasil Observasi Kegiatan Guru Siklus II... 93

Tabel 10. Observasi Kegiatan Siswa pada Siklus II ... 95

Tabel 11. Nilai Keterampilan Berbicara Siswa pada Siklus II... 96

Tabel 12. Peningkatan Nilai dari Siklus I ke Siklus II ... 98


(15)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Skema Kerangka Pikir ... 36 Gambar 2. Model PTK menurut Kemmis & Mc Taggart ... 44 Gambar 3. Diagram Nilai Rata-rata Pratindakan ke Siklus I ... 79 Gambar 4. Diagram Peningkatan Nilai Rata-rata Pratindakan ke Siklus I


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Daftar Nama Inisial ... 112

Lampiran 2. Rubrik Penskoran Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 113

Lampiran 3. Rubrik Penskoran Penilaian Berbicara Siswa ... 115

Lampiran 4. Lembar Observasi Pratindakan terhadap Kegiatan Siswa .... 116

Lampiran 5. Nilai Pratindakan ... 117

Lampiran 6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus I ... 118

Lampiran 7. Tabel Rangkuman Kegiatan Pembelajaran Siklus I ... 135

Lampiran 8. Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran Guru Siklus I .... 136

Lampiran 9. Tabel Rangkuman Hasil Observasi Kegiatan Guru Siklus I 142

Lampiran 10. Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 143

Lampiran 11. Nilai Masing-masing Aspek Berbicara Siklus I ... 144

Lampiran 12. Nilai Siklus I ... 146

Lampiran 13. Peningkatan Nilai Pratindakan ke Siklus I ... 147

Lampiran 14. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Siklus II ... 148

Lampiran 15. Tabel Rangkuman Kkegiatan Pembelajaran Siklus II ... 158

Lampiran 16. Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran Guru Siklus II .. 159

Lampiran 17. Tabel Rangkuman Hasil Observasi Kegiatan Guru Siklus II 165

Lampiran 18. Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 166


(17)

Lampiran 20. Peningkatan Nilai Masing-masing Aspek Berbicara Siklus I

ke Siklus II ... 169

Lampiran 21. Nilai Siklus II... 171

Lampiran 22. Peningkatan Nilai Siklus I ke Siklus II ... 172

Lampiran 23. Peningkatan Nilai Pratindakan ke Siklus I dan Siklus II ... 174


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju menuntut kita untuk mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan yang semakin maju ini menuntut manusia untuk berpikir dan berinovasi yang membutuhkan keterampilan, begitu juga pada lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus mampu mengantisipasi perkembangan tersebut dengan terus mengupayakan suatu program yang sesuai dengan perkembangan anak, perkembangan zaman, situasi, kondisi, dan kebutuhan peserta didik (Udin Syaefudin Sa’ud, 2010: 2). Salah satu keterampilan yang dibutuhkan peserta didik yaitu keterampilan berbicara.

Berbicara merupakan suatu komunikasi ekspresif langsung dengan menyampaikan ide, gagasan, pendapat, maupun pesan yang lainnya. Bagi sebagian orang mungkin berpendapat bahwa berbicara itu mudah dan tidak memerlukan proses; namun berbeda pada posisi resmi dengan berbicara di depan banyak orang seperti pidato, memberikan sambutan, bercerita, dan sebagainya. Berbicara di depan banyak orang dengan kondisi resmi perlu adanya proses belajar agar memiliki keterampilan berbicara yang baik.

Keterampilan berbicara merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Aspek keterampilan berbahasa (language skills) yaitu : keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan


(19)

sama lain, sehingga tidak dapat berdiri sendiri. Mempelajari salah satu keterampilan berbahasa akan melibatkan keterampilan berbahasa yang lainnya.

H.G Tarigan (2008:3) menjelaskan bahwa berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak yang didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari. Keterampilan berbicara diberikan di sekolah dasar agar siswa terbiasa berbicara dengan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Keterampilan berbicara ini dapat diajarkan kepada siswa menggunakan beberapa teknik pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik usia anak.

Karakteristik usia anak sekolah dasar bermacam-macam, salah satunya adalah usia anak yang senang bermain, sehingga dalam pembelajaran di kelas memungkinkan untuk mengajak siswa bermain dalam penyampaian materi pelajaran. Hal ini dilakukan agar siswa tidak cepat bosan dan bisa menerima materi yang diberikan oleh guru. Begitu juga dengan keterampilan berbicara, guru dapat menggunakan teknik pembelajaran yang didalamnya termuat materi, hal-hal maupun evaluasi mengenai keterampilan berbicara.

Keterampilan berbicara dapat dievaluasi saat siswa berbicara dengan melihat beberapa penampilan berbicaranya melalui faktor kebahasaan maupun non kebahasaannya. Faktor kebahasaan dapat dilihat dari ketepatan ejaan yang diucapkan, kosa kata yang digunakan, intonasi, dan lain


(20)

sebagainya. Sedangkan, faktor non kebahasaan dilihat dari sikap atau bahasa tubuh saat berbicara.

Keterampilan berbicara yang baik dan efektif dilihat dari siswa tersebut menguasai faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Untuk menguasai faktor-faktor tersebut, perlu adanya proses belajar agar siswa memiliki keterampilan berbicara yang baik. Kenyataan ini didukung dengan kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa masih rendah. Hal ini terlihat dari observasi yang dilakukan peneliti pada proses pembelajaran di kelas IV SD Negeri Kaliori 3, siswa yang berani berbicara mengungkapkan ide hanya 3-5siswa dengan siswa yang sama. Rendahnya keterampilan berbicara siswa dikarenakan adanya beberapa masalah yang dihadapi siswa saat melatih keterampilan berbicaranya.

Masalah yang dihadapi siswa saat melatih keterampilan berbicaranya sebagian besar adalah kurang terbiasa untuk berbicara di depan kelas. Hal ini mengakibatkan saat siswa melatih keterampilan berbicaranya di depan kelas merasa malu-malu dan terlihat kurang percaya diri. Kurang percaya diri dan malu-malu ini membuat berbicaranya kurang fokus sehingga terkadang membuat siswa lupa dengan hal yang akan diungkapkannya.

Masalah selanjutnya yaitu sekitar 75% siswa yang masih takut dan tidak berani maju ke depan kelas untuk berbicara. Siswa takut dan tidak berani maju berbicara di depan kelas karena siswa tersebut takut salah dalam berbicara dan ditertawakan. Ada juga siswa yang takut dan tidak berani maju untuk berbicara karena kurang menguasai materi yang akan diceritakannya.


(21)

Masalah seperti ini membuat siswa tidak bisa melatih keterampilan berbicaranya karena merasa takut dan tidak berani untuk mencoba.

Masalah berikutnya adalah faktor kebahasaan saat siswa berbicara di depan kelas. Faktor kebahasaan yang masih harus diperbaiki antara lain kejelasan ucapan. Saat siswa berbicara di depan kelas kejelasan kata ataupun kalimat yang diucapkannya masih kurang jelas, seperti kurang keras, mimiknya kurang tepat karena tidak membuka mulutnya, dan sebagainya. Kejelasan ucapan yang masih kurang jelas membuat pendengar kurang memahami pesan ataupun cerita yang diungkapkan oleh pembicara.

Selain itu, intonasi suaranya pun tidak beraturan. Siswa berbicara di depan kelas menggunakan intonasi yang datar. Siswa tidak memilah kata atau kalimat mana yang diucapkan menggunakan intonasi tinggi dan kalimat mana yang menggunakan intonasi rendah. Intonasi suara yang kurang beraturan ini membuat pendengar bosan dengan pesan atau cerita yang diungkapkan oleh pembicara.

Masalah selanjutnya yang dihadapi siswa adalah sikap dan bahasa tubuh saat berbicara di depan kelas. Sikap siswa saat berbicara di depan kelas masih kurang, karena 75% siswa saat berbicara tidak melihat pendengar di depannya. Masih banyak siswa yang menundukkan kepalanya saat berbicara di depan kelas. Seharusnya sikap yang baik saat berbicara adalah melihat pendengar dan menggunakan bahasa tubuh yang baik, seperti badan tegak, pandangan mata menyeluruh ke pendengar, tangan dan gerakan badan menyesuaikan dengan topik yang akan dibicarakannya.


(22)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, terlihat adanya kesenjangan antara kondisi yang seharusnya dengan kenyataan di lapangan. Kondisi yang seharusnya bahwa dalam keterampilan berbicara yang baik dapat menguasai faktor kebahasaan dan non kebahasaan saat berbicara. Namun kenyataannya di lapangan, sebagian besar siswa kurang menguasai faktor kebahasaan dan non kebahasaan tersebut dikarenakan adanya beberapa masalah yang dihadapi oleh siswa. Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi siswa untuk meningkatkan keterampilan berbicaranya. Solusi untuk dapat mengatasi masalah tersebut salah satunya dengan menggunakan teknik pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk meningkatkan keterampilan berbicaranya. Teknik dalam pembelajaran adalah penerapan secara khusus suatu metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi guru dan siswa, kesiapan siswa, maupun ketersediaan media pembelajaran.

Ada beberapa metode atau teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Metode atau teknik tersebut antara lain : metode lihat ucap, metode deskripsi, metode melanjutkan, metode menceritakan kembali, metode percakapan atau bermain peran, metode reka cerita gambar, metode wawancara, metode diskusi, dan sebagainya. Metode menceritakan kembali dapat digunakan dalam pembelajaran menggunakan teknik cerita berantai.

Berdasarkan beberapa teknik keterampilan berbicara di atas, peneliti memilih teknik cerita berantai dari beberapa teknik untuk meningkatkan


(23)

keterampilan berbicara. Menurut HG Tarigan (1990) dalam Tarmizi (2009: 5) menyatakan bahwa penerapan teknik cerita berantai dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Jika siswa telah menunjukkan keberanian, diharapkan kemampuan berbicaranya akan meningkat.

Keunggulan dari teknik cerita berantai yang disebutkan HG Tarigan (1990) dalam Tarmizi (2009: 5), teknik ini dapat membuat siswa berani dalam kemampuan berbicaranya. Berdasarkan pernyataan tersebut, teknik cerita berantai juga dapat membuat siswa lebih percaya diri untuk berbicara di depan kelas. Selain itu, teknik cerita berantai ini juga sesuai dengan karakteristik usia anak sekolah dasar yang senang bermain dengan teman sebayanya. Teknik cerita berantai ini dikemas seperti permainan, dimana siswa usia sekolah dasar lebih senang bermain. Pembelajaran berbicara dengan teknik cerita berantai ini dilakukan dengan permainan, dimana dalam permainan tersebut merangsang siswa untuk berlatih berbicara yang akan meningkatkan keterampilan berbicaranya.

Teknik cerita berantai ini dapat dilakukan dengan mudah dalam pembelajaran. Teknik ini dilakukan secara berkelompok, dimulai dari salah satu siswa mendapatkan cerita dari guru, kemudian siswa tersebut membisikkannya kepada siswa yang lain, selanjutnya siswa yang menerima bisikkan tersebut membisikkan ke siswa lainnya, begitu seterusnya sampai siswa terakhir yang menerima bisikkan. Setelah itu akan dilakukan evaluasi


(24)

dengan mencocokkan cerita yang diberikan guru dengan cerita yang diterima oleh siswa.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peggunaan cerita berantai belum pernah dilakukan oleh guru dalam pembelajaran berbicara pada siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori Banyumas. Pembelajaran berbicara oleh guru dilakukan dengan mendeskripsikan suatu hal atau berpidato secara bergantian. Oleh karena itu, penelitian berjudul, “Peningkatkan Keterampilan Berbicara melalui Teknik Cerita Berantai Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Kaliori Kecamatan Banyumas Kabupaten Banyumas “, penting untuk dilakukan, karena keterampilan berbicara siswa masih rendah dan penggunaan teknik cerita berantai belum pernah dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran berbicara.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti menemukan beberapa permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sebagai berikut.

1. Kurang terbiasanya siswa berbicara di depan kelas yang membuat siswa merasa masih malu-malu dan kurang percaya diri saat berbicara di depan kelas.

2. Siswa masih takut dan belum berani berbicara di depan kelas. Hal ini dikarenakan siswa takut salah dalam berucap dan takut jika ditertawakan oleh teman-teman. Selain itu, ada siswa yang belum berani maju karena siswa belum menguasai materi yang akan disampaikan.


(25)

3. Kejelasan ucapan pada saat siswa berbicara masih kurang jelas, sehingga membuat pendengar kurang memahami isi dari hal yang dibicarakan. 4. Intonasi suara yang masih datar. Belum menggunakan intonasi yang

sesuai, mana kalimat atau kata yang menggunakan intonasi tinggi dan mana yang menggunakan intonasi rendah.

5. Sikap dan bahasa tubuh belum maksimal. Sikap pada saat berbicara belum tegak lurus, pandangan belum ke pendengar, dan bahasa tubuh belum sempurna.

6. Pembelajaran berbicara di kelas IV SD Negeri 3 Kaliori Banyumas belum menggunakan cerita berantai.

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan keterampilan berbicara siswa sangat kompleks. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan pada teknik cerita berantai seperti berikut. 1. Meningkatkan proses pembelajaran berbicara siswa kelas IV SD Negeri 3

Kaliori, Banyumas.

2. Meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatas masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah teknik cerita berantai dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran berbicara siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas?


(26)

2. Seberapa besar teknik cerita berantai dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai beikut.

1. Meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran berbahasa melalui teknik cerita berantai siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas. 2. Meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik cerita berantai siswa

kelas IV SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas. F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bidang pendidikan dasar. Penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk mengkaji permasalahan yang sama dengan lingkup yang lebih luas.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini terdiri fari manfaat bagi guru, siswa, sekolah, dan bagi peneliti yang diuraikan sebagai berikut.

a. Manfaat bagi siswa

Teknik cerita berantai dapat memberikan suasana baru yang menyenangkan bagi siswa, karena siswa dapat bermain sambil belajar. Selain itu, teknik ini juga dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa.


(27)

b. Manfaat bagi guru

Memberikan inspirasi bagi guru untuk selalu melakukan inovasi dalam kegiatan belajar mengajar dan mencoba berbagai strategi, metode, dan teknik pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa. Selain itu dapat memberikan referensi tentang teknik cerita berantai dengan mensosialisasikannya dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) maupun kepada teman sejawatnya di masing-masing sekolah.

c. Manfaat bagi kepala sekolah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memfasilitasi pengalaman belajar siswa yang dapat merangsang keterampilan berbicara teknik cerita berantai.

d. Manfaat bagi peneliti

Digunakan sebagai pengalaman menulis karya ilmiah dan melaksanakan penelitian dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik cerita berantai, dan peneliti dapat mengetahui sejauh mana teknik tersebut dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

G. Definisi Operasional Variabel

Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda, maka peniliti perlu untuk memberikan definisi variabel secara operasional sebagai berikut.

1. Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara adalah kecakapan atau kelancaran mengungkapkan perasaan, gagasan kepada orang lain secara lisan.


(28)

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keefektifan berbicara ada dua, yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi tekanan, ucapan, nada dan irama, kosakata/ungkapab atau diksi, serta struktur kalimat. Sedangkan faktor nonkebahasaan meliputi kelancaran, penguasaan materi, keberanian, keramahan, dan sikap.

2. Cerita Berantai

Cerita berantai adalah salah satu teknik dalam pembelajaran berbicara yang dimulai dari seorang siswa menerima informasi dari guru, kemudian siswa tersebut membisikkannya kepada siswa lain, dan siswa tersebut meneruskannya kepada siswa lain. Begitu seterusnya, pada akhir kegiatan dievaluasi siswa mana yang benar dan mana yang salah menerima informasi.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2011:1180), keterampilan merupakan kecakapan untuk menyelesaikan tugas; ~ bahasa Ling merupakan kecakapan seseorang untuk bahasa dalam menulis, membaca, menyimak, atau berbicara. Keterampilan merupakan kecakapan menyelesaikan tugas (Sanjaya Yasin, 2012). Sedangkan menurut Nadler (1986) dalam Satria (2008), pengertian keterampilan (skiil) merupakan kegiatan yang memerlukan praktik atau dapat diartikan sebagai implikasi dari aktivitas.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditegaskan bahwa keterampilan merupakan kecakapan seseorang dalam menyelesaikan suatu kegiatan atau tugas yang berhubungan dengan aktivitas praktik. Kecakapan yang dimaksudkan bermacam-macam, sesuai dengan kegiatan atau tugas yang diberikan.

2. Pengertian Berbicara

Berbicara adalah salah satu keterampilan dalam berbahasa yang digunakan sehari-hari. Berbicara dilakukan sebagai alat komunikasi yang lebih efektif dan memegang peranan penting dalam kehidupan. Definisi dari berbicara berbeda-beda, diantaranya sebagai berikut.

HG Tarigan (1985) menyebutkan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk


(30)

mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, menurut Nuraeni (2002) berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berbicara adalah suatu berkata, bercakap, berbahasa atau melahirkan pendapat, dengan berbicara manusia dapat mengungkapkan ide, gagasan, perasaan kepada orang lain sehingga dapat melahirkan suatu interaksi.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang pengertian berbicara di atas dapat ditegaskan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dalam proses penyampaian informasi kepada pendengar untuk mengungkapkan ide, gagasan, maupun pesan sehingga melahirkan suatu interaksi. Pada proses interaksi berbicara yang baik harus ada tiga komponen utama, yaitu (1) pembicara, sebagai penyampai pesan ; (2) isi pesan ; dan (3) pendengar, sebagai penerima pesan.

3. Pengertian Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang mekanistik. Semakin banyak berlatih, semakin dikuasai dan terampil seseorang dalam berbicara. Tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui proses latihan (Kundharu Saddhono dan Slamet, 2012: 36). Sedangkan


(31)

menurut Muammar (2008: 320) keterampilan berbicara didefinisikan sebagai berikut.

“Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada oang lain dengan kepercayaan diri untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggung jawab, serta dengan menghilangkan masalah psikologis seperti rasa malu, rendah diri, ketegangan, berat lidah, dan lain-lain.”

Menurut Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2011: 241), keterampilan berbicara merupakan keterampilan mereproduksi arus sstem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan ide, perasaan, maupun gagasan kepada orang lain secara lisan.

4. Hakikat Berbicara

Berbicara pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, karena terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat yang lainnya. Saat berbicara memanfaatkan beberapa faktor seperti yang dungkapkan Zamzani dan Haryadi (1996 : 54) bahwa berbicara memerlukan faktor fisik, psikologis, semantik, dan linguistik. Faktor fisik yang dimanfaatkan orang saat berbicara adalah alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Selain itu fisik lain yang dimanfaatkan saat berbicara adalah tangan, kepala, dan roman muka. Faktor psikologis yang dimanfaatkan salah satunya stabilitas emosi yang berpengaruh pada kualitas suara yang


(32)

dihasilkan dan juga keruntutan bahan pembicaraan. Faktor sematik berhubungan dengan makna, sedangkan faktor linguistik berhubungan dengan struktur bahasa.

Dari penjabaran di atas dapat ditegaskan bahwa berbicara merupakan kegiatan berkomunikasi secara lisan yang berisi penyampaian pesan dari sumbernya ke tempat yang lain dengan disertai gerak, mimik, dan ekspresi sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh pembicara. Berbicara dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial untuk memberikan informasi, saling bertukar pengalaman, mengutarakan perasaan, dan mengemukakan suatu ide. Melakukan berbicara merupakan hal yang mudah jika dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah berbicara yang baik dan benar. Jika berbicara dengan baik dan benar maka pesan yang akan disampaikan dan yang diterima oleh penerima pesan akan sama dan tidak ada kesalahpahaman.

Berbicara erat hubungannya dengan menyimak, karena berbicara dan menyimak merupakan suatu komunikasi dua arah yang saling melengkapi. Seperti saat berkomunikasi di kehidupan sehari-hari, dimana saat ada yang berbicara disitu juga ada yang menyimak atau sebagai pendengar. Hal ini membuktikan bahwa berbicara dan menyimak sangat erat hubungannya dalam keterampilan berbahasa. Namun tidak hanya itu, keterampilan berbahasa yang lain seperti membaca dan menulis juga tidak bisa terpisah satu dengan yang lain.


(33)

Ada beberapa hal yang memperlihatkan hubungan antara berbicara dan menyimak (HG Tarigan, 2008 : 4-5) adalah sebagai berikut.

1. Ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru atau imitasi. Hal ini membuat contoh atau model yang disimak oleh siswa sangat penting dalam penguasaan berbicara.

2. Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh siswa biasanya ditentukan oleh perangsang (stimulus) yang ditemui. Contohnya kehidupan di desa atau kota dan kata-kata yang banyak memberi bantuan dalam menyampaikan ide atau gagasan.

3. Ujaran siswa mencerminkan pemakaian bahasa di rumah maupun masyarakat tempat tinggalnya. Contohnya ucapan, intonasi, kosakata, penggunaan kata maupun pola dalam kalimatnya.

4. Anak yang lebih muda dapat lebih memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan rumit daripada kalimat-kalimat yang diucapkannya.

5. Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara seseorang.

6. Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata siswa. Oleh karena itu, siswa akan tertolong jika menyimak ujaran-ujaran yang baik dari guru, rekaman-rekaman yang bermutu, dan cerita yang bernilai tinggi.

7. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, siswa akan meniru bahasa yang didengarnya.

Berdasarkan pernyataan HG Tarigan (2008: 4-5) yang memperlihatkan hubungan antara berbicara dan menyimak sesuai dengan penggunaan teknik cerita berantai yang akan digunakan peneliti. Pada teknik cerita berantai diperlukan keterampilan menyimak dan berbicara. Menyimak dilakukan pada saat siswa menerima informasi dari siswa lain yang kemudian akan disampaikan lagi kepada siswa selanjutnya melalui berbicara.

Kata-kata atau ujaran yang diterima pada saat menyimak mempengaruhi berbicaranya. Apabila pada saat menyimak, siswa dapat menangkap isi pesan tersebut dengan baik maka saat berbicara juga sesuai


(34)

dengan isi pesan yang diterimanya. Hal ini menunjukkan jika keterampilan menyimak baik, maka akan membantu meningkatkan kualitas berbicara siswa.

5. Tujuan Berbicara

Berbicara memiliki tujuan, tujuan yang utama dalam berbicara adalah untuk berkomunikasi. Dalam berkomunikasi agar efektif, pembicara haruslah memahami makna dari segala sesuatu yang akan dikomunikasikannya. Sehingga komunikasi terjalin baik, tanpa ada salah paham antara pembicara dan pendengar.

Menurut Och dan Winker (dalam Tarigan, 2008 : 16) pada dasarnya berbicara memiliki tiga tujuan umum, yaitu sebagai berikut.

1. Memberitahukan, melaporkan (to inform). 2. Menjamu, menghibur (to entertain).

3. Membujuk, mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade).

Berdasarkan pernyataan di atas menurut Och dan Winker (dalam Tarigan, 2008 : 16) berbicara mempunyai maksud untuk menginformasikan sesuatu hal kepada orang lain. Selain itu, berbicara juga dapat memiliki maksud untuk menghibur dan mengajak lawan bicaranya untuk melakukan sesuatu.

Sejalan dengan pendapat di atas, Djago Tarigan (1990) dalam Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 37), menyatakan bahwa tujuan berbicara meliputi : (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, (5) menggerahkan. Sedangkan menurut


(35)

Mudini Salamat Purba (2009: 4-5), secara umum tujuan pembicaraan adalah: (1) mendorong atau menstimulasi, (2) meyakinkan, (3) menggerakkan, (4) menginformasikan, dan (5) menghibur.

Jadi, tujuan berbicara dikatakan mendorong atau menstimulasi apabila pembicara berusaha memberi semangat dan gairah hidup kepada pendengar. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inspirasi atau membangkitkan emosi para pendengar. Tujuan berbicara dikatakan meyakinkan apabila pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan, pendapat, atau sikap para pendengar.

Tujuan berbicara dapat dikatakan menggerakkan apabila pembicara menghendaki adanya tindakan atau perbuatan dari para pendengar. Misalnya, berupa seruan persetujuan atau ketidaksetujuan, engumpulan dana, penandatanganan suatu resolusi, atau mengadakan aksi sosial. Tujuan berbicara dikatakan menginformasi apabila pembicara ingin memberi informasi tentang sesuatau agar para pendengar dapat mengerti dan memahaminya. Misalnya seorang guru yang menyampaikan pelajaran di kelas, seorang dokter yang menyampaikan masalah kesehatan, dan sebagainya. Tujuan berbicara dikatakan menghibur apabila pembicara bermaksud untuk menggembirakan atau menyenangkan para pendengarnya.pembicaraan seperti ini biasanya dilakukan dalam acara pesta, ulang tahun, atau pertemuan gembira yang lainnya. Reaksi yang diharapkan dari berbicara adalah timbulnya rasa gembira, senang, dan bahagia pada hati pendengarnya.


(36)

Berdasarkan tujuan berbicara yang dipaparkan di atas, maka dapat ditegaskan tujuan berbicara adalah untuk menginformasikan, menghibur, meyakinkan, dan menginformasikan orang lain dalam rangka berkomunikasi untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

6. Jenis-jenis Berbicara

Berbicara tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata ataupun kalimat. Namun ada ragam-ragam seni dalam berbicara. (Tarigan, 2008 : 24) mengemukakan bahwa secara garis besar, berbicara (speaking) dapat dibagi, sebagai berikut.

1. Berbicara di muka umum pada masyarakat (public speaking) mencakup empat jenis, yaitu :

a. berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat memberitahukan atau melaporkan; yang bersifat informatif (informative speaking),

b. berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan, persahabatan (fellowship speaking),

c. berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (persuasive speaking),

d. berbicara pada situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan hati-hati (deliberative speaking).

2. Berbicara pada konferensi (conference speaking) yang meliputi : a. Diskusi kelompok (group discussion) yang dapat dibedakan atas :

1) Tidak resmi (informal), diperinci lagi atas : a) kelompok studi (study groups),

b) kelompok pembuat kebijaksanaan (policy making groups), c) komik.

2) Resmi (formal) yang mecakup : a) konferensi,

b) diskusi panel, c) simposium.

b. Prosedur parlementer (parliamentary prosedure). c. Debat

Berdasarkan ragam seni berbicara menurut Tarrigan (2008: 24) diatas, maka dalam penelitian menggunakan cerita berantai ini termasuk dalam berbicara pada konferensi (conference speaking). Cerita berantai


(37)

dilakukan dalam kelompok studi (study groups) yang tidak resmi (informal,) karena dilakukan dalam rangka proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa.

Berbicara terdiri atas berbicara formal dan informal. Berikut ini merupakan klasifikasi berbicara formal dan informal menurut Mudini Slamet Purba (2009: 5), berbicara formal yaitu: (1) diskusi, (2) ceramah, (3) pidato, (4) wawancara, dan (5) bercarita (dalam situasi formal). Sedangkan berbicara informal yaitu: (1) bertukar pikiran, (2) percakapan, (3) penyampaan berita, (4) bertelepon, dan (5) memberi petunjuk.

Jenis-jenis berbicara banyak macamnya. Gorys Keraf (1977) dalam Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 38), membedakan jenis berbicara ke dalam tiga macam yaitu persuasif, instruktif, dan bertindak. Berbicara instruktif bertujuan untuk memberitahukan. Berbicara rekreatif bertujuan untuk menyenangkan. Jenis-jenis berbicara tersebut menghendaki reaksi dari para pendengar yang beraneka. Berbicara persuasif menghendaki reaksi para pendengar untuk mendapat ilham atau inspirasi berbicara instruktif menghendaki reaksi dari pendengar berupa pengertian yang tepat. Sedangkan berbicara rekreatif menghendaki reaksi dari pendengar berupa minat dan kegembiraan.

Menurut Puji Santosa, dkk. (2011), berbicara diklasifikasikan berdasarkan tujuan, situasi, cara penyampaian, dan jumlah pendengarnya. Klasifikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.


(38)

a. Berbicara berdasarkan tujuannya.

1) Berbicara memberitahukan, melaporkan, dan menginformasikan. 2) Berbicara menghibur.

3) Berbicara membujuk, mengajak, meyakinkan, atau menggerakkan. b. Berbicara berdasarkan situasinya.

1) Berbicara formal 2) Berbicara informal

c. Berbicara berdasarkan cara penyampaiannya. 1) Berbicara mendadak.

2) Berbicara beedasarkan catatan. 3) Berbicara berdasarkan hafalan. 4) Berbicara berdasarkan naskah.

d. Berbicara berdasarkan jumlah pendengarnya. 1) Berbicara antarpribadi.

2) Berbicara dalam kelompok kecil. 3) Berbicara dalam kelompok besar.

Berdasarkan klasifikasi dalam berbicara yang telah dijabarkan di atas, penelitian ini memfokuskan pada berbicara berdasarkan penyampaiannya. Cara penyampaian yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berbicara berdasarkan hafalan yang dikemas dalam permainan cerita berantai.

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berbicara

Kegiatan berbicara dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor ini terdiri dari dua macam, yaitu faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Menurut Maidar G. Arsjad Mukti (1993), perincian faktor kebahasaan dan non kebahasaan adalah sebagai berikut.

a. Faktor kebahasaan. (1)Ketepatan ucapan. (2)Penempatan tekanan. (3)Pilihan kata (diksi).

(4)Ketepatan sasaran pembicaraan. b. Faktor non kebahasaan.


(39)

(2)Pandangan harus diarahkan kepada lawan berbicara. (3)Kesediaan menghargai pendapat orang lain.

(4)Gerak-gerik dan mimik yang tepat.

(5)Kenyaringan suara juga sangat menentukan. (6)Kelancaran.

(7)Relevansi atau penalaran.

Faktor kebahasaan dan non kebahasaan merupakan faktor penting dalam keterampilan berbicara. Seseorang dapat dikatakan baik dalam berbicara apabila telah menguasai faktor kebahasaan dan nonkebahasaan tersebut. Faktor kebahasaan merupakan faktor dari bahasa ujaran atau kata-kata yang diungkapkan pada saat berbicara. Sedangkan faktor non kebahasaan lebih kepada penampilan atau sikap seseorang saat berbicara.

Menurut Mudini Salamat Purba (2009: 12-16), faktor kebahasaan dalam berbicara meliputi ketepatan pengucapan, penempatan tekanan/nada/intonasi, pilihan kata (diksi), dan ketepatan susunan penuturan. Sedangkan, faktor nonkebahasaan meliputi sikap berbicara, pandangan mata, kesediaan menghargai pendapat,gerak-gerik dan mimik, kenyaringa suara, kelancaran, dan penguasaan topik.

8. Langkah-langkah Berbicara

Berbicara merupakan sebuah proses. Dalam berbicara terdapat langkah-langkah yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang pembicara. Berikut ini merupakan langkah-langkah yang harus dikuasai oleh seorang pembicara yang baik yaitu:

(a)memilih topik, minat pembicaraan, kemampuan berbicara, minat pendengar, kemampuan mendengar, waktu yang disediakan, (b) memahami dan menguji topik, memahami pendengar, situasi, latar


(40)

belakang pendengar, tingkat kemampuan, sarana, dan (c) menyusun kerangka pembicaraan, pendahuluan, isi serta penutup. (Kundharu Saddhono dan Slamet, 2012: 6)

Persiapan sebelum berbicara yang utama adalah memilih topik pembicaraan sesuai dengan minat pembicaraan, kemampuan berbicara, minat pendengar, dan waktu. Topik dalam pembicaraan juga sesuai dengan pemahaman pendengar, sesuai dengan latar belakang dan situasi pendengar agar topik pembicaraan dapat diterima pendengar dengan baik. Setelah memilih topik, kemudian menyusun kerangka pembicaraan sesuai topik secara runtut agar lebih mudah diterima pendengar.

Menurut G. Arsjad & Mukti (1993: 26-30), langkah-langkah berbicara yaitu: (1) memilih topik pembicaraan, (2) menentukan tujuan, (3) mengumpulkan bahan, (4) menyusun kerangka. Pendapat yang sama juga langkah-langkah yang dikemukakan oleh HG. Tarigan (2008: 32) yaitu: (1) memilih pokok pembicaraan yang menarik, (2) membatasi pokok pembicaraan, (3) mengumpulkan bahan, dan (4) menyusun bahan, yang terdiri atas: (a) pendahuluan, (b) isi, serta (c) simpulan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditegaskan langkah-langkah berbicara dalam penelitian yaitu: (1) memilih topik pembicaraan, (2) menentukan tujuan, (3) membatasi pokok pembicaraan, (4) mengumpulkan bahan, dan (5) menyusun kerangka, yairu: (a) pendahuluan, (b) isi, serta (c) simpulan.


(41)

9. Proses Pembelajaran Berbicara

Keterampilan berbicara merupakan suatu proses yang memerlukan latihan secara berkala. Menurut Brooks dalam Tarigan (2008 : 17-18) ada beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, antara lain. 1. Membutuhkan paling sedikit dua orang. Berbicara dapat dikerjakan jika

ada paling sedikit dua orang sebagai pembicara dan penyimak. Namun berbicara juga dapat dilakukan oleh satu orang misalnya oleh orang yang sedang mempelajari bunyi bahasa dan maknanya.

2. Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama. Dalam berbicara harus menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pembicara dan penyimak.

3. Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum.

4. Merupakan suatu pertukaran antara partisipan. Pada saat berbicara yang memberi dan menerima pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak.

5. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lannya dan kepada lingkungannya dengan segera.

6. Berhubungan atau keterkaitan dengan masa kini. Pembicaraan yang dilakukan biasanya berhubungan dengan hal-hal yang sedang terjadi di masa kini.

7. Hanya melibatkan perlengkaan yang berhubungan dengan suara/ bunyi bahasa dan pendengar (vocal and auditory apparatus).

8. Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.

Kegiatan berbicara dapat berlangsung jika setidaknya ada sua orang yang berinteraksi. Kegiatan berbicara dapat dikatakan bermakna apabila jika salah satu pembicara memerlukan informasi atau ingin menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Karakteristik yang harus ada dalam kegiatan pembelajaran menurut Mudini Salamat Purba (2009: 19-20) yaitu: (a) harus ada lawan bicara, (b) penguasaan lafal, (c) ada tema/topik pembicaraan, (d) ada informasi yang ingin disampaikan atau ditanyakan, dan (e) memperhatikan situasi dan konteks.


(42)

Pembelajaran berbicara mempunyai beberapa konsep dasar. Menurut HG. Tarigan (2008: 23), konsep-konsep dasar ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) hal-hal yang berkenaan dengan hakikat atau sifat dasar ujaran, (b) hal-hal yang menyatakan proses-proses intelektual yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berbicara dengan baik, dan (c) hal-hal yang memudahkan seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan berbicara.

Penelitian ini merujuk pada pendapat HG. Tarigan (2008), konsep-konsep dasar pendidikan berbicara yang mencakup tiga kategori, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan hakikat atau sifat dasar ujaran, hal-hal-hal-hal yang menyatakan proses-proses intelektual yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berbicara dengan baik, dan hal-hal yang memudahkan seseorang untuk mencapai keterampilan-keterapilan berbicara. Sedangkan cakupan materi pembelajaran berbicara dalam penelitian ini tentang cerita berantai.

10. Aspek Penilaian Berbicara

Menurut Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 2) penilaian adalah usaha untuk mengukur ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara. Pada prinsipnya seorang guru harus memperhatikan lima faktor sebagai berikut.

b. Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal dan konsonan) diucapkan dengan tepat?

c. Apakah pola-pola intonasi, naik turunnya suara, serta tekanan suku kata, memuaskan?

d. Apakah ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang dgunakan?


(43)

e. Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?

f. Sejauh manakah “kewajaran” atau “kelancaran” ataupun :ke-narativespeaker-an yang tercermin bila seseorang berbicara? (Brooks dalam HG. Tarigan, 2008: 28)

Penilaian keterampilan berbicara dapat dilakukan dengan memperhatikan siswa yang sedang berbicara dengan melihat beberapa hal, diantaranya dapat melihat dari bunyi-bunyi yang diucapkan sudah tepat atau masih kurang. Pola intonasi dari naik turunnya suara apakah sesuai atau belum, ketepatan kata yang diucapkan sudah tepat atau masih ada kekurangan.

Menilai keterampilan berbicara bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Menurut Maidar G. Arsjad & Mukti, (1993: 23) mengungkapkan seperti berikut.

“Khusus untuk penilaian berbicara, disamping mencatat kekurangan-kekurangan siswa/mahasiswa, pengajar juga mencatat kemajuan yang sudah mereka capai. Hal ini penting karena hasil penilaian itu harus disampaikan secara lisan kepada mereka. Untuk memotivasi mereka saat berbicara, pengajar hendaknya menunjukkan hasil yang sudah dicapai”. Saat guru menilai keterampilan berbicara siswa, lebih baik guru

melakukan evaluasi pada akhir penilaian dengan menyampaikan hasil penilaian. Penyampaian hasil penilaian dilakukan agar siswa lebih termotivasi untuk meningkatkan hasil yang sudah dicapainya. Peningkatan hasil yang sudah dicapainya secara terus menerus akan meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

Lee (2009) dalam Kundharu Saddhono & Slamet (2012: 59) mengungkapkan bahwa alat penilaian atau tes itu harus dapat menilai


(44)

kemampuan mengkomunikasikan gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan menggunakan kata, kalimat, dan wacana yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik. Dalam menilai hendaknya jangan hanya memberikan nila yang berwujud angka, namun juga ditujukan kepada usaha perbaikan prestasi siswa sehingga menumbuhkan motivasi bagi siswa.

Aspek-aspek yang dinilai dalam penilaian keterampilan berbicara secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kebahasaan dan non kebahasaan (Ahmad Rifi’uddin & Darmiyati Zuhdi, 1998/1999). Aspek kebahasaan meliputi: (1) tekanan, (2) ucapan, (3) nada dan irama, (4) persendian, (5) kosakataungkapan atau diksi, dan (6) struktur kalimat yang digunakan. Sedangkan aspek non kebahasaan meliputi: (1) kelancaran, (2) pengungkapan materi wicara, (3) keberanian, (4) keramahan, (5) ketertiban, (6) semangat, (7) sikap, dan (8) perhatian.

Penilaian dalam keterampilan berbicara didukung dengan pengamatan terhadap siswa yang meliputi beberapa aspek (Ahmad Rifi’uddin & Darmiyati Zuhdi, 1998/1999) yatu: (1) pemerataan kesempatan berbicara, (2) keterarahan pembicaraan, (3) kejelasan bahasa yang digunakan, (4) kebakuan bahasa yang digunakan, (5) penalaran dalam berbicara, (6) kemampuan mengemukakan ide, (7) kemampua menarik kesimpulan, (8) kesopanan dan saling menghargai, (9) keterkendalian proses berbicara, (10) ketertiban berbicara, (11) kehangatan dan kegairahan dalam berbicara, dan (12) pengendalian emosi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menggunakan penilaian yang mengacu pada Ahmad Rifi’uddin & Darmiyati Zuhdi dimana penilaian dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan non kebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi : (a) tekanan, (b) ucapan, (c) nada dan irama, (d) kosakata/ungkapan atau diksi, dan (e) struktur kalimat. Sedangkan aspek non kebahasaan meliputi: (a) kelancaran, (b) pengungkapan materi, (c) keberanian, (d) keramahan, dan (e) sikap.


(45)

& Darmiyati Zuhdi dimana penilaian dibagi menjadi beberapa aspek yatu: (1) pemerataan kesempatan berbicara, (2) keterarahan pembicaraan, (3) kejelasan bahasa yang digunakan, (4) kebakuan bahasa yang digunakan, (5) penalaran dalam berbicara, (6) kemampuan mengemukakan ide, (7) kemampua menarik kesimpulan, (8) kesopanan dan saling menghargai, (9) keterkendalian proses berbicara, (10) ketertiban berbicara, (11) kehangatan dan kegairahan dalam berbicara, dan (12) pengendalian emosi.

B. Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Anak usia Sekolah Dasar memiliki karakteristik yang harus diketahui oleh guru agar guru sebagai pendidik mengetahui keadaan peserta didiknya. Guru harus memahami karakteristik peserta didik agar dapat menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didiknya. Adapun karakteristik peserta didik anak Sekolah Dasar menurut Piaget dalam Iskandarwassid & Dadang Sunendar (2011: 147-148) menyebutksn perkembangan anak mempunyai empat tahapan yaitu tahap sensorimotor, tahap operasional, tahap operasional nyata, dan tahap operasional formal. Berikut dipaparkan masing-masing tahapan tersebut.

Pertama, tahap sensorimotor (sejak lahir hingga usia dua tahun). Tahap ini anak mempunyai kemajuan dalam operasi-operasi reflek dan belum mampu untuk membedakan apa yang ada disekitarnya. Individu mulai menyadari bahwa benda-benda di sekitarnya mempunyai keberadaanm dapat ditemukan kembali, dan mulai mampu membuat hubungan-hubungan sederhana antara benda-benda yang mempunyai persamaan.


(46)

Kedua, tahap operasional (usia 2-7 tahun). Tahap ini anak mulai menerima arti secara simbolis. Contohnya, sekolah adalah tempat untuk belajar, masjid, gereja, vihara, pura, dan klenteng (yang dikenal oleh masing-masing individu) merupakan tempat untuk beribadah. Anak mampu untuk belajar tentang konsep yang lebih kompleks dengan mengingat bila diberikan contoh yang nyata dan familiar.

Ketiga, tahap operasional nyata (usia 7-11 tahun). Tahap ini anak mulai mengatur data ke hubungan yang lebih logis dan mendapat kemudahan dalam memanipulasi data dalam situasi pemecahan masalah. Anak mulai membuat keputusan tentang hubungan timbal balik.

Keempat, tahap operasional formal (usia 11 tahun dan seterusnya). Tahap ini ditandai dengan perkembangan kegiatan-kegiatan berpikir formal dan abstrak. Anak mampu berpikir logis tentang data abstrak, mampu menilai data sesuai kriteria, mampu membangun teori-teori dan memperoleh simpulan logis tanpa pernah memiliki pengalaman langsung.

Anak sekolah dasar mempunyai karakteristik tersendiri. Karakteristik yang dimiliki anak sekolah dasar yaitu: (a) keadaan jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah, (b) sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional, (c) ada kecenderungan suka memuji diri sendiri, (d) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalu hal itu menguntungkan, (e) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting, (f) pada mas ini anak menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi baik atau tidak, (g) minat kepada


(47)

kehidupan praktis sehari-hari, (h) realistis dan ingin tahu, (i) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran khusus, (j) samapi kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan pengajaran atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya, dan (k) setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak berusaha menyelesaikan tugasnya sendiri (Iskandarwassid & Dadang Sunendar, 2011: 141).

C. Teknik Cerita Berantai

1. Pengertian Teknik Cerita Berantai

Teknik cerita berantai merupakan salah satu teknik dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Menurut HG Tarigan (1990) Penerapan teknik cerita berantai ini dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Teknik cerita berantai dimulai dari salah satu siswa sebagai siswa pertama menerima cerita dari guru, kemudian siswa pertama menceritakan kepada siswa kedua, dan seterusnya sampai ke siswa yang terakhir. Selanjutnya cerita tersebut diceritakan kembali untuk dievaluasi bersama-sama.

Evaluasi di setiap akhir kegiatan menggunakan teknik ini dilakukan agar mengetahui siswa mana yang menerima cerita yang benar atau salah. Siswa yang salah menerima cerita, pasti akan salah pula dalam menyampaikan cerita kepada siswa selanjutnya. Dapat juga terjadi saat siswa menerima cerita tersebut sudah tepat, namun siswa tersebut keliru dalam menyampaikan ceritanya kepada siswa selanjutnya. Oleh karena itu


(48)

perlu pertimbangan yang bijak untuk menilai keberhasilan menggunakan teknik cerita berantai.

2. Kelebihan Teknik Cerita Berantai

Menurut HG Tarigan (1990) Penerapan teknik cerita berantai ini dimaksudkan untuk membangkitkan keberanian siswa dalam berbicara. Jika siswa telah menunjukkan keberanian, diharapkan kemampuan berbicaranya menjadi meningkat. Hal ini menjadi salah satu kelebihan dari teknik cerita berantai.

Menurut Lizna Wahyyu (2012) teknik cerita berantai memberikan beberapa manfaat, yaitu: (a) pembelajaran berlangsung efektif, (b) keaktifan siswa meningkat, (c) terjad interaaksi positif antara siswa dengan siswa maupun guru, dan (d) proses pembelajaran lebih terarah.

Selain itu penggunaan teknik cerita berantai juga dapat membuat siswa lebih semangat untuk belajar, karena teknik ini memberikan suasana baru dalam pembelajaran dalam keterampilan berbicara. Teknik ini membuat siswa lebih tertarik dalam belajar, pembelajaran dapat berjalan lebih terarah, dan keaktifan siswa dalam belajar lebih meningkat.

Penggunaan teknik cerita berantai ini juga dapat membuat pembelajaran yang berlangsung lebih efektif. Hal ini terjadi karena adanya interaksi yang positif antara siswa dengan siswa yang lainnya, maupun antara siswa dengan guru. Dengan teknik cerita beranta ini, diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, dan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa.


(49)

3. Langkah-langkah Teknik Cerita Berantai

Teknik cerita berantai yang dikembangkan oleh HG Tarigan (1990) dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (1kelompok terdiri dari 3-4 siswa).

2. Guru menuliskan cerita pendek (kurang lebih satu sampai tiga kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.

3. Cerita yang akan disampaikan hendaknya cerita yang menyangkut kejadian-kejadian yang menarik bagi siswa.

4. Cerita tersebut diberikan kepada siswa pertama untuk dibaca.

5. Siswa pertama menceritakan cerita tersebut tanpa melihat teks kepada siswa yang kedua.

6. Siswa kedua menceritaan cerita tersebut kepada siswa ketiga, dan seterusnya.

7. Siswa yang terakhir menceritakan kembali cerita yang diperolehnya kepada siswa yang pertama.

8. Saat siswa terakhir menceritakan kembali, suaranya dapat direkam untuk membantu saat melakukan evaluasi.

9. Guru melakukan evaluasi dengan menuliskan di papan tulis untuk membandingkan cerita yang diceritakan oleh siswa terakhir, cerita dari siswa pertama, dan cerita asli yang diberikan guru.

Pembelajaran berbicara menggunakan teknik cerita berantai ada beberapa langkah yang harus diperhatikan. Berdasarkan beberapa pemaparan langkah berbicara dan langkah teknik cerita berantai di atas, ditegaskan bahwa langkah-langkah pembelajaran yang digunakan oleh penelitian ini yaitu: (a) brainstorming (curah pendapat) untuk memilih tema, (b) memahami dan menguji tema, (c) menyiakan kerangka pembicaraan, (d) memanasakan suasana kelompok, (e) memilih partisipan, (f) mengatur setting tempat kejadian, (g) permainan cerita berantai, (h) diskusi dan evaluasi, (i) saling berbagi pengalaman, dan (j) refleksi.

Dari penjabaran di atas, peneliti menegaskan langkah-langkah yang digunakan peneliti dalam teknik cerita berantai sebagai berikut.


(50)

1. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (1kelompok terdiri dari 4 siswa).

2. Guru menuliskan cerita pendek (kurang lebih lima kalimat) yang akan disampaikan kepada siswa.

3. Cerita tersebut diberikan kepada siswa pertama untuk dibaca.

4. Siswa pertama menceritakan cerita tersebut tanpa melihat teks kepada siswa yang kedua.

5. Siswa kedua menceritaan cerita tersebut kepada siswa ketiga, dan seterusnya.

6. Siswa yang terakhir menceritakan kembali cerita yang diperolehnya kepada semua siswa.

7. Guru melakukan evaluasi dengan menuliskan di papan tulis untuk membandingkan cerita yang diceritakan oleh siswa terakhir, cerita dari siswa pertama, dan cerita asli yang diberikan guru.

D. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hasan yang dilakukan di kelas IV SD Negeri Semawung I, Boyolali yang berjudul “Penerapan Metode Cerita Berantai dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV SD Negeri Semawung 1 Tahun Pelajaran 2013/2014”. Rendahnya keterampilan berbicara siswa pada saat itu membuat peneliti menggunakan metode cerita berantai.


(51)

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah penerapan metode cerita berantai dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas IV SD N Semawung 1, Boyolali. Penggunaan metode cerita berantai ini selain meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa juga dapat membuat suasana belajar lebih menyenangkan. Siswai lebih aktif berbicara sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna.

Berdasarkan penelitian di atas, peneliti tertarik untuk menggunakan cerita berantai. Perbedaan dari penelitian yang sudah dilakukan yaitu penelitian yang peneliti lakukan berada di sekolah yang berbeda. Selain itu, langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan cerita berantai juga berbeda disesuaikan dengan kondisi siswa di masing-masing sekolah.

Penelitian yang dilakukan di SD Semawung 1 Boyolali menggunakan langkah-langkah sesuai dengan langkah yang disebutkan oleh HG Tarigan, pada penelitian yang dilakukan peneliti ada perbedaan yaitu: (a) cerita berantai ini dilakukan oleh 1 kelompok yang berisi 4 siswa, (b) pada penelitian ini cerita berisi 4-5 kalimat, (c) cerita berantai dibuat oleh guru pada siklus I, dan (d) cerita berantai dibuat oleh siswa pada siklus II.

E. Kerangka Pikir

Keterampilan berbicara penting untuk dikembangkan pada anak karena dengan memperhatikan keterampilan berbicara, maka dapat diketahui berbagai perkembangan bahasa dan peilaku yang dilakukan. Umumnya, pada saat pembelajaran guru yang mendominasi pembicaraan. Guru lebih banyak berbicara dan menyampaikan berbagai hal dibandingkan siswa. Hal ini


(52)

merupakan salah satu hal yang menyebabkan keterampilan berbicara anak kurang berkembang secara optimal.

Dalam mengembangkan keterampilan berbicara pada anak SD perlu dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Siswa akan lebih mudah terstimulasi kemampuannya dengan suasana yang menyenangkan . Salah satu cara yang bisa dapat dilakukan adalah melalui teknik pembelajaran yang menyenangkan menggunakan cara permainan. Melalui permainan, anak akan lebih aktif dan lebih bebas melakukan sesuatu. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik cerita berantai. Melalui teknik cerita berantai, siswa lebih senang saat proses belajar dan dapat meningkatkan keterampilan berbicara. Prosedur penelitian ini dilakukan dua siklus. Artinya setelah tindakan pertama selesai, dilakukan evaluasi. Apabila hasil dari tindakan pertama belum sesuai dengan yang diinginkan, maka disusun rencana untuk melakukan tindakan berikutnya.

Berdasarkan paparan di atas, maka alur pikir dalam penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.


(53)

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir

Keadaan Awal Tindakan Hasil Akhir

1. Keterampilan berbicara siswa kurang, siswa ragu-ragu dalam berbicara, dan kurang tenang. 2. Siswa kesulitan dalam menyampaika n gagasan kepada guru dan teman. 1. Penjelasan tentang berbicara menggunakan teknik cerita berantai. 2. Pembelajaran berbicara menggunakan teknik cerita berantai. 1. Pembelajaran berbicara lebih bervariasi. 2. Siswa lebih

aktif dan semangat dalam pembelajaran menggunakan cerita berantai. 3. Keterampilan berbicara siswa meningkat.

Diskusi pemecahan masalah

Penerapan pembelajaran keterampilan berbicara dengan teknik cerita berantai

Keterampilan berbicara siswa meningkat


(54)

F. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Jawaban sementara tersebut didasarkan pada fakta-fakta teoritis yang diperoleh dalam pengumpulan data.

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir di atas, berkaitan dengan permasalahan yang ada maka hipotesis tindakan yang diajukan adalah “melalui teknik cerita berantai dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran serta keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori Banyumas”.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas dapat didefiisikan sebagai suatu secara berkualitas sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang lebih baik, Asrori dkk (2009 : 9). Bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu memperbaiki dan meningkatkan praktik pembelajaran di kelas. Selanjutnya Asrori juga berpendapat bahwa penelitian tindakan kelas memiliki 4 model dalam pelaksanaannya, yaitu : 1) model guru sebagai peneliti, 2) model kolaboratif, 3) model simultan terintegrasi, dan 4) model administrasi sosial eksperimen. Asrori, dkk.(2009 : 17) menyatakan bahwa tujuan utama penelitian tindakan kelas adalah untuk peningkatan dan perbaikan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Tujuan dapat dicapai dengan melakukan berbagai tindakan alternative dalam memecahkan berbagai masalah dalam pembelajaran. Oleh karena itu fokus dalam penelitian tindakan kelas terletak pada tindakan-tindakan alternatif yang direncanakan oleh pendidik, kemudian dilakukan melalui penelitian tindakan kolaborasi antara peneliti dengan teman sejawat dan selanjutnya dievaluasi apakah tindakan alternatif tersebut dapat digunakan untuk memecahkan masalah pembelajaran yang sedang dihadapi oleh pendidik.

Model penelitian tindakan kelas ini lazimya memiliki empat tahapan penting. Keempat tahapan tersebut yaitu : 1) perencanaan (planning), 2)


(56)

pelaksanaan (acting), 3) pengamatan (observasing), dan 4) refleksi (reflecting). Keempat tahap ini merupakan unsur untuk membentuk suatu siklus dalam penelitian tindakan kelas. Siklus merupakan satu putaran kegiatan yang berurutan atau beruntun dan kembali ke langkah semula. Jadi dalam satu siklus dimulai dari tahapan perencanaan sampai dengan tahapan refleksi atau evaluasi.

Pada penelitian tindakan kelas, banyaknya siklus tidak ditentukan, namun dilihat dari waktu pelaksanaan yang relatif tergantung dari materi dipelajari dan cara yang digunakan. Pada satu siklus penelitian mungkin dapat ditentukan untuk mengadakan pertemuan tiga sampai lima kali sehingga siswa sudah merasakan proses dan hasilnya, dan peneliti sudah memperoleh informasi yang cukup untuk mengadakan perbaikan pada siklus berikutnya. Apabila pada siklus pertama sudah diketahui letak hambatan dan keberhasilannya, peneliti menentukan rancangan agar keberhasilan dapat didapatkan lagi dan hambatan dapat diperbaiki untuk siklus yang kedua. Apabila siklus kedua peneliti cukup mendapatkan informasi, maka penelitian dapat dilakukan hanya dengan dua siklus. Namun jika peneliti belum puas dengan informasi yang diperoleh pada siklus kedua, peneliti dapat mendapatkan informasi lagi melalui siklus-siklus berikutnya.


(57)

Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposif yakni dengan tujuan dan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut adalah jumlah siswa pada kelas tersebut 20 siswa dan tujuan penelitian untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran di kelas tersebut. Jadi,subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri 3 Kaliori Banyumas. Siswa yang menjadi subjek penelitian ini berjumlah 20 siswa, dengan jumlah siswa laki-laki 10 dan jumlah siswa perempuan 10 siswa. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah keterampilan berbicara. Peneliti memilih keterampilan berbicara sebagai objek penelitian karena sebagian siswa di sekolah dasar masih kurang dalam mengolah keterampilan berbicaranya. Penyajian data untuk membantu penelitian menggunakan nama inisial yang tersaji pada lampiran 1.

Peran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai kolaborator dari guru dan berfungsi sebagai observer, pengumpul data, penganalisis data, dan juga pelapor hasil penelitian. Sedangkan guru melakukan tindakan untuk meningkatkan mutu prmbrlajaran dengan metode yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Suharsimi Arikunto, dkk. (2009: 17) dalam penelitian kolaborasi, pihak yang melakukan timdakan adalah guru itu sendiri, sedangkan diminta melakukan pengamatan terhadap proses berlangsungnya tindakan adalah peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan.


(58)

C. Setting dan Waktu Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 3 Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. SD Negeri 3 Kaliori berlokasi di Jalan Raya Kaliori-Patikraja No 273, Kalibagor. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah dasar di Kabupaten Banyumas yang sudah menggunakan Kurikulum 2013. Setting penelitian ini dilakukan di dalam kelas IV, karena penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas.

Waktu penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016. Penelitian dilakukan pada bulan Mei yang dilakukan dalam dua siklus. Berikut ini disajikan tabel kegiatan penelitian yang dilakukan.

Tabel 1. Waktu Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Tanggal Pelaksanaan

1. Pratindakan 18 Mei 2016

2. Pelaksanaan siklus I pertemuan 1 24 Mei 2016 3. Pelaksanaan siklus I pertemuan 2 26 Mei 2016 4. Pelaksanaan siklus I pertemuan 3 28 Mei 2016 5. Refleksi siklus I dan perencanaan

siklus II

29 dan 30 Mei 2016 6. Pelaksanaan siklus II pertemuan 1 31 Mei 2016 7. Pelaksanaan siklus II pertemuan 2 1 Juni 2016 8. Pelaksanaan siklus II pertemuan 3 3 Juni 2016

9. Analisis Data 4 Juni 2016

10. Penyusunan Laporan Hasil Penelitian

27 Juni 2016 11. Penyusunan Artikel Hasil

Penelitian

19 September 2016

12. Publikasi 26 September 2016

D. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dalam bahasa Inggris disebut


(59)

Classroom Action Research (CAR) sudah sering dilakukan oleh para guru, dosen, maupun mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian tindakan kelas merupakan jeni penelitian untuk mengetahui proses pembelajaran dan memecahkan masalah pembelajaran melalui teknik-teknik pengajaran yang tepat sesuai dengan masalah dan tingkat perkembangan siswa, sehingga orang yang terliba dalam penelitian merupakan orang-orang yang mengetahui permasalahan yang dihadapi.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa melalui teknik cerita berantai. Tujuan penelitian tersebut dapat dicapai dengan tindakan-tindakan alternatif yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Menurut Suharsimi Arikunto, dkk. (2009:16) menyebutkan bahawa ada empat garis besar tahapan yang lazim dilalui, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, (4) refleksi.

Berikut ini penjelasan dari setiap tahapan tersebut. 1. Menyusun Rancangan Tindakan (Planning)

Tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, dimana, oleh siapa, dan bagaimanan tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal dilakukan secara kolaborasi (berpasangan). Peneliti dan guru menyusun rencana tindakan secara bersama-sama. Dalam tahap ini peneliti menentukan titik atau fokus yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk diamati kemudian membuat instrumen pengamatan untuk membantu peneliti mendapatkan fakta yang terjadi selama penelitian.


(60)

2. Pelaksanaan Tindakan (Acting)

Tahap kedua ini pelaksanaan ang dilakukan merupakan penerapan isi dari rancangan yang telah dibuat, yaitu tindakan di kelas. Guru mengajar sesuai apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi tetap luwes dan tidak dibuat-buat.

3. Pengamatan ((Observing)

Pengamatan dilakukan oleh peneliti ketika tindakan sedang dilakukan oleh guru. Peneliti mencatat dan mengamati apa yang terjadi selama proses pembelajaran agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.

4. Refleksi (Reflecting)

Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Refleksi dilakukan ketika guru sudah selesai melakukan tindakan, kemudian berhadapan dengan peneliti untuk mendiskusikan rancangan tindakan pada siklus berikutnya.

Model penelitian tindakan kelas yang telah dikembangkan oleh pakar banak macamnya. Dari model yang sudah adatersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Model-model tersebut dapat dipilih salah satunya sebagai acuan untuk melakukan tindakan penelitian. Menurut Wijaya Kusumah & Dedi Dwitagama (2012: 19), model tersebut antara lain Model Kurt Lewin, Kemmis dan Mc Taggart, Model John Elliot, Model Hopkins, Model Dave Ebbut, dan Model Mc Kernan.


(61)

Berdasarkan beberapa model penelitian tersebut,desain penelitian yang digunakan oleh peneliti menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart. Model Kemmis dan Mc Taggart dalam Wijaya Kusumah & Dedi Dwitagama (2012: 19) merupakan pengembangan dari model yang dikenalkan oleh Kurt Lewin. Perbedaannya hanya pada komponen tindakan dan pengamatan yang dijadikan satu. Penggabungan yang dimaksudkan adalah dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Sehingga saat tindakan berlangsung, maka observasi juga mulai dilakukan.

Gambar 2. Model PTK Kemmis dan McTaggart

Model Kurt Lewin mempunyai empat komponen utama yaitu: perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observing), dan refleksi

Keterangan : Siklus I

Plan : Perencanaan

Act and observe : Tindakan dan observasi

Reflect : Refleksi Siklus II

Revision plan : Perbaikan perencanaan

Act and observe : Tindakan dan observasi


(62)

(reflecting). Sedangkan model Kemmis dan Mc Taggart mempunyai tiga komponen utama, yaitu: planning, action (observasing), dan reflecting.

a. Perencanaan (planning)

Perencanaa merupakan kegiatan merancang penelitian tindakan yang akan dilakukan. Apabila pelaksanaannya di kelas, maka perencanaan tersebut disesuaikan dengan objek dan masalah yang ditingkatkan.

b. Action (observasing)

Melakukan tindakan (action) sesuai dengan rencana yang telah disusun. Tindakan dilaksanakan dengan hati-hati danteliti agar dicapai peningkatan yang baik. Pada saat tindakan sudah mulai dilakukan, maka pengamatan juga mulai dilakukan. Pengamatan dilakukan untuk mengamati dampak dari tindakan yang sedang dilakukan dan menilai apakah rencana dan tindakan yang dilakukan berhasil atau tidak.

c. Refleksi

Membahas kembali terhadap apa yang telah dilakukan. Refleksi dilakukan untuk mengetahui kekurangan, kelemahan. Dan ketidakberhasilan tindakan yang dilakukan. Kemudian menyusun rekomendasi dan saran-saran untuk melangkah pada siklus berikutnya jika hasil yang diharapkan belum sesuai dengan apa yang diinginkan.

Perbedaan lainnya dari model Kurt Lewin dengan model Kemmis dan McTaggart adalah tidak adanya batasan siklus. Jadi pada model Kemmis dan McTaggart siklus dilakukan bebas berapa kali tergantung seberapa besar keberhasilan yang ingin diperoleh peneliti.


(63)

E. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam PTK alurnya sangat terarah dan terencana, sehingga peneliti dapat membagi penelitian ini dalam tiga siklus (tidak dibatasi) dan dilanjutkan dengan pengamatan, refleksi, dan pelaporan. Siklus tersebut adalah pratindakan, siklus I, siklus II, dan siklus III. Pada saat di lapangan, peneliti melakukan bimbingan, tanyajawab, pengamatan, pencatatan dan mengumpulkan sumber data.

Berdasarkan refleksi yang dilakukan oleh tim peneliti, kemudian dirancang penelitian pada siklus berikutnya dengan membuat skenario baru yang merupakan perbaikan/revisi yang telah dilaksanakan di siklus pertama. Jumlah siklus pada model ini secara teoritis tidak ada batasannya. Jadi, untuk membatasi seberapa jauh tindakan sudah dikatakan berhasil harus ditentukan kriteria hasil pencapaian melalui tindakan yang dilakukan. Kriteria ini menjadi patokan kriteria hasil yang harus dicapai oleh peneliti.

Berikut ini merupakan penjelasan alur dari siklus tindakan yang dilaksanakan dalam penelitian ini.

1. Siklus Pertama (Siklus I)

Siklus pertama ini akan dilakukan dalam tiga kali pertemuan. a. Perencanaan

Perencanaan pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini mencakup beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut.


(64)

1) Peneliti melakukan analisis standar isi untuk mengetahui Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang akan diajarkan kepada peserta didik.

2) Mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan memperhatikan indikator-indikator yang hendak dicapai siswa berkonsultasi dengan guru kelas.

3) Menyusun pedoman lembar instrumen observasi kegiatan siswa dan guru. 4) Menyusun alat evaluasi pembelajaran dengan mempertimbangkan

indikator-indikator yang dicapai siswa. b. Tindakan dan observasi

Tindakan dalam penelitian ini mengacu pada RPP yang telah dibuat. Pembelajaran yang dilakukan bersifat fleksibel, dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada dalam kegiatan pembelajaran. Guru mengajar menggunakan RPP yang telah dibuat sedangkan peneliti mengamati dengan mengikuti pedoman observasi yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Berikut ini merupakan langkah-langkah yang dilakukan guru.

1) Kegiatan Awal a) Berdoa.

b) Presensi dengan menanyakan siswa yang tidak hadir. c) Guru mengondisikan siswa sebelum memulai pelajaran.

d) Guru melakukan apersepsi, siswa menyimak tujuan pembelajaraan yang disampaikan guru.


(65)

2) Kegiatan Inti

a) Guru membawa media pembelajaran untuk siswa. Siswa diperlihatkan media yang dibawa oleh guru berupa potongan kertas yang berisi cerita berantai yang dimasukkan ke dalam wadah. (Mengamati).

b) Guru menjelaskan tentang media yang dibawanya untuk pembelajaran. Siswa mendengarkan penjelasan dari guru tentang media yang dibawa.

c) Guru memberikan waktu kepada siswa untuk bertanya. Siswa dirangsang oleh guru dan diberi waktu untuk bertanya tentang kegiatan pembelajaran hari ini. (Menanya).

d) Guru memberikan penjelasan tentang keterampilan berbicara. Siswa mendengarkan penjelasan dari guru tentang langkah-langkah berbicara dan permainan menggunakan teknik cerita berantai.

e) Guru memperagakan permainan cerita berantai di depan kelas. Siswa memperhatikan contoh peragaan oleh guru. (Menalar).

f) Guru membimbing siswa membentuk kelompok (1 kelompok 4 siswa).

g) Setiap kelompok maju secara bergantian untuk bermain cerita berantai. (Mencoba).

h) Saat satu kelompok maju, salah satu anggota kelompok mendekati guru untuk memilih cerita yang akan diceritakan kepada anggota kelompok yang lain.


(66)

i) Setelah salah satu siswa sudah diberikan ceritanya, siswa tersebut membisikkannya kepada anggota lain secara bergantian tanpa menggunakan teks. Begitu seterusnya sampai anggota kelompok ynag terakhir.

j) Anggota kelompok terakhir menjelaskan isi cerita yang didengarnya dan mencocokkan apakah cerita tersebut benar atau salah. (Mengkomunikasikan).

k) Siswa melakukan permainan cerita berantai tersebut sampai seluruh kelompok maju.

3) Kegiatan Akhir

a) Guru membimbing siswa untuk menyimpulkan pembelajaran. b) Guru bersama siswa melakukan refleksi kegiatan pembelajaran. c) Guru memberikan motivasi dan pesan moral.

d) Guru menutup pembelajaran.

Guru saat melakukan tindakan pembelajaran diikuti oleh peneliti untuk melakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dengan mengamati semua kejadian selama proses kegiatan pembelajaran berlangsung. Peneliti menggunakan pedoman observasi yang sudah disiapkan untuk mengumpulkan data kegiatan pembelajaran guru dan siswa.

c. Refleksi

Data yang telah diperoleh selama observasi kemudian direfleksikan oleh guru dan peneliti. Refleksi dilakukan untuk menguraikan tentang prosedur


(67)

analisis hasil observasi dan refleksi tentang proses dan dampak tindakan perbaikan yang dilaksanakan, serta kriteria dan rencana tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya.

Refleksi dilakukan oleh peneliti dan guru setelah melakukan tindakan dan pengamatan. Siklus I dalam penelitian ini sudah baik dan terlihat ada peningkatan. Namun, masih ada beberapa kendala yang masih harus diperbaiki. Oleh karena itu, dilakukan perbaikan dalam tindakan di siklus II. 2. Siklus Selanjutnya

Berdasarkan tahapan siklus I tersebut, kegiatan dalam siklus selanjutnya merupakan perbaikan dasri hasil refleksi pada siklus pertama. Tahapan dalam siklus selanjutnya sama dengan tahapan pada siklus I dimulai dari perencanaan, tindakan dan pengamatan, dan refleksi.

Tindakan yang dilakukan pada siklus I sudah mengalami perubahan, namun masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dilakukan siklus II untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada siklus I. Siklus II dilakukan dengan harapan hasil dari siklus II sesuai dengan apa yang menjadi tujuan penelitian ini.

F. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian akan dilaksanakan di SD Negeri 3 Kaliori, Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas yang akan dilaksanakan menjadi beberapa siklus. Pada tiap siklus terdiri dari perencanaan, tindakan yang dilakukan bersamaan dengan observasi, dan


(68)

refleksi. Data yang akan diperoleh dari penelitian ini berupa peningkatan proses pembelajaran menggunakan teknik cerita berantai dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui metode pengumpulan data maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2009: 308).

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Pengamatan (Observasi)

Pengamatan atau observasi adalah kegiatan pengamatan (pengambilan data) untuk memotret seberapa jauh efek tindakan telah mencapai sasaran (Kunandar 2010 : 143). Pengamatan dilakukan peneliti selama proses tindakan dilakukan oleh guru. Pengamatan atau observasi ini dilakukan untuk memperoleh data hasil tindakan yang dilakukan oleh guru kepada siswa, serta data hasil proses belajar siswa menggunakan teknik cerita berantai pada penelitian ini.

Pengamatan dilakukan peneliti dengan mengacu pada pedoman observasi. Peneliti mengobservasi siswa dengan mencatat perilaku-perilaku siswa akibat dari tindakan yang diberikan gutu dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian keterampilan berbicara dengan pengamatan (observasi) terhadap siswa meliputi beberapa aspek yaitu: (1)


(69)

kejelasan bahasa yang digunakan, (4) kebakuan bahasa yang digunakan, (5) penalaran dalam berbicara, (6) kemampuan mengemukakan ide, (7) kemampua menarik kesimpulan, (8) kesopanan dan saling menghargai, (9) keterkendalian proses berbicara, (10) ketertiban berbicara, (11) kehangatan dan kegairahan dalam berbicara, dan (12) pengendalian emosi.

2. Tes (Unjuk Kerja)

Tes merupakan serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto 2006 : 150). Menilai keterampilan berbicara siswa bukanlah hal yang mudah dilakukan. Lee (2009) dalam Kunddharu Saddhono & Slamet (2012: 59) mengungkapkan bahwa alat penilaian (tes) harus dapat menilai kemampuan mengkomunikasikan gagasan yang mencakup kemampuan meggunakan kata, kalimat, dan wacana yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik. Tes dalam penelitian ini dilakukan dengan tes kinerja/perbuatan. Hasil tes ini diperoleh dengan mengamati siswa selama bermain cerita berantai. Tes kinerja/ perbuatan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berbicara siswa dalam pembelajaran menggunakan teknik cerita berantai.

Penilaian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Ahmad Rofi’uddin & darmiyati Zuhdi, dimana penilaian


(70)

dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek kebahasaan dan non kebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi: (1) tekanan, (2) ucapan, (3) nada dan irama, (4) kosakata atau diksi, dan (5) struktur kalimat yang digunakan. Sedangkan aspek non kebahasaan meliputi: (1) kelancaran, (2) pengungkapan materi wicara, (3) keberanian, (4) keramahan,dan (5) sikap.

3. Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2006 : 156) dokumentasi memiliki asal kata dokumen, yang memiliki arti barang-barang tertulis. Sedangkan menurut Sugiyono (2009: 329) dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya manumental dari seseorang.

Penelitian ini menggunakan dokumentasi berupa gambar foto dari siklus ke siklus untuk melengkapi hasil observasi. Selain itu, peneliti juga menggunakan dokumentasi tertulis berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan sebagai pedoman guru dalam pelaksanaan pembelajaran.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Lembar Observasi

Lembar observasi yang digunakan peneliti yaitu lembar observasi guru dan lembar observasi siswa. Lembar observasi guru digunakan untuk mengumpulkan data tindakan yang dilakukan guru dalam


(71)

pembelajaran,sedangkan lembar observasi siswa digunakan untuk mengumpulkan data siswa akibat pengaruh dari tindakan-tindakan yang diberikan guru dalam pembelajaran selama siklus berlangsung untuk meningkatkan keterampilan berbicara.

Kisi-kisi lembar observasi guru yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

Tabel 2. Kisi-Kisi Lembar Observasi Kegiatan Pembelajaran Guru

Komponen Indikator Nomor

item

Jumlah item

Kegiatan Awal

a.Melakukan brainstroming (curah pendapat) untuk memilih topik.

1 1

b.Memahami dan menguji topik 2 1 c.Menyiapkan kerangka pembicaraan

(pendahuluan, isi, dan penutup)

3 1

d.Memanaskan suasana kelompok 4 1

e.Memilih partisipan 5 1

f.Mengatur setting tempat kejadian 6 1 Kegiatan

Inti

a.Memberi kesempatan siswa melakukan cerita berantai

7 1

b.Memberikan diskusi dan evaluasi 8 1 c.Membimbing siswa berbagi pengalaman 9 1 Kegiatan

Akhir


(1)

Gambar 5. Perwakilan kelompok maju ke depan untuk membacakan cerita yang telah dibuat untuk bermain cerita berantai.

Pertemuan 1 Siklus II (31 Mei 2015)

Gambar 6. Siswa bermain cerita berantai Pertemuan 3 Siklus I (28 Mei 2016)


(2)

Gambar 7. Siswa berdiskusi sebelum melakukan permainan cerita berantai di depan kelas

Pertemuan 2 siklus I (26 Mei 2016)

Gambar 8. Siswa bermain cerita berantai secara berkelompok. Pertemuan 2 siklus II (1 Juni 2016)


(3)

Gambar 9. Siswa bersiap-siap bermain cerita berantai dengan memasang name tag di dada.

Pertemuan 3 Siklus II (3 Juni 2016)

Gambar 10. Siswa melakukan diskusi dibimbing oleh guru, mengevaluasi permainan cerita berantai, dan saling berbagi pengalaman.

Pertemuan 3 Siklus II (3 Juni 2016)


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENERAPAN METODE CERITA BERANTAI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA Penerapan Metode Cerita Berantai Dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas Iv Sd Negeri Semawung I Tahun Pelajaran 20

1 4 16

PENERAPAN METODE CERITA BERANTAI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA Penerapan Metode Cerita Berantai Dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas Iv Sd Negeri Semawung I Tahun Pelajaran

0 2 15

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA MELALUI PENERAPAN STRATEGI CERITA BERANTAI PADA MATA PELAJARAN BAHASA Peningkatan Kemampuan Berbicara Siswa Melalui Penerapan Strategi Cerita Berantai Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SDN Gondang I Kecama

0 1 16

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Sribit 2, Sidoharjo,

0 5 16

PENDAHULUAN Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Sribit 2, Sidoharjo, Sragen, Tahun Ajaran 2012/2013.

0 1 6

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Sribit 2, Sidoharjo,

0 1 11

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA KELAS IV MELALUI PERMAINAN CERITA BERANTAI DI SD NEGERI Upaya Peningkatan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas IV Melalui Permainan Cerita Berantai di SD Negeri Brojol I Kecamaatan Miri Kabupaten Sragen.

0 0 15

PENDAHULUAN Upaya Peningkatan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas IV Melalui Permainan Cerita Berantai di SD Negeri Brojol I Kecamaatan Miri Kabupaten Sragen.

0 0 8

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK CERITA BERANTAI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas IV SD N 01 Ngemplak Tahun Ajaran

0 0 16

PENDAHULUAN Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Teknik Cerita Berantai dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas IV SD N 01 Ngemplak Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 5