Wujud Tuhan Pemikiran Ahmad Hasan Bandung tentang teologi Islam - Repository UIN Sumatera Utara

A. Aspek Ketuhanan

Persoalan kalam yang membuat munculnya perbedaan pendapat di kalangan mutakallīmūn dan umat Muslim terjadi dalam persoalan yang berkisar pada argumentasi untuk membuktikan wujud Allah. Mereka berusaha membangun argumen tentang eksistensi wujud Allah, menyucikan-Nya dan menghilangkan segala hal yang merusak kesucian tersebut. Dengan demikian, permasalahan pokok teologi yang terkait dengan Tuhan adalah wujud Tuhan, sifat Tuhan, Kalam Allah, dan keadilan Tuhan, yang diuraikan sebagai berikut:

1. Wujud Tuhan

Keadaan manusia sebelum periode Nabi Muhammad Saw., sesungguhnya telah mengenal dan mengakui keberadaan Tuhan Allah. Para Nabi sebelum Muhammad telah mengajarkan umatnya untuk mengenal Tuhan yaitu Allah dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran yang menyatakan:                   Artinya: “Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”Ṭ Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”Ṭ ẒQS. Luqm n [31]: 25ẓ. 2 Nabi Muhammad Saw., juga membawa ajaran tentang adanya wujud Allah yang Maha Sempurna. Wujud Allah Swt., dalam Islam merupakan keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan dan diragukan lagi. Meyakini adanya Allah merupakan dasar keyakinan yang paling utama. Berkaitan dengan itu, dalam literatur keislaman, tidak ada yang mempersoalkan wujud Allah, baik para mutakallīmūn dan Muslim seluruhnya meyakini keberadaan Allah. 3 2 Kementerian Agama, Al- Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: Al-Fatih, 2012, h. 413. 3 Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam Jakarta: Erlangga, 2006, h. 92. Pembicaraan wujud Allah hanya tertuju pada orang yang tidak meyakini Allah sebagai Tuhan atau orang yang tidak meyakini adanya Allah sebagai sang Pencipta. Perihal ini, masalah mengenai wujud Allah, Ahmad Hassan berusaha membuktikan kepada seseorang yang tidak meyakini keberadaan Allah, yang dijelaskannya dengan beberapa macam cara. 4 Menurut Ahmad Hassan yang diterangkan sebagai berikut: Saya berpendirian ada Tuhan. Buat membuktikan keadaan sesuatu, ada beberapa macam cara: dengan panca indera, dengan perhitungan, dengan kepercayaan yang berdasarkan perhitungan dengan penetapan akal. Tidak bisa dibuktikan adanya Tuhan dengan panca indera, karena ada banyak perkara yang kita akui adanya tetapi tidak dapat dibuktikan dengan panca indera, seperti akal, pikiran dan kemauan. Bukan suatu undang-undang dalam ilmu dan akal bahwa tiap-tiap satu yang berbentuk itu, penciptanya mesti berbentuk juga. Ada banyak perkara yang tidak berbentuk dibikin oleh yang berbentuk. Saya berkata-kata, perkataan saya tidak berbentuk, sedang saya sendiri yang menciptakannya berbentuk. Bom atom yang berbentuk dan dapat menghancurkan semua yang berbentuk di sekelilingnya, sedangkan akal yang menciptakannya tidak berbentuk. Jadi, untuk mengetahui sesuatu tidak selamanya dengan panca indera. 5 Berdasarkan penjelasan Ahmad Hassan di atas, keberadaan Allah harus diyakini, walaupun tanpa adanya pembuktian dengan panca indera, karena menurutnya semua hal yang berbentuk belum tentu penciptanya juga berbentuk. Begitu juga alam semesta ini dan segala isinya, baik itu yang materi dan inmateri, semua adalah ciptaan Allah dan membuktikan keberadaan Allah. Namun, dalam perdebatan tersebut, Ahmad Hassan lebih menekankan untuk membuktikan keberadaan Allah, tidak dengan panca indera, melainkan dengan perhitungan dan pertimbangan akal, sebagaimana diketahui adanya ruh, akal, kemauan, pikiran, percintaan, kebencian dan lain-lainnya, yang tidak dapat dibuktikan wujudnya. 4 Riwayat terjadinya pertukaran pikiran dengan seseorang yang tidak meyakini keberadaan Allah, yaitu Muhammad Ahsan. Pada awal Agustus 1955, Abdul Ghaffar dari pekalongan, pernah berkata dalam ceramahnya bahwa orang yang tidak percaya kepada Tuhan adalah orang yang tidak berakal. Maka Muhammad Ahsan dari Malang menulis dalam surat kabar Suara Rakyat, tanggal 9 Agustus 1955, untuk menanggapi pernyataan Abdul Ghaffar. Peristiwa ini berakhir dengan perdebatan secara langsung, pada 12 Agustus 1955, disaksikan oleh banyak umat manusia, baik Muslim dan non Muslim. Acara ini diadakan oleh Front Anti Komunis, Surabaya dan dilaksanakan di gedung al-Irsyad. Perdebatan ini dilakukan oleh Ahmad Hassan dan Muhammad Ahsan. 5 A. Hassan, Adakah Tuhan? Pertukaran Pikiran Tentang Ada Tidaknya Tuhan Bandung: Diponegoro, 1992, h. 16. Ahmad Hassan dalam perdebatannya mencontohkan membuktikan sesuatu hal dengan perhitungan dan kepercayaan, seperti penjelasannya misalnya pena ada karena ada yang membuatnya, dan yang membuatnya tentu orang. Walaupun demikian, belum pernah ada orang yang melihat proses pembuatan pena, tetap saja menyimpulkan bahwa yang membuat adalah orang juga. Sama halnya pembuatan seperti kursi, bangku, meja dan lainnya sebagaimana yang dibuat oleh orang. Oleh sebab itu, seseorang akan percaya bahwa pena tersebut juga dibuat oleh orang karena pena tersebut sebuah barang, walaupun belum pernah melihat orang membuat pena. 6 Metode penalaran inilah yang dimaksudkan Ahmad Hassan, bahwa mengenal Allah tidak harus dengan melihatnya, melainkan dengan keyakinan dan kepercayaan. Menurut Ahmad Hassan dalam bukunya Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, ia menerangkan bahwa jalan yang tepat dan bisa digunakan untuk mengenal Allah adalah dengan ilmu Tauhid, yaitu ilmu yang dengan itu manusia dapat mengerti bahwa Allah itu ada, Tunggal Esa, dan tidak ada bandingannya dan Allah yang menciptakan segala alam dan benda-benda di dalamnya. 7 Seperti firman Allah yaitu:                    Artinya: “Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”Ṭ QS. al- Ikhl s [112]: 1-4. 8 Ayat di atas merupakan ayat tauhid, di mana Allah Swt., menerangkan diri-Nya, sebagai Allah yang Esa. Allah hanya ada satu saja, tidak ada yang lain yang serupa dengan Dia atau menyamai-Nya. Allah Maha Suci dari persamaan 6 Ibid., h. 17. 7 A. Hassan, Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama Bandung: Diponegoro, 2007, jilid II, h. 799. 8 Kementerian Agama, Al- Qur‟an, h. 604. dan perserupaan dengan sesuatu apapun. 9 Dengan demikian, nyatalah wujud Allah sebagai Tuhan yang wajib untuk disembah. Hakikat dari Zat Allah, sebenarnya tidak mungkin dapat diketahui dengan akal pikiran manusia dan panca indera manusia, karena pikiran dan panca indera manusia tidak akan mampu dalam menjangkau hal tersebut. Sungguhpun demikian, hingga saat ini manusia masih belum dapat mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang hakikat jiwa manusia itu sendiri. Manusia pun tidak dapat mengurai hakikat cahaya atau sinar, padahal cahaya atau sinar itu sebenarnya adalah benda yang amat terang dan jelas. Sebaliknya, sampai sekarang ini, akal manusia, baik dengan ilmu pengetahuan modern belum dapat mengurai hakikat semua benda yang ada di alam semesta ini. Jika demikian, maka tentulah akal tidak mampu mengetahui wujud Tuhan zat Allah, sebagaimana Allah menerangkan tentang Diri-Nya dalam Alquran, yaitu:           ....   Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan merekaṬṬṬṬ”Ṭ QS. al-Fath [48]: 10. 10 Ayat di atas dipahamkan Ahmad Hassan dalam Tafsir Al-Furqan bahwa orang yang mūbāya„ah berjanji taat kepada Rasul, biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasulullah Swt., adalah dengan meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji tersebut. Oleh karena itu, orang yang mūbāya„ah dengan Rasul itu, sama halnya dengan mūbāya„ah kepada Allah Swt., dan tangan Rasul yang diletakkan atas tangan-tangan mereka itu, sebagaimana dalam ayat tersebut, seperti tangan Allah Swt., terletak atas tangan-tangan mereka. 11 Begitu juga, terdapat ayat Alquran lain yang Allah menyebutkan diri- Nya dengan wajhah ū, seperti firman-Nya berikut:                   ....  9 Hassan, Soal-Jawab, Jilid I, h. 339. 10 Kementerian Agama, Al- Qur‟an, h. 512. 11 A. Hassan, Tafsir Al-Furqan, Bangil: Pustaka Tamaam, 2014, h. 222. Artinya: “Janganlah kamu sembah di samping menyembah Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. tiap- tiap sesuatu pasti binasa, kecuali zat- Ẓya”Ṭ QS. al-Qa a [28]: 88. 12 Makna kata wajhahū secara zhahir berarti wajah-Nya, yang menurut Ahmad Hassan kata wajhahū dapat diartikan dengan muka-Nya, zat-Nya, dan diri-Nya dalam karyanya Tafsir Al-Furqan. 13 Menurut Ahmad Hassan, dalam Alquran terdapat huruf-huruf, lafaz-lafaz, kalimat-kalimat yang perlu diberi penerangan. 14 Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dilihat bahwa Ahmad Hassan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tersebut hanya dengan penafsiran makna zahirnya dan cenderung mensucikan Allah dari persamaan dengan makhluk yang bersifat baharu mengenai segala yang telah Allah gambarkan tentang diri-Nya dan sifat-Nya. Sebenarnya, perlu adanya pemahaman yang benar dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, untuk dipahami kepada hal-hal lain yang pantas bagi Zat Allah. Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, para ulama tradisionalis kebanyakan melakukan interprestasi terhadap ayat-ayat mutasyābihatṬ Tujuan interprestasi tersebut adalah untuk dapat memahami makna dan maksud dari pernyataan Allah tersebut, agar tidak membawa pada paham menyamakan dan menyerupakan dengan makhluk, sehingga Allah Swt., tetap suci dari sifat makhluk. Berdasarkan pemahaman tersebut, bisa saja kata “tangan” diinterprestasikan dengan kekuatan atau kenikmatan dan kata “wajah” dapat ditafsirkan dengan zat atau Allah. Penafsiran-penafsiran seperti itu dapat dibenarkan dari segi bahasa, dan sebaliknya lafaz-lafaz tersebut dapat menerima penafsiran ini. Demikianlah yang kebanyakan dilakukan oleh ulama kalam, fuqaha dan para peneliti. 15 Hal ini bisa saja lebih baik dari pada penafsiran makna zhahir yang literal, dan tidak diketahui maksudnya, seperti pendapat Ahmad Hassan bahwa Allah 12 Kementerian Agama, Al- Qur‟an, h. 396. 13 Hassan, Tafsir, h. xxviii. 14 Ibid., h. xxvi. 15 Im m Mu ammad Ab Zahrah, “T r kh al-Ma hib al-Isl miyyah”, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan „Aqidah dalam Islam Jakarta: Logos Publishing House, 1996, h. 234. mempunyai tangan, tetapi tidak mengetahui bagaimana tangan tersebut, dengan menyatakan tangan Allah tidak sama seperti tangan makhluk. Adanya pandangan dan pengertian yang seperti itu, tidak semua umat Muslim dapat mengetahui tujuan dan sasaran dari ayat-ayat tersebut. Sementara itu, jika ditafsirkan dengan makna-makna yang dapat diterima oleh kaidah bahasa, maka akan sampai pada hal-hal yang abstrak dan dapat dipahami, namun tetap mensucikan Allah dan tidak ada hal-hal yang tidak diketahui. Pada hakikatnya, segala usaha yang dilakukan manusia untuk mengetahui dan mengenal Allah baik dengan wahyu dan akal, tentulah zat Allah masih jauh lebih besar dari sesuatu hal yang dapat dicapai oleh akal manusia. Oleh sebab itu, Allah telah berfirman, sebagai berikut:            Artinya: “Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui”Ṭ QS. al-An‟ m [6]: 103ẓ. 16 Jadi, apabila manusia dengan akal dan panca inderanya tidak dapat mencapai wujud Tuhan zat Allah, tidak berarti bahwa zat Allah itu tidak ada, tetapi yang benar adalah Zat Allah itu ada dengan penetapan sebagai sesuatu yang wajib adanya. Untuk menjelaskan, wujud Allah itu ada, semua yang ada di alam semesta ini, dapat digunakan sebagai bukti nyata tentang adanya wujud Allah.

2. Sifat-Sifat Tuhan