Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Imam Machdi NIM: 109048000073

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Imam Machdi NIM: 109048000073

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

ii

diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 23 Januari 2014 Mengesahkan


(4)

iii

Dengan ini saya menyatakan :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan semua dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplak orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

iv

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. x + 84 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires. Penulis ingin mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas.

Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif, dimana pemilihan pada jenis Penelitian Hukum Normatif didasarkan pada alasan karena perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan wanprestasi (ultra vires) merupakan permasalahan kesenjangan hukum.

Hasil ini menunjukan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci akan tetapi perlindungan hukum terhadap pihak investor yang sebenarnya sangat berperan penting demi kelangsungan hidup perseroan terbatas tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas atau tidak adanya pengaturan yang rinci yang mengatur perlindungan pihak investor atau pemegang saham.

Kata kunci : Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor dan Ultra Vires

Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H H.M.Yasir,S.H,M.H


(6)

v

Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, berkah dan nikmat-Nya. Shalawat serta salam dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta pengikutnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES“ ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.H,M.M. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H,M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H,M.Hum. Selaku ketua dan sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H. Selaku dosen Pembimbing 1 dan Bapak H. M. Yasir, S.H,M.H. Selaku dosen Pembimbing 2 yang dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.

4. Orang tua ayahanda Sumardi dan ibunda Dahlia yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, materi maupun moril dan segala yang telah diberikan untuk penulis.


(7)

vi

perhatiannya kepada penulis, memberikan dorongan, dukungan dan do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum (Gagat Rahino, Ariawan Zaki, Maulana Ichsan Setiadi, Sadam As’ad, Zakaria Zakim, Samsul, Farhan Bestiardi, Roma Rizky, Arif Prasetiyo, Nauval, dkk) dan kawan-kawan karib (Agung Jago, Wildan Nurasalim, Syarifudin dkk) khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 terima kasih yang tak terhingga yang sudah membantu, motivasi, dan yang selalu menghibur penulis dikala penulis sedang ada masalah.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu,semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr,Wb.

Jakarta, 23 Januari 2014 Penulis,


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah……… ………... .8

C.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 10

F. Kerangka Teoridan Konseptual ... 11

G.Metode Penelitian………..17

H.Sistematika Penulisan………21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES ... A.Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya……….23

B.Eksistensi Organ-organ Perseroan Terbatas……… 34


(9)

viii

B.Prinsip Dasar Perlindungan Hukum………... .52

C.Urgensi Perlindungan Hukum……….……….….58

BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERSPETIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN

PERSEROANTERBATAS ...

A.Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan ………... 65 B.Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor ..………... .76

BAB V PENUTUP ...

A.Kesimpulan……… 85

B.Saran……… 88


(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perekonomian yang diselenggarakan bedasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasioanal dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pegatahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan terus berlanjut pada masa mendatang, juga perlu dukungan lembaga perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang tentunya digerakan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas.1

Perseroan terbatas (selanjutnya disebut dengan perseroan) sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama bedasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan

1

Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.1.


(11)

dalam berusaha. Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang didirikan bedasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan usaha dari perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,ketertiban umum , dan atau kesusilaan.

Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau kekayaan tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang perorangan yang dinilai memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum serta mempertahankan haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang diatur dalam pasal 519 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUHAPdt) yang berbunyi “Ada barang yang bukan milik siapa pun, barang lainnya adalah milik Negara, milik perekutuan atau milik perorangan”.2

Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi bentuk-bentuk seperti itu, selain koperasi yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah Perseroan Terbatas (PT). Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi

2

Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.2.


(12)

pendirian perseroan terbatas mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini`dapat disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, maka bentuk perusahaan perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa perseroan terbatas merupakan bentuk perusahaan yang dominan.3

Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang bahkan banyak orang. Di dalam PT terdapat berbagai hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara perseroan dengan direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak investor.

Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu indikator atau suatu pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak mulai dari perancangan pendiriannya, tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk PT itu didirikan sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa PT merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian. Bertumpu pada uraian singkat tersebut semakin jelaslah di dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh berbagai perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat menghidupkan,

3

http://mhugm.wikidot.com, Irna Nurhayati, Ulasan Tentang Status Badan Hukum PerseroanTerbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.


(13)

memelihara kelangsungan hidup PT yang bersangkutan, bahkan dapat juga mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri. Perjanjian diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat menghidupkan dan sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama karyawan serta pihak investor mengandung sifat yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup PT.

Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam rangka kelangsungan hidup atau operasional PT, maka pertama terlihat pentingnya kedudukan pemegang saham termasuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan direksi, komisaris termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT dan tidak ketinggalan pihak investor, misalnya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Direksi sebagai wakil PT dengan pihak lain seperti perjanjian dagang. Seluruh komponen yang telah disebutkan itu pada pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil berupa kewajiban-kewajiban dan peranan sesuai porsinya masing-masing dalam rangka memajukan dan meningkatkan perkembangan PT. Oleh karena itu agar tercipta suatu keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian mengenai aspek perlindungan hukumnya.

Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu bentuk yang paling dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan, maka perkembangan pemanfaatan PT yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan PT yang cukup berkembang.


(14)

Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau yang disingkat dengan UUPT. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1)

UUPT yang menentukan : “RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan

kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan Komisaris. Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, Pasal 92 ayat (1) UUPT.4

Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalan pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak bertentangan dengan maksud sertatujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar.

Jika dirinci, maka Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan tunduk pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam bertindak,

4

UUPT Pasal 92 ayat 1“ Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan kegiatan dari perseroan”.


(15)

2. Direksi harus mengutamakan kepentingan-kepentingan Perseroan dari pada kepentingan pribadinya,

3. Tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. Apabila Direksi menyimpang dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak langsung telah menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai kepustakaan hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires. Tindakan ultra vires itu dapat menimbulkan kerugian pada Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para pemegang saham.

Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak investor. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah Perseroan Terbatas Perbankan yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada pemegang saham sehingga mengakibatkan PT Perbankan itu bangkrut atau dilikuidasi serta merugikan nasabah penyimpan. Dalam hal ini timbul tidak sesuaianya antara norma hukum (dassollen) pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (dassein) pada sisi lain. Dalam hal

ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pemegang saham, maka UUPT telah

menyediakan norma-norma hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas maupun minoritas.

Norma hukum yang dimaksud adalah ketentuan yang mengatur hak pemegang saham melalui RUPS meminta pertanggungjawaban Direksi, dan ketentuan mengenai


(16)

hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya pemeriksaan atas jalannya Perseroan. Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi tidaklah jelas dan UUPT tidak mengaturnya secara tegas atau tidak jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu UUPT mulai dari Pasal 92 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut.

Akan tetapi apabila mengacu pada ketentuan di dalam Pasal 97 ayat (1) yang menentukan Direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka pada satu sisi dapat dikemukakan terdapat pengaturan tanggungjawab direksi tetapi pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan tanggungjawab terhadap Perseroan.

Tidak jelasanya pengaturan tersebut merupakan suatu permasalahan hukum yang harus dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan memperjelas hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan rasa aman kepada pihak investor yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis berkeinginan untuk meneliti dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires.


(17)

B. Identifikasi Masalah

1) Bagaimana pendirian suatu Perseroan Terbatas. 2) Apakah tujuan dari Perseroan Terbatas.

3) Bagaimanakah kewenangan direksi Perseroan Terbatas. 4) Apa peran RUPS terkait tindakan wanprestasi (ultra vires).

5) Bagaimanakah tanggungjawab direksi apabila melakukan tindakan ultra vires terhadap pihak investor.

C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Batasan masalah ini penulis membatasi permasalahan yang ada di dalam pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan dan Sehubungan dengan maksud memperoleh hasil analisis yang fokus, maka terhadap permasalahan di atas perlu diberikan batas-batas atau ruang lingkupnya.

Permasalahan yang pertama yang akan dibahas berkisar pada pertanyaan bagimana hak-hak pihak pemegang saham, apakah terhadap tindakan ultra vires Direksi PT terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak investor. Di samping itu relevan pula dibahas adalah mengenai kondisi dasar hukum tersebut apakah memadai dan dapat diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk perlindungan hukumnya.

Sehubungan dengan permasalahan yang kedua yakni berkisar mengenai bentuk dan proses pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak investor, apakah diberikan secara langsung atau melalui perseroan dan atau pemegang saham


(18)

mengingat direksi itu diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemagang Saham.

2. Rumusan Masalah

Mengingat dari uraian mengenai latar belakang masalah dan batasan masalah diatas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Apa dasar perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires?

b. Bagaimanakah upaya pemulihan hak-hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar-dasar atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires

b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai Perseroan Terbatas dalam berbagai hubungan hukumnya dengan berbagai pihak.


(19)

Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pedoman yang komprehensif bagi semua pihak yang terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan pihak-pihak yang berhubungan atau mengadakan transaksi dengan Perseroan Terbatas dalam pemecahan masalah tanggungjawab terhadap pihak investor berkaitan dengan tindakan ultra vires.

E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan peneltian yang kita kerjakan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih dahulu membahas terkait dengan tindakan Ultra Vires, diantaranya adalah:

1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2012, yang disusun

oleh David Yacob Maruli, dengan judul “Penerapan Doktrin Ultra Vires Terhadap Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Ditinjau Dari UUD No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan UUD No 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Penulis

membahas terkait bagaimana direksi bertanggungjawab sepenuhnya dalam kepailitan Perseroan Terbatas akibat tindakan ultra vires.

Penelitian ini ditinjau dalam berbagai aspek hukum Perdata terkait dengan sistem dalam perjanjian dan pertanggungjawaban sebuah perseroan terbatas dengan subtansi eksistensinya hukum yang mengkaji tentang adanya kejahatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Dengan ini saya mengkaji bagaimana eksistensinya hukum di Indonesia mengenai


(20)

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroa Terbatas Terkait tindakan ultra vires.

F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Peningkatan pendirian perseroan dapat ditandai terjadinya hampir bersamaan dengan mulai meningkatnya aktivitas perkenomian Indonesia setelah pertengahan dasawarsa 1960an. Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal nasional untuk menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT.

Di samping itu turut pula memicu peningkatan pendirian PT di Indonesia adalah semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan dibuatnya Undang-undang No. 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan pasal 54 KUHD. Dilanjutkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir undang-undang ini diganti dengan Undang-undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perkembangan pengaturan tersebut secara tidak langsung menunjukan perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga mengakibatkan banyak yang memilih bentuk perusahaan ini.

Elemen-elemen di atas maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena menyangkut topik penelitian yang sedang digarap ini adalah elemen yang pertama,


(21)

yaitu perjanjian yang menurut Prof. Subekti merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5

Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus Perseroan Terbatas ternyata terdapat perjanjian-perjanjian. Pada saat para pendiri mengadakan kesepakatan mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian dituangkan dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli saham.

Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati.6

Disamping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada berlakunya hukum yang jelas tetap konsisten dan konsekuen mengajarkan agar

5

R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7 6

Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda,http:// www.kamushukum.com, 18/07/2013, 14:25 WIB,h. 1


(22)

memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak investor yang sangat berperan dalam menunjang perkembangan perseroan.7

2. Kerangka Konseptual

Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian merupakan hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.8

Penulisan skripsi ini menggunakan definisi-definisi sebagai berikut:

a. Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.9

7

Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com ,20/07/2013,22:25 WIB, h.1

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.132. 9

CST Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.h.35.


(23)

b. Pihak Investor

Berkaitan dengan pengertian perjanjian menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas pelaksanaan janji itu.10 Dapat disimpulkan dari pengertian tersebut dengan adanya pihak lain yaitu pihak investor (pihak ketiga) yang berhak atas pelaksanaan perjanjian.

c. Pertanggungjawaban

Terkait dengan pertanggungjawaban dalam judul skripsi ini yakni perlakuan tindakan atas kesalahan yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas dalam tindakan ultra vires.

d. Perseroan Terbatas

K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjaman-pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.11

Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan

kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang

10

Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, h. 1 11

K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,


(24)

bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah

“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab

arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan

pada saat itu.12

e. Ultra Vires

Stephen H. Gifis mengemukakan seperti dikutip Munir Fuady pada pokoknya menyatakan hukum disetiap negara tanpa melihat ke dalam sistem Perseroan tunduk

umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan “pelampauan kewenangan” (ultra vires) dari suatu perseroan.13

Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut. Pandangan tradisional mengenai utra vires pada pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat menimbulkan konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi hukum (null

and void) dan karena itu maka tindakan yang diklasifikan ultra vires itu tidak dapat

diratifikasi atau tidak dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS.

Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan konsekuensi yuridis antara lain sebagai berikut:14

12

H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.

13

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 110.

14

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 130.


(25)

a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya, b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat

perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut,

c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.

Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan perseroan yang ultra

vires itu ternyata juga mengalami perkembangan dan dalam perkembangan tersebut

pada pokoknya dikemukakan, sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul dari adanya ultra vires antara lain tanggungjawab pribadi. Tidak selamanya ultra

vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi atau petugas

yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.

Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut Teori Keadilan Distributif yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan.15

Dari uraian-uraian yang telah disajikan mengenai konsep yang berkaitan dengan judul skripsi ini pada intinya menjelaskan pada satu hal yang sangat penting bahwa pihak Perseroan Terbatas tetap bertanggungjawab terhadap kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak investor, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan

15


(26)

pada berbagai aspeknya, akan tetapi uraian-uraian tersebut dapat digali lebih dalam lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui skripsi ini.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi Program Studi Ilmu Hukum dijelaskan Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan Skripsi ini termasuk dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif.16

Pemilihan pada jenis penelitian di atas didasarkan pada alasan karena Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor Terhadap Diresksi Perseroan Terbatas Melakukan Tindakan ultra vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang sebenarnya sangat berperan demi kelangsungan hidup PT tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma hukum.

16


(27)

2. Pendekatan Masalah

Pembuatan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan,dalam hal ini penulis menggunakan penelitian pendekatan-pendekatan masalah sebagai berikut:17

a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

d. Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &Conseptual Approach) e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach),

f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach),

g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Sejalan dengan tujuan dan rumusan masalahnya, Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan yang terdiri dari:

1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical & Conceptual Approach) 3. Pendekatan Perbandingan Hukum (comparatif Approach) Pendekatan

Perundang-undangan bertujuan mengalisis peraturan perundangan dalam hal ini Undang-undang Perseroan Terbatas terutama yang berkaitan dengan kekosongan atau kekaburan norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pihak investor.

17


(28)

Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan analisis-analisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi PT, pihak investor dan ultra

vires merupakan konsep-konsep hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini

ditekankan pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak investor), serta tidak ketinggalan adalah mengenai ruang lingkup dan perkembangan ultra vires. Akan tetapi karena bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di negara lain, maka tidak tertutup kemungkinannya, usulan penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan

(The Comparative Approach).

3. Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya,antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder meliputi buku teks hukum (legal text book), Jurnal hukum,karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa,kamus hukum, ensiklopedi hukum. Dalam penelitian ini digunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti definisi-definisi hukum.


(29)

4. Bahan Hukum Penunjang Data

Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder maka dalam penelitian ini digunakan pula bahan-bahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam ini Notaris yang berpengalaman atau pihak lain yang memahami permasalahan mengenai tatacara menyelesaikan tanggungjawab Perseroan Terbatas terhadap pihak ketiga. Bahan Hukum Penunjang dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan internet yang menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik skripsi ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum atau Data

Penelitian ini tidak tertutup kemungkinan diperoleh bahan yang sudah tersusun dengan rapi baik berupa buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat tertulis dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan cardsystem yang ditekankan pada pencatan mengenai informasi yang relevan dengan topik permasalahan.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum atau Data

Untuk menganalisis data-data yang telah diterapkan teknik-teknik sebagai berikut:

a. Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak jelas rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. b. Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau tidak tepatnya suatu


(30)

diterapkan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang benar-benar sesuai dengan topik yang dibahas.

c. Teknik argumentasi atau alasan-alasan yang merupakan hasil penalaran setelah dilakukannya teknik evaluasi. Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat mungkin akan dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba terbatas.

d. Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

e. Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan bersifat mutlak. Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam pembahasan hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini berdasarkan Teknik Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau diuraikan secara lengkap dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya dan dapat ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi.

H. Sistematika Penulisan

Penyajian skripsi ini akan disusun kedalam 5 (lima) bab. Dimana masing-masing bab akan terdiri dari beberapa sub-bab agar pembahasan yang dibahas dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti secara jelas dan komprehensif.

Adapun urutan dan tata letak setiap bab dan pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:


(31)

1. Bab pertama dari penelitian ini adalah Bab Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

2. Bab kedua dari penelitian ini berkenaan dengan tinjauan umum tentang perseroan terbatas serta kewenangan bertindak perseroan terbatas yang mengenai isi dari eksistensi organ-organ perseroan terbatas dan kompetensinya.

3. Bab investor dari penelitian ini berisikan peran hukum untuk melindungi hak pihak investor dari tindakan ultra vires yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas.

4. Bab keempat dari penelitian ini berisikan tentang upaya perseroan terbatas melekukan remedial terhadap pihak investor dalam sistem pertanggungjawaban perseroan terbatas terkait tindakan ultra vires.

5. Bab kelima berisikan kesimpulan dan saran terkait dengan penelitian yang dibahas dalam skripsi.


(32)

23

A. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya

Menurut Achmad Ichsan dalam pengertian perseroan “naamloos” merupakan

suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggota perseroannya identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya seperti Perusahaan Dagang Beras.1

Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana yakni M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap persero pemegang saham turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.2

K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas

1

Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 134.

2


(33)

pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.3

Pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung menunjukkan perjalanan sejarah dari istilah atau nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun demikian istilah Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang dimaknai dari perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam pasal-pasal KUHD itu.

Selain itu Prof. Soekardono mengemukakan bahwa pada dasarnya istilah

tersebut lebih sesuai dengan sifat-sifat bentuk perusahaan yang dijalankan.4

Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan

kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang

bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah

“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab

arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan

pada saat itu.5

3

K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,

Pembangunan,Jakarta, h. 132. 4

R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta,h. 127.

5

H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.


(34)

Sehubungan dengan penjelasan di atas maka makna dari istilah Perseroan Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen notaris maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI).

Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah digantikan dengan dikeluarkannya undang No. 1 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 47 Tahun 2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap dipertahankan. Disamping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel, kedua undang-undang tersebut secara khusus juga mencantumkan pengertian atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang menentukan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis di atas dapatlah diuraikan adanya 5 (lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai berikut:

1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 2. Didirikan berdasarkan perjanjian,


(35)

3. Melakukan kegiatan usaha,

4. Modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,

5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal yakni; pertama, memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan ditegaskannya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum mengenai status hukum Perseroan Terbatas.

Di samping itu penegasan di atas merupakan langkah maju apabila dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua, perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi Perseroan Terbatas yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder.


(36)

Menurut R. Subekti badan hukum adalah suatu perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.6 Selanjutnya ditambahkan perseroan terbatas atau NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.7

Perseroan Terbatas didirikan bedasarkan sebuah perjanjian sebagaimana telah dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara tahap-tahap pendirian (konstruksi), beroperasi (operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan Perseroan Terbatas (terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional.

Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam Perseroan Terbatas sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan.

6

R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14. 7


(37)

Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa sebelum datang menghadap dihadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan diantara mereka sebelumnya. Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya konsensual atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat itu dan juga akta

notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu Perseroan Terbatas tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa Peseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat dikemukakan pendirian dan eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri.

Berkaitan dengan unsur di atas Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pertama yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis dari pemikiran teoritis bahwa pendirian Perseroan Terbatas didasarkan pada perjanjian dan sebagai hasil implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu.


(38)

Perlu pula dikemukakan bahwa untuk melakukan kegiatan usaha merupakan kewajiban bagi Perseroan Terbatas. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus” sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 9 ayat (1) Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara ringkas dapatlah diuraikan mengingat Perseroan Terbatas juga merupakan wahana bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan mutlak sifatnya.

Berkaitan uraian mengenai dengan modal perseroan di atas perlu dijelaskan pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis tidak ada hubungannya dengan pengertian ekonomi dan perihal modal perseroan itu praktis selalu dicantumkan dalam anggaran dasar.8 Pendapat ini semakin relevan karena dalam UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan (Pasal 10 ayat 4). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai

8

Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 180.


(39)

nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.9 Modal perseroan yang kemudian dibagi ke dalam saham-saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi saham menurut UUPT.

Sehubungan hal diatas dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan, anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. Pengertian yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:

a. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama saham dengan hak suara atau tanpa hak suara

b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris

c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain

d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif

9


(40)

e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

Dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau lebih klasifikasi. Uraian tersebut di atas memperlihatkan kedudukan modal dalam perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan:

a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya,

b. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan,

c. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.

Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu memperbolehkan penyetoran atas modal saham perseroan tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar sesuai harga pasar atau penilaian ahli yang independen.


(41)

Uraian di atas mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika Perseroan Terbatas didirikan maupun bursa efek.

Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh Mas Soebagio pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat mengukur besarnya tanggungjawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian tersebut diatas jelaslah bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian-perjanjian dan berarti tunduk pada Asas Kebebasan berkontrak.10

Di dalam asas tersebut yang dijelaskan di atas terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa yang mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak perlu didampingi oleh asas yang lainnya yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang, kepatutan dan ketertiban umum atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.11

Pendapat di atas pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam

10

Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang,

Alumni, Bandung, h. 135. 11

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 219.


(42)

undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa Perseroan Terbatas harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Sehubungan dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan kompetensi.

Secara garis besar kedua istilah di atas memiliki pengertian yang hampir sama, akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran yakni Pengertian kewenangan adalah Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :12

a. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.

b. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah.

c. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggungjawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.

Istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik

12

Yosran,2008,Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com, h,1,15/09/2013,08:45 WIB.


(43)

bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief

kompetentie.13 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian

kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili sedangkan relatief kompetentie atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.14

Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam hukum pembuktian yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum kontrak. Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang tidak memiliki cacat mental atau tidak memiliki kapasitas.

B. Eksistensi Organ-Organ Perseroan Terbatas.

Mengingat Perseroan Terbatas itu merupakan suatu badan yang diwajibkan melaksanakan kegiatan usaha, dimana sejak mulai tahap perancangan, pendirian, operasional, bahkan sampai dengan tahap Perseroan Terbatas itu berakhir jangka waktu pendiriannya atau mengalami kepailitan atau likuidasi, maka sudah tentu banyak sekali orang atau pun pihak yang turut berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam mewujudkan tahap-tahap tersebut. Untuk mengetahui orang atau pihak mana yang merupakan organ Perseroan Terbatas sangat perlu dilakukan

13

R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung,Bandung, h. 39.

14

Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.


(44)

identifikasi terlebih dahulu. Identifikasi pertama-tama dilakukan terhadap istilah

corporate constituent dilanjutkan dengan stakeholder dengan menggunakan kriteria

organ sebagai tolok ukur.

Organ menduduki peranan yang sangat penting dan berkaitan dengan kedudukan organ dalam perseroan tersebut. Pentingnya kedudukan itu dapat diuarikan pertama dari pendapat mengenai kedudukan mandiri Perseroan Terbatas dan yang dimaksudkan itu adalah Bahwa Perseroan Terbatas dalam hukum dipandang berdiri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam Perseroan Terbatas tersebut.

Disatu pihak Perseroan Terbatas merupakan wadah yang menghimpun orang-orang yang mengadakan kerjasama dalam Perseroan Terbatas, namun di lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam Perseroan Terbatas itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Karena itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu utang atau kerugian dianggap sebagai beban Perseroan Terbatas sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan Perseroan Terbatas. semata-mata. Sementara perorangan yang ada dianggap lepas eksistensinya dari Perseroan Terbatas itu.15

Eksistensi organ-organ dalam suatu badan hukum merupakan sesuatu yang sangat signifikan. Tanpa adanya organ-organ, suatu badan hukum itu tidak akan

15

Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,h.9.


(45)

fungsional dan operasional. Organ-organ itulah yang membuat badan hukum yang bersangkutan menjadi dinamis sehingga dengan demikian dapat dikatakan organ tersebut terutama Direksi dalam struktur korporasi merupakan wakil yang melaksanakan kehendak yang ada dalam badan hukum.

Struktur korporasi pada pokoknya menekankan pada aspek struktur yang merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau tersusun dalam bagian-bagian yang dirancang untuk bekerjasama dalam korporasi itu sendiri. Satuan kerja atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam perseroan adalah organ-organ. Dengan demikian struktur korporasi sebenarnya terdiri dari organ-organ, akan tetapi dalam kaitan ini persoalannya, organ-organ apa saja yang dapat dimasukan ke dalam struktur korporasi. Sistem common law dan civil law ternyata tidak secara seragam mengatur mengenai struktur tersebut.

Cornelius dan Natalie Mulia yang mengutip Piarlie Koh dan Victor Yeo pada intinya mengemukakan hukum korporasi menurut sistem common law seperti yang dianut oleh Singapura menganut single-tier management structure dimana manajemen perseroan di bawah kontrol penuh dari Direksi. Dalam hal ini ditegaskan pula, Sistem common law tersebut tidak mengenal lembaga Dewan Komisaris.16

C. Kompetensi Perseroan Terbatas

1. Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS)

Pasal 1 angka 4 UUPT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan

16

Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,Jakarta, h. 1.


(46)

dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal tersebut menentukan pengertian RUPS itu sendiri dan apabila dibandingkan ternyata rumusan pengertiannya berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU. No. 1 Tahun 1995 atau UUPT lama yang menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Dari rumusan pada UUPT lama tampak dengan jelas undang-undang menempatkan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan. Sedangkan dalam rumusan UUPT yang baru hal tersebut tidak kelihatan. UUPT tampak lebih menekankan perbedaan wewenang yang dimiliki RUPS dengan wewenang organ-organ lainnya.

Penekanan di atas tidaklah mengurangi kedudukan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kedudukan ini menjadi nyata karena UUPT juga menentukan pada pokoknya kekuasaan RUPS hanya dapat dibatasi oleh undang-undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Penelusuran terhadap UUPT pun menunjukkan kompetensi RUPS memiliki ruang lingkup yang luas. Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 34 pasal UUPT yang menentukan mengenai kompetensi RUPS.


(47)

2. Direksi

Seperti halnya RUPS, maka pengertian mengenai Direksi juga dituangkan dalam UUPT. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas

pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan

tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baikdidalam maupun di luar pengadilan

sesuai dengan ketentuan anggarandasar.

Dari pengertian di atas tercermin beberapa hal penting antara lain penegasan yang mendasar seperti halnya terhadap RUPS maka Direksi pun juga dinyatakan merupakan organ perseroan, Direksi memiliki tanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan, dan memiliki kewenangan mewakili perseroan.

Ketentuan bahwa direksi sebagai agen dari perseroan ini sejalan dengan yang berlaku dalam sistem hukum common law. Selain direksi, karyawan (officer) atau orang lain juga dapat mewakili perseroan. Sehubungan dengan itu, undang-undang membatasi dengan ketentuan bahwa karyawan dapat mewakili perseroan dengan dibuatkannya kuasa tertulis dari direksi kepada salah satu karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ini, direksi bertindak selaku pimpinan dari karyawan atau orang lain yang diberika kuasa.17

Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur direksi sebagai agen dari perseroan, undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak mengatur lebih lanjut. Secara umum, kewenangan direksi untuk memberikan kuasa atau mewakilkan

17

Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.121.


(48)

tugasnya tersebut tersebut diatur dalam anggaran dasar perseroan, seperti pemberian kuasa untuk tugas-tugas mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai, pemberian penghargaan, atau pengenaan sanksi.

Direksi tidak diperbolehkan melakukan hal-hal dengan atas nama perseroan atau menggunakan perseroan yang bertujuan bukan untuk kepentingan perseroan atau bertentangan dengan tujuan perseroan. Direksi tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi atau pihak luar perseroan. Direksi tidak dapat melakukan tindakan yang sekalipun untuk kepentingan perseroan sebagaimana tentukan dalam anggaran dasarnya. Misalnya, suatu perseroan yang di dalam anggaran dasarnya ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan jasa pengerah tenaga kerja, tetapi direksi melakukan kegiatan import. Sekalipun kegiatan tersebut yang dilakukan direksi sangat menguntungkan perseroan, tetapi direksi dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan.18

Direksi yang pada dasarnya merupakan badan eksekutif atau manajer perusahaan atau pelaksana kegiatan usaha agar perseroan dapat mewujudkan maksud dan tujuannya memiliki kewajiban dan tanggungjawab dengan ruang lingkup yang luas, dan dalam melaksanakan kewajibannya itu Direksi menjunjung prinsip

fiduciaries duties dimana pada pokoknya Direksi memegang sesuatu kepercayaan

kepengurusan untuk kepentingan perseroan.19

18

Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.128.

19

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 33.


(49)

Sebagai manajer perusahaan, Direksi memiliki dua kewajiban pokok terhadap perseroan yaitu Duty of Care dan Duty of Loyalty. Kewajiban yang pertama menekankan standar minimal perhatian dan kebijaksanaan. Duty of care menentukan standar-standar penilaian terhadap kememadaian dari keputusan-keputusan korporasi. Kewajiban yang kedua menekankan keberpihakan terhadap perseroan bilamana Direksi sebagai pemegang kepercayaan perseroan melakukan suatu transaksi yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Intinya, Direksi dalam melaksanakan fungsi kepengurusannya haruslah selalu mengutamakan kepentingan perseroan dari pada kepentingan-kepentingan yang lainnya.20

Direksi perseroan merupakan pihak atau organ yang dapat dipercaya dan layak untuk diberikan kewenangan mewakili. Dari uraian tersebut timbul persoalan berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan yang dapat diberikan kepada Direksi perseroan, dan untuk ini Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang tersebut, anggaran dasar, atau keputusan RUPS.

Penjelasan di atas mengingat mewakili pada intinya juga merupakan representasi, maka salah satu dari ruang lingkup kewenangan mewakili yang dinyatakan tidak terbatas itu adalah kewenangan membuat atau mengikatkan

20

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 34.


(50)

perseroan dalam kontrak (to enter into a contract), dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.

3. Dewan Komisaris

Pengertian Dewan Komisaris dapat diketahui dari Pasal 1 angka 6 UUPT yang menentukan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi. Berbeda halnya dengan negara-negara dengan sistem common law yang Hukum Perseroannya menganut single-tier management

structure dimana eksistensi Dewan Komisaris sebagai organ bersifat relatif bahkan

tidak ada, maka Hukum Perseroan Indonesia seperti tertuang dalam UUPT, eksistensi Dewan Komisaris dalam Perseroan baik dari aspek organisasional maupun fungsional merupakan suatu kewajiban.21

Adanya Dewan Komisaris sebagai salah satu organ dalam struktur organisasi Perseroan tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa UUPT pada dasarnya menuruti pola organisasi yang terdapat dalam suatu tatanan yang disebut dengan the

two-tier management system yang diterapkan dalam Hukum Perseroan pada

negara-negara yang menganut sistem civil law pada umumnya.

Bila dikaji dari aspek fungsionalnya dapat dikemukakan kedua sistem tersebut sebenarnya sama-sama memandang penting dewan tersebut, akan tetapi hanya the

two-tier management system yang menempatkan sebagai salah satu organ perseroan

21

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 78.


(51)

dan sehubungan dengan adanya Dewan Komisaris perlu dikaji lebih jauh lagi mengenai apa maksud dan tujuan dari keberadaan organ tersebut dalam Perseroan. Dalam hal ini baik The single-tier management structure maupun the two-tier

management system tidak menjelaskan persoalan itu.

A.Partomuan Pohan pada pokoknya mengemukakan persoalan tersebut dapat

dijelaskan menurut paham “het Contractuele Standpunt” yang dianut antara lain oleh

Molengraaf, Starbusmaan, Van Der Hayden yang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas adalah persetujuan diantara para pendiri yang termasuk dalam ruang lingkup Buku III. BW dan Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk khusus dari Maatschap. Sedangkan RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas, wewenang organ-organ lainnya dari perseroan dianggap bersumber dari RUPS. Pengurus dianggap sebagai yang mendapat mandat dari RUPS, sedang Dewan Komisaris dianggap melakukan pengawasan atas Direksi selaku mewakili atau atas nama pemegang saham.22

Pandangan di atas sebenarnya hanya mengandung relevansi ketika pengaturan mengenai Perseroan Terbatas masih bertumpu pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang memberi kedudukan yang sangat istimewa kepada pemegang saham. Sedangkan apabila bertumpu pada UUPT, maka pandanga tersebut sudah tidak relevan lagi, karena Penjelasan atas Pasal 108 ayat (2) sudah menegaskan, pengawasan oleh Dewan Komisaris dilakukan untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Eksistensi Organ Dewan Komisaris dalam struktur organisasi Perseroan di Indonesia sebagai kewajiban dapat disimak dari Pasal 15 ayat (1) huruf “f” yang pada pokoknya menentukan, Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya nama jabatan

22

A.Partomuan Pohan, 1990, Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris, Direksi Dan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum Di Sekitar Penanaman Modal, Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, h.30.


(52)

dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 121 UUPT mengenai tugas-tugas Dewan Komisaris pada umumnya. Dengan adanya kewajiban berdasarkan undang-undang tersebut maka keberadaan organ itu semakin kuat sehingga harus dilaksanakan dalam setiap pendirian Perseroan. Fungsi Dewan Komisaris dapat disimak dari Pasal 1 angka 6 UUPT dimana ditentukan organ tersebut menjalan fungsi pengawasan baik umum maupun khusus dan fungsi memberi nasehat. Mengenai rincian terhadap fungsi pengawasan dan pemberian nasehat tersebut, UUPT tidak mengaturnya.

Berbeda halnya dengan kompetensi Dewan Komisaris, dimana dalam hal ini UUPT mencantumkan pengaturan yang tegas seperti Pasal 117 ayat (1) yang menentukan, Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, dan Pasal 118 ayat (1), bahwa berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.


(53)

44

A. Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires 1. Pengetian Ultra Vires

Istilah ultra vires sebenarnya secara etimologis berasal dari BahasaLatin. Secara harfiah Ultra berarti sesuatu yang sangat besar dan melampaui ukuran yang semestinya, dan vires berarti tindakan. Dengan demikian ultra vires dapat diartikan sebagai tindakan yang melampaui ukuran yang telah ditetapkan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa yang telah diuraikan tadi merupakan pengertian ultra vires pada umumnya. Ultra vires ternyata dikenal baik dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara.1

Hukum Tata Negara kewenangan itu pada pokoknya menyangkut hubungan antara negara dengan pemerintahnya yang diatur konstitusi. Apabila melampaui konstitusi maka pemerintah federal, provinsi atau negara bagian dapat dinyatakan telah melakukan ultra vires. Sementara itu Hukum Administrasi Negara memiliki pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, ultra vires terjadi bilaman

1

Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.110.


(1)

87

upaya remedial terhadap kerugian akibat tindakan ultra vires tersebut meliputi tindakan ratifikasi dan pemberian ganti rugi.

(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

Ratifikasi berarti pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab yang bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian.

Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Disamping itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial yang bersifat menanggulangi kerugian yang timbul. Dalam hal pihak ketiga yang dirugikan merupakan kreditur, maka mereka dapat melakukan injunction atau mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga, dan tracing atau menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh.

Direksi yang dibebani tanggungjawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup, maka langkah yang dapat dipandang sebagai solusinya adalah melakukan proses substitution. Dengan langkah ini, perseroan terlebih dahulu melakukan penalangan terhadap kerugian pihak investor dan selanjutnya Direksi


(2)

88

berkewajiban mempertanggungjawabkannya kepada perseroan. Dalam hubungan ini yang diutamakan adalah memulihkan hak-hak pihak investor.

B. Saran

1. Prioritas utama dalam penerapan Doktrin Ultra Vires pada dasarnya adalah pencegahan terhadap tindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan. Berkaitan dengan upaya mendukung pencegahan tersebut maka baik direksi maupun pihak investor yang akan menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan hendaknya memahami terlebih dahulu ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang bersangkutan.

Pemahaman di atas antara lain dapat diperoleh melalui konsultasi hukum. Dengan pemahaman tersebut akan dapat diketahui kesesuaian antara transaksi yang hendak dilakukan dengan ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan.

2. Upaya pemulihan hak-hak pihak investor atas tindakan ultra vires direksi perseroan perlu diatur secara tegas dan terperinci dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dan perlu adanya pengawasan yang lebih di dalam organ perseroan agar terhindar dari tindakan ultra vires yang dapat merugian pihak investor (pihak ketiga).


(3)

89

DAFTAR PUSTAKA

Kitab suci:

Al-Qur’an dan Terjemahan. Buku-buku:

Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual HukumPerseroan, Bandung:Citra Aditya Bakri,2004.

Apeldoorn, L. J.Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya

DalamHukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Gie, The Liang. Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Penerbit Super, 1979.

Ginting, Jamin. Hukum Perseroan Terbatas (UU. No. 40 Tahun 2007), Bandung: Citra AdityaBakti,2007.

Ichsan, Achmad. Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983.

Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum(Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1986.

Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Jala Permata Aksara,2009. Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2


(4)

90

Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas,Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006. Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur

Bandung, 1980.

Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Prinst, Darwan. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986). Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Subekti, R. Kamus Hukum, Jakarta:Pradnya Paramita, 1973.

Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT. Intermasa,1977.

Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar Grafika,2009.

Tirta Amidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan,Jakarta:Djambatan, 1956. Tirtodiningrat, K.R.M.T. Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,Jakarta:

Pembangunan,1963.

Wicaksono, Frans Satrio. Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia, 2009.

Makalah/Artikel:

A. Partomuan Pohan,Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris, DireksiDan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum DiSekitar Penanaman Modal,Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan BadanKoordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 1990.


(5)

91

J. Satrio, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni, Bandung, 1999.

Mas Soebagio, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, 1976.

Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak :Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

Majalah/Koran:

Syarif Basir, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, 2009. Perundang-undangan:

Kitab Undang-undang Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 26 s/d 56 KUHD.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang Nama Perseroan Terbatas. Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Undang-undang No.4 Tahun 1971 Tentang Perubahan dan Penambahan Ketentuan Pasal 54 KUHD.

INTERNET:

Irma Nurhayati,Ulasan Tentang Stasus Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas H.1.Magister Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com diakses pada tanggal16/07/2013 19:43WIB.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan di akses pada tanggal 11/1/2014 pada jam 20:20 WIB

Samuel Label, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya,

Kusumohamidjojo, Pacta Sun Servanda,1986,http:// www.kamushukum.com, diakses pada tanggal 18/07/2013 14:25 WIB.


(6)

92

Flora Raimond Lamandesa, Penegakan Hukum,2008, WWW.Scribb.com diakses pada tanggal 20/07/2013, 22:25 WIB.

Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 9:00WIB.

Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB.

Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB. Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB. Damage, http://www.lectlaw.com. 30/09/2013 8:45 WIB.