Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Kawasan Labuhan Angin Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
Gambar 1 Dermogenys sp 22
Gambar 2 Leiognathus sp. 22
Gambar 3 Lutjanus sp. 23
Gambar 4 Mugil sp. 24
Gambar 5 Siganus sp. 24
Gambar 6 Terapon jarbua 25
Gambar 7 Cynoglossus sp. 26
Gambar 8 Synaptura sp. 26
Gambar 9 Lagocephalus spadiceus 27
Gambar 10 Lokasi penelitian Labuhan Angin pada Stasiun I 49
Gambar 11 Lokasi penelitian Labuhan Angin pada Stasiun II 49
(2)
ABSTRAK
Penelitian tentang “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan pada Daerah Pembangunan PLTU Labuhan Angin di Kawasan Perairan Teluk Tapian Nauli, Kab. Tapanuli Tengah” telah dilakukan pad bulan Oktober 2007.Sampel dimbil dari tiga stasiun pengamatan, dan pada tiap stasiun dilakukan tiga puluh kali ulangan. Titik pengambilan sample ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan jala, dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Dari hasil penelitian didapatkan ikan yang terdiri dari 9 jenis ikan yang termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, terdiri dari 4 ordo, 9 famili, 9 genus dan 9 spesies. Nilai kepadatan tertinggi pada spesies Terapon Jarbua sebesar 0,099 ind/m2 (stasiun III) dan nilai kepadatan terendah terdapat pada jenis Siganus sp. sebesar 0,014 ind/m2(stasiun I) Indeks keanekaragaman ikan tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 1,667 dan terendah pada stasiun III sebesar 0,499. Indeks Keseragaman ikan tertinggi didapat pada stasiun III sebesar 0,856 dan terendah didapat pada stasiun II sebesar 0,674. Distribusi ikan tergolong berkelompok dan random. Hasil analisa Korelasi dengan uji Pearson menunjukkan bahwa COD memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman ikan.
(3)
THE DIVERSITY AND DISTRBUTION OF FISH IN PLTU LABUHAN ANGIN PROJECT TELUK TAPIAN NAULI MARINE, SUB PROVINCE TAPANULI
TENGAH
ABSTRACT
Research about “The Diversity and Distribution of Fishes in PLTU Labuhan Angin Project Teluk Tapian Nauli Marine, Sub Province Tapanuli Tengah “ was investigated in October 2007. Purposive Random Sampling Methode was applied to place samling station and samples were collected from three stations.In each station conducted by 30 times restarting. Samples was taken by using net and samples identified in Laoratory of Ecology, department of Biology, Faculty of Matemathics and natural Science of North Sumatera. University. The result showed that there was 1 class of fishes Osteicthyes, 4 Order, 9 family, 9 Genera, 9 Spesies. The highest population density was presented by Terapon jarbua (Kerong) with 0,099 ind/m2 (3rd station) Siganus sp. with 0,01 ind/m2 (1st station). The Highest index of diversity was found in the 3rd station with 1,667 and the lowest in 1ststation with 0,499. The Highest Equitability was presented in the 3rd station with 0,856, and the lowest in the second station with 0,674. The result showed the population of fish was categorized as clumped and random distributions. The Correlation analysis with the Pearson test showed that COD (Chemical Oxygen Demand) have the real effect to index of diversity.
(4)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Laut, seperti halnya daratan, dihuni oleh biota, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup. Biota laut menghuni hampir semua bagian laut, mulai dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut yang terjeluk sekalipun. Keberadaan biota laut ini sangat menarik perhatian manusia, bukan saja kehidupannya yang penuh rahasia tetapi juga karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan manusia (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 1). Pemanfaatan sumber daya alam yang terus meningkat, dengan tujuan mengejar target pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh tanpa memperhatikan aspek kelestarian, akan sangat mengancam keberadaan sumber daya alam tersebut (Dahuri, 2003, hlm: 245).
Labuhan Angin terletak di Perairan Teluk Tapian Nauli Sibolga di Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara, merupakan salah satu perairan pesisir yang di dalamnya terdapat berbagai aktifitas masyarakat, diantaranya adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin, aktifitas persinggahan kapal (pelabuhan), serta dijadikan lokasi akhir pembuangan limbah rumah tangga. Adanya aktifitas-aktifitas tersebut menyebabkan adanya perubahan ekologi perairan ditandai dengan perubahan faktor-faktor kimia perairan. Perubahan faktor-faktor fisik-kimia perairan tersebut menyebabkan hanya organisme yang mampu mentolerir perubahan tersebut yang akan berkembang dengan baik dan sebaliknya organisme yang tidak dapat mentolerir perubahan tersebut akan mati sehingga jenis, jumlah individu dan keanekargaman organisme tersebut juga ikut berubah menjadi sedikit.
(5)
Diantaranya komponen biotik di perairan, ikan merupakan salah satu organisme akuatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama yang diakibatkan oleh aktifitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Limbah-limbah buangan yang dihasilkan oleh berbagai aktifitas manusia tersebut mempengaruhi kualitas perairan baik fisik, kimia dan biologis diantaranya terhadap penyebaran ikan (Rifai et al, 1983).
Ketidakseimbangan ekologi di suatu perairan dapat diakibatkan oleh adanya aktifitas manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan ekologis di kawasan pantai yang akan berpengaruh terhadap keanekaragaman organisme yang hidup di dalamnya, termasuk ikan. Sehubungan dengan itu, maka dilakukan penelitian tentang “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Labuhan Angin Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah”.
1.2.Permasalahan
Berbagai aktifitas dan kegiatan pembangunan sarana kepentingan umum seperti pembangunan PLTU, dan aktifitas persingggahan kapal (dermaga) di Teluk Tapian Nauli mengakibatkan perubahan faktor-faktor lingkungan yang juga akan berdampak terhadap keberadaan populasi biota yang hidup di dalamnya, termasuk ikan. Sejauh ini belum diketahui keberadaan ikan di Labuhan Angin Teluk Tapian Nauli, baik yang mencakup keanekaragaman maupun distribusinya.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi ikan di Labuhan Angin Teluk Tapian Nauli.
(6)
1.4.Hipotesis
a. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan distribusi ikan di Labuhan Angin kawasan Teluk Tapian Nauli.
b. Faktor fisik-kimia perairan mempengaruhi keanekaragaman ikan di Labuhan Angin kawasan Teluk Tapian Nauli.
1.5.Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
a. Data awal mengenai keanekaragaman dan distribusi ikan di Labuhan Angin kawasan Teluk Tapian Nauli
b. Sumber informasi penting bagi instansi terkait, agar dapat diaplikasikan untuk pengelolaan kawasan pesisir pantai di Sumatera Utara umumnya, dan di Labuhan Angin khususnya.
(7)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Laut
Ekosistem laut merupakan sistem akuatik yang terbesar di planet bumi (Nybakken, 1988, hlm: 33. Lautan menutupi lebih daripada 80 persen belahan bumi selatan tetapi hanya menutupi 61 persen belahan bumi utara, dimana terdapat sebagian besar daratan bumi (Nybakken, 1988, hlm: 11).
Indonesia sebagai Negara kepulauan terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi yang rumit dilihat dari topografi dasar lautnya. Dasar perairan Indonesia di beberapa tempat, terutama di kawasan barat menunjukkan bentuk yang sederhana atau rata yang hampir seragam, tetapi di tempat lain terutama kawasan timur menunjukkan bentuk-bentuk yang lebih majemuk, tidak teratur dan rumit (Romimohtarto & Juwana., 2001, hlm: 3).
Bentuk dasar laut yang majemuk tersebut serta lingkungan air di atasnya memberi kemungkinan munculnya keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan sebaran yang luas, baik secara mendatar maupun secara vertikal. Lingkungan laut selalu berubah atau dinamis. Kadang-kadang perubahan lingkungan ini lambat, seperti datangnya zaman es yang memakan waktu ribuan tahun. Kadang-kadang cepat seperti datangnya hujan badai yang menumpahkan air tawar dan mengalirkan endapan lumpur dari darat ke laut. Cepat atau lambatnya perubahan itu sama-sama mempunyai pengaruh, yakni kedua sifat perubahan tersebut akan mengubah intensitas faktor-faktor lingkungan (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 7).
(8)
2.2. Klasifikasi dan Biologi Ikan
Ikan merupakan hewan vertebrata yang tergolong ke dalam Filum Chordata, Kelas Pisces, yang terdiri dari 4 (empat sub kelas, yaitu sub kelas Elasmobranchii, Chondrostei, Dipnoi, dan Teleostei), masing-masing dengan beberapa ordo, famili dan Genus ( Saanin, 1986 dalam Erliana 2007, hlm: 4).
Ikan termasuk vertebrata akuatis dan bernafas dengan insang (beberapa jenis iksn bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi regio-regio. Otak dibungkus dalam tulang kranium (tulang kepala) yang berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang sejati. Memiliki sepasang mata. Kecuali ikan-ikan siklostomata, mulut ikan disokong oleh rahang (agnatha = ikan tak berahang). Teling hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran sirkular, sebagai organ keseimbangan (equilibrium). Sirkulasi menyangkut aliran seluruh darah dari jantung melalui insang lalu ke seluruh bagian lain. Tipe ginjal adalah pronefros dan mesonefros (Brotowidjojo, 1993, hlm: 181).
Tubuh ikan terdiri atas caput, trucus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan trucus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara trucus dan ekor disebut anus. Kulit terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat yang dilapisi dari sebelah luar oleh sel epithelium. Di antara sel –sel epithelium terdapat kelenjar uniselular yang mengeluarkan lendir yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetra, 1978, hlm: 456).
Air merupakan habitat ikan yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan struktur tubuh ikan, proses pernafasan, cara bergerak, cara memperoleh makanan, reproduksi dan segala hal yang diperlukan bagi ikan. Ada sebagian badan air yang bersifat terlalu panas, terlalu dingin atau terlalu asin yang disajikan sebagai habitat bagi spesies tertentu. Perubahan lingkungan yang sangat bervariasi mengakibatkan dampak bagi ikan terutama pada struktur dan bentuk yang secara perlahan-lahan melakukan modifikasi (adaptasi) dalam perkembangannya untuk mengatasi perubahan lingkungan (Ommaney, 1982, hlm: 10). Pola adaptasi yang unik dari organisme laut antara lain adalah warna yang khas, mata berukuran besar atau sangat kecil, mata
(9)
berbentuk pipa (tabular), mulut berukuran relatif besar, sebagian besar memiliki jenis kelamin yang sama dan mampu menghasilkan cahaya (biolumesens).
Ikan-ikan mesopelagik berwarna abu-abu keperakan atau hitam kelam. Sebaliknya, ikan yang hidup di zona abisal dan batial, sering tidak berwarna atau berwarna abu-abu, dan tampak tidak berpigmen. Mata yang berukuran besar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki intensitas cahaya yang relatif kecil. Namun, ikan penghuni zona abisal pelagik dan hadal pelagik (bagian laut yang terdalam) memiliki mata yang sangat kecil atau bahkan tidak bermata, karena kondisi yang gelap gulita sehingga mata tidak diperlukan. Pada umumnya ikan yang hidup pada kedalaman kurang dari 2000 m memiliki mata yang kadang-kadang berukuran besar, sedangkan ikan penghuni kedalaman lebih dari 2000 m memiliki mata kecil atau bahkan tidak memiliki mata (Dahuri, 2003, hlm: 92).
Menurut Rifai dkk (1983), penyebaran ikan di perairan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: faktor biotik, faktor abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam mineral, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Sedangkan faktor teknologi dan kegiatan manusia berupa hasil teknologi dan kegiatan-kegiatan lain baik sifatnya memperburuk lingkungan seperti pabrik-pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang memperbaiki lingkungan seperti pelestarian areal pesisir.
2.3. Pembagian Ikan
Menurut Mujamin (1994, hlm: 14), pembagian ikan didasarkan pada jenis makanan dan cara makan, yaitu:
(10)
2.3.1. Ikan Berdasarkan Jenis Makanannya
a. Ikan Herbivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati) seperti: ikan tawes (Punctius javanicus), ikan nilem (Ostheochillus hasseltii), ikan sepat (Trichogaster pectoralis).
b. Ikan Karnivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terutama terdiri dari bahan asal hewan (hewani). Contohnya ikan gabus (Ophiocephalus striatus), ikan kakap (Lates calcarifer), ikan lele (Clarias batracus).
c. Ikan Omnivora, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari tumbuhan maupun hewan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio), ikan mujahir (Tillaphia mossambica) dan ikan gurami (Osphronemus goramy).
d. Ikan Pemakan Plankton, yaitu ikan yang sepanjang hidupnya makanan pokoknya terdiri dari plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Ikan pemakan plankton hanya menyukai bahan-bahan yang halus dan berbutir, sehingga tulang tapis insangnya mengalami modifikasi wujud alat penyaring gas berupa lembaran-lembaran halus yang panjang seperti ikan terbang (Cysilurus sp.), ikan lemuru (Clupea iciogaster).
e. Ikan Pemakan Detritus, yaitu ikan yang makanan pokoknya terdiri dari hancuran sisa-sisa bahan organik yang sudah membusuk dalam air yang berasal dari hewan atau tumbuhan misalnya ganggang, bakteri dan protozoa. Seperti ikan belanak (Mugil sp.).
2.3.2. Berdasarkan Cara Makannya
a. Ikan Predator. Ikan ini disebut juga dengan ikan buas dimana dia menerkam mangsanya hidup-hidup. Ikan ini dilengkapi dengan gigi rahangnya yang kuat. Seperti ikan tuna (Thunus albaceros).
(11)
b. Ikan Gracier, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menggerogotinya. Seperti ikan mujahir (Tillaphia mossambica) dan ikan nilem (Ostheochillus hasseltii).
c. Ikan Stainer, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan menggesernya dengan mulut yang terbuka, biasanya makanannya berupa plankton. Seperti ikan lemuru (Clupea longiceps).
d. Ikan Sucker, yaitu ikan yang mengambil makanannya dengan jalan mengisap lumpur atau berpasir di dasar perairan. Seperti ikan mas (Cyprinus carpio).
e. Ikan Parasit, ikan yang mendapat makanannya dari tubuh hewan besar lainnya. Seperti ikan belut laut (Simenchelis parasiticis).
2.4. Sifat Fisik-Kimia Perairan Laut
Kehidupan biota laut, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun mikroba, dimana pun ia terdapat selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh bersama-sama dan sederajat, atau satu faktor lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor yang lain. Faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi kehidupan di laut adalah gerakan air, suhu, salinitas dan cahaya.
a. Suhu
Pada permukaan laut, air murni berada dalam keadaan cair pada suhu tertinggi 1000 C dan suhu terendah 00 C. Suhu alami air laut berkisar antara suhu di bawah 00 C tersebut sampai 330 C. Di permukaan laut, air laut membeku pada suhu – 1,90 C. Perubahan suhu dapat memberi pengaruh besar kepada sifat-sifat air laut lainnya dan kepada biota laut (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 21).
(12)
Daerah dimana suhu air cepat berubah dengan berubahnya kedalaman laut ialah suatu daerah peralihan yang terletak antara massa air-permukaan dengan massa air-dalam. Daerah peralihan ini disebut termoklin. Tebal termoklin berkisar antara beberapa ratus meter sampai hampir satu kilometer. Si bawah daerah termoklin, massa air lebih dingin dan jauh lebih homogen dibanding dengan massa air termoklin dan massa air di atas daerah termoklin. Semakin dalam, suhu semakin turun tetapi laju perubahnnya jauh lebih lambat daripada laju perubahan suhu pada daerah termoklin (Nybakken, 1988, hlm: 136).
Suhu juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun (Sastrawijaya, 1991, hlm: 127). Boyd (1982) dalam Purnawati & Dewontoro (2000, hlm: 19), yang menyatakan bahwa ikan-ikan tropis tumbuh baik pada suhu 250 C – 320 C. Suhu juga mempengaruhi sirkulasi air, sebaran biota (ikan), daur kimia dan sebaran sifat-sifat fisik air lainnya.(Romimohtarto kasijan & Sri juana, 2001, hlm: 22)
b. Cahaya
Bagi hewan laut, cahaya mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup mereka karena menjadi sumber makanan. Cahaya juga merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan perpindahan populasi hewan laut (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 23).
Di laut dalam, hampir tidak ada cahaya, kecuali pada zona mesopelagik dimana pada waktu atau kondisi tertentu masih terdapat sedikit cahaya matahari. Intensitas cahaya di zona ini sangat rendah, sehingga tidak memungkinkan adanya produksi primer di laut dalam. Cahaya yang ada biasanya berasal dari hewan-hewan laut dalam. Untuk beradaptasi, ikan laut dalam memiliki indra khusus untuk mendeteksi makanan dan lawan jenis, keperluan reproduksi serta mempertahankan asosiasinya, baik bersifat intra maupun inter-spesies (Dahuri, 2003, hlm: 90).
(13)
c. Salinitas
Salinitas didefenisikan sebagai jumlah garam yang terlarut dalam gram per kilogram air laut, jika zat padat telah dikeringkan sampai beratnya tetap pada 4.800 C, dan jumlah klorida dan bromide yang hilang diganti dengan sejumlah klor yang ekivalen dengan berat kedua halida yang hilang. Singkatnya, salinitas adalah berat garam dalam gram per kilogram air laut (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 20).
Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan, walaupun terdapat sedikit perbedaan yang tidak mempengaruhi ekologi secara nyata. Di lautan Atlantik Utara, salinitas berkisar 35‰ pada kedalaman di bawah 1.000 m. Sedangkan pada kedalaman 0 hingga hampir mencapai 1.000 m, salinitas antara 35,5 dan 37‰ (Nybakken, 1986 dalam Dahuri, 2003, hlm: 91). Perubahan salinitas akan mempengaruhi penyebaran ikan secara horizontal, misalnya di daerah etuaria, di perairan yang banyak dipengaruhi air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di pantai yang fluktuasi salinitasnya relatif besar (Rifai dkk, 1983, hlm :23)
d. Warna dan Kekeruhan
Air dalam keadaan normal dan bersih tidak akan berwarna sehingga tampak bening dan jernih (Wardana, 1995). Adanya sedimen dalam air akan mengurangi penetrasi cahaya masuk ke dalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis pada perairan tersebut (Fardiaz, 1992, hlm: 24).
Kekeruhan air dapat disebabkan oleh lumpur dan partikel tanah. Akibat kekeruhan air, penembusan sinar akan berkurang dan mempengaruhi akifitas fotosintesis tumbuhan perairan. Dengan demikian, kekeruhan membatasi pertumbuhan organisme yang telah menyesuaikan diri pada kedalaman air yang jernih (Michael, 1994, hlm: 134).
(14)
e. Derajat Keasaman (pH)
Derajat Keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam suatu perairan. Air dikatakan basa apabila pH > 7 dan dikatakan asam bila pH< 7. Secara alamiah pH peraiaran dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi CO2 dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O2 dalam air, suasana ini menyebabkan pH air meningkat. Malam hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi O2 dalam proses respirasi yang menghasilkan CO2, suasana ini menyebabkan kandungan pH air menurun (Arie, 1998).
Satrawidjaya (1991, hlm: 98) menyatakan bahwa pH turut mempengaruhi kehidupan ikan, pH air yang mendukung bagi kehidupan ikan berkisar 6,5- 7,5. pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.
f. Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan salah satu faktor yang penting dalam setiap system perairan. Oksigen diperlukan organisme untuk melakukan respirasi aerob. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis berlangsung. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1994, hlm: 133).
Hal yang aneh pada kadar oksigen di laut-dalam ialah adanya suatu zona oksigen minimum yang terletak di kedalaman 500 dan 1.000 m. Di bawah atau di atas zona ini, kadar oksigen lebih tinggi. Dalam zona oksigen minimum, kafar oksigen mungkin kurang 0,5 ml/L. Adanya zona ini terutama disebabkan oleh respirasi organisme yang sejalan dengan tiadanya penukaran massa air zona oksigen minimum ini dengan massa-massa air yang kaya akan oksigen. Terjadinya zona oksigen minimum di kedalaman antara 500 dan 1.000 m dan bukan di kedalaman yang lebih dalam ialah karena di kedalaman melebihi 1.000 m kepadatan organisme demikian
(15)
rendahnya sehingga kadar oksigen disini tidak nyata menurun. Sebaliknya di kedalaman antara 500 dan 1.000 m, kepadatan organisme tinggi. Di kedalaman kurang dari 500 m, kadar oksigen cukup tinggi sekalipun biomassa organisme tinggi, karena adanya cadangan oksigen dari atmosfer dan hasil samping fotosintesis tumbuhan (Nyakken, 1988, hlm: 137-138).
g. Biochemichal Oxygen Demand
Menurut Michael (1994, hlm: 134), uji BOD dilakukan untuk membantu menduga kemungkinan penurunan oksigen yang disebabkan oleh penguraian oksidatif dalam air, dengan demikian air merupakan sarana untuk mengukur kandungan organik suatu sistem perairan. Brower et al (1991, hlm: 167), menyatakan bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 ml/L oksigen, maka perairan tersebut tergolong baik. Apabila konsumsi oksigen besar dai 10 ml/La akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi.
h. Tekanan Hidrostatik
Faktor lingkungan yang sangat penting dan menentukan dalam penyebaran organisme laut adalah tekanan hidrostatik. Hal ini berpengaruh pada sistem fisiologi hewan yang selanjutnya akan menentukan kemampuan adaptasinya terhadap kondisi habitat dan penyebaran jenis. Setiap penambahan kedalaman 10 m akan mengakibatkan meningkatnya tekanan hidrostatik sebesar 1 atm (atmosfer). Karena kedalaman laut dalam dapat mencapai ratusan meter hingga lebih dari 10.000 m, hal ini akan mengakibatkan tekanan hidrostatik antara 20 sampai >1.000 atm. Kondisi tekanan hidrostatik tersebut tidak dapat lagi ditolerir oleh sebagian besar spesies organisme laut dalam, karena kisaran yang dikehendaki berada di antara 200 dan 600 atm (Nybakken, 1988, hlm: 90).
(16)
BAB 3
DESKRIPSI AREA
3.1. Keadaan Umum
Lokasi penelitian berada di daerah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kawasan Perairan Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah yang secara geografis terletak pada 1045’4,35’’ – 1043’52,6’’ LU dan 98044’4,29’’ – 98043’51,3’’ BT. Dodaerah ini terdapat berbagai aktifitas pembangunan PLTU diantaranya adalah tempat persinggahan kapal pengangkut bahan-bahan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), reklamasi pantai, pembuangan sisa bahan-bahan bangunan. Pengambilan sample dilakukan pada 3 (tiga) stasiun (Lampiran A dan B).
3.2. Stasiun Pengamatan 3.2.1. Stasiun I
Stasiun ini secara geografis terletak pada 1045’13,82’’ LU dan 99043’56,4’’ BT. Daerah ini merupakan tempat persinggahan kapal-kapal pengangkut bahan bangunan untuk keperluan pembangunan PLTU.
3.2.2. Stasiun II
Stasiun ini secara geografis terletak pada 1045’4,35’’ LU dan 98044’4,29’’ BT. Di daerah ini terdapat kegiatan reklamasi pantai.
3.2.3. Stasiun III
Stasiun ini merupakan daerah yang tidak terdapat adanya aktivitas dan pemukiman masyarakat. Daerah ini secara geografis terletak pada 1043’52,6’’ LU dan
(17)
BAB 4
BAHAN DAN METODE
4.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan titik sampel adalah ‘’Purposive Random Sampling’’ dengan menentukan tiga stasiun pengamatan. Stasiun I terletak di areal pelabuhan, stasiun II terletak di areal reklamasi pantai dan stasiun III terletak di daerah yang tidak terdapat aktivitas manusia.
4.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel ikan dilaksanakan pada bulan Agustus 2007 di daerah pembangunan PLTU Labuhan Angin kawasan perairan Teluk Tapian Nauli Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah. Sampel ikan ditangkap dengan menggunakan ‘’jala’’ berbentuk lingkaran dengan diameter 3 m dan luas mata jala 1,5 cm. Pengambilan sampel ikan dilakukan sebanyak tiga puluh kali padat tebar. Sampel ikan yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri morfologis yang sama lalu dihitung jumlah dari masing-masing jenis. Tiap-tiap jenis diambil sebanyak 2-5 ekor sebagai sampel dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi formalin 4% sebagai pengawet, setelah 24 jam dipindahkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70%. Sampel yang diawetkan kemudian dibawa ke Laboratorium PSDAL Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi menurut Allen (1998), dan Saanin (1968).
(18)
4.3. Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan
Faktor fisik yang diukur adalah penetrasi cahaya, suhu, kandungan bahan organik, sedangkan faktor kimia adalah salinitas, pH, Oksigen Terlarut (DO) dan Biochemical Oxygen Demand (BOD5).
4.3.1. Penetrasi Cahaya
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan Keeping Seechi. Keping Seechi dimasukkan ke dalam air hingga tidak tampak di permukaan, kemudian diukur penetrasi cahayanya dengan cara mengukur tali yang digunakan dari permukaan air sampai ke Keping seechi yang diamati.
4.3.2. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan mengukur suhu permukaan dan suhu dasar. Pengukuran suhu permukaan menggunakan termometer air raksa dengan mencelupkan ke badan air, sedangkan untuk dasar dilakukan dengan menggunakan tabung Lamnotte dan dituang ke dalam Erlenmeyer dan diukur suhunya menggunakan termometer air raksa.
4.3.3. Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer dengan cara meneteskan air sample ke kaca refraktometer, dan dibaca skala salinitas yang tertera.
4.3.4. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) air diukur dengan menggunakan pH meter yaitu dengan mencelupkan stick pH meter pada perairan, kemudian dilihat angka yang tertera pada pH meter tersebut.
(19)
4.3.5. Oksigen Terlarut (DO)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu dengan memasukkan sample air ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Didiamkan hingga terbentuk endapan putih kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel yang tidak mengendap diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu dittesi dengan 5 tetes amilum dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian dititrasi dengan menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terbentuk larutan bening. Banyak volume Na2S2O3 yang dipakai menunjukkan volume oksigen terlarut (DO) (Lampiran C).
4.3.6. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)
Pengukuran BOD5 dilakukan juga dengan menggunakan metode Winkler. Sampel dimasukkan ke dalam botol Winkler dan diinkubasi selama 5 hari dalam inkubator dengan suhu 200C, dihitung kadar BOD5 dengan cara yang sama seperti menghitung kadar oksigen terlarut. Kadar BOD5 dihitung dengan mengurangkan DO awal dan DO akhir (Lampiran D).
4.3.7. Kandungan Bahan Organik
Substrat pada masing-masing lokasi pengamatan diambil ± 500 g dan dimasukkan ke dalam kantong plastic. Substrat ditimbang 100 g, dioven pada suhu 450C sampai terjadi berat konstan. Substrat yang telah kering digerus supaya substrat benar kering, ditimbang 25 g dan diabukan dalam tanur dengan suhu 7000C, selama 3,5 jam. Kemudian dihitung kandungan organiknya (Lampiran E).
(20)
A-B
KO = x 100% A
Dengan KO = Kadar organik substrat
A = Berat konstan substrat dasar B = Berat abu
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik–kimia perairan berdasarkan satuan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3.7.1. Alat dan Satuan yang Digunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik- Kimia Perairan dan Tempat Pengukuran
No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat
Pengukuran
1 Suhu 0 Termometer Air
Raksa
C In-Situ
2 Penetrasi Cahaya cm Keping Seechi In-Situ 3 Kandungan Bahan Organik % Oven dan Tanur In-Situ &
Lab
4 pH air unit pH meter In-Situ
5 DO (Oksigen Terlarut) mg/l Metode Winkler In-Situ
6 Salinitas ‰ Refraktometer In-Situ
7 Biochemical Oxygen
Demand (BOD5) mg/l
Metode Winkler dan Inkubasi
In-Situ & Lab
4.4. Analisis Data
Jenis ikan dan jumlah individu masing-masing jenis akan dihitung kepadatan populasi, lepadatan relatif, frekuensi kehadiran masing-masing jenis, indeks diversitas (keanekaragaman) Shanon-Wiener, indeks ekuibilitas (keseragaman), analisis korelasi sebagai berikut:
a. Kepadatan Populasi ni
Ki = L
Ki = Kepadatan ikan
ni = Jumlah individu suatu jenis
(21)
b. Kepadatan Relatif ni
KR (%) = x 100% ∑N
ni = Jumlah individu suatu jenis
∑N = Total seluruh individu (Brower et al, 1990)
c. Frekuensi Kehadiran
Jumlah plot yang ditampati suatu jenis
FK (%) = x 100% Jumlah total plot
Dengan FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang 50 – 75% = banyak
> 75% = sangat banyak (Krebs, 1985, hlm: 440)
d. Indeks Diversitas Shanon-Wiener (H’) s
H’ = -
∑
pi ln pil = 1
H’ = Indeks diversitas Shanon-Wiener ni
pi = (perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan seluruh jenis) ∑N
ln = Logaritma natural (Odum , 1994, hlm: 426)
e. Indeks Ekuibilitas H’
E =
H maks
(22)
f. Indeks Distribusi ∑ x2
Id = n
– N N(N – 1)
Dengan: n = Jumlah plot
N = Jumlah total individu dalam total plot ∑ x2
Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut:
= Kuadrat jumlah individu per plot untuk total plot
Jika, Id = 1 (Distribusi diacak) Id < 1 (Distribusi normal) Id > 1 (Distribusi bergerombol)
g. Analisa Korelasi
Korelasi antara indeks keanekaragaman dengan faktor-faktor lingkungan abiotik dianalisis dengan analisa korelasi Pearson dengan menggunakan Program Statistik SPSS Ver 11.00.
(23)
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Jenis-jenis Ikan dan Klasifikasi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah pembanguna PLTU Labuhan Angin di Kawasan Perairan Teluk Tapian Nauli Sibolga, didapatkan 9 jenis ikan yang termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, terdiri dari 4 ordo, 9 famili, 9 genus dan 9 spesies, seperti terlihat pada Tabel 1 berikut;
Tabel 5.1.1. Klasifikasi dan Jenis Ikan yang Didapat pada Stasiun Penelitian
KELAS ORDO FAMILI GENUS SPESIES NAMA
DAERAH 1.Osteicthyes 1.Lophiiformes
2.Perciformes 3.Pleuronectiformes 4.Tetraodontiformes 1.Antennaridae 1.Leiognathidae 2.Lutjanidae 3.Mugilidae 4.Siganidae 5.Teraponidae 1.Cynoglossidae 2.Soleidae 1.Tetraodontidae Dermogenys Leiognathus Lutjanus Mugil Siganus Terapon Cynoglossus Synaptura Lagocephalus
Dermogenys sp.
Leiognathus sp.
Lutjanus sp.
Mugil sp.
Siganus sp.
Terapon jarbua
Cynoglossus sp.
Synaptura sp.
Lagocephalus sp.
Cucut Maco Ikan merah Belanak Cabe-cabe Kerong Lidah Piring Buntal
Ciri-ciri dari jenis ikan yang didapat:
1. Spesies Dermogenys sp. (ikan cucut), famili: Antennariridae
Tanda-tanda Khusus:
Ikan ini memiliki mulut yang panjang, bentuk badan bulat panjang, pada umumnya Ikan ini memiliki panjang 12 -15 cm. Panjang kepala sepertiga dari
(24)
panjang total. Lebar badan seperlima dari panjang total. Tipe ekor membulat, tipe mulut superior (mulut bagian bawah lebih panjang daripada mulut bagian atas)
Gambar 1. Ikan Cucut (Dermogenys sp.)
2. Spesies Leiognathus sp. (ikan Maco), famili Leiognathidae
Tanda-tanda khusus:
Termasuk ikan yang berukuran kecil sampai sedang. Badan ramping, dan sangat pipih. Panjang total pada umumnya 12-16 cm, dan lebar badan setengah dari panjang total. Pada bagian kepala terdapat mulut dengan tipe terminal, dan mata yang ukurannya sepertiga kali dari ukuran kepala. Panjang kepala berkisar seperempat dari dari panjang total. Tipe ekor ikan ini adalah bercangak. Pada sirip punggung terdapat 8 jari-jari kasar dan 17 iari-jari halus (P. VIII. 17).
Gambar 2. Ikan Maco (Leiognathus sp.) 3. Spesies Lutjanus sp. (ikan merah), famili : Lutjanidae
(25)
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini memiliki warna merah dan putih dengan perbandingan didomonasi merah, bentuk badan memanjang, dengan panjang badan 19-25 cm, lebar badan 5 cm. Panjang kepala seperlima kali dari panjang total. Ikan ini memiliki tipe mulut terminal, dan tipe ekor bercangak. Sirip punggung jari keras 10 dan berjari-jari halus 9 (X. 9).
Gambar 3. Ikan Merah (Lutjanus sp.)
4. Spesies Mugil sp. (ikan belanak), famili : Mugilidae
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini termasuk kedalam kategori ikan-ikan laut dan payau yang berukuran sedang sampai besar. Panjang total 17-20 cm, lebar badan 3 cm. Bentuk badan memanjang dengan tipe ekor bercangak. Ikan ini memiliki sirip punggung yang benar-benar terpisah, yang pertama dengan 4 jari-jari sirip keras, 3 sirip jari-hari halus (P. IV.3), sirip punggung yang kedua dengan 1 jari sirip keras dan 3 jari-jari sirip halus (P. I. 3). Ikan ini memiliki sirip dada yang terletak pada bagian atas sisi badan. Tipe mulut ikan ini terminal.
(26)
Gambar 4. Ikan Belanak (Mugil sp.)
5. Spesies Siganus sp. (ikan cabe-cabe), famili Siganidae.
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini berwarna hijau buram, dengan tubuh memipih lateral, yang dilindungi sisik kecil. Pada bagian kepala terdapat mulut berukuran kecil posisinya terminal, dan rahang yang dilengkapi dengan gigi kecil. Punggung dilengkapi sebuah duri tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya. Ekor ikan ini bertipe berlekuk tunggal. Panjang ikan ini 11,5-14 cm dengan lebar badan 3,5 cm. Panjang kepala seperlima kali dari panjang total tubuh. Pada sirip punggung terdapat 12 jari-jari keras dan 11 jari-jari halus (P. XII. 11).
(27)
6. Spesies Terapon jarbua (ikan Kerong), famili: Terapontidae
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini memiliki warna perak kecoklatan dan dihias empat garis hitam secara longitudinal pada badan dan lima garis pada bagian ekor. Panjang total 11,5–13 cm, dan lebar badan 4 cm, panjang kepala seperempat kali dari panjang total dengan mata besar. Tipe mulut terminal, dan memiliki tipe ekor bercangak. Sirip punggung terbagi dua, bagian pertama berjari-jari keras 10 dan berjari-jari lemah 9 (P.X.9), bagian kedua berjari-jari keras 1 dan berjari-jari lemah 18 (P. I.9).
Gambar 6. Ikan Kerong (Terapon jarbua)
s sp.)
8. Spesies Synaptura sp. (ikan piring), famili: Soiloidae
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini berbentuk pipih, dan berwarna coklat tua dengan berbagai motif bercak-bercak putih pada bagian atas tubuh, pada bagian bawah tubuh berwarna putih.Panjang total 20 – 25 cm, lebar badan 11cm. Mata terletak pada sisi bagian sebela kiri. Mulut kecil, tidak simetris.seluruh permukaan tubuh ditutupi oleh selaput lendir.
(28)
Gambar 8. Ikan Piring (Synaptura sp.)
9. Spesies Lagocephalus spadiceus (ikan buntal), famili : Tetradontidae
Tanda-tanda khusus:
Ikan ini memiliki warna perak kehijauan, pada bagian abdomen berwarna putih dan terdapat selaput-selaput halus (lendir). Panjang total 22,5 - 25 cm dan lebar badan 8 cm. Panjang kepala sepertiga kali dari panjang total dengan mata besar. Ikan ini tidak memiliki tutup insang seperti ikan dari kelas yang sama. Ikan ini memiliki tipe mulut terminal, dan tipe ekor berlekuk tunggal (sedikit cekung). Sirip punggung hanya berjari-jari halus 12-13.
(29)
5.2. Nilai Kepadatan (ind/m2 ), Kepadatan Relatif (KR %), dan Frekuensi Kehadiran Relatif (FK%) Ikan pada setiap Stasiun Penelitian
Dari data yang diperoleh, setelah dianalisis didapatkan nilai kepadatan (K), Kepadatan Relatif (Kr), Frekuensi Kehadiran (Fk), Indeks Diversitas (H’), dan Indeks Eqitabilitas (E) ikan pada setiap stasiun penelitian, seperti terlihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 5.2.1. Nilai Kepadatan (ind/7,065 m2 Spesies
), Kepadatan Relatif ( KR %), dan Frekuensi kehadiran (FK %), Ikan pada Setiap Stasiun Penelitian
Stasiun I Stasiun II Stasiun III
K Kr Fk K Kr Fk K Kr Fk
Cynoglossus sp. - - - 0,018 6,040 13,33
Dermogenys sp. - - - 0,023 18,253 13,33 - - -
Lagocephalus spadiceus - - - 0,018 6,040 13,33
Leiognathus sp. - - - 0,094 31,543 43,33
Lutjanus sp. - - - 0,023 7,718 13,33
Mugil sp. 0,056 80,00 23,33 0,047 37,301 30,00 0,028 9,395 16,66 Siganus sp. 0,014 20,00 10,00 0,023 18,253 16,66 - - -
Synaptura sp. - - - 0,018 6,040 13,33
Terapon jarbua - - - 0.033 26,190 20,00 0,099 33,221 46,66
∑ Jenis 2 4 7
Total 0,070 100 0,126 100 0,298 100
Stasiun I = Daerah pelabuhan Stasiun II = Daerah reklamasi
Stasiun III = Daerah bebas aktivitas (kontrol)
Pada Stasiun I K, KR, FK tertinggi di dapatkan pada jenis Mugil sp. yaitu sebesar 0,056 ind/m2, 80 %, 23,33 % dan nilai K, KR, FK terendah terdapat pada jenis Siganus sp. yaitu 0,014, 20 %, 10 %. Hal ini disebabkan jenis ikan ini memiliki kisaran toleransi yang cukup luas terhadap kondisi fisik kimia perairan, seperti pH, suhu, COD (Tabel 3). ). Hal ini sesuai dengan pendapat Whitten et al. (1984) dalam Siahaan, yang menyatakan ikan dari jenis Mugil sp. (belanak) merupakan ikan yang hidup yang lebih dalam, tetapi sering juga didapatkan pada muara sungai ekosistem mangrove, karena daerah ini sering dijadikan sebagai tempat mencari makan, berlindung dan juga memijah, serta tempat pembesaran anak-anaknya. Selanjutnya dijelaskan bahwa ikan belanak ini memiliki kisaran toleransi cukup luas terhadap kondisi lingkungan, dan tidak terpengaruh arus air yang cepat serta memiliki aktivitas yang relatif rendah. Rendahnya nilai K, Kr, Fk pada jenis Siganus sp., disebabkan
(30)
karena kondisi fisik kimia yang kurang mendukung kehidupan jenis ini, terutama COD, suhu, BOD5 dan pH yang tergolong basa (Tabel 3).
Pada stasiun II K, Kr, Fk tertinggi terdapat pada jenis Mugil sp. yaitu sebesar 0,047 ind/m2, 37,301 %, 30 %, Hal ini disebabkan kondisi fisik kimia pada stasiun ini masih mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan jenis ini, hal ini ditegaskan Whitten et al. (1984), yang menyatakan bahwa jenis Mugil sp. merupakan ikan yang hidup di dasar perairan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil berruaya tidak begitu jauh dan tidak terpengaruh arus yang cepat serta memiliki aktivitas yang relatif rendah sehingga menyebabkan jenis–jenis ikan ini dapat tertangkap dengan mudah. Nilai K, Kr, Fk, terendah diperoleh pada jenis Dermogenys sp. sebesar 0,023 ind/m2, 18,253 %, 13,33%, hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor fisik kimia perairan pada stasiun ini yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan pada jenis ini terutama COD dan kandungan organik yang sangat rendah (Tabel 5.3.1.).
Pada stasiun III jenis yang memiliki nilai kepadatan tertinggi adalah jenis Terapon jarbua yaitu 0,099 ind/ m2 dengan kepadatan relatif 33,221 % dan frekuensi kehadiran 46,66 %. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan yang mendukung bagi kehidupan jenis ini. Stasiun ini memiliki substrat dasar yang berpasir yang sesuai dengan habitat jenis ini. Selain itu faktor fisik dan kimia pada stasiun ini yaitu Suhu, Penetrasi cahaya, pH, DO, BOD5, COD, Salinitas (Tabel 5.3.1.) masih cukup mendukung bagi kehidupan organisme air termasuk ikan. Terapon jarbua (Tiger fish) hidup pada substrat dasar yang berbatu, karang dan substrat dasar yang berpasir (http: Kr, Fk terendah terdapat pada jenis Cynoglossus sp., Lagocephalus spadiceus, Synaptura, dengan nilai yang sama 0,018 ind/m2, 6,040%, 13,33%, hal ini mungkin disebabkan karena jenis ikan ini termasuk jenis yang hidup soliter sehingga sulit ditangkap. Rifai dkk (1983) menyatakan jenis ikan yang diperoleh dalam jumlah sedikit umumnya merupakan predator yang hidupnya soliter atau terpisah-pisah dan tidak membentuk gerombolan.
Secara keseluruhan jenis ikan yang terdapat pada ketiga stasiun penelitian adalah jenis Mugil sp, hal ini menunjukkan bahwa jenis ini memiliki kisaran toleransi
(31)
yang cukup luas terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan, baik di daerah pelabuhan, reklamasi pantai, dan daerah yang belum ada aktifitas sama sekali (kontrol). Keadaan ini menunjukkan bahwa daerah pada tiap stasiun penelitian mendukung kehidupan jenis ikan ini. Dari jenis yang didapat ada jenis yang hanya terdapat pada stasiun III saja yaitu Cynoglossus sp., Lagocephalus spadiceus, dan Synaptura sp. hal ini disebabkan karena stasiun ini masih tergolong baik (alami) karena belum adanya kegiatan manusia yang menghasilkan limbah ke badan air, hal ini dapat dilihat dari parameter faktor fisik kimia yang diperoleh (Tabel 5.3.1.), hal ini dikutakan juga dari hasil pengamatan sekitar lingkungan yang memiliki hutan bakau.
Ikan merupakan organisme aquatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama yang diakibatkan oleh pembuangan limbah cair atau padat ke badan air sebagai hasil aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Limbah-limbah bahan buangan yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia tersebut mempengaruhi kehidupan dan penyebaran ikan dalam suatu perairan (Rifai et al, 1983, hlm: 15).
Keberadaan ikan pada ketiga stasiun berdasarkan nilai Kr > 15% dan Fk > 25% terlihat pada stasiun I tidak ada didapatkan jenis yang berkembang dengan baik. Pada stasiun II didapatkan 1 (satu) spesies yaitu Mugil sp. (Kr 37,301%, Fk 30%), pada stasiun III didapat 2 (dua) spesies yaitu Leiognathus sp. (Kr 31,543%, Fk 43,33%) dan Terapon jarbua ( Kr 33,221%, Fk 46,66%). Menurut Suin (2002) apabila didapatkan nilai Kr > 15% dan Fk > 25% dari suatu organisme pada suatu habitat menunjukkan bahwa habitat tesebut sangat baik untuk kehidupan dan perkembangbiakannya.
(32)
5.3. Faktor Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel 3
Tabel 5.3.1. Rata-rata nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian
No. Parameter Satuan Stasiun
I II III
1 Suhu Air 0 C 30,84 29,42 27,89
2 Penetrasi Cahaya m 2,7 3,12 5,4
3 pH unit 7,8 7,5 7,3
4 DO mg/l 5,7 6,4 6,2
5 BOD5 mg/l 3,5 3,1 2,7
6 COD mg/l 25,9504 23,4416 20,0704
7 Kandungan Organik % 0,62 0,55 0,21
8 Salinitas ‰ 28,35 28,32 27,66
9 Substrat Dasar - Pasir
Berlumpur
Pasir
Berlumpur Pasir Stasiun I = Daerah pelabuhan
Stasiun II = Daerah reklamasi
Stasiun III = Daerah bebas aktivitas (kontrol)
5.3.1. Suhu air
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 27,89 – 30,84 0C, dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun I (Lokasi Pelabuhan) sebesar 30,84 dan terendah pada stasiun III (Lokasi Hutan Bakau) sebesar 27,89 oC. Tingginya suhu pada stasiun I disebabkan adanya aktifitas kapal berat yang menghasilkan panas pada perairan, dan stasiun ini merupakan stasiun yang terbuka sehingga panas matahari langsung ke badan air. Suhu pada ketiga stasiun penelitian tersebut masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan pada perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutisna dan Sutarmanto (1995), yang menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan adalah antara 25oC – 350C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Odum (1994, hlm: 426) menyatakan suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh intensitas matahari, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya
(33)
5.3.2. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya dari ketiga stasiun penelitian berkisar 2,7 – 5,4 m. Penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun I (Lokasi Pelabuhan) sebesar 2,7 m, hal ini terjadi karena adanya aktivitas mesin kapal yang berakibat adanya tumpahan minyak selama operasi kapal berjalan, tumpahan minyak ini mengakibatkan sebagian cahaya matahari terhalang ke dalam air. Secara keseluruhan penetrasi cahaya pada ketiga stasiun masih dapat mendukung kehidupan ikan di perairan tersebut.
Menurut Sastrawijaya (1991), kekeruhan dapat diakibatkan adanya partikel debu, liat, fragmen tunbuhan dan plankton dalam air, serta adanya aktivitas masyarakat yang membuang limbah ke badan perairan. Daya tembus matahari semakin berkurang jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi. Selanjutnya Asmawi (1986, hlm: 68), menyatakan nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm, apabila nilai kecerahan lebih kecil dari 45 cm maka batas pandangan ikan akan berkurang.
5.3.3. Derajat Keasaman (pH) Air
Kisaran pH yang diukur pada stasiun pengamatan antara 7,3 - 7,8. Dari hasil nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian dapat dikatakan bahwa pH perairan masih dapat mendukung kehidupan ikan. Menurut Barus (2004), nilai pH yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,7 - 8,2. Nilai pH yang yang didapatkan pada masing-masing stasiun penelitian berbeda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas yang mengakibatkan perubahan bahan organik pada tiap stasiun.
5.3.4. DO (Oksigen Terlarut) Air
Kisaran Kandungan oksigen terlarut pada ketiga stasiun penelitian adalah antara 5,7 - 6,4. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun II (Reklamasi Pantai) sebesar 6,4 mg/l air, hal
(34)
ketersediaan oksigen melalui proses fotosintesis. Menurut Nybakken (1998, hlm: 98), menyatakan bahwa pengadukan dan pencampuran oleh angin menyebabkan cukupnya persediaan oksigen di dalam kolom air. Rendahnya DO pada stasiun I berkaitan dengan tingginya temperatur perairan pada stasiun tersebut. Barus (2004, hlm: 45), menyatakan setiap kenaikan suhu 10 0C akan meningkatkan laju metabolisme termasuk ikan sebesar 2 – 3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, maka konsumsi oksigen juga meningkat dan akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Dan menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 100), bahwa temperatur mempunyai mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan ikan. Menurut Buwono (1993) dalam Siahaan (2006, hlm: 25), kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5 – 7 mg/l tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh ikan baik pada suhu rendah (20 – 25 0C) maupun tinggi (30 0C) sebagai batas optimum.
5.3.5. BOD5
Nilai BOD5 yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian berkisar antara 2,7 – 3,5 mg/l O2. Nilai BOD5 tertinggi didapatkan pada stasiun I yaitu daerah pelabuhan sebesar 3,5 mg/l O2. Nilai BOD5 tinggi disebabkan karena banyaknya aktivitas dan karena adanya senyawa organik yang berasal dari limbah air sisa sampingan pembangunan PLTU yang masuk ke badan air dalam jumlah yang besar. Hal ini menyebabkan akan dibutuhkan oksigen dalam jumlah yang banyak untuk dapat menguraikan senyawa organik tersebut. Nilai BOD5 terendah dijumpai pada stasiun I yang merupakan daerah yang tidak dijumpai adanya aktivitas yang menghasilkan senyawa organik dalam jumlah yang besar sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan senyawa organik rendah.
Nilai kisaran BOD5 yang diperoleh dari tiap stasiun berada dalam kondisi yang baik. Menurut Brower et al. (1990), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya
(35)
apabila konsumsi oksigen antara 10 – 20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi.
5.3.6. COD
Nilai COD yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 20,0704 mg/l - 25,9504 mg/l dengan nilai tertinggi diperoleh pada stasiun I sebesar 25,9504 mg/l dan terendah pada stasiun I sebesar 20,0704 mg/l, tingginya kadar COD disebabkan karena limbah kimia dari aktivitas operasional mesin pembangun dan kapal mesin yang mengakibatkan makin sulitnya penguraian limbah ini melalui reaksi oksidasi yang membutuhkan kadar oksigen yang banyak. Wardhana (1995) menyatakan pada penentuan nilai COD, jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap pembuangan organic sama dengan jumlah kalsium karbonat, makin banyak kalsium karbonat yang dipakai untuk reaksi oksidasi, berarti sangat banyak pula oksigen yang dibutuhkan.
5.3.7. Kandungan Organik
Nilai kandungan organik yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,21 % - 0,62 % dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun I sebesar 0,62 % dan terendah pada stasiun III sebesar 0,21 %. Tingginya kadar organik pada stasiun I disebabkan adanya sumber bahan organik dari sampah organik dari rumah tangga di dalam areal pembangunan. Nilai kandungan organik yang didapat pada ketiga stasiun penelitian tergolong sangat rendah, hal ini karena tidak adanya sumber bahan organik, seperti guguran bakau di sekitar stasiun. Disamping itu tidak ada akar kanopi yang menahan bahan organik agar tidak terbawa arus. Menurut Nontji (1993) dalam Siahaan (2006, hlm: 26), guguran daun bakau merupakan sumber bahan organik yang penting dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7 – 8 ton/ tahun. Selanjutnya Djaenuddin et al. (1994) dalam Siahaan (2006, hlm: 26), kriteria tinggi rendahnya
(36)
< 1% = sangat rendah 1 % - 2 % = rendah 2,01 % - 3 % = sedang 3,01 % - 5% = tinggi > 5 % = sangat tinggi
5.3.8. Salinitas
Nilai Salinitas pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 27,66 0/00 – 28,35 0/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stsiun I yaitu sebesar 28,35 0/00, sedangkan salinitas terendah terdapat pada stasiun III yaitu 27,66 0/00. Adanya perbedaan salinitas pada tiap stasiun penelitian berkaitan dengan suhu pada setiap stasiun. Suhu yang tinggi pada stasiun memungkinkan terjadinya penguapan yang tinggi. Kaitan antara penguapan dan kadar salinitas adalah berbanding positif. Semakin tingkat penguapan air laut di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya. pada tanggal 15 Februari 2008).
5.4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), dan Indeks Keseragaman (E) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian memperlihatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) di perairan PLTU Labuhan Angin seperti pada Tabel 4.
Tabel 5.4.1. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’),dan Indeks Keseragaman (E) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
STASIUN
I II III
Indeks Keanekaragaman (H’) 0,499 0,935 1,667
(37)
Hasil pengamatan dari tabel 5.4.1. menunjukkan nilai indeks keanekaragaman (H’) pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara 0,499 - 1,667. Indeks keanekaragaman tertinggi didapatkan pada stasiun III yaitu 1,667. Hal ini disebabkan karena kadar oksigen yang cukup, disamping itu parameter fisik kimia yang diperoleh dari stasiun ini mendukung bagi perkembangan dan pertumbuhan ikan (Tabel 3) kondisi ini menyebabkan jumlah jenis yang didapatkan lebih banyak, yaitu 7 jenis bila dibandingkan dengan stasiun I dan II yang terdiri dari 2 dan 4 jenis, disamping itu jumlah individu dari masing-masing jenis tidak ada yang mendominasi. Menurut Odum (1994, hlm: 428) nilai keanekaragaman dan keseragaman suatu organisme pada suatu habitat sangat ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing jenis yang terdapat pada suatu area.
Nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun I 0,499. Pada stasiun ini hanya ditemukan 2 jenis yaitu Mugil sp. dan Siganus sp. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini merupakan tempat pelabuhan dengan segala aktivitas. Menurut Whitten et al. (1993) dalam Siahaan (2006, hlm: 35), aktivitas pada kawasan perairan menghasilkan limbah organik yang mengganggu kehidupan perairan. Limbah transportasi dapat mengganggu kehidupan ikan. Hal ini juga disebabkan karena jumlah dan distribusi ikan yang tidak merata, Koesbiono (1979, hlm: 22), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu perairan menunjukkan keadaan komunitas yang baik, sebaliknya keanekaragaman yang kecil berarti telah terjadi ketidakseimbangan ekologi di perairan tersebut.
Nilai Indeks Keseragaman (E) pada semua stasiun penelitian berkisar antara 0,674 - 0,856, dan nilai keseragaman ini termasuk ke dalam kategori rendah. Nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun II yaitu 0,674, karena pada stasiun ini hanya ditemukan 4 jenis ikan pada saat penangkapan. Menurut Krebs (1985, hlm: 525) nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1. Nilai keseragaman mendekati 1 dikatakan pembagian individu pada masing-masing sangat seragam. Sebaliknya jika nilai mendekati 0 berarti keseragaman rendah karena ada jenis yang mendominasi. Selanjutnya Koesbiono (1979, hlm: 22) menyatakan keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu perairan menunjukkan keadaan komunitas yang baik, sebaliknya
(38)
keanekaragaman yang kecil berarti telah terjadi ketidakseimbangan ekologi di perairan tersebut.
5.5. Indeks Similaritas
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Similaritas (IS) seperti pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5.5.1. Nilai Indeks Similaritas (IS) pada Stasiun Penelitian
STASIUN I II III
I - 66,66 22,22
II - - 36,36
III - - -
Dari Tabel 5.5.1. dapat dilihat hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai Indeks Similaritas (IS) ikan yang didapatkan pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 22,22 % - 66,66 %. Suin (2002), mengkategorikan kriteria Indeks Similaritas dikatakan sangat mirip apabila nilai IS 75 – 100 %, mirip apabila nilai IS 50 – 75%, tidak mirip apabila nilai IS 25 – 50 %, sangat tidak mirip apabila nilai IS ≤ 25 %.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai IS yang mempunyai kriteria mirip adalah antara stasiun I dengan stasiun II. Kemiripan ini disebabkan karena faktor ekologis yang hampir sama antara kedua stasiun. Kondisi yang hampir sama ini menyebabkan terdapatnya kesamaan nilai spesies ikan di kedua stasiun tersebut. Dari nilai IS pada ketiga stasiun menunjukkan bahwa perbedaan kondisi perairan turut menentukan dan mempengaruhi keberadaan dan kepadatan ikan pada suatu perairan.
Kriteria tidak mirip dijumpai pada stasiun II dengan stasiun III dengan nilai IS 36,36%. Kriteria sangat tidak mirip dijumpai pada stasiun I dengan stasiun III dengan nilai IS 22,22 %. Ketidakmiripan ini disebabkan karena perbedaan faktor fisik kimia lingkungan dan adanya aktivitas yang berbeda. Stasiun I merupakan daerah yang belum ada aktivitas masyarakat, stasiun II merupakan daerah reklamasi pantai dan stasiun III merupakan daerah pelabuhan. Perbedaan ini menyebabkan spesies-spesies yang didapatkan merupakan spesies yang tidak dapat hidup dan berkembang dengan
(39)
baik pada kondisi yang beragam, dengan kata lain bahwa spesies tersebut memiliki kisaran toleransi yang sempit. Noor dkk (1999), menyatakan bahwa daerah yang selalu menghasilkan limbah akan mempengaruhi kualitas air sehingga mengganggu kelangsungan hidup ikan. Perbedaan kondisi turut menentukan dan mempengaruhi keberadaan dan kepadatan ikan pada suatu perairan sehingga nilai kesamaan antar stasiun juga berbeda.
5.6. Indeks Morista
Untuk melihat pola penyebaran tiap spesies ikan di perairan PLTU Labuhan Angin, digunakan Indeks Morista. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai Indeks Morista seperti pada Tabel 6 berikut:
Tabel 5.6.1. Nilai Indeks Morista pada Setiap Stasiun Penelitian
No Spesies Indeks Morista Keterangan
1 Cynoglossus sp. 0 Acak
2 Dermogenys sp. 9 Berkelompok
3 Lagocephalus spadiceus 0 Acak
4 Leiognathus sp. 3,7 Berkelompok
5 Lutjanus sp. 9 Berkelompok
6 Mugil sp. 1,5 Berkelompok
7 Siganus sp. 0 Acak
8 Synaptura sp. 0 Acak
9 Terapon jarbua 2,4 Berkelompok
Dari Tabel 5.6.1. dapat dilihat bahwa indeks distribusi untuk setiap spesies di seluruh stasiun penelitian memiliki nilai 0 dan > 0. Nilai Indeks Distribusi untuk spesies yang bernilai 0 yaitu: Cynoglossus sp., Lagocephalus spadiceus, Siganus sp., dan Synaptura sp. dikategorikan distribusi spesies secara acak (random) sedangkan spesies yang memiliki nilai indeks distribusi lebih besar dari 0 yaitu: Dermogenys sp., Leiognathus sp., Lutjanus sp., Mugil sp., dan Terapon jarbua dikategorikan distribusi spesies secara berkelompok. Berdasarkan pengelompokan tersebut dapat dilihat bahwa jenis ikan yang terdapat di lokasi penelitian sebagian besar pola penyebarannya berkelompok.
(40)
Menurut Krebs (1985) bahwa bila didapatkan indeks distribusi (I) bernilai 0 maka distribusi spesies tersebut adalah acak, bila I > 0 maka distribusi spesies tersebut Berkelompok dan bila I < 1 maka distribusi spesies tersebut adalah seragam. Michael (1984) menyatakan bahwa pola penyebaran suatu organisme bergantung pada sifat fitokimia lingkungan yang berupa nutrisi, substrat atau berupa faktor fisik kimia perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme tersebar atau terpencar.
5.7. Analisa Korelasi
Nilai Korelasi yang diperoleh antar parameter fisik kimia perairan dengan keanekaragaman ikan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
Tabel 5.7.1. Nilai Korelasi antara parameter fisik kimia perairan dengan keanekaragaman ikan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian Suhu Penetrasi
cahaya
pH DO BOD5 COD Kandungan
organik
Salinitas R - 0,992tn - 0,059tn - 0,966tn 0,582tn -0,989tn - 0,998* - 0,976tn - 0,943tn
Keterangan : * = berpengaruh nyata tn = tidak berpengaruh nyata - = korelasi negative (berlawanan)
Dari hasil analisis korelasi pada tabel 5.7.1., menunjukkan bahwa COD berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman ikan. COD berkorelasi negatif terhadap indeks keanekaragaman, yang berarti semakin tinggi nilai COD, semakin rendah nilai keanekaragaman dan sebaliknya semakin rendah nilai COD, semakin tinggi nilai keanekaragaman. Pada suatu perairan, bahan organik (limbah) baik domestik maupun mesin masuk ke dalam perairan akan diuraikan dengan adanya bantuan oksigen. Senyawa organik tersebut akan mempengaruhi COD, dimana semakin banyak senyawa organik yang masuk ke badan perairan, semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikannya, sehingga nilai COD semakin besar, dan oksigen terlarut semakin rendah dalam badan air. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan organisme air yang membutuhkan oksigen akan mati.
(41)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan tentang Keanekaragaman dan Distribusi Ikan pada lokasi pembangunan PLTU Labuhan Angin di Teluk Tapian Nauli Kab. Tapanuli Tengah, dapat diambil Kesimpulan sebagai berikut:
a. Jenis ikan yang didapat terdiri dari 4 ordo, 9 famili, 9 genera, dan 9 spesies.
b. Nilai kepadatan tertinggi terdapat pada spesies Terapon jarbua sebesar 0,099 ind/m2 (stasiun III) dan nilai kepadatan terendah terdapat pada spesies Siganus sp. 0,014 ind/m2
c. Nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun III adalah 1,667. Sedangkan nilai tertinggi terdapat pada stasiun III adalah 0,856.
(stasiun I).
d. Pola distribusi setiap spesies yang didapat tergolong acak dan berkelompok e. COD memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman ikan.
6.2. Saran
a. Sebelum dibuang ke badan air, perlu dilakukan pengelolahan bahan organik sisa operasional
b. Perlu diadakan pengamatan yang intensif mengenai keberadaan kualitas perairan di sekitar proyek pembangunan khususnya dan perairan Teluk Tapian Nauli umumnya.
(42)
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan dalam Keramba. Jakarta: Gramedia.
Arie, U. 1998. Pembenihan dan Pembesaran Nila Giff. Jakarta: Penebar Swadaya. Barus, T. A. 2004. Pengantar limnologi. Stdi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau.
Fakultas MIPA USU. Medan.
Barus, T. A. 1996. Metode Ekologis Untuk Menilai Ekologis Suatu Perairan Lotik. Medan: Program Studi Biologi Fakultas MIPA USU.
Brotowidjoyo, M. D. 1993. Zoologi Dasar. Cetakan Kedua. Jakarta: Erlangga. Brower, J. E., H. Z. Zerold & Car, I. N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory
Methods for General Ecology. Thrid Edition. Wm. C. New York: Brown Publisher.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Erliana, S. 2007. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Medan: FMIPA USU.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. http:
http: Koesbino. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum Bagian IV (Ekologi Perairan). Pasca
Sarjana Program Studi Lingkungan. Bogor: IPB.
Krebs, C. J. 1985. Ecology Experimental Analysis of Distribution Abudance. Philadelphia: Harper & Row Publisher.
Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Mujiman, A. 1998. Makanan Ikan. Jakarta: seri Perikanan. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
(43)
Noor, Y. R., Khazali & M. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA/WI-IP
Nybakken, j. W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi Umum. Edisi Ketiga. Yogyakarta: gadjah
Mada University Press.
Ommaney, F. D. O. 1982. Life Nature Library: The Fishes. Time Life International. Nederland
Purnawati & E. Dewantoro. 2000. Upaya Peningkatan Produksi Perikanan
kalimantan Barat Melalui Pengembangan Ikan dalam Keramba. Warta Penelitian Perikanan Indonesia.
Rifai, S. A., Nurdawati & Nasution. 1983. Biologi Perikanan. Edisi Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Radiopoetra. 1978. Zoologi. Jakarta: erlangga.
Romimohtarto, K. & Juwana, S. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan.
Satrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Siahaan, A. 2006. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Kawasan Muara Percut Kecamatan Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Medan: FMIPA USU. Sokal, R. R. 1992. Pengantar Biostatistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas.
Sutisna, D. H. & Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Yogyakarta: Kanisius.
Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset Whitten, A., N. Hisyam, J. Anwar & J. Damanik. 1984. The Ecology of Sumatera.
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Yutina, 2001. Keanekargamahn jenis Ikan di Sepanjang Perairan Sungai Rangau, Riau Sumatera. Jurnal Natur Indonesia 4 (1).
(44)
(45)
(46)
Lampiran C: Bagan Kerja Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)
1 ml MnSO 1 ml KOH-KI
4
Dikocok Didiamkan
1 ml H2SO Dikocok
4
Didiamkan
Diambil sebanyak 100 ml Ditetesi Na2S2O3 0,0125 N
Ditambahkan 5 tetes amilum
Dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N
Dihitung volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai (= nilai DO akhir)
(Michael, 1984; Suin, 2002) Sampel Air
Sampel dengan Endapan Putih/Coklat
Larutan Sampel Berwarna Coklat
Sampel Brwarna Kuning Pucat
Sampel Berwarna Biru
Sampel Bening
(47)
Lampiran D: Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
Diinkubasi selama 5 hari Dihitung nilai DO pada temperatur 200
C awal
Dihitung nilai DO akhir
Keterangan:
a. Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan perhitungan nilai DO b. Nilai BOD = nilai DO awal – nilai DO akhir
(Michael, 1984; Suin, 2002) Sampel Air
Sampel Air Sampel Air
(48)
Lampiran E: Bagan Kerja Pengukuran Kandungan Organik Substrat
Dihomogenkan
Dikeringkan dalam oven 450C
Dihaluskan dengan lumping
Dikeringkan dalam oven 450C selama 1 jam Ditimbang sebanyak 25 g
Dibakar dalam tungku pembakaran pada suhu 7000C selama 3,5 jam
Ditimbang berat abu
A-B
KO = x 100% A
Dengan KO = Kadar organik substrat A = Berat konstan substrat dasar
B = Berat abu (Adianto, 1993) Substrat Dasar
pada titik Pengamatan
25 gram tanah
Abu Berat Konstan
Tanah
Hasil 100 gram substrat dasar
(49)
Lampiran F: Data Mentah Penelitian Stasiun I
Mugil - 2 - - - 2 - - - 2 - - 2 - - - 1 - - - - 2 - - - 1 - -
Siganus - - - 1 - - - 1 - - - 1
Stasiun II
Dermogenys - - - 1 - - - - 2 - - - - 1 - - - 1 - -
Mugil - 1 - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 1 - - - 2 - - 1 - - - 1 -
Siganus - - - 1 - - - 1 - - - 1 - 1 - - - 1
Terapon - - 2 - - - 1 - - - 1 - - 1 - - - 1 - - - - 1 - -
Stasiun III
Cynoglossus - - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 - -
Lagocephalus - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 1 -
Leiognathus 2 - 2 - 1 - - 1 - 2 - 1 - 2 - - 3 - - 1 - - - 1 - - - 1 2 -
Lutjanus - - - - 1 - - - 1 - - - - 2 - - - 1 - - - - -
Mugil - - 1 - - - 1 - 2 - - - 1 - - - 1 - - -
Synaptura - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 1
Terapon 1 2 - - - 3 1 - - - 2 - 1 - - 2 - - 1 - 1 1 - - 2 1 - - 1 2
Lampiran G: Jenis dan Jumlah Spesies Ikan pada masing-masing Stasiun Penelitian
Jenis Stasin Total
I II III
Cynoglossus sp 4 - - 4
Dermogenys sp - 5 - 5
Lagocephalus spadiceus 4 - - 4
Leiognathus sp 20 - - 20
Lutjanus sp 5 - - 5
Mugil sp 6 10 - 16
Siganus sp - 5 3 8
Synaptura sp 4 - - 4
Terapon jarbua 21 7 12 40
(50)
Lampiran H: Contoh Perhitungan
1. Menghitung Kepadatan Populasi Terapon jarbua pada stasiun III K = Jala Luas jenis Individu Jumlah K = 7,065 21/30
= 0,099 ind/m2 = 9,91 ind/ 100 m2
2. Menghitung Kepadatan Relatif Terapon jarbua pada stasiun III
KR = X100%
jenis seluruh Kepadatan jenis suatu Kepadatan
= X100% 29,71
9,91
= 33,221 %
3. Menghitung Frekuensi Kehadiran Terapon Jarbua pada stasiun III
FK (%) = x 100%
plot al Jumlah tot jenis suatu ditempati yang Plot Jumlah
= x 100% 30
14
= 46,66 %
4. Menghitung Indeks keanekaragaman (H’) Terapon jarbua pada stasiun III
s
H’ = -
∑
pi ln pi(51)
Genus
Pi
Ln Pi
H’
Cynoglossus sp 0,062 -2,675 0,172
Lagocephalus spadiceus 0,062 -2,675 0,172
Leiognathus sp 0,312 -1,163 0,363
Lutjanus sp 0,078 -2,549 0,198
Mugil sp 0,093 -2,367 0,220
Synaptura sp 0,062 -2,675 0,172
Terapon jarbua 0,328 -1,114 0,365
∑ 1,662
5. Menghitung Indeks Keseragaman (E) pada stasiun III
E =
maks H
H'
E =
1,9459 1,662
= 0,854
6. Indeks Morista Dermogenys sp.
Id = n
1) N(N
N
2
∑
Χ(12 + 22 + 12 + 12
= 30 x3 ) - 5
52 = 9
(52)
Lampiran I: Lokasi Penelitian
Gambar 10. Stasiun I. Areal Pelabuhan
Gambar 11.
(53)
Gambar 12.
(54)
(55)
Lampiran J: Analisa Korelasi Pearsons
Suhu cahaya pH DO BOD COD
Kandung an
Organik Salinitas H Suhu Pearson
Correlation 1 -.064 .991 -.678 1.000(*) .998(*) .942 .894 -.992
Sig. (2-tailed) . .959 .087 .526 .014 .040 .218 .295 .079
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
cahaya Pearson
Correlation -.064 1 -.200 .777 -.086 -.001 .274 .389 -.059
Sig. (2-tailed) .959 . .872 .433 .945 .999 .823 .746 .962
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
pH Pearson
Correlation .991 -.200 1 -.771 .993 .980 .888 .825 -.966
Sig. (2-tailed) .087 .872 . .439 .073 .127 .304 .382 .166
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
DO Pearson
Correlation -.678 .777 -.771 1 -.693 -.630 -.392 -.277 .582
Sig. (2-tailed) .526 .433 .439 . .512 .566 .744 .821 .605
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
BOD Pearson
Correlation 1.000(*) -.086 .993 -.693 1 .996 .935 .885 -.989
Sig. (2-tailed) .014 .945 .073 .512 . .054 .231 .309 .092
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
COD Pearson
Correlation .998(*) -.001 .980 -.630 .996 1 .961 .921 -.998(*)
Sig. (2-tailed) .040 .999 .127 .566 .054 . .178 .255 .039
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Kandungan Organik
Pearson
Correlation .942 .274 .888 -.392 .935 .961 1 .993 -.976
Sig. (2-tailed) .218 .823 .304 .744 .231 .178 . .078 .139
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Salinitas Pearson
Correlation .894 .389 .825 -.277 .885 .921 .993 1 -.943
Sig. (2-tailed) .295 .746 .382 .821 .309 .255 .078 . .216
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
H Pearson
Correlation -.992 -.059 -.966 .582 -.989 -.998(*) -.976 -.943 1
Sig. (2-tailed) .079 .962 .166 .605 .092 .039 .139 .216 .
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
(56)
(1)
Genus
Pi
Ln Pi
H’
Cynoglossus
sp
0,062
-2,675
0,172
Lagocephalus spadiceus
0,062
-2,675
0,172
Leiognathus
sp
0,312
-1,163
0,363
Lutjanus
sp
0,078
-2,549
0,198
Mugil
sp
0,093
-2,367
0,220
Synaptura
sp
0,062
-2,675
0,172
Terapon jarbua
0,328
-1,114
0,365
∑
1,662
5. Menghitung Indeks Keseragaman (E) pada stasiun III
E =
maks H
H'
E =
1,9459 1,662
= 0,854
6. Indeks Morista
Dermogenys
sp.
Id = n
1)
N(N
N
2∑
Χ
(1
2+ 2
2+ 1
2+ 1
2= 30 x3
) - 5
5
2= 9
(2)
Lampiran I: Lokasi Penelitian
Gambar 10.
(3)
Gambar 12.
(4)
(5)
Lampiran J: Analisa Korelasi Pearsons
Suhu cahaya pH DO BOD COD
Kandung an
Organik Salinitas H Suhu Pearson
Correlation 1 -.064 .991 -.678 1.000(*) .998(*) .942 .894 -.992
Sig. (2-tailed) . .959 .087 .526 .014 .040 .218 .295 .079
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
cahaya Pearson
Correlation -.064 1 -.200 .777 -.086 -.001 .274 .389 -.059
Sig. (2-tailed) .959 . .872 .433 .945 .999 .823 .746 .962
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
pH Pearson
Correlation .991 -.200 1 -.771 .993 .980 .888 .825 -.966
Sig. (2-tailed) .087 .872 . .439 .073 .127 .304 .382 .166
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
DO Pearson
Correlation -.678 .777 -.771 1 -.693 -.630 -.392 -.277 .582
Sig. (2-tailed) .526 .433 .439 . .512 .566 .744 .821 .605
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
BOD Pearson
Correlation 1.000(*) -.086 .993 -.693 1 .996 .935 .885 -.989
Sig. (2-tailed) .014 .945 .073 .512 . .054 .231 .309 .092
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
COD Pearson
Correlation .998(*) -.001 .980 -.630 .996 1 .961 .921 -.998(*)
Sig. (2-tailed) .040 .999 .127 .566 .054 . .178 .255 .039
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Kandungan Organik
Pearson
Correlation .942 .274 .888 -.392 .935 .961 1 .993 -.976
Sig. (2-tailed) .218 .823 .304 .744 .231 .178 . .078 .139
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Salinitas Pearson
Correlation .894 .389 .825 -.277 .885 .921 .993 1 -.943
Sig. (2-tailed) .295 .746 .382 .821 .309 .255 .078 . .216
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
H Pearson
Correlation -.992 -.059 -.966 .582 -.989 -.998(*) -.976 -.943 1
Sig. (2-tailed) .079 .962 .166 .605 .092 .039 .139 .216 .
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3
(6)