Golongan putih (Golput) menurut pandangan elit politik islam Malaysia

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MOHD RIDZUAN BIN MOHAMAD NIM: 109045200010

KONSE NTR ASI SI YASA H SYA R’IY YAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKAR TA


(2)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………...……vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah……… 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6

D. Kajian Terdahulu……… 7

E. Kerangka Teori dan Konsepsional……….…12

F. Metode Penelitian………15

G. Sistematika Penulisan………..17

BAB II SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA A. Sejarah Kemunculan Golongan Putih di Malaysia………..17

B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer……….21

C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia……...……25

BAB III GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH A. Golongan putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah………..32


(3)

vii

A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia………45

B. Pandangan Golongan Elit Politik Islam di Malaysia…………...…50

C. Undang-undang Terkait Pemilihan Umum……….59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………...70

B. Saran………..……….71

DAFTAR PUSTAKA………..74


(4)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Golongan putih merupakan salah satu permasalahan yang sudah lama berlaku di dalam sistem politik di Malaysia. Permasalahan tentang golongan putih akan muncul di dalam politik Malaysia ketika pemilihan umum, pembahasan tentang partai-partai politik, dan sistem pemerintahan Raja Beparlimen (monarki konstitusional).1

Di dalam perspektif politik Islam di Malaysia, keberadaan golongan putih mencerminkan perkembangan di dalam hukum, dan terkait dasar implementasi konsep fiqih siyasah melalui fatwa-fatwa yang dikemukakan ulama kontemporer di sana.2Seperti pandangan Ustadz Harun Taib merupakan ketua Dewan Ulama PAS Pusat, menghukumkan sifat yang terdapat bagi golongan putih adalah haram, jika negara Islam masih ditindas oleh pihak barat.3Terdapat kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia di dalam memberi pandangan

1

Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293

2

Khalid Ali Muhammad, Sistem Politik Islam, ( Selangor: Telaga Biru Sdr Bhd, 2008), cet. I, h. 33

3

Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I, h. 13


(5)

golongan putih. Seputar pengenalan golongan elit politik Islam, Abdul Rahman Haji Abdullah membahagikannya kepada tiga golongan:

Pertama, golongan elit politik Islam tradisional, yaitu golongan yang memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai-partai yang tidak terdaftar di bawah undang-undang Malaysia. Akan tetapi, pengaruh masyarakat dan inspirasinya dapat mengancam kebijakan negara. Di sini, golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.

Kedua, golongan elit politik Islam reformis, yaitu golongan yang memperjuangkan hak-hak politik Islam melalui partai yang terdaftar dan sah menurut undang-undang di Malaysia, seperti (Parti Islam se-Malaysia) PAS. Perjuangan hak-hak politik dilakukan langsung di dalam parlemen Malaysia untuk memberi inspirasi terhadap kebijakan negara yang sah menurut undang-undang. 4 makanya golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.

Ketiga golongan elit politik Islam modernis, yaitu golongan yang memperjuangkan hak-hak politik, tetapi lebih menfokuskan semangat nasionalisme seperti (United Malays National Organization) UMNO. 5 Partai ini juga sah menurut undang-undang Malaysia dan golongan elit adalah tokoh-tokoh atau ketua partai mereka.

4

Pasal 18 UU. Tahun 1954

5

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya”, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13


(6)

Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut konsep politik barat adalah yang pertama, dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators,yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.6Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.7 Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian sejarah adalah lebih menfokuskan kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya.8

Di dalam analisis berpolitikan di Malaysia, golongan putih merupakan faktor yang penting, terutamanya dalam hal penentuan hasil suara pemilihan umum, ketika Pemilihan Umum pada tahun 2008, persentase masyarakat yang mengunakan hak pilihannya sebesar 77,1%.9 Masalah ini ramai dibicarakan oleh golongan elit politik di Malaysia dari golongan elit Islam dan bukan Islam. Persoalannya mengapa mereka tidak pergi memilih, apakah mereka tidak

6

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372

7 Hendi Suhendi, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236

8

http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB

9

Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB


(7)

menyokong partai mana pun di dalam pemilihan umum? Atau partai-partai politik tidak menjamin hak-hak mereka?

Dengan persoalan di atas, penulis ingin menengahkan perbincangan ini dengan beberapa pendapat di kalangan golongan elit politik Islam di Malaysia yang masih hidup, terutamanya dua tokoh utama yaitu Abdul Hadi Awang dan Anwar Ibrahim. Kedua tokoh ini merupakan ketua partai yang besar di Malaysia, yaitu Abdul Hadi Awang sebagai presiden Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan Anwar Ibrahim sebagai presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR).

Sebagai contoh pandangan Abdul Hadi Awang terhadap golongan putih adalah mereka yang tidak mengetahui dasar atau nilai-nilai Islam terhadap pemerintahan, seperti konsep demokrasi di dalam Islam, dan hukum sistem

pemilihan umum menurut ulama Islam kontemporer dan sebagainya.10 Sementara

pendapat Abdul Hadi Awang sependapat dengan Anwar Ibrahim.

Berdasarkan huraian di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih mendalam masalah yang berkait dengan kedua pandangan tokoh tersebut sehingga penulis angkat menjadai judul skripsi: “ Golongan Putih (Golput) Menurut Pandangan Elit Politik Islam Di Malaysia”

10

Abdul Hadi Awang Fahaman atau Ideologi Umat Islam (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II, h. 211


(8)

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi dan hanya menfokus pada pandangan golongan elit politik Islam terhadap golongan putih, dan hanya berlaku di seluruh negeri-negeri bagian di Malaysia kecuali Serawak, dan juga khusus pada berlaku pemilihan umum 2008. Kemudian melihat sejauh mana implementasi hukum Islam dan kritikan mereka terhadap aktivitas golongan putih terhadap partai dan negara, khususnya bagi memberi kebijakan terhadap kekuasaan negara Islam.

2. Perumusan Masalah

Berdasakan huraian di dalam latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penerapan hukum Islam tentang golongan putih di dalam konsep fiqih siyasah di Malaysia?

b. Bagaimanakah pandangan golongan elit politik Islam terhadap kegiatan golongan putih di Malaysia?


(9)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

1. Bagi mengetahui penerapan hukum Islam di dalam konsep fiqih siyasah.

2. Untuk mengetahui pandangan golongan elit politik Islam terhadap

kegiatan golongan putih di Malaysia.

3. Untuk mengetahui undang-undang yang terkait terhadap golongan putih.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

a. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan

yang terkait dengan golongan putih di Malaysia.

b. Memberi pengetahuan dan infomasi tentang penerapan golongan putih

di Malaysia.

c. Sebagai sumbangan kepada ahli-ahli politik dan juga kepala

pemerintah dalam menangani segala permasalah yang berlaku di Malaysia.

d. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan


(10)

D. Kajian Terdahulu

Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang politik Islam telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang mengkaji secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya:

Penelitian yang ditulis Nurjana yang berjudul “Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan”, tahun 2008.11 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran umum dalam kajian budaya dan kelompok masyarakat. Seterunya merupakan salah satu faktor penting kajian masyarakat di dalam studi politik dan ekonomi, dalam masa yang sama kebuntuhan negara terhadap ekonomi dan politik amat memerlukan bagi memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

Penelitian yang ditulis Ahmad baha yang berjudul “Analisis Pemikiran Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”,tahun 2009.12 Skripsi ini membahaskan tentang gambaran kajian Anwar Ibrahim sebagai tokoh politik Islam yang aktif bergerak di dalam politik Malaysia, dan banyak mengkaji masalah di dalam bidang politik, terutamanya kelompok kepentingan dan penyokong perbagai partai politik.

11

Nurjanah,”Analisis Budaya Organisasi dan Pengaruhnya terhadap Keinerja Karyawan” (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008).

12

Ahmad Baha, “Analisis Pemikiran Politik Anwar Ibrahim di Malaysia”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum ,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).


(11)

Penulis ingin menengahkan kajiannya terhadap golongan putih, kerana pada dasarnya Anwar mahu mengembalikan kedudukan orang Melayu di Malaysia dari sudut pemerintahan daripada dikuasai selain golongan Melayu, terutamanya golongan Cina yang telah menguasai di dalam bidang ekonomi. Matlamatnya mahu mengembalikan golongan putih kepada golongan aktif mahupun pasif, kerana golongan putih dapat merugikan kebijakan negara terutamanya hak kedudukan bangsa Melayu di Malaysia.

Penelitian yang ditulis Nabhawi yang berjudul “Golput Dalam Persepektif Islam”, tahun 2005 .13 Skripsi ini membahaskan secara umumnya implementasi hukum Islam terhadap golongan putih di dalam konsep sistem pemerintahan Islam.

Penelitian yang ditulis Abdul Hadi Ripin yang berjudul “ Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksaan Pemilu di Malaysia”, tahun 2008.14 Skripsi ini membahaskan sistem penerapan pemilihan umum di Malaysia, dan foktor yang mempengaruhi masyarakat Malaysia di dalam kegiatan partai- politik, dan juga masyarakat yang tidak terlibat di dalam partai atau pemilihan umum di sebut sebagai golongan putih.

Selain Skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang golongan putih di Malaysia telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik

13

Nabawi. ”Golput Dalam Persepektif Islam”, (Skripsi SI fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)

14

Abdul Hadi Ripin, “Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Perlaksanaan Pemilu di Malaysia”, (skripsi SI Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)


(12)

topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut:

Buku pertama,“Fahaman atau Ideologi Umat Islam”, Karya Abdul Hadi Awang15. Buku ini membahaskan ideologi umat Islam bermula zaman rasulullah sehingga zaman sekarang, dan kesannya terhadap pemerintahan. Dalam perbahasan ini, Abdul Hadi Awang meneliti terhadap penyokong Islam yang keluar dari partai Islam se-Malaysia (PAS) disebabkan kesan ideologi keagamaan dan sebagainya.

Buku kedua, “Islam dan Demokrasi”, Karya Abdul Hadi Awang.16 Dalam buku ini ditulis beberapa bab tentang “politik dan agama, pemisahan politik dan agama, pahaman kebangsaan, serta perinsip-perinsip dan konsep politik dalam Islam”. Intinya buku ini membahas tentang bagaimana hubungan politik Islam sebuah negara dan hak-hak rakyat di dalam pemilihan kepempinan dan tokoh-tokoh Islam.

Buku ketiga, “Pembentukan Partai Politik Islam”, Karya Taqiyuddin an- Nabhani17. Buku ini membahas dan meneliti dasar-dasar pembentukan partai Islam sebagai jalan atau wasilah untuk menegakan negara Islam, bermula kajian sifat seorang muslim sehingga dapat membentuk partai Islam yang mantap.

15

Abdul Hadi Awang, Fahaman atau Ideologi Umat Islam, (Selangor:PTS Publications &Distributors Sdn Bhd jln Industri Batu Caves, 2008), cet. II

16

Abdul Hadi Awang, Islam dan Demokrasi, (Selangor: PTS Islamika,2007), cet. I

17

Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia, terjemahan oleh: M.Siddiq Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II


(13)

Buku keempat, “ Pemikiran Islam di Malaysia sejarah dan Alirannya”, karya Abdul Rahman Haji Abdullah.18 Buku ini membicarakan sifat orang Islam Melayu di Malaysia dari sudut perkambangan sejarah terhadap pemerintahan, akidah, ekonomi, budaya dan politik. Intinya menjadi sumber rujukan terhadap sejarah perkembangan partai politik di Malaysia.

Buku kelima, “Model Kerajaan Islam Memebangun Bersama Islam”, karya Harun Taib.19 Buku ini di antaranya membicarakan konsep kepimpinan dalam Partai Islam Se-Malaysia (PAS) khususnya di Negara Bagian Kelantan, akhlak dan disiplin dalam Harakah islamiyyah, model kerajaan Islami, ulama dan tokoh politik di Malaysia.

Buku keenam, “Muqaddamah Ibn Khaldun”, terjamahan oleh Ahmadie Thoha.20 Buku ini merupakan buku utama, dan menjadi sumber kajian penting terhadap sosial masyarakat dan hubungan terhadap pembetukan sebuah negara yang bertamadun berdasarkan konsep dan implementasi hukum dan filsafat Islam.

Buku ketujuh, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, karya Miriam Budiardjo.21 Buku ini membahaskan asas-asas penerapan ilmu politik secara umumnya, dan

18

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I

19

Harun Taib, Model Kerajaan Islam Membangun Bersama Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Ulama PAS Pusat, 2000), cet. I

20

Ahmadie Thoha, Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV

21

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I


(14)

memberi kefahaman yang mudah terhadap kajian masalah politik terutamanya golongan putih di dalam sebuah negara.

Buku kedelapan, “Pengantar Sosialogi Politik”, karya Michael Rush dan Phillp.22 Buku ini membahaskan kajian politik terutamanya golongan putih atau lebih dikenali dengan kata istilah apatis, di dalam buku ini juga membahaskan ciri-ciri golongan putih yang berlaku di masa kontemporer.

Buku kesembilan, “Sosialogi dan Politik”, karya Nurul Aini dan Ng Philipus.23 Buku ini lebih meneliti terhadap kajian masyarakat yang terpengaruh kepada politik atau tidak, dan disebut sebagai golongan aktif, pasif dan apatis. Dengan kajian yang dibuat, buku ini mudah menjadi rujukan kerana mempunyai kandungan isi yang mudah difahami.

Buku kesepuluh, “Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya & Dinamika Hubunganya dengan Indonesia”, karya Khoridatul Anissa.24Buku ini meneliti terhadap sistem pemerintahan di Malaysia secara lengkap bermula sosial, ekonomi, dan politik. Di dalam kajian politik, buku ini lebih mendalami terhadap konsep negara Islam dan pembentukan partai politik di Malaysia.

Dari beberapa kajian terdahulu di atas, khususnya mengenai golongan putih dari sudut pandangan elit politik Islam di Malaysia sebagai mana telah disebut di atas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji

22

Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, diterjemah oleh: Kartini Kartono, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. III

23

Ng Phlippus, dan Nurul Aini, Sosialogi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), cet. V

24

Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I


(15)

golongan putih di Malaysia khususnya. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Nabawi dengan judulnya Golput dalam Persepektif Islam hanya hubung kait implementasi dan dasar-dasar hukum Islam, seterusnya perbahasan ini hanya seputar golongan putih di Indonesia, jadi perbahasan ini tidak menyentuh terhadap kajian di Malaysia dan juga pendapat golongan elit politik Islam di Malaysia. Dengan demikian, peneliti yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional

Hukum Islam adalah hukum yang mempunyai ciri khas yang tidak berubah, sempurna, harmonis dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman. Artinya bahawa hukum Islam merupakan hukum yang mampu mendamaikan stabilitas dengan perubahan, sehingga akan berguna untuk menyelesaikan masalah dan memenuhi tujuan hidup manusia.

Ada beberapa teori tentang sifat atau praktek golongan putih, di antaranya; 1. Golongan putih administratif, yaitu orang yang tidak memilih kerana persoalan administrasi. Mereka adalah orang-orang yang secara hukum sesungguhnya berhak memilih, tetapi namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih atau terjadi kesalahan administrasi sehingga mereka kehilangan hak pilinya.

2. Golongan putih teknis, yaitu orang yang tidak memilih kerana masalah teknis, seperti sakit sehingga tidak bisa datang ke tempat pemungutan suara (TPS),


(16)

atau saat jam-jam pemilihan umum turun hujan lebat, atau TPS-nya jauh dari rumah dan mengalami kendala transportasi, dan sebaginya.

3. Golongan putih ideologis, yaitu orang secara hukum mahupun teknis sebenarnya tidak ada kendala, tetapi mereka sengaja tidak mengunakan hak pilihnya kerana pertimbangan tertentu. Misalnya tidak percaya kepada calon-calon (legislatif maupun eksekutif) yang ada, atau tidak percaya lagi kepada sistem atau makenisme pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah atau penyelengaraan pemilu, dan sebagainya.

Dalam Islam, kedudukan golongan putih terhadap konteks fiqih masih lagi berada diruang lingkup masalah ijtihadiyyah, Dalam literatur(kajian)fiqih dan ushul fiqih istilah golongan putih atau abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti. Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan tersebut.

Adapun kerangka dan kesimpulan Konsepsional;

1. Al-Quran dan Al-Hadis sebagai dasar atau panduan utama dalam

menyelesaikan sesutau permaslahan, kerana kedudukan dari sudut nash terbahagi kepada 2 bagian yaitu pertama Qatiyyatu Thubut dan kedua


(17)

Zoniyyatul Thubut , sementara kedudukan penunjuk terhadap hukum terbagi kepada 2 bagian yaitu; Qatiyyatu Dilalah dan Zoniyyatul Dilalah.

2. Ijtihad adalah hasil hukum yang di keluarkan oleh para mujtahid melalui mentode yang sudah ditetapkan, seperti mentode qias, istihsan, masholih al-mursalah, sad az-zaraie, dan qowaid kuliyyah.

3. Fiqih adalah hukum yang sifat mengikat dalam bentuk halal, haram dan sebagainya, dalam hal ini, para imam mazhab adalah memengan tugas utama dalam mengeluarkan hukum-hukum tersebut. Sementara ini, hukum yang dikeluarkan adalah bersifat kondifikasi atau tidak dengan menilai kesusuaian masa dan tempat ketika itu.

4. Penarikan kesimpulan (istimbath) hukum Islam terhadap masalah golongan putih yang dilakukan oleh ulama atau intlektual Islam kontemporer adalah; a. Merujuk nash al-Quran dan al-Hadis melalui tekstual, seterusnya dalam

rangka penafsiran samada melalui dilalah mafhum, manthuq, isyarat dan

meneliti dari sudut kedudukan makna samada kedudukan

khafi,mujmal,musykil, mutsyabih, nash, zohir, muffassar dan muhkam.sebagai contoh, golongan putih disebut sebagai “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts”. b. Menilai dari sudut konteks, atau disebut sebagai maslahah,dalam hal ini,

konteks maslahah berpadukan garis kulliyyah, qothiyyah dan dharuriyyah, dan bukan yang menyimpang garis panduan di atas, seperti pemahaman


(18)

realisme dan rasionalisme. Adapun contoh kaedah yang mengeluarkan hukum bagi masalah golongan putih (


(19)

Malaysia’ Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku, seperi buku karangan Abdul hadi Awang, dengan judul Islam dan Demokrasi, dan Ideologi Umat Islam, seterusnnya karangan-karangan lain yang terkait dengan judul skripsi ini, literature-literature, dan website yang berkaitan dengan obyek penelitian. Kemudia data tertier berupa kamus, jurnal dan artikal

4. Teknik Analisis Data dan teknik penarikan kesimpulan

Pembahasan skripsi ini mengunakan teknik deskriptif analitis. Yaitu data yang terkait jumlah golongan putih adalah dikeluarkan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) atau disebut sebagai panetra pemilihan umum pada tahun 2008, sementara data-data lain adalah seperti jumlah penduduk yang mengeluarkan hak pilih dalam pemilihan umum. Makanya dengan melalui pendekatan kualitatif ini sebagai rujukan primer dalam skripsi ini.

Metode atau teknik diskriktif adalah suatu metode yang meneliti status kelompok, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskriptif (gambaran) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki. Sedangkan yang dimaksudkan dengan study analitis ialah menganalisis (menguji) hipotesa-hipotesa dan mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan fakta-fakta, sifat-sifat, dan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan yang bersifat deskriptif dalam pendekatan ini diperlukan untuk mengambarkan golongan putih atau


(20)

Malaysia. Dan metode analitis dimaksudkan untuk menelaah metodologi pandangan atau keritikan golongan elit politik Islam di Malaysia.25

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007” yang diterbitkan oleh Fakultas Syasiah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudahkan dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini ditulis dengan mengunakan sistematika memebahas sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan konsepsional, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

Selanjutnya pada bab II merupakan tinjauan umum terhadap studi sejarah kemunculan dengan membahas sejarah golongan putih di Malaysia, faktor yang mempengaruhi perkembangan sebelum dan sesudah di masa kontemporer, karakteristik dan jumlahnya.

25


(21)

Untuk mengetahui lagi kedudukan hukum Islam yang terkait masalah golongan putih, maka pada bab III, membahaskan tentang penerapan di dalam konsep fiqih siyasah dan pandangan hukum Islam terhadap golongan putih.

Agar lebih mendalam lagi perkembangan hukum Islam yang melibatkan kedudukan masa dan tempat, bab IV membahaskan pendapat dan pandangan golongan elit politik Islam khususnya hanya berlaku di Malaysia, dengan bermula dari sudut pengenalan kategorisasi, dan undang-undang terkait Pemilihan Umum.


(22)

18

SEJARAH SINGKAT GOLONGAN PUTIH DI MALAYSIA

Penelitian terhadap golongan putih di dalam kajian politik terutamanya di Malaysia lebih menfokuskan terhadap hubung kait terhadap sistem pemilihan umum. sudah dimaklumi bahawa sistem pemerintahan Malaysia mengamalkan sistem Raja Berparlemen,1 maka pemilihan umum tidak semua suara rakyat memberi inspirasi terhadap kebajikan negara di dalam sistem pemilu yang berlaku pada 5 tahun sekali.2

Menurut sejarah pemilihan umum di Malaysia yaitu di Pulau Pinang dengan dibentuknya pejabat sementara yang dinamakan Jawatankuasa Penilai ( Committee of Assesror ) pada tahun 1801. 3 Pada awalnya pejabat ini bertanggung jawab atas aspek pembangunan kota supaya lembaga ini dapat memenuhi kebuntuhan penduduk setempat, termasuk di dalamnya urusan jalan, pembangunan sistem saluran jalanan, pejabat pelaksanaan undang-undang, urusan keamanan, serta urusan pajak.

Penduduk–penduduk Asia dan Britis yang kaya terlibat dalam musyawarah

yang memilih anggota Jawatankuasa sukarela ini, walau bagaimanapun, pengurusan Jawatankuasa ini dilantik oleh Lieutenant Governor,4 yang kemudian Jawatankuasa

ini berubah menjadi Majlis Perbandaran hingga sekarang.

1

Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, ( Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77

2

Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293

3

Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 18

4


(23)

Secara dasarnya, golongan putih yang berlaku pada awal pemilihan umun di Malaysia tidak lagi menjadi sumber penelitian oleh golongan elit politik Islam, kerana menurut sejarah, yang berlaku pemilihan umum pada tahun 1945 adalah rancangan oleh pihak penjajah untuk memberi hak kebebasan rakyat bagi memilih pemimpin, dalam masa yang sama Inggris masih lagi menguasai sepenuhnya tanah Melayu pada saat itu dari sudut undang-undang pemerintahan.

A. Sejarah kemuculan Golongan Putih di Malaysia.

Pada tahun 1953, Partai Persekutuan menuntut agar anggota Majlis Musyawarah Undangan Persekutuan dipilih melalui sistem pemilihan umum bukan oleh pihak Inggris. Ini akan memberikan peluang kepada pimpinan-pimpinan Partai Perserikatan untuk dapat menjadi anggota majlis Musyawarah kerajaan yang merupakan sebuah badan penting dalam penyelengaraan Negara. Disamping itu, Partai Persekutuan juga menuntut pihak Inggris agar pilihan umum (pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan parlemen) agar diadakan selambat-lambatnya pada tahun 1954, dan anggota Majlis Musyawarah Undangan Persekutuan yang dipilih melalui pemilihan umum hendaklah berdasarkan suara terbanyak dalam majlis tersebut. 5

Akhirnya dengan persetujuan Inggris, pemilu Majlis Perundangan Persekutuan yang pertama bagi Negara Malaysia secara rasmi dilaksanakan pada

5

Tajuddin Bin Hussen, Malaysia Negara Kita, (Kuala Lumpur: Mdc Publisher Sdn Bhd, 2007), cet. I, h, 269-270


(24)

tanggal 27 juli 1955. Sehari sebelum yang bersejarah itu, setiap partai politik yang terlibat dalam pemilihan umum akan mengadakan kampanye setelah mengumumkan calon pimpinannya yaitu pada tanggal 15 juli 1955.

Dalam pemilihan umum tersebut, kelompok-kelompok Partai perikatan yaitu UMNO, MCA dan MIC telah mengadakan beberapa perundingan untuk membagikan wilayah pemilahan dan jumlah kerusi yang diperbuatkan. Hasilnya, UMNO memenan di 35 wilayah, MCA di 15 wilayah dan MIC di 2 wilayah. Dalam pemilu ini, Partai Perserikatan memenangkannya dengan memperoleh 51 kursi dari 52 kursi yang diperebutkan, sedangkan 1 kursi lagi diraih oleh Partai Islam Se-Malaysia (PAS).6

Sudah dijelaskan sejarah ringkas sistem pemilu di Malaysia. Pada peringkat permulaanya di dalam sistem pemilihan umum di sana, secara dasar golongan putih sudah berlaku kepada mansyarakat Melayu pada saat itu, dalam masa yang sama, hak-hak suara rakyat di dalam memberi kebijakan terhadap sistem demokarasi masih lagi tidak menyeluruh. Pada saat itu apa yang di jelaskan lagi oleh Abdul Rahman di dalam bukunya adalah masyarakat Melayu mempunyai pemikiran atau ideologi yang terpenggaruh, 7dan terjadilah pinggiran

6

Suruhanjaya Pilihan Raya, 50 Tahun Demokrasi dan Pilihanraya di Malaysia, ( Kuala Lumpur: Suruhanjaya Pilihan Raya, 2007), c. I, h. 32

7

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 17


(25)

atau dikecualikan dari memberi hak pemilihan di dalam sistem pemilu, yaitu di sebut dari sudut etimologis adalah apatis atau lebih dikenali golongan putih. 8

Amalan apatis atau golongan putih bermula di kalangan golongan Melayu menurut logman adalah dengan bermula kedatangan penjajah barat yang membawa kemasukkan ramai pekerja asing bukan Islam dari India dan Tanah Besar Cina. Penjajah membuka ladang-ladang dengan mengunakan tenaga buruh dari India dan membuka kawasan perbandaran baru dengan peluang ekonominya lebih banyak dikuasai oleh pekerja dari Cina. 9

Dengan pembentukan bandar-bandar baru itu menyebabkan kebanyakan bandar diduduki oleh bukan Islam khususnya Cina, orang Melayu-Islam tinggal sebagai petani di luar bandar dan masyarakat India tinggal di ladang-ladang. Penjajah membuka peluang pedangan direbut oleh masyarakat Cina. Justeru sifat pedangan bebas itu mengundang amalan monopoli, maka peniaga itu terbiar dengan amalan monopolinya hingga tertutup ruang pedangan bagi orang Melayu dalam semua bidang. Segala hasil pertanian orang Melayu tidak mendapat pasaran meluas dan layanan yang adil, berbeda dengan hasil pertanian orang Cina. Monopoli kaum itu menyebabkan petani Melayu tertindas. Di setiap bandar penjajah membuka persekolahan lengkap yaitu sekolah Inggeris dan peluang pelajaran banyak terbuka kepada penduduk bandar. Sekolah di desa-desa untuk

8

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372

9

Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 55


(26)

orang Melayu tidak sempurna. Sekolah-sekolah pondok tidak diberi bantuan dan tidak digalakkan.

Menjelang kemerdekaan sekolah yang penting adalah sekolah Inggeris. jumlah guru kebanyakannya Cina. Guru Melayu amat kurang. Ia membuka ruang penindasan terhadap anak-anak Melayu di sekolah Inggeris, kebayakan murid Melayu pinggir tetapi murid-murid Melayu di sekolah bantuan penuh kerajaan seperti Malay College, kebayakan murid Melayu boleh mencapai kejayaan, pinggiran pelajar Melayu itu ada hubungannya dengan penindasan guru-guru bukan Melayu, maka menyebabkan rata-rata orang Melayu ketinggalan dalam bidang pelajaran.

Ketinggalan orang Melayu di bidang ekonomi dan pelajaran adalah berpunca dari penindasan monopoli kaum pedagang Cina dan guru-curu Cina, Pelajar India dan nasib orang India dalam ekonomi terus ketinggalan, penindasan atau diskriminasi ini tidak berlaku sebelum kedatangan penjajahan barat, dalam masyarakat Islam sebelum kedatangan barat, semua penduduk diberi layanan adil sesuai dengan ajaran Islam, hingga orang Melayu mengunakan bahasa pasar atau lokal yang susah bagi mudahkan ia difahami oleh Cina dan India semata-mata mahu melicin dan melancarkan komunikasi dan hubungan.


(27)

Layanan adil terhadap golongan minoriti itu adalah bertolak dari ajaran dan keadilan Islam yang melarang pendindasan. Diskriminasi monopoli dan penindasan atas golongan minoriti adalah zalim dan perbuatan itu berdosa.10

Sikap dan perbedaan ini terbawa-bawa hingga selepas kemerdekaan. Monopoli ekonomi terus berlaku. Kerajaan gagal mewujudkan sekurang-kurang 30 persen bagi bumiputera ialah kerana peluang pedangan kebanyakananya ditangan kaum Cina, kerajaan Pro Melayu pula memberi lesen atau stafikat dan peluang banyak kepada orang Melayu, tetapi monopoli pedangan ada di tangan orang Cina, maka semua lesen itu terjual kepada orang Cina.

Dengan kesimpulan ini, apa yang dijelas oleh Logman di dalam bukunya yaitu sejarah Malaysia,11 sejarah muncul golongan putih adalah berpunca dari kemasukan orang-orang India dan Cina dari pihak Inggris sekitar pada awal abad ke 18, maka terbentuklah sifat apatis bagi golongan masyarakat Melayu di dalam berpolitikan di Malaysia.

B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Golongan Putih Sebelum dan Sesudah di Masa Kontemporer.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan golongan putih sebelum kontemporer adalah ditinjau banyak sudut, pertama dari sudut sosiolisasi.

10

Ahmadie Thoha,Terjemahan Muqaddamah Ibnu Khaldum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. IIV, h. 10

11

Logman, Sejarah Malaysia,(Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 60


(28)

Menurut konsep sosiologi, sesuatu kelompok itu berlaku perubahan dengan tiga faktor:

1. Kesedaran dan kedudukan psikologi.

2. Hubungan atau kontrak sosial. 3. Suasana atau kondisi tempat. 12

Golongan putih tidak terlepas daripada tiga faktor di atas, yang menyebabkan berlaku perubahan di dalam sistem politik sesebuah negara, khususnya di Malaysia.

Kedua, yang menyebabkan mempengaruhi golongan putih ini berkembang adalah ditinjau dari sudut berpolitikan yang berlaku di dalam sesebuah negara, sebagai contoh, Malaysia mengamalkan sistem Raja Beparlemen (monarki konstitusional), suara rakyat mesti didahulukan. 13 Dan juga banyak berlaku di sana pertubuhan partai-partai politik, bagi memberi inspirasi yang sah dan bersistem menurut undang-undang, yaitu menerima suara rakyat menjadi sebagai dasar perlembagaan negara.

Secara dasarnya, faktor yang mempengaruhi golongan putih sebelum zaman kontemporer adalah foktor politik saat itu, sebagai contoh, pada zaman pemerintahan Tunku Abdul Rahman yaitu Perdana Menteri yang pertama, adalah pada saat itu Malaysia baru menjelang kemerdekaan, dan masyarakat Melayu secara meyoritasnya masih lagi merasakan politik atau kekuasaanya dijajah, dan

12

Michael Rush and Phillip Althoff, Pengantar Sosialogi politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perseda, 2003), cet. 3, h. 46

13

Tun Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, ( Ampan/Hulu Klang Selangor Darul Ehsan: Dawanan Sdn Bhd, 2006), cet. III, h. 293


(29)

semangat ideologi tradisionalisme terus mempengaruhi pada setiap lapisan masyarakat. 14

Pemikiran atau semangat golongan putih pada awalnya, sudah berlaku dan mempengaruhi di dalam partai politik pada saat itu, tetapi pada akhirnya golongan ini berlaku kesedaran dan perubahan terhadap kepentingan pertubuhan partai-partai politik, yaitu kepentingannya adalah hak-hak perjuangan untuk menghalau penjajah Inggeris. 15

Faktor yang mempengaruhi sesudah kontemporer kurang lebih sama pada masa sebelumnya, yaitu foktor sosiolisasi dan politik, cuma dari sudut politik ianya meluas pada masa sebelumya. Jika ditinjau dari sudut politik, kemunculan partai-partai politik semakin bertambah sehingga terbentuk sistem multi partai pada saat ini, dan suara rakyat terus dilayani oleh pihak pemerintah walaupun berada dikawasan perdalaman disebabkan kecangihan teknologi dan sebagainya. Tetapi menurut kajian kenapa golongan putih terus meningkat persentasenya di Malaysia dan semakin bertambah pada saat ini?

Secara dasarnya, sistem multi partai yang diamalkan di Malaysia adalah punca menyebabkan banyak golongan putih muncul. Diantara kelemahanya adalah:

14

Khoridatul Anissa, Malaysia Macan Asia, Ekonomi Politik Sosial Budaya& Dinamika Hubungannya Indonesia, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media Group, 2009), cet. I, h. 41

15

Logman, Sejarah Malaysia, (Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia Sdn Bhd,2009), cet. I, h. 179


(30)

Mempunyai kecederungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu hal ini. 1. Tidak ada suatu partai yang cukup kuat untuk membentuk koalisi dengan

partai-partai lain.

2. Partai-partai oposisinya kurang memainkan peranan yang jelas kerana sewaktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru.

Faktor dalaman setiap partai-partai politik, seperti berlaku korupsi dan sebagainya menyebabkan penyokong hilang kepercayaan. 16

Sebagai kesimpulanya, faktor yang menyebabkan mempengaruhi pemikaran golongan putih di Malaysia adalah, pertama sisiolisasi dan kedua berpolitikan. Dan secara dasarnya, di dalam sejarah masyarakat Melayu mempunyai tiga pemikiran yang menyebabkan kurang tambahnya golongan putih di sana,17 yaitu pertama golongan tradisionalisme,18 kedua golongan modernisme,19 dan ketiga golongan reformisme.20

16

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Poiltik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 418

17

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya, ,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13

18

Istilah tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama atau ditinjau dari sudut pemikiran adalah menekankan persoalan agama di dalam kehidupan.

19

Istilah modernisme menurut Roger Garaudry adalah Westernisme yaitu aliran yang berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat.

20

Istilah reformisme adalah semangat puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine).


(31)

C. Karakteristik dan Jumlah Golongan Putih di Malaysia.

Secara dasarnya, karaktreristik dan jumlah golongan putih di Malaysia adalah ditinjau karaktristik dan jumlah yang lain terlebih dahulu, yaitu jumlah penduduk, data pemilihan umum dan seterusnya jumlah golongan putih.

1. Karakteristik dan jumlah penduduk Malaysia:21

Tabel 1

Negara bagian Penduduk Luas

wilayah

Bumi-Putra

(%) China (%) India (%)

Selangor 4.188.876 7.960 43,5 35,7 19,6

Johor 2.740.625 18.987 57,1 35,4 6,9

Labuan 76.067 92 79,6 15,8 1,3

Putrajaya 45.000 148 94,8 1,8 2,7

Perak 2.051.236 21.005 44,7 37,0 20

Kedah 1.649.756 9.425 76,6 14,9 7,1

Kuala Lumpur 1.379.310 243 38,6 46,5 13,4

Penang 1.313.449 1.031 27,5 61,5 10,6

Kelantan 1.313.014 15.024 95,0 3,8 0,3

Terengganu 898.825 12.955 96,8 2,8 0,2

Negeri

Sembilan 859.924 6.644 57.9 25,6 16,0

Melaka 635.791 1.652 63,8 29,1 6,5

Perlis 204.450 795 85,5 10,3 1,3

Sabah 2.603.485 73.619 80,5 13,2 0,5

21

Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data: Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Departemen Statistik Malaysia.


(32)

Data di atas, jumlah penduduk Malaysia bagi seluruh Negeri Bagian adalah 22.931.314 jiwa kecuali Negari Bagian Serawak. Masyarakat Melayu masih lagi mempunyai karaktristik yang tinggi berbanding bangsa lain. Dari sudut partisipasi, masyarakat Melayu mempunyai hak suara yang lebih di dalam politik Malaysia. Adapun karaktristik dan jumlah pemilih yang melakukan hak pemilihan di dalam pemilihan umum pada setiap lima tahun sekali adalah seperti berikut: 2. Jumlah pemilih yang dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau jabatan

Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) kali ke 12.22 Tabel 2

No Negeri Jumlah pemilih Keluar memilih

1 Perlis 120,081 97,386 (81%)

2 Kedah 873,674 697,384 (79,8)

3 Kelantan 735,417 607,674 (82.6)

4 Terengganu 521,527 443,182 (85.0)

5 Pulau Pinang 709,323 553,755 (78.1)

6 Perak 1,196,160 871,731 (72.9)

7 Pahang 603,242 464,826 (77.1)

8 Selangor 1,536,111 1,187,511 (77.3)

9 Negeri Sembilan 462,015 354,596 (76.7)

10 Melaka 371,594 297,179 (80.0)

11 Johor 1,312,120 997,817 (76.0)

22

Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Pengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB


(33)

12 Sabah 786,142 544,185(69.2)

Jumlah 9,227,476 7,117,226 (77.1)

Berdasarkan sumber data di atas, bilangan atau jumlah penduduk Malaysia sebanyak 22.931.314 jiwa, 23 dan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang sudah berdaftar sebagai layak memilih dengan jumlahnya 9.227.476 jiwa.24Maka persentase golongan putih adalah sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak mengeluarkan hak pemilihan pada pemilihan umum kali ke-12 pada tahun 2008.

Jadi sebanyak 13.703.838 jiwa, adakah dikatakan kepada mereka sebagai golongan putih kerana tidak memberi hak inspirasi rakyat terhadap kebijakan pemerintah? Disini berbagai persoalan yang dikemukakan oleh golongan elit politik, terutamanya golongan elit plitik Islam di dalam penelitian permasalahan ini.

Dalam hal yang sama, jumlah pendaftaran yang dibuat oleh panetra pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) dengan sebanyak 9.227.476 orang yang layak memilih, tetapi pada pilihan umum kali ke-12 sebanyak 20% yang tidak mengunakkan pemilihannya di dalam pemilihan umum

23

Karaktristik dan Jumlah Penduduk dan Luas Negeri Bagian di Malaysia, Sumber data: Sensus Nasional Malaysia tahun 2008 oleh Deparmen Statistik Malaysia.

24

Karaktristik dan Jumlah Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya. diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 17.55 WIB


(34)

pada saat itu, ini bermakna, jumlah penduduk yang tidak mengundi semakin bertambah. 25

Dengan kesimpulan di atas, karaktristik dan jumlah golongan putih di Malaysia terbahagi kepada dua bahagian:

1. Sebanyak 13.703.838 jiwa, yaitu mereka yang tidak melakukan haknya di dalam pemilihan umum pada tahun 2004, dan jumlah ini dinisbahkan kepada jumlah penduduk sebanyak 22.931.314 jiwa termasuk kanak-kanak dan orang yang tidak layak memilih disebab tertentu. Jadinya keseluruhan jumlah di atas tidak lagi dikategorisasikan sebagai golongan putih.

2. Sebanyak 20% mereka yang tidak memilih, dengan dinisbahkan kepada jumlah penduduk yang sudah berdaftar sebagai layak untuk memilih sebanyak 9.227.478 jiwa. Dan jumlah ini disebut sebagai golongan putih di dalam perbincangan ini.

Kesimpulan di atas dapat dilihat:

No Jumlah penduduk Jumlah Layak memilih Golongan

putih

Tahun

1 22.931.314 9.227.476 2. 445.016 2008

25

Karaktristik dan Jumlah Yang Tidak Pengeluar Mengundi Pilihan Raya kali ke-12 di Malaysia, Sumber data: http://ms.wikipedia.org/wiki/Suruhanjaya Pilihan Raya, diakses pada tanggal 12 April 2010, pukul 18.00 WIB


(35)

Sebanyak 2.445.016 jiwa yang tidak mengunakan haknya dalam pemilihan umum pada tahun 2008 yaitu disebut golongan putih (golongan putih ), dan sumber data ini telah dikeluarkan oleh panetra pemilihan umum atau Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR). Adapun jumlah ini, tidak termasuk hitungan golongan putih di seluruh Malaysia, kerana 1 Negeri Bagian lagi masih tidak dihitung yaitu Serawak, kerana Negeri Bagian ini tidak termasuk di dalam analisis ini. sementara kedudukan undang-undang pemilihan umum di dalam Perlembagaan Persekutuan bagi negeri Serawak adalah, ( Bagian 8, tentang Pilihan Raya Perkara 113, No 3) menyatakan, Negeri-Negeri Tanah Melayu hendak termasuk wilayah-wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,Labuan dan Putrajaya. Yaitu Negeri Bagian Serawak tidak termasuk perlaksanaan undang-undang pilihan raya ini, dan mempunyai undang-undang lain di bawah Undang-undang Dasar di Malaysia.26

Setelah di jelaskan sumber data di atas dengan melalui deskriptif analitis makanya hepotesa-hepotesa tersebut di lakukan melalui teknik induktif, untuk lebih akurat dan faktual dalam bab seterusnya, yaitu inti atau kesimpulanya lebih komprehensif akan membahaskan kedudukan golongan putih antara hubungan hukum Islam dan fiqh siyasah.

26

Lembaga Penyelidik Undang-Undang, perlembagaan Persekutuan, (Selangor Darul Ehsan: International Law Book Service, 2009), cet. I, h. 77


(36)

30

GOLONGAN PUTIH DI DALAM PENELITIAN FIQH SIYASAH

Penelitian golongan putih di dalam konsep fiqh siyasah tidak terlepas dari beberapa hak di dalam sistem politik Islam. Terutamanya hak pemilu di dalam pemerintahan yang mengamalkan sistem demokrasi, dalam masa yang sama, punca yang menyebabkan berlaku golongan putih adalah kesalafaham sistem demokrasi Islam, seperti berlaku pada kelompok Hizbut Tahrir yang menolak sistem demokrasi yang berlaku politik dunia saat ini.1Tetapi kelompok Hizbut Tahrir tidak dikatakan golongan putih, kerana mereka tetap memperdulikan hak-hak perjuangan politik pada Islam, kerana golongan putih dari sudut etimologis adalah ‘sikap yang tidak mengambil peduli di sekitarnya’. 2 adapun dari sudut pengertian politik adalah ‘golongan yang tidak melibatkan hak-haknya di dalam sistem politik’ terutamanya hal-hal terkait sistem pemilihan umum.

Jika dibicarakan sistem demokrasi di dalam Islam, ianya mempunyai perbahasan yang panjang sebagai contoh, tokoh-tokoh yang menerima sistem ini diterapkan di dalam Islam yaitu Muhamad Abduh (1849-1905 M), Muhamad Iqbal (1873-1938 M), Muhamad Husain Haikal (1888-1945 M), Fazlur Rahman

1

Taqiyuddin an Nabhan, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2009), cet. III, h. 13

2

Paul H. Mussen dan Anne B.Wiszynsk, Personality and Political, (Human Relation,1951), cet. 5, h. 78


(37)

1988) dan ramai lagi tidak tercatat, untuk lebih luas perbahasan ini lihat dalam buku (fiqh siyasah) karangan Khmami Zada dan Mujar tentang masalah ini.3

Sebagai dasar implementasi hukum Islam di dalam sistem demokrasi tidaklah menjadi hukum Qathi’ di dalam istidhlal hukum, Cuma membawa kepada dilalah zhanni.4 Kerana ia membawa kepada perkara khilafiyyah. Dalam literatur fiqh dan ushul al-fiqh istilah golongan putih/abstain diistilahkan dengan kata “tawaqquf” yang secara etimologi bermakna “talawwum”, “talabbuts” dan “tamakkuts” yang berarti berdiam diri dan berhenti.5 Adapun secara istilah maka sikap tawaqquf bermakna ‘sikap yang diambil oleh seorang mujtahid dengan tidak memberikan pendapat dalam sebuah permasalahan ijtihadiyah yang disebabkan karena tidak nampak baginya sisi yang benar dalam permasalahan tersebut’.

Pada dasarnya, berbalik kepada perbincangan hubungan golongan putih antar demokrasi. Adalah fahaman mereka terhadap demokrasi masih lagi mengangap sistem ini adalah sistem yang dijajah seluruh dunia, walau pun ia sudah lama dilahirkan dan mengalami perubahan serta banyak perkara kemanusian yang baik dan buruk. Semua penganut ideologi sama ada di timur atau di barat mengaku menjadi pendukung demokrasi kerana mereka tidak menemui idealogi yang lain. Oleh itu, Islam yang datang lebih awal dari demokrasi mempunyai pertimbangan sendiri bagi

3

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, fiqh Siyasah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), cet. I, h. 41

4

Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali, Perbahasan Usul Ahkam, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam, 2005), cet. I, h. 336

5

http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang=


(38)

menyelamatkan manusia dari kancah perubahan di sepanjang sejarah. Islam tidak menolak yang baik walau pun di mana ia di lahirkan dan bila ia di temui.

Untuk kesimpulannya, penerapan golongan putih di dalam implementasi fiqh siyasah bukanlah perkara kecil di dalam hukum Islam, bahkah ada sebahagian ulama kontemporer menhukumkan haram bagi golongan putih tersebut, seperti disebut oleh

Miswan Thahani di dalam bukunya.6

A. Golongan Putih di dalam Konsep Fiqh Siyasah.

Penelitian fiqh siyasah terhadap golongan putih tidak terlepas dari kaitan hak-hak di dalam politik Islam, seperti telah disebut di atas, cuma di sini menjelaskan lagi konsep dan tujuan terhadap hukum-hukum tersebut. Yang pertamanya hubungan pemilu dan kaitannya terhadap golongan putih. Adapun pengertian pilihan umum atau pemilu adalah ‘memilih sesorang penguasa, pejabat atau lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan suara dalam pemilihan umum’. Meskipun istilah ini merialisasikan makna “memilih”, tetapi tidak digunakan dalam syariat untuk pembahasan pemilihan umum seorang penguasa. Pada hakikatnya istilah pemilihan umum umum mirip dengan istilah syar’i, yaitu syura.7 Untuk kesimpulannya, penerapan hukum Islam di dalam sistem pemilu menjadi suatu kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang menegakkan daulat Islamiyyah,

6

Miswan Thahani, 8 Pertanyaan&Jawapan Seputar Fatwa Haram Golongan putih, (Jakarta: Al-Itishom Anggota Ikapi, 2009), cet. I, h. 45

7


(39)

dan golongan putih tidak terlepas di dalam konsep fiqh siyasah tersebut, dengan beberapa contoh kaedah fiqhiyyah kuliyyah yang menyebut:


(40)

1. Pemikiran (fikrah) yang menetukan tujuan serta yang menjadi asas untuk menyatukan masyarakat dengan partai.

2. Mentode (thariqah) yang ditempuh partai untuk meriah tujuan.

3. Anggota-anggota partai serta sejauh mana keyakinan mereka terhadap

pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah) partai.

4. Cara (kafiyah) untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut. 10 Seterunya, berdasarkan al-Hadis:


(41)

Hadis ini menunjukan dengan kalimat soreh terhadap orang Islam itu wajib berada di dalam kelompok muslimin dan para kepimpinannya. Dan kalimat jamaah di sini menunjukkan penyatuan kaum muslimin dalam menegakkan syiar-syiar Islam. Dan berkata Abu Ishak Ibrahim bin Musa As-Syatibi di dalam kitabnya, jamaah itu adalah ‘jama’atul muslim yang sepakat atas seseorang amir’.

Seterunya, jika ditinjau dari sudut al-Quran adalah:

                                                      

)


(42)

Pendapat kedua mengatakan ‘ al-Quran’ yaitu al-Quran merupakan tali Allah yang kuat dan jalan yang lurus. Dalam masa yang sama, ayat yang selepasnya menyebut ‘janganlah bercerai-berai’. Ayat ini menyatakan, Allah menyuruh mereka bersatu dan melarang mereka bercerai-berai. 12

Menurut tafsir Al-Qurthubi berkenaan ayat diatas, yang dimaksudkan dengan ‘tali Allah’ adalah al-Quran, menurut pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Dan menurut Abdullah bin Mas’ud dengan jalur riwayat Taqi bin Makhlak meriwayatkan, Yahya bin Hamid, Husyaim, dari Awwam bin Hausyab dan dari Asy-Sya’bi berkenaan ayat ‘janganlah kamu bercerai-bera’ adalah: Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang sikap bercerai-berai, dan sikap ini membawa kepada kebinasaan.13 Jika dilihat pula pandangan ulama kontemporer berkenaan pembentukkan partai-partai politik adalah wajib hukumnya bagi tujuan menegakkan sebuah negara yang bersyariatkan dengan syariat Islam.14

Berdasarkan kesimpulan di atas, yaitu penerapan al-Quran, al-Hadis, kaedah fiqih dan pandangan ulama kontemporer, hubungan golongan putih dengan partai politik tidak boleh dipisahkan terhadap konsep fiqh siyasah.

12

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), cet. I, h.561, Jilid 1.

13

Muhammd Ibrahim Al-Hifnawi (Ta’liq) dan Mahmud Hamid (Takhrij), Tafsir Al-Quthubi, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) cet. I, h. 399 Jilid 4.

14

Taqiyuddin an-Nabhani, at-Taklil al-Hizbi, edisi Indonesia: terjemhan oleh, M. Shiddiqi, Pembentukan Partai Politik Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izza, 2002), cet. II, h.70


(43)

Yang ketiga, penelitian golongan putih di dalam fiqh siyasah adalah hubungan terhadap sistem demokrasi. Terlebih dahulu jika dilihat di dalam sistem demokrasi, sebagaian ulama kontemporer dan intelektual Muslim mengatakan konsep demokrasi mempunyai persamaan dengan sistem syura di dalam Islam, antara persamaan adalah sistem demokrasi ini merupakan sistem pemerintahan meyoritas yang menerapkan metode permusyawaratan dalam pengambilan keputusan. 15 Adapun sebahagian yang lain membedakan dua konsep tersebut dengan pelbagai dalil dan kritikan yang dikemukakan.

Adapun prinsip demokrasi ,terhadap penerapan admininstrasi negara di dalam penelitian fiqh siyasah adalah:

1. Prinsip kesadaran kemajmukan.

2. Prinsip musyawarah.

3. Prinsip cara haruslah sejalan dengan tujuan, prinsip ini mengemukakan dasar bahawa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan kebaikkan cara yang ditempuhi untuk meriahnya.

4. Prinsip permuafakatan yang jujur.

5. Prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perancangan sosial budaya.

6. Prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). 16

Jadinya, dengan kesimpulan ketiga-tiga konsep di atas, yaitu hubungan

15

Artani Hasbi, Musyawarah & Demokrasi, (Jakarta: Gaya Media Pratam, 2001), cet. I, h. 1

16


(44)

golongan putih antar pemilu, partai-partai politik dan sistem demokrasi, tidak boleh memisahkan di dalam penetapan fiqh siyasah bagi tujuan hifdh al-ummah sebagai maqasid al-syariah untuk menegakkan sesebuah negara Islam.17 Maka apa yang terkait di dalam sistem pemerintahan di Malaysia seperti sistem pemilihan umum, demokrasi adalah alat untuk mendirikan sebuah negara yang bersyariatkan Islam.

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Golongan Putih

Seputar hukum Islam terhadap golongan putih dari inti perbahasan di dalam konsep fiqh siyasah di atas, di sini hukum yang dikeluarkan oleh ulama kontemporer dengan beberapa hukum di dalam Islam yang dapat ditinjaukan seperti berikut:

Ketogeri pertama, mengatakan golongan putih itu hukumnya haram di dalam Islam, antara hubung kait yang membawa kepada hukum tersebut dengan beberapa persoalan :

1. Mengapa harus ada pemilu ?

2. Apakah umat Islam harus perlu ikut pemilu? 3. Apakah ikut pemilu itu hak atau kewajipan?

4. Apakah umat Islam perlu memiliki partai sendiri untuk ikut pemilu?

5. Apa yang dimaksudkan partai Islam?

6. Apakah umat Islam harus memilih partai Islam?

17

Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), cet. III, h. 257


(45)

7. Bagaimana seharusnya umat Islam menyinkapi menang atau kalah dalam pemilu? 18

Dengan penerapan Fiqh siyasah di atas, sudah terjawab, yaitu menyatakan semua ketujuh-tujuh konsep tersebut adalah perlu dan wajib di laksanakan, dan jika dilihat dari sudut pendapat dan fatwa terkini adalah seperti berikut:

Pertama, Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan,”Apabila kita melihat kepada peraturan seperti peraturan pemilu atau pemberian suara maka hal tersebut di dalam pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih sesuatu yang paling layak.”

Beliau melanjutkan,”Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh maka sesungguhnya ini adalah suatu dosa besar karena telah memberikan kesaksian palsu bahkan ditempatkan setelah syirik terhadap Allah swt dalam firman-Nya :


(46)

partai yang mengajak kepada hukum Islam dan sebagian partai lainnya menolak hukum Islam. Bagaimana hukumnya bagi seorang pemilihan umum?

Mereka menjawab,”wajib bagi kaum muslimin yang berada di negara-negara yang tidak berhukum dengan syariat Islam untuk memberikan segenap kemampuannya untuk berhukum dengan syariat Islam dan saling bekerja sama bagai sebuah tangan dalam membantu partai yang diketahuinya akan menerapkan syariat Islam. Adapun membantu partai yang tidak ingin menerapkan syariat Islam maka ini tidak diperbolehkan bahkan bisa mengajak orang itu kepada kekufuran.19

Ketiga, menyinkapi fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam konsideran Sidang Komisi Masa’il Asasiyah Wathaniyah yang merupakan salah satu komisi dalam sidang Ijtima Ulama MUI se-Indonesia III, terdapat empat pembasahan pokok. Tiga pembasahan berkenaan dengan argumentasi dasar hubungan Islam dengan negara. Pembahasan keempat langsung mengerucut pada menggunaan hak pilih dalam pemilu. Poin keempat ini berisi hal-hal sebagai berikut:

1. Pemilihan umum Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih

pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

19

http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bagaimana-hukumnya-golongan putih.htm, diakses pada tanggal 13 April 2010, pukul 10.30WIB


(47)

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pengaturan) dalam kehidupan bersama. 3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan

ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat.

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathunah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam “hukumnya adalah wajib”.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana

disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. 20

Jadinya kesimpulan yang dapat dilihat di sini adalah, sikap golongan putih secara pasif ( tenpa kempennya kepada orang lain) termasuk mengabaikan sesuatu yang wajib yang dengan sendirinya dilarang, dalam tijauan syariat Islam. Sedangkan sikap golongan putih secara aktif (dengan kempengnya kepada orang lain agar juga golongan putih) termasuk dalam sikap” menghalang-halangi manusia dari jalan Allah” (saddun an sabilillah) yang lebih jelas dilarang lagi.

Ketogeri kedua, seputar hukum harus, sunnah dan wajib terhadap golongan putih.

Di dalam pendekatan fikih politik, pada dasarnya boleh. Sebab, golongan

20

: http://www.islam-indo.org/kajian/fiqh-islam/kontemporer/138-golongan putih.html?lang


(48)

putih merupakan persoalan mu'amalah ijtihadiah bahkan hukumnya dapat menjadi wajib. Artinya, kalau warga negara itu menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif, justru berdosa. Namun golongan putih dapat juga haram hukumnya. Artinya, seorang yang tidak menggunakan hak pilihnya merupakan dosa besar.21

Perubahan dari hukum dasar golongan putih boleh menjadi wajib dan haram karena proses hukum(illat) yang memengaruhi hukum dasar itu dan yang menjadi pertimbangan selanjutnya.22 Antara golongan putih itu menjadi sunnah, yang di kemukakan oleh Keputusan Majlis Fatwa dan Riset Eropa, 23 tentang keikut-sertaan seorang muslim dalam perpolitikan di Eropa adalah, pada asalnya disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada di antara boleh, sunnah atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt:


(49)

Untuk kesimpulan keseluruhannya hukum di atas, berdasarkan kaedah fiqih;24


(50)

44

PANDANGAN GOLONGAN ELIT POLITIK ISLAM MALAYSIA TERHADAP GOLONGAN PUTIH

Pandangan dan kritikan yang dikemukakan oleh golongan elit politik Islam terhadap golongan putih mempunyai jawaban yang berbeda, biarpun mereka berada pada lingkungan yang sama di dalam pemikiran Islam, terlebih dahulu mengenal apakah yang dimaksudkan golongan elit politik Islam di Malaysia?

Yang dimaksudkan golongan elit politik dari sudut etimologis adalah golongan yang terpengaruh tinggi di dalam kelompok masyarakat dan mempunyai kepercayaan terhadap gerakan politik, terutamanya gerakan partai-partai politik.1 Seterusnya pegertian dari sudut konsep politik barat adalah yang pertama, dikemukakan oleh David Froth dan Frank L Wilson disebut sebagai gladiators, yaitu golongan yang sangat aktif dalam dunia politik dan mempunyai nisbah 5-7% populasi dari seluruh lapisan masyarakat.2 Kedua, menurut Aristoteles (falsafah klasik) adalah golongan yang sedikit dalam pemerintahan dan berkedudukan di dalam kelompok masyarakat samada harta, militer dan sebagainya.3 Ketiga, menurut Ronald Lippit adalah golongan disebut otoriter, yaitu golongan atasan dalam pemerintahan dan di bawahnya terdapat golongan agresif dan apatis.4

1

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Budaya, dan Sains, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. I, h. 39

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008) cet. I, h. 372

Hendi Suhendi, Filsafat Umum daripada Metologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 236

4


(51)

Adapun di dalam konsep politik Islam, golongan elit menurut pengertian sejarah adalah terlebih fokus kepada perlimen perang, dan mempunyai tokoh di dalam bidang peperangan seperti keberanian dan sebagainya, seperti Solahuddin al-Ayub.5 Dengan lebih jelas lagi, pegertian golongan elit politik Islam Malaysia menurut Abdul Rahman Haji Abdullah adalah golongan yang aktif di dalam bidang politik dan memperjuangkan hak-hak Islam melalui partai, dan mempunyai pemikiran yang berbeda.6

A. Kategorisasi Golongan Elit Politik Islam di Malaysia

Penjelasan kategorisasi golongan elit politik Islam di Malaysia melibatkan pemikiran, organisasi, dan dasar perjuangan.

Kategorisasi pertama teradisional, yaitu tradisionalisme digunakan dalam pengertian konservatif atau mempertahankan yang lama, seperti kata Karl Mannheim, “ Sesuai dalam pegertian tersebut, tradisionalisme melihat sejarah hanya sebagai inspirasi atau sesuatu yang harus dipertahankan, kerana para pendukunnya dikatakan bersikap negetif terhadap pembaruan dan perubahan”.

5

http://www era muslim,com/konsultasi konspirasi/send/pasukan-elit-Islam.htm jam 1021 13/4/2010 WIB

6

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 13


(52)

Menurut Roger Garaudy adalah “golongan yang menganggap kemunduran umat Islam disebabkan mereka menjaukan diri dari ajaran yang lalu”.7

Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti al-Arqam, yang diketuai Ustadz Ashaari Muhamad dan terdapat beberapa orang pembantu utama yang disebut timbalan (wakil) dan naib-naib syekh al-Arqam, dan masing-masing dibantu oleh beberapa orang musa’id. Terdapat biro-biro khusus yang disebut syu’bah, yang dipimpin seorang mudir (ketua) di bantu oleh musa’id-musa’id. Kemudian di tingkat negeri, terdapat cabang atau perkampungan-perkampungan Darul Arqam dengan ketua masing-masing. Dan pada tingkat pusat, cabang juga mempunyai biro-biro sendiri.

Jelaslah di sini terwujud sebuah organisasi yang cukup sisitematis, persis sebuah “kerajaan kecil”. Pada Agustus 1994, Majlis Fatwa Kebangsaan melarang keberadaan organisasi ini. Kementerian Dalam Negeri segera memperkuat larangan tersebut dengan menahan tokoh-tokoh besarnya, khusunya Ustadz Ashaari Muhamad. Sebelum dibebaskan, pemimpin-pemimpin Darul Arqam telah membuat semacam pengakuan tentang kesalahan mereka sebelum ini, dari segi politik, perubahan yang ada ialah tindakan Ustaz Abdul Halim Abbas, bekas wakil Syekh Arqam yang mengajukan permohonan menjadi anggota UMNO.

Adapun dasar pemikiran tokoh-tokoh mereka adalah menegakkan Islam melalui cara tersendiri dan menolak sistem pemerintahan yang menpuyai unsur-unsur yang dibawa dari barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, pemilihan

7


(53)

umum dan sebagainya, adapun konsep pemerintahan mereka adalah menegakan agama Islam yang tulin dan bersih walaupun di luar batasan Undang-undang.8

Kategorisasi kedua modernis, menurut Roger Garaudy modesnisme, tidak lain adalah westrenisme, yakni berasaskan kebudayaan dan pemikiran barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka selama empat abad terakahir. Dan ciri-cirinya ialah nasional, kapitalis, dan sistem perlemen.9 Menurut Prof. Hamid Algar menegaskan bahawa mereka telah mengabaikan kontradiksi pokok antara mentalitas modern dan agama. Islam berada pada realitas imperatif dari Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan dunia modern sebaliknya cenderung untuk menyangkal realitas Ilahi secara aktif terhadap alam dan manusia.10

Adapun organisasi ini di Malaysia adalah partai-partai semangat kebangsaan seperti partai ‘United Malays Nasional Organization (UMNO)’, yaitu diketuai oleh Najib Tun Abdul Razak dan merupakan Perdana Menteri Malaysia pada saat ini. Jadinya di antara organisasi politik awal yang mendukung gagasan nasionalis konservatif adalah UMNO di dalam sejarah politik Malaysia, sifat konservatif UMNO bukan hanya sekadar mempertahankan tradisi kebangsaan Melayu,11 tetapi juga mempertahankan tradisi kerjasama dengan pihak kolonial.

8

Abdul Rahman Haji Abdullah, Op. cit., hlm. 118

9

Muhamad Bahi, Penentang Islam terhadap Aliran Pemikiran Perosak, (Kuala Lumpur: Penerbit Hizbi, 1985) cet. I, h. 52

10

Hamid Algar, Islam dan Tantangan Intelektual daripada Kebudayaan Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), cet. I, h. 325

11

Konservatif, menurut Kamus Politik dan Ideologi, (Surabaya, Gitamedia: 2006) adalah; tertutup daripada pengaruh atau pembaharuan/ adat mempertahankan tradisi atau kebiasaan


(54)

Pada tahun 1948, pihak Inggris sendiri menhendaki kerjasama penuh dengan UMNO. Misalnya sekretaris, A. Newbolt, telah memberi jaminan kepada UMNO bahawa pegawai-pengawai kerajaan tidak akan dihukum kerana berpolitik.

Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah:

1. Memperjuangkan hak-hak bangsa Melayu.

2. Mempertinggikan kedudukan Raja-Raja Melayu.

3. Semangat perjuangan atas dasar nasional atau kebangsaan.

4. Memperjuangkan agama Islam dengan didasari perlembagaan Undang

Undang Inggris

5. Terpengaruh semangat kolonial barat.12

Kategorisasi ketiga reformis, ciri-ciri yang utama adalah semangat puritanisme, yaitu penekanan kepada ajaran Islam yang murni (pristine). Ada semacam persamaan dengan aliran tradisional yang menekanakan ortoduksi.13 Bertolak semangat puritanisme, aliran reformis sangat menekankan ishlah dan tajdid merupakan upaya memperbaiki atau membersihkan Islam dari pemalsuan dan penyelewengan. Sedangkan tajdid adalah memperbarui atau menyegarkan kembali paham dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan tuntutan zaman.14

12

Ishak Saat, Sejarah Politik Melayu Pelbagai Aliran, ( Selangor: Karisma Publications Sdn Bhd, 2007), cet. I, h. 33

13

Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Alirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. I, h. 21

14

Abdul Ghani Hj.Shamsuddin, Tajdid dalam Pendidikan dan Masyarakat, (Kuala Lumpur: Persatuan Ulama Malaysia, 1989), cet. I, h.567


(55)

Adapun organisasi ini di Malaysia adalah seperti Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang diketuai oleh Abdul Hadi Auang (2003 hingga saat ini), dan Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang diketuai oleh Anwar Ibrahim. Adapun PAS merupakan partai oposisi yang berjuang untuk menegakkan Islam ke dalam kehidupan masyarakat Malaysia. PAS didirikan pada tahun 1951 oleh kaum ulama yang keluar dari UMNO dengan alasan “kebajikan kompromosinya terhadap orang-orang non-Melayu dan kerana hal yang mereka anggap sebagai sikap ambivalen terhadap Islam”. Dengan basis pedesaan dan dukungan kaum ulama konservatif, PAS yang mengangap dirinya sebagai partai politik dan gerakan Islam telah berpartisipasi dalam pemilihan umum sejak pemilihan umum pertama di Malaysia tahun 1955, dan secara rasminya menjadi partai politik yang sah di dalam undang-undang Malaysia.15

Adapun dasar pemikiran dan perjuangan tokoh-tokoh mereka adalah:

1. Menyeru umat manusia kepada syariat Allah dan sunnah Rasulnya melalui dakwah secara lisan, tulisan, dan amalan.

2. Memupuk dan memperkuatkan ukhuwah Islamiyah dan menyuburkan rasa

perpaduan di kalangan rakyat untuk memelihara kehidupan politik dan masyarakat yang sehat dan berkebajikan.

3. Menyertai dan berkerjasama dengan badan-badan, persatuan-persatuan, atau pertubuhan-pertubuhan yang tidak berlawanan tujuan dengan PAS bilamana

15

Khamami Zada dan Arie R Arofa, Diskursus Politik Islam, ( Jakarta: Perum Pondok Karya Permai, 2004), cet. I, h. 123


(1)

pilihan raya persekutuan atau Negeri, mengikut mana-mana yang berkenaan, dan kajian semula itu hendaklah disiapkan dalam tempoh yang tidak melebihi dua tahun dari tarikh permulaan kuat kuasa undang-undang yang membuat pengubahan itu.

(ii) Kajian semula di bawah perenggan (i) tidaklah menyentuh lat tempoh yang diperuntukkan di bawah perenggan (ii) Fasal (2) berkenaan dengan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal itu.

(iii) Peruntukan Jadual Ketiga Belas hendaklah terpakai bagi kajian semula di bawah Fasal ini, tetapi tertakluk kepada apa-apa ubah suaian yang difikirkan perlu oleh Suruhanjaya Pilihan Raya.

(3B) Jika sesuatu pindaan kepada Perkara 46 atau suatu undang-undang yang diperbuat oleh Dewan Undangan sesuatu Negeri yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A) mula berkuat kuasa selepas lapan tahun berlalu dari tarikh siapnya kajian semula yang terakhir di bawah Fasal (2) dan Suruhanjaya Pilihan Raya berpendapat bahawa perlu dijalankan suatu kajian semula di bawah Fasal (2), maka Suruhanjaya Pilihan Raya tidak boleh menjalankan kajian semula di bawah perenggan (i) Fasal (3A) tetapi sebaliknya hendaklah menjalankan kajian semula di bawah Fasal (2) dan dalam mengendalikan kajian semula sedemikian hendaklah mengambil kira mana-mana kawasan yang tersentuh berikutan dengan pindaan atau undang-undang yang disebut dalam perenggan (i) Fasal (3A). (4) Undang-undang persekutuan atau Negeri boleh memberi kuasa Suruhanjaya Pilihan Raya untuk menjalankan pilihan raya selain pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1).

(5) Setakat yang perlu bagi maksud fungsinya di bawah Perkara ini, Suruhanjaya Pilihan Raya boleh membuat kaedah-kaedah, tetapi mana-mana kaedah yang sedemikian hendaklah berkuat kuasa tertakluk kepada peruntukan undang-undang persekutuan.

(6) Kajian semula yang berasingan di bawah Fasal (2) hendaklah dijalankan bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu dan bagi tiap-tiap satu daripada Negeri Sabah dan Sarawak, dan bagi maksud Bahagian ini ungkapan "unit kajian semula" ertinya, bagi bahagian pilihan raya persekutuan, kawasan yang sedang dikaji semula dan, bagi bahagian pilihan raya Negeri, ertinya Negeri itu, dan ungkapan "Negeri-Negeri Tanah Melayu" termasuklah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya.

(7) Tertakluk kepada Fasal (3), tempoh bagi kajian semula kali pertama di bawah Fasal (2) bagi mana-mana unit kajian semula hendaklah dihitung mulai dari


(2)

penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu di bawah Perlembagaan ini atau di bawah Akta Malaysia [Akta 26 tahun 1963].

(8) Walau apa pun Fasal (7) Perkara ini tempoh bagi kajian semula di bawah Fasal (2) bagi unit kajian semula bagi Negeri-Negeri Tanah Melayu yang dijalankan selepas lulusnya Akta Perlembagaan (Pindaan) (No. 2) 1973 hendaklah dihitung mulai dari penyempadanan kali pertama bahagian pilihan raya bagi unit itu sebaik selepas lulusnya Akta itu.

(9) Tarikh bermulanya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh tersiarnya notis yang disebut dalam seksyen 4 Jadual Ketiga Belas dalam Warta.

(10) Tarikh siapnya sesuatu kajian semula di bawah Fasal (2) atau Fasal (3A), mengikut mana-mana yang berkenaan, ialah tarikh laporan dikemukakan kepada Perdana Menteri di bawah seksyen 8 Jadual Ketiga Belas, dan notis mengenai tarikh itu hendaklah disiarkan dalam Warta oleh Suruhanjaya Pilihan Raya.

Perkara 114. Keanggotaan Suruhanjaya Pilihan Raya.

(1) Suruhanjaya Pilihan Raya hendaklah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong selepas berunding dengan Majlis Raja-Raja, dan hendaklah terdiri daripada seorang pengerusi, seorang timbalan pengerusi dan lima orang anggota lain.

(2) Pada melantik anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, Yang di-Pertuan Agong hendaklah mengambil perhatian tentang peri mustahaknya suatu Suruhanjaya Pilihan Raya yang mendapat kepercayaan awam.

(3) Seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya terhenti daripada memegang jawatan apabila mencapai umur enam puluh lima tahun atau apabila hilang kelayakan di bawah Fasal (4) dan boleh pada bila-bila masa meletakkan jawatannya melalui surat yang ditandatangani sendiri olehnya yang ditujukan kepada Yang di-Pertuan Agong, tetapi tidaklah boleh dipecat daripada jawatan kecuali atau alasan dan mengikut cara yang sama seperti seorang hakim Mahkamah Persekutuan.

(4) Walau apa pun apa-apa jua dalam Fasal (3), Yang di-Pertuan Agong hendaklah melalui perintah memecat daripada jawatan mana-mana anggota Suruhanjaya Pilihan Raya jika anggota itu—


(3)

(b) melibatkan diri dalam apa-apa jawatan atau pekerjaan berbayar di luar tugas jawatannya; atau

(c) ahli mana-mana satu Majlis Parlimen atau Dewan Undangan sesuatu Negeri. (4A) Sebagai tambahan kepada apa-apa kehilangan kelayakan yang diperuntukkan di

bawah Fasal (4), pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya hilang kelayakan untuk memegang jawatan itu jika selepas tiga bulan pelantikannya ke jawatan itu atau pada bila-bila masa selepas itu dia ialah atau menjadi anggota mana-mana lembaga pengarah atau lembaga pengurusan, atau pegawai atau pekerja, atau melibatkan diri dalam hal ehwal atau urusan, mana-mana organisasi atau badan, sama ada diperbadankan atau selainnya, atau mana-mana pengusahaan komersil, perindustrian atau pengusahaan lain, sama ada atau tidak dia menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya:

Dengan syarat bahawa kehilangan kelayakan itu tidaklah terpakai jika organisasi atau badan itu menjalankan apa-apa kerja kebajikan atau sukarela atau tujuan yang berfaedah kepada masyarakat atau mana-mana bahagiannya, atau apa-apa kerja atau tujuan lain yang bersifat khairat atau sosial, dan anggota itu tidak menerima apa-apa saraan, hadiah, untung atau faedah daripadanya.

(5) Parlimen hendaklah melalui undang-undang membuat peruntukan bagi saraan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya, dan saraan yang diperuntukkan sedemikian hendaklah dipertanggungkan pada Kumpulan Wang Disatukan.

(5A)Tertakluk kepada peruntukan Perkara ini, Parlimen boleh melalui undang-undang membuat peruntukan bagi terma jawatan anggota Suruhanjaya Pilihan Raya selain saraan mereka.

(6) Saraan dan terma lain jawatan bagi seseorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya tidaklah boleh, selepas pelantikannya, diubah menjadi kurang baik baginya.

(7) Jika, dalam apa-apa tempoh, Pengerusi Suruhanjaya Pilihan Raya telah diberi kebenaran bercuti oleh Yang di-Pertuan Agong atau tidak dapat menunaikan fungsinya kerana dia tidak ada di dalam Persekutuan, sakit atau apa-apa sebab lain, maka timbalan pengerusi hendaklah menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu, dan jika timbalan pengerusi juga tidak ada atau tidak dapat menunaikan fungsi itu, maka seorang anggota Suruhanjaya Pilihan Raya boleh dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong untuk menunaikan fungsi pengerusi selama tempoh itu.


(4)

Perkara 115. Bantuan kepada Suruhanjaya Pilihan Raya.

(1) Suruhanjaya Pilihan Raya boleh mengambil kerja apa-apa bilangan orang, mengikut apa-apa terma dan tertakluk kepada apa-apa syarat, yang ditentukan olehnya dengan persetujuan Yang di-Pertuan Agong.

(2) Apabila diminta oleh Suruhanjaya, semua pihak berkuasa awam hendaklah memberikan apa-apa bantuan sebagaimana yang dapat dilaksanakan kepada Suruhanjaya dalam menunaikan tugasnya; dan pada menjalankan fungsinya bagi membuat syor bagi menyempadankan bahagian pilihan raya bagi pilihan raya yang disebut dalam Fasal (1) Perkara 113, Suruhanjaya hendaklah meminta nasihat daripada dua orang pegawai Kerajaan Persekutuan yang mempunyai pengetahuan khas mengenai topografi dan taburan penduduk dalam unit kajian semula bagi pilihan raya persekutuan, dan pegawai itu hendaklah dipilih bagi maksud itu oleh Yang di-Pertuan Agong.

Perkara 116. Bahagian pilihan raya persekutuan.

(1) Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Rakyat, sesuatu unit kajian semula hendaklah dibahagikan kepada bahagian pilihan raya mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas.

(2) Jumlah bilangan bahagian pilihan raya hendaklah sama dengan bilangan ahli supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya, dan daripada jumlah bilangan bahagian pilihan raya di dalam Negeri-Negeri Tanah Melayu itu suatu bilangan yang ditentukan mengikut peruntukan yang terkandung dalam Perkara 46 dan Jadual Ketiga Belas hendaklah diuntukkan bagi setiap Negeri.

(3) (Dimansuhkan). (4) (Dimansuhkan). (5) (Dimansuhkan).

Perkara 117. Bahagian pilihan raya Negeri.

Bagi pemilihan ahli-ahli ke Dewan Undangan sesuatu Negeri, Negeri itu hendaklah dibahagikan kepada seberapa banyak bahagian pilihan raya mengikut bilangan ahli yang dipilih supaya seorang ahli dipilih bagi setiap bahagian pilihan raya; dan pembahagian itu hendaklah dibuat mengikut peruntukan yang terkandung dalam Jadual Ketiga Belas. Perkara 118. Cara mencabar pemilihan.


(5)

Tiada pemilihan ke Dewan Rakyat atau ke Dewan Undangan sesuatu Negeri boleh dipersoalkan kecuali melalui petisyen pilihan raya yang dikemukakan kepada Mahkamah Tinggi yang mempunyai bidang kuasa di tempat pilihan raya itu diadakan.

Perkara 118A. Cara mempersoalkan petisyen pilihan raya mengenai tidak adanya pemilihan.

Sesuatu petisyen yang mengadukan hal bahawa tiada apa-apa pemilihan telah dibuat ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan hendaklah disifatkan sebagai satu petisyen pilihan raya dan Mahkamah Tinggi boleh membuat apa-apa perintah yang difikirkannya patut mengenainya untuk memaksa suatu pemilihan dibuat tetapi kegagalan membuat pemilihan dalam mana-mana tempoh yang dinyatakan oleh Perkara 54 atau 55 atau oleh peruntukan yang bersamaan dalam Perlembagaan mana Negeri, mengikut mana-mana yang berkenaan, tidaklah menjadi suatu alasan bagi mengisytiharkan bahawa seseorang ahli telah tidak dipilih dengan sewajarnya.

Perkara 119. Kelayakan pemilih. (1) Tiap-tiap warganegara yang—

(a) telah mencapai umur dua puluh satu tahun pada tarikh kelayakan;

(b) bermastautin di dalam sesuatu bahagian pilihan raya pada tarikh kelayakan yang sedemikian atau, jika tidak bermastautin sedemikian, ialah seorang pengundi tidak hadir; dan

(c) didaftarkan, di bawah peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya, dalam daftar pemilih sebagai pemilih dalam bahagian pilihan raya tempat dia bermastautin pada tarikh kelayakan,

berhak mengundi di dalam bahagian pilihan raya itu dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan melainkan jika dia hilang kelayakan di bawah Fasal (3) atau di bawah mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan berkaitan dengan pilihan raya; tetapi tiada seorang pun boleh mengundi dalam pilihan raya yang sama di dalam lebih daripada satu bahagian pilihan raya.

(2) Jika seseorang berada di dalam sesuatu bahagian pilihan raya semata-mata oleh sebab dia ialah seorang pesakit di suatu institusi yang disenggarakan keseluruhannya atau terutamanya untuk menerima dan merawat orang yang mengidap penyakit mental atau kecacatan mental atau semata-mata oleh sebab dia ditahan dalam jagaan, maka dia


(6)

hendaklah bagi maksud Fasal (1) disifatkan tidak bermastautin di dalam bahagian pilihan raya itu.

(3) Seseorang hilang kelayakan untuk menjadi pemilih dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Rakyat atau Dewan Undangan jika—

(a) pada tarikh kelayakan dia ditahan sebagai orang yang tidak sempurna akal atau sedang menjalani hukuman pemenjaraan; atau

(b) sebelum tarikh kelayakan dia telah disabitkan atas suatu kesalahan di dalam mana-mana bahagian Komanwel dan dihukum dengan hukuman mati atau pemenjaraan selama tempoh melebihi dua belas bulan dan pada tarikh kelayakan itu dia masih kena menjalani apa-apa hukuman bagi kesalahan itu. (4) Dalam perkara ini—

(a) "pengundi tidak hadir" ertinya, berhubung dengan mana-mana bahagian pilihan raya, mana-mana warganegara yang berdaftar sebagai pengundi tidak hadir berkenaan dengan bahagian pilihan raya itu;

(b) "tarikh kelayakan" ertinya tarikh seseorang memohon supaya didaftarkan sebagai pemilih dalam sesuatu bahagian pilihan raya, atau tarikh dia memohon untuk menukar pendaftarannya sebagai pemilih dalam suatu bahagian pilihan raya yang lain,

mengikut peruntukan mana-mana undang-undang yang berhubungan dengan pilihan raya.

Perkara 120. Pemilihan terus ke Dewan Negara.

Jika mengikut Fasal (4) Perkara 45 peruntukan dibuat oleh Parlimen bagi pemilihan ahli-ahli Dewan Negara dengan cara undi terus oleh pemilih, maka—

(a) keseluruhan sesuatu Negeri hendaklah menjadi satu bahagian pilihan raya dan dalam mana-mana pilihan raya ke Dewan Negara setiap pemilih hendaklah mempunyai undi sebanyak bilangan kerusi yang hendak diisi dalam pilihan raya itu; dan

(b) daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Rakyat hendaklah juga menjadi daftar pemilih bagi pilihan raya ke Dewan Negara; dan

(c) Perkara 118, 118A dan 119 hendaklah terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Negara sebagaimana Perkara-Perkara itu terpakai berhubung dengan pilihan raya ke Dewan Rakyat.